Senin, 31 Mei 2021

Cognitive evaluation theory (CET) (skripsi dan tesis)

Cognitive evaluation theory atau teori evaluasi kognitif mengemukakan terlebih dahulu bahwa faktor eksternal adalah penghargaan nyata, tenggang waktu, surveilans, dan evaluasi. CET cenderung mengurangi perasaan otonomi, dan lebih mendorong sebuah perubahan pada perceived locus of causality (PLOC) atau lokus kausalitas yang dirasakan dari internal ke eksternal sehingga melemahkan motivasi intrinsik. Sebaliknya, beberapa faktor eksternal seperti menyediakan pilihan tentang aspek keterlibatan tugas cenderung meningkatkan Edited with the trial version of To remove this notice, visit www.flexipdf.com FlexiPDF 28 perasaan otonomi, mendorong pergeseran PLOC dari eksternal ke internal, dan meningkatkan motivasi intrinsik (Deci, 2005:332). Teori Evaluasi Kognitif (CET) dipresentasikan oleh Deci dan Ryan tahun 1985 untuk menentukan faktor-faktor dalam konteks sosial yang menghasilkan variabilitas motivasi intrinsik di Indonesia. CET dianggap sebagai sub teori dari self determinant theory, berpendapat bahwa peristiwa dan struktur interpersonal seperti penghargaan, komunikasi, dan umpan balik yang mengarah pada perasaan kompeten selama seorang individu bertindak, dapat meningkatkan motivasi intrinsik untuk tindakan tersebut karena memungkinkan kepuasan untuk kebutuhan psikologis dasar akan kompetensi. Demikian, misalnya tantangan yang optimal, efektifitas promosi umpan balik, dan kebebasan dari rendahnya evaluasi, itu semua diprediksi akan memudahkan adanya motivasi intrinsik (Ryan & Deci, 2000:58)

Self Determinant Theory (SDT) (skripsi dan tesis)

Dalam Self Determinant Theory/SDT yang dikembangkan oleh Deci dan Ryan pada tahun 1985, jenis motivasi dibedakan berdasarkan berbagai alasan atau tujuan yang menimbulkan suatu tindakan dari seseorang (Ryan & Deci, 2000:55). Pusat dari Self Determinant Theory/SDT adalah perbedaan antara motivasi otonom dan motivasi yang dikendalikan. Otonomi melibatkan suatu tindakan dengan rasa kemauan dan memiliki pengalaman untuk menentukan pilihan. Otonomi berarti mendukung tindakan seseorang pada tingkat tertinggi dari . Motivasi intrinsik adalah contoh motivasi otonom. Ketika seseorang terlibat dalam sebuah kegiatan karena mereka menemukan hal-hal menarik, dan mereka melakukan aktivitas sepenuhnya atas keinginan sendiri misalnya, seseorang bekerja karena pekerjaan yang ia lakukan menyenangkan. Sebaliknya, motivasi yang dikendalikan melibatkan suatu tindakan dengan rasa tekanan, dan perasaan harus terlibat dalam suatu tindakan. Penggunaan imbalan ekstrinsik dalam percobaan awal ditemukan untuk mendorong motivasi yang dikendalikan (Deci, 2005:333-334). SDT menjelaskan bahwa motivasi otonom dan motivasi yang dikendalikan merupakan hal yang berbeda. Baik dari segi proses regulasi yang mendasari dua hal tersebut dan pengalaman yang menyertai kedua hal tersebut. SDT selanjutnya menunjukkan bahwa perilaku dapat dicirikan dalam hal sejauh mana perilaku disebut otonom atau dikendalikan. Motivasi otonom dan motivasi yang dikendalikan merupakan hal yang disengaja, dan keduanya berdiri dalam konteks yang berbeda untuk memotivasi, yang melibatkan kurangnya niat dan motivasi (Deci, 2005: 334).  
Sebuah sub teori dalam SDT disebut sebagai Organismic Integration Theory (OIT) atau Teori Integrasi Organisme. OIT diperkenalkan secara rinci dalam berbagai bentuk motivasi ekstrinsik, dan faktor kontekstual yang mempromosikan atau menghalangi internalisasi dan integrasi peraturan untuk perilaku ini. 1. Amotivasi Amotivasi merupakan keadaan seorang individu yang kurang niat dalam bertindak. Ketika kurang termotivasi atau amotivasi, perilaku seseorang tidak memiliki kesengajaan dan rasa sebab pribadi. Amotivasi merupakan hasil dari perasaan individu yang tidak menghargai aktivitas, tidak merasa kompeten untuk melakukan suatu pekerjaan, dan tidak percaya akan menghasilkan hasil yang diinginkan. 2. Peraturan Eksternal Peraturan ekstrenal adalah kategori yang mewakili bentuk motivasi ekstrinsik yang paling tidak otonom. Individu melakukan tindakan untuk memenuhi permintaan eksternal atau mendapatkan sebuah kontingensi hadiah yang dipaksakan secara eksternal. Individu biasanya mengalami perilaku yang diatur dan dikendalikan secara eksternal. Sehingga tindakan yang mereka lakukan memiliki external perceived locus of causality atau lokus kausalitas eksternal yang dirasakan. 3. Peraturan yang dirujuk Tipe motivasi ekstrinsik yang kedua adalah peraturan yang dirujuk. Peraturan yang dirujuk/ introjeksi menggambarkan jenis regulasi internal yang masih cukup mengendalikan karena orang melakukan tindakan seperti itu dengan perasaan tertekan untuk menghindari rasa bersalah atau kecemasan atau untuk mencapai peningkatan atau kebanggaan ego. Bentuk klasik dari introjeksi adalah keterlibatan ego, di mana orang melakukan tindakan untuk meningkatkan atau menjaga harga diri.  4. Peraturan yang teridentifikasi Bentuk motivasi ekstrinsik yang lebih otonom yaitu melalui peraturan teridentifikasi. Dalam peraturan teridentifikasi, seorang individu telah mengidentifikasi dengan kepentingan pribadi dari sebuah perilaku dan kemudian ia menerima peraturannya sebagai peraturannya sendiri. 5. Peraturan terpadu Bentuk motivasi ekstrinsik yang paling otonom adalah peraturan terpadu/ terintegrasi. Integrasi terjadi ketika peraturan yang teridentifikasi telah sepenuhnya menyesuaikan dengan diri. Hal ini terjadi melalui pemeriksaan diri dan membawa peraturan baru menjadi sesuai dengan nilai dan kebutuhan seseorang. 6. Motivasi intrinsik Motivasi intrinsik adalah tipe motivasi yang ditentukan oleh aktivitas sendiri dari seorang individu. Namun tidak dapat dikatakan bahwa peraturan ekstrinsik apabila lebih terinternalisasi akan berubah menjadi motivasi intrinsik.

The social identity perspective/ Perspektif Identitas Sosial (skripsi dan tesis)

Perspektif identitas sosial merupakan analisis psikologi sosial dari proses kelompok, hubungan antar kelompok, dan konsep diri. Prinsip utamanya adalah bahwa orang memperoleh sebagian konsep diri mereka dari kelompok sosial dan kategori yang menjadi milik identitas sosial mereka. Hal tersebut pada awalnya didefinisikan sebagai pengetahuan individu bahwa dia merupakan bagian kelompok sosial tertentu bersama dengan beberapa nilai emosional dan nilai untuk dirinya dari keanggotaan di sebuah grup. Perspektif identitas sosial mencakup sejumlah sub teori terpadu. Sub teori yang paling signifikan adalah teori identitas sosial yang secara akurat dicirikan sebagai teori identitas sosial dari perilaku antar kelompok dan teori kategorisasi diri yang lebih tepat ditandai sebagai teori identitas sosial kelompok (Hogg & Reid, 2006:8-9). Teori identitas sosial berfokus pada prasangka, diskriminasi, dan kondisi yang mempromosikan   berbagai jenis perilaku antar kelompok misalnya, konflik, kerjasama, perubahan sosial, dan stasus sosial. Penekanan ditempatkan pada kompetisi antar kelompok atas status dan prestise, dan peran peningkatan motivasi diri melalui identitas sosial yang positif. Giles dan Johnson pada tahun 1981 sampai tahun 1987 mengadaptasi dan memperpanjang teori identitas sosial dalam pekerjaan mereka pada teori identitas etnolinguistik. Pada tahun 1991 Giles & Coupland mengadaptasi dan memperpanjang teori identitas sosial dalam teori akomodasi komunikasi mengingat perkembangan bidang komunikasi yang terjadi secara terus menerus (Hogg & Reid, 2006:9). Teori kategorisasi diri berfokus pada proses dasar kognitif sosial, terutama kategorisasi sosial. Proses kategorisasi sosial menyebabkan seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok-kelompok, menafsirkan diri mereka sendiri dan orang lain dalam hal kelompok, dan perilaku kelompok yang nyata. Pusat pengembangan komponen konseptual lain dari pendekatan identitas sosial, seperti yang berhubungan dengan kepemimpinan, pengaruh sosial, polarisasi kelompok, tarik sosial, dan kohesivitas kelompok. Namun, karena teori kategorisasi diri berfokus pada proses kognitif, corak kontemporer pendekatan identitas lebih berat dipengaruhi oleh konstruksi kognitif teori asli identitas sosial dari hubungan antar kelompok (Hogg & Reid, 2006:8-9). Dalam kelompok kecil yang interaktif, orang cenderung untuk menyimpulkan norma-norma kelompok mereka secara langsung dari apa yang orang katakan dan lakukan. Sebagai contoh, kita mungkin menyimpulkan sikap normatif kelompok dari sikap yang dinyatakan atau perilaku aktual rekan-rekan anggota kelompok.  Namun, orang tidak selalu mengatakan apa yang mereka pikirkan atau bagaimana mereka berperilaku dengan cara yang mencerminkan sikap yang mendasarinya. Oleh karena itu, menyimpulkan sikap yang mendasari perilaku terbuka mungkin tidak dapat diandalkan. Relevansi khusus untuk analisis identitas sosial berpendapat bahwa orang lebih cenderung untuk mengekspresikan sikap yang mendasari mereka dalam perilaku jika mereka mengidentifikasi kuat dengan kelompok yang memiliki sikap dan perilaku normatif (Hogg & Reid, 2006:15). Dalam kebanyakan kelompok, orang yang paling berpengaruh adalah pemimpin. Pemimpin yang efektif mampu mengubah tindakan individu menjadi tindakan kelompok dengan mempengaruhi orang lain agar mampu mengerahkan dan melakukan usaha untuk kepentingan mereka sendiri. Kemudian pemimpin yang efektif mampu mempengaruhi orang lain dan dalam mengejar nilai kelompok normatif baru, sikap, tujuan, dan perilaku. Untuk teori kepemimpinan identitas sosial, ide intinya adalah karena keanggotaan kelompok semakin menonjol, maka anggota membayar lebih untuk memperhatikan prototipikalitas dan mendukung pemimpin prototipikal lebih kuat daripada pemimpin non prototipikal (Hogg & Reid, 2006:19-20). Anggota atau pemimpin prototip lebih berpengaruh terhadap sejumlah alasan terkait identitas sosial. Menurut Hogg dan Reid (2006:19-20) hal tersebut karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut : a) Pemimpin dan anggota mewujudkan prototipe karena hal tersebut menjadi fokus dalam perilaku pengikut kelompok, sehingga secara otomatis sesuai dengan keinginan dan tingkah laku mereka. Edited with the trial version of To remove this notice,  b) Pemimpin dan anggota disukai oleh sesama anggota justru karena mereka mampu mewujudkan prototipe, sehingga memungkinkan pemimipin dan anggota untuk memenuhi keinginan mereka dan mampu untuk menempati posisi status yang lebih tinggi dalam grup. c) Pemimpin dan anggota biasanya mengidentifikasikan masalah kelompok lebih kuat daripada orang lain, oleh karena itu mereka cenderung lebih berorientasi pada kepentingan kelompok. d) Anggota prototipikal merupakan perilaku menguntungkan untuk kelompok secara keseluruhan. Perilaku tersebut akan menghasilkan kepercayaan pada pemimpin agar tidak membahayakan pengikut kelompok, sehingga memungkinkan pemimpin untuk menjadi inovatif dalam mengambil arah baru untuk kelompoknya. e) Anggota prototipikal merupakan fokus perhatian dalam kelompok, karena anggota merasa mereka adalah sumber informasi terbaik tentang kelompok tersebut

Disposotional and Job Attitude Theory (Teori Disposisi dan Sikap Kerja) (skripsi dan tesis)

 
Pendekatan disposisional telah diteliti sejak penelitian yang dilakukan Munsterberg pada tahun 1913. Penelitian Munsterberg tahun 1913 menggambarkan tujuan psikologi diterapkan sebagai pemilihan kepribadian seseorang dengan kualitas mental mereka secara khusus cocok untuk jenis pekerjaan tertentu dalam bidang ekonomi. Munsterberg tidak sendirian dalam kepeduliannya terhadap pendekatan disposisi individu selama abad kedua puluh. Pada saat itu, seluruh lapangan psikologi organisasi menempatkan banyak penekanan pada perbedaan individu dalam kepribadian, kecerdasan, dan sikap kerja, yang dipandu oleh tulisan-tulisan peneliti terkemuka seperti Gordon Allport, Edward Thorndike, LL Thurstone, dan Fisher dan Hanna. Bahkan Studi Hawthorne, paling dikenal untuk menjelajahi peran tekanan kelompok dan sosial tentang pengaruh-pengaruh di tempat kerja, dan mengakui peran perbedaan individu dalam sikap kerja (Staw & Cohen-charash, 2005:60). Meskipun penelitian disposisional jelas keluar dari tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, beberapa psikolog kepribadian terus mempertahankan pendekatan disposisional. Alasannya adalah kurangnya daya prediksi karena metodologi yang digunakan masih kurang atau kegagalan untuk konsep yang tepat di mana karakteristik individu akan membuat perbedaan. Pertahanan sangat kuat dari perspektif disposisional dalam psikologi organisasi dibawakan oleh Weiss dan Adler pada tahun 1984. Secara sistematis Weiss dan Adler menguraikan mengapa variabel kepribadian tampaknya memiliki sedikit keberhasilan dalam memprediksi sikap dan perilaku dalam pengaturan organisasi. Alasan sedikitnya keberhasilan karena kebanyakan studi organisasi telah dirancang secara tepat untuk menunjukkan efek situasional daripada efek disposisional (Staw & Cohencharash, 2005:60-61). Pada pertengahan tahun 1980-an penelitian tentang disposisional kembali meningkat ketika serangkaian studi meneliti sumber stabilitas dari kepuasan kerja. Jika individu konsisten dalam kepuasan kerja mereka di seluruh konteks, maka sumber konsistensi ini akan cenderung menjadi ciri abadi dari individu. Penelitian selanjutnya berusaha untuk lebih langsung menekankan variabel disposisional misalnya, dengan langkah-langkah positif dalam mempengaruhi upaya untuk memprediksi sikap kerja dan kinerja dari waktu ke waktu (Staw & Cohen-charash, 2005:61). 
Kurangnya penelitian yang dirancang dalam hal faktor situasional dapat membantu membangun validitas konstruk variabel disposisi atau menunjukkan dalam kondisi apa faktor disposisi terbaik akan menjelaskan perilaku kerja. Jadi, seperti Weiss dan Adler pada tahun 1984 berpendapat, sebuah hasil penelitian menunjukkan pengaruh dari faktor situasional. Sehingga sekarang kita mungkin keliru menyimpulkan bahwa faktor disposisi merupakan variabel mempunyai  sedikit peran dalam memberikan kontribusi pada perilaku organisasional (Staw et al., 2014:59). Sebagai titik awal untuk memeriksa kembali sumber disposisi pada kepuasan kerja, sangat penting untuk mempertimbangkan apakah sikap kerja memiliki beberapa konsistensi dari waktu ke waktu. Beberapa temuan menunjukkan bahwa sikap kerja memiliki beberapa stabilitas temporal. Temuan stabilitas temporal dan cross-situasional merupakan langkah awal dalam sikap kerja, namun penting untuk merumuskan pendekatan disposisi terhadap sikap kerja. Teori disposisi tentang sikap kerja tidak banyak membicarakan tentang mengapa individu dapat menunjukkan stabilitas dalam kepuasan kerja (Staw et al., 2014:60)

Pengaruh Anonimitas Terhadap Tingkat Retaliasi (skripsi dan tesis)

 Sarbanes-Oxley Act 2002, Sec. 301 dan 806 merupakan aturan-aturan yang berisi mengenai upaya-upaya dalam mendorong niat melakukan whistleblowing dan sebagai penyedia perlindungan bagi whistleblower dari retaliasi. Meskipun demikian, ketakutan akan pembalasan tetap menjadi salah satu kekhawatiran terbesar di antara pelapor (Near dan Miceli 1995, Ethics Resource Center 2010), sehingga penulis memasukkan tingkat retaliasi sebagai faktor penting dalam penelitian ini. Penelitian sebelumnya juga menemukan efek negatif dari pembalasan pada whistleblowing (Curtis 2006; Kaplan dan Whitecotton 2001).

Pengaruh Insentif Terhadap Tingkat Retaliasi (skripsi dan tesis)

 Mesmer-Magnus dan Viswesvaran (2005) menemukan korelasi negatif yang kuat antara ancaman pembalasan dan niat whistleblowing. Niat seseorang untuk melaporkan kecurangan akan semakin rendah ketika tingkat retaliasi tinggi, sedangkan niat seseorang untuk melaporkan kecurangan akan semakin tinggi ketika tingkat retaliasi rendah. Penelitian Liyanarachchi dan Newdick (2009) membagi retaliasi menjadi dua tingkatan, yaitu kuat (penalti) dan lemah (afiliasi) (Liyanarachchi and Newdick 2009). Retaliasi dengan tingkatan kuat dapat 19 berupa mutasi kerja atau bahkan yang lebih parah yaitu pemecatan kerja. Retaliasi dengan tingkatan lemah dapat berupa pengucilan atau pemberian tugas kerja yang berlebihan. Seseorang cenderung takut untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi dalam perusahaan ketika tingkat retaliasi kuat. Perusahaan diharapkan dapat meminimalkan retaliasi untuk mendorong niat seseorang melakukan whistleblowing, sehingga diharapkan dapat meningkatkan niat seseorang untuk melaporkan pelanggaran. Insentif moneter telah terbukti efektif dalam meningkatkan jumlah laporan eksternal ke OWB, tetapi secara umum, penelitian sebelumnya memberikan hasil yang beragam untuk efek motivasi ekstrinsik (misalnya, uang) pada perilaku prososial, seperti whistleblowing. Feldman dan Lobel (2010) menyatakan bahwa imbalan moneter adalah motivator yang paling tidak efektif untuk whistleblowing, karena mereka membuat komoditas pelaporan dan menggantikan motivasi ekstrinsik (yaitu, keuntungan pribadi), menghilangkan motivasi intrinsik (misalnya, membantu orang lain), juga dikenal sebagai “crowding motivation” (Berger et al., 2015 dan Brink et al., 2013). Dengan demikian, memahami efek keseluruhan dari insentif moneter adalah penting. Penelitian yang meneliti hubungan antara insentif moneter dan whistleblowing internal, secara khusus, memiliki hasil yang beragam. Berger et al. (2015) menemukan hubungan positif yang signifikan antara insentif keuangan dan pelapor internal. Imbalan secara tunai berhubungan positif dengan pelaporan internal di antara auditor internal (Xu and 20 Ziegenfuss 2008). Namun, efek ini lebih besar untuk auditor internal dengan tingkat penalaran moral yang lebih rendah, dan dapat disimpulkan bahwa efektivitas insentif moneter tergantung pada faktor individu.

Insentif, Anonimitas, Tingkat Retaliasi, dan Whistleblowing (skripsi dan tesis)

 Retaliasi merupakan suatu ancaman bagi whistleblowing atas perilaku yang dilakukan. Retaliasi merupakan akibat buruk dari whistleblowing. Tingkat retaliasi memiliki pengaruh pada niat seseorang dalam melakukan whistleblowing, sebab individu cenderung takut untuk melaporkan pelanggaran. Sehingga, individu lebih memilih untuk tidak melaporkan daripada melakukan pelaporan yang pada akhirnya akan menerima ancaman dari pihak yang dilaporkan (Putri, 2012). Manajer memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memotivasi seluruh karyawan agar melakukan tindakan yang jujur dan sejalan dengan tujuan perusahaan. Seorang whistleblower tentunya akan merasa aman apabila dalam perusahaan atau organisasi tercipta suasana yang aman dan terlindungi dari adanya tindakan retaliasi. Menurut Maslow’s hierarchy of need theory terdapat lima tingkat kebutuhan dasar manusia, salah satunya adalah kebutuhan keamanan. Sehingga ketika retalisi dalam perusahaan rendah, karyawan tidak merasa takut untuk melaporkan tindak pelanggaran. Penghargan merupakan tindakan untuk memotivasi karyawan agar terdorong untuk melakukan tindakan whistleblowing. Dengan memberikan penghargaan maka dapat memberikan suatu kepuasan tersendiri bagi seorang whistleblower dalam mengungkapkan kecurangan. Menurut reinforcement theory, orang termotivasi untuk melakukan perilaku tertentu karena dikaitkan dengan adanya reward  yang pernah ada atas perilaku tersebut. Reinforcement theory didasarkan atas premis bahwa perilaku manusia digerakkan oleh kebutuhan untuk memperoleh reward dan mengeliminasi sesuatu yang tidak disukai (Klingle dalam Caesar, 2012).

Tingkat Retaliasi dan Whistleblowing (skripsi dan tesis)

Retaliasi merupakan tindakan berupa ancaman untuk membalas dendam kepada whistleblower. Retaliasi merupakan akibat buruk dari whistleblowing. Tingkat retaliasi mempegaruhi niat seseorang dalam melakukan whistleblowing, sebab ketika terdapat retaliasi dalam suatu perusahaan individu cenderung takut untuk melakukan pelaporan. Sehingga, seseorang lebih memilih untuk diam daripada melakukan pelaporan yang pada akhirnya akan menerima ancaman dari pihak yang dilaporkan (Putri, 2012). Meskipun telah ada larangan yang mengatur tentang pembalasan dendam, retaliasi tetap menjadi ancaman untuk whistleblower (Near and M. P. Miceli. 1995). Penelitian Arnold (1991) dan Larasati (2015) menemukan pengaruh negative antara tingkat pembalasan dan niat seseorang melakukan whistleblowing (Arnold and Ponemon 1991) dan (Larasati 2015).

Anonimitas dan Whistleblowing (skripsi dan tesis)

 Anonimitas biasanya mengacu pada tidak diketahuinya informasi identitas pribadi seseorang. Jalur pelaporan anonim merupakan jalur pelaporan dengan cara menyembunyikan identitas pelapor agar tercipta rasa aman bagi pelapor. Peraturan mengenai anonimitas diatur dalam Sarbanes-Oxley act 2002. Individu merasa terlindungi jika ada jalur pelaporan anonim

Tingkat Retaliasi dan Whistleblowing (skripsi dan tesis)

Retaliasi merupakan tindakan berupa ancaman untuk membalas dendam kepada whistleblower. Retaliasi merupakan akibat buruk dari whistleblowing. Tingkat retaliasi mempegaruhi niat seseorang dalam melakukan whistleblowing, sebab ketika terdapat retaliasi dalam suatu perusahaan individu cenderung takut untuk melakukan pelaporan. Sehingga, seseorang lebih memilih untuk diam daripada melakukan pelaporan yang pada akhirnya akan menerima ancaman dari pihak yang dilaporkan (Putri, 2012). Meskipun telah ada larangan yang mengatur tentang pembalasan dendam, retaliasi tetap menjadi ancaman untuk whistleblower (Near and M. P. Miceli. 1995). Penelitian Arnold (1991) dan Larasati (2015) menemukan pengaruh negative antara tingkat pembalasan dan niat seseorang melakukan whistleblowing (Arnold and Ponemon 1991) dan (Larasati 2015)

Insentif dan Whistleblowing (skripsi dan tesis)

Insentif merupakan salah satu jenis pengahargaan yang dikaitkan dengan prestasi kerja. Semakin tinggi prestasi kerja semakin besar pula insentif yang diterima (Hariandja, 2002:265). Pengungkapan kecurangan dapat dilakukan apabila terdapat penghargaan, hal ini dibuktikan dalam penelitian yang telah dilakukan (Dworkin 2007). Pemberian penghargaan kepada pengungkap kecurangan sesuai dengan reinforcement theory (Skinner, 2010) yang menjelaskan mengenai perilaku yang memiliki fungsi dari konsekuensi yang terjadi. Pemberian reward berupa insentif kepada karyawan yang melakukan whistleblowing, dimaksudkan agar karyawan dapat termotivasi melakukan whistleblowing dan.

Whistleblowing Intention (skripsi dan tesis)

Whistleblowing didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang, baik dari pihak internal maupun eksternal perusahaan, untuk mengungkapkan tindakan pelanggaran yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan. Pengungkapan ini  umumnya dilakukan secara rahasia. Pengungkapan harus dilakukan dengan itikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan perusahaan tertentu ataupun didasari kehendak buruk (Komite Nasional Kebijakan Governance 2008). Whistleblowing memiliki fungsi positif dalam meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan tata kelola yang baik dalam organisasi (Mohamed, Ahmad, dan Baig, 2015) karena terakreditasi secara luas sebagai salah satu metode yang paling kuat sebagai bagian dari sistem kontrol internal dalam organisasi untuk mendeteksi dan mencegah korupsi, malpraktek, dan kesalahan (Meng & Fook, 2011; Transparency International, 2009). Pada dasarnya, ada dua jenis whistleblowing yaitu pelaporan pelanggaran internal dan eksternal (Dworkin & Baucus, 1998; Park & Blenkinsopp, 2009; Zhang, Chiu, & Wei, 2009). Jika kesalahan dilaporkan kepada pihak-pihak dalam organisasi, maka termasuk whistleblowing internal, sedangkan jika kesalahan dilaporkan kepada pihak-pihak di luar organisasi, maka whistleblowing dianggap sebagai eksternal. Menurut Dworkin dan Baucus (1998), keputusan untuk melaporkan pelanggaran baik secara internal maupun eksternal tergantung pada reaksi yang akan diambil oleh organisasi. Whistleblowing internal terjadi ketika kesalahan dilaporkan kepada pihak di luar rantai komando tetapi masih berada di dalam organisasi,  seperti dewan direksi, komite audit, dan pejabat senior seperti Chief Executive Officer (CEO) atau penerima pengaduan yang ditunjuk di dalam organisasi (Finn, 1995). Pelaporan ke rekan kerja (peer reporting) tidak diklasifikasikan sebagai whistleblowing (King, 1999). Sebaliknya, whistleblowing eksternal terjadi ketika penerima pengaduan berada di luar organisasi, seperti lembaga penegak hukum dan regulator, badan profesional, dan media (Near and M. P. Miceli. 1995).

Theory of Planned Behaviour (skripsi dan tesis)

Theory of Planned Behaviour (TPB) menjelaskan hubungan antar sikap terhadap perilaku merupakan hal penting yang dapat memperkirakan suatu perbuatan. Teori ini membuktikan bahwa niat seseorang lebih akurat dalam memprediksi perilaku aktual dan dapat menghubungkan antara sikap dan perilaku aktual (Ajzen 1998). Whistleblowing merupakan perilaku yang direncanakan whistleblower. Theory of Planned Behaviour (TPB) mendukung whistleblowing, terbukti menjadi kerangka kerja yang baik untuk memprediksi maksud whistleblowing dan dapat mengukur persepsi sikap orang lain tentang whistleblowing. Kontrol perilaku merupakan faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam mendorong whistleblowing (Zakaria et al 2016).

Two Factor Theory (skripsi dan tesis)

Konsep motivasi dalam Two Factor Theory merupakan keadaan psikologis yang berfokus pada motivasi yang disebabkan oleh kepuasan intirinsik dan ekstrinsik yang berkaitan dengan pemenuhan sikap kerja. Two Factor Theory terdiri dari dua faktor yaitu motivation factors (intrinsik) dan hygiene factors (ekstrinsik). Motivation factors (intrinsik) merupakan kepuasan yang bersumber dari nilai pribadi dan terukur melalui aspek achievement, recognition, work it self, responsibility, advancement. Kemudian, hygiene factors (ekstrinsik) merupakan kepuasan yang bersumber dari nilai instrumental dan terukur melalui company policy, supervision, salary, interpersonal relation, working condition, job satisfaction. Semakin tinggi skor total faktor Two Factor Theory yang diperoleh, maka semakin tinggi faktor tersebut diperoleh karyawan. Sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh dari faktor Two Factor Theory, maka semakin rendah faktor tersebut diperoleh.

Dinamika Hubungan Antar Variabel Penelitian (skripsi dan tesis)

Penelitian mengenai konsep motivasi sudah banyak menghasilkan berbagai opini, tetapi hampir semua peneliti setuju bahwa konsep motivasi merupakan tenaga sebagai pendorong individu untuk memulai aktivitas dan menyelesaikannya dengan memberikan semua usahanya untuk memenuhi keinginan mereka (Khan & Iqbal, 2013). Konsep motivasi Two Factor Theory terukur melalui faktor intrinsik dan ekstrinsik seperti, pencapaian, penghargaan, upah, dan kondisi kerja (Fugar, 2007). Tujuan dari adanya faktor tersebut untuk menciptakan lingkungan dimana individu bersedia bekerja dengan semangat, inisiatif, menarik dan antusias, dengan tingginya tingkat kepuasan secara personal dan grup, adanya rasa bertanggung jawab, setia dan nyaman untuk mencapai tujuan personal dan organisasi (Palaniammal, 2013).
Keterikatan karyawan (employee engagement) menjadi salah satu target organisasi sebagai faktor pendukung pencapaian tujuan organisasi. Hal ini disebabkan karena beberapa penelitian mengatakan bahwa
employee engagement merupakan kesiapan dan kemampuan karyawan untuk memberikan kontribusi pada kesuksesan perusahaan dengan memberikan usaha, kecerdasan dan energi lebih untuk bekerja (Perrin, 2003). Dalam Buckingham dan Coffman (1999) menyatakan bahwa employee engagement digunakan sebagai perilaku yang efektif untuk mendapatkan hasil menguntungkan bagi perusahaan. Begitu juga menurut Shuck (2011), hasil penelitian menemukan bahwa employee engagement dapat mengurangi tingkat turnover dalam organisasi. Dalam May dan Gilson (2004) dikatakan bahwa organisasi dalam mengembangkan pekerja harus diimbangi dengan adanya peningkatan faktor safety yang dapat dinikmati oleh karyawan. Kahn (1990) menghubungkan employee engagement pada konsep motivasi, sehingga mengarahkan pada tingkat kinerja yang tinggi. Persoalan ini dapat dijelaskan melalui konsep social exchange theory (SET).
Konsep social exchange theory (SET) dipercaya berhubungan dengan peningkatan kepercayaan, kesetiaan, dan komitmen selama dalam agenda tersebut bersedia untuk melakukan sebuah pertukaran (Cropanzo & Mictchell, 2005). Aturan pertukaran secara normal didasarkan pada hubungan timbal balik. Jika karyawan mendapatkan penghasilan dan keuntungan dari organisasi, mereka akan bertukar dengan kesiapan untuk engage dalam memberikan kontribusi mereka bagi organisasi (Kahn & Iqbal, 2013). Menurut Robinson, Perryman, dan Hayday (2004), engagement merupakan hubungan timbal balik antara karyawan dan atasan
(organisasi). Jika karyawan mendapatkan keuntungan dari organisasi, mereka akan termotivasi dan akan memberikan semua usaha untuk engage dalam bekerja supaya mendapatkan hasil lebih. Engagement diperkirakan tetap memiliki hubungan yang positif dengan faktor-faktor dalam motivasi, namun masih sangat sedikit yang menggunakan seluruh aspek sebagai faktor yang berkontribusi dalam engagement (Khan & Iqbal, 2013).

Customer Service (skripsi dan tesis)

Pelanggan atau customer didefinisikan sebagai orang yang membeli barang atau jasa. Seorang pelanggan juga dipandang sebagai orang yang harus ditangani pedagang atau pelaku bisnis, biasanya secara reguler. Selanjutnya, layanan atau service sering dipandang sebagai kontribusi terhadap minat atau kesejahteraan orang lain (Webster's II, 1999).
Berdasarkan “Klasifikasi Baku Jabatan Indonesia Tahun 2014”, customer service atau layanan pelanggan termasuk pekerjaan dalam golongan pokok 4 yaitu Tenaga Tata Usaha. Tenaga Tata Usaha bertugas mencatat, mengatur, menyimpan, menghitung dan mengambil informasi terkait, dan melakukan sejumlah tugas-tugas administrasi sehubungan dengan operasional keuangan, pengaturan perjalanan, permintaan informasi, dan perjanjian. Pekerjaan dalam golongan pokok ini diklasifikasikan ke dalam subgolongan pokok yaitu (41) Tenaga Tata Usaha Perkantoran Umum, (42) Tenaga Tata Usaha Pelayanan Pelanggan, (43) Tenaga Tata Usaha Penghitungan dan Pencatatan Bahan dan (44) Tenaga Tata Usaha Lainnya (KBJI 2014, hal 421).
Customer service merupakan pekerjaan pada golongan Tenaga Tata Usaha Pelayanan Pelanggan dan diklasifikasikan kembali sebagai pekerjaan dalam golongan Tenaga Tata Usaha Penerangan. 
Tenaga Tata Usaha Penerangan bertugas merespon pertanyaan secara langsung, tertulis, elektronik dan telepon serta keluhan tentang barang, layanan, dan kebijakan organisasi, memberikan informasi dan merujuk orang ke sumber lain. Mereka dipekerjakan di lokasi yang menempatkan mereka dalam kontak langsung dengan klien atau dengan produksi barang dan jasa yang diberikan (KBJI 2014, hal 435).
Tugas layanan pelanggan menurut “Klasifikasi Baku Jabatan Indonesia Tahun 2014” meliputi :
1. Menjawab pertanyaan mengenai pelayanan barang, dan kebijakan, memberikan informasi tentang ketersediaan, lokasi, harga dan masalah terkait.
2. Menanggapi pertanyaan tentang masalah dan memberikan saran, informasi dan bantuan, mencatat informasi tentang pertanyaan dan keluhan, merujuk pertanyaan yang kompleks kepada pemimpin tim atau penasihat ahli.
3. Mengeluarkan formulir, kotak informasi dan brosur yang relevan untuk pihak yang berkepentingan.
Pekerjaan yang diklasifikasikan di sini meliputi petugas kounter penerangan, pegawai informasi dan lainnya (KBJI 2014, hal 436).
Beberapa penelitian sebelumnya menguatkan bahwa jabatan layanan pelanggan (customer service) adalah sesuatu yang dilakukan untuk pelanggan sehiungga meningkatkan pengalaman dan pengetahuan pelanggan (Harris, 2000). Perspektif yang sama berasal 
dari Zemke & Woods (1998) yang mengklaim bahwa layanan pelanggan adalah hubungan dengan orang-orang yang penting untuk semua hal yang pelanggan lakukan, memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan seperti yang didefinisikan oleh pelanggan dan digunakan untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara dirinya dan yang dilayaninya.

Dampak Two Factor Theory (skripsi dan tesis)

Dalam beberapa literatur, hasil penelitian menunjukkan adanya hasil yang menguntungkan dengan adanya konsep motivasi. Segal dkk (2005) yang menemukan bahwa konsep motivasi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pengusaha agar menjadi sukses. Dalam hal performansi kerja, konsep motivasi memiliki hubungan positif dengan berbagai hasil kerja. Hailesilasie (2009) dengan menggunakan kuesioner sebagai metode pengumpulan data dan menggunakan analisis regresi, peneliti menemukan bahwa motivasi menuntun pada
performansi. Selain itu, Haines dkk (2008) melakukan penelitian dengan mengumpulkan data melalui kuesioner sebanyak 331 kuesioner dari karyawan di bidang bisnis. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa faktor intrinsik sebagai salah satu faktor terbesar agar individu dalapat terlibat dalam penerimaan penugasan internasional.
Konsep motivasi juga dianggap dapat mempengaruhi suatu keterikan karyawan dengan organisasi. Kahn (1990) serta May, Gilson dan Harter (2004) menemukan adanya korelasi pada motivasi dan employee engagement. Namun, penelitian menemukan hubungan tidak langsung antara motivasi dan employee engagement (Khan & Iqbal, 2013). Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa adanya hubungan positif antara konsep motivasi dan employee engagement pada karyawan bank di Pakistan. Pengujian hipotesis yang menggunakan ANOVA, diketahui semakin meningkatnya faktor intrinsik pada karyawan, maka semakin tinggi nilai employee engagement. Namun, faktor ekstrinsik diketahui memiliki pengaruh lebih pada employee engagement daripada motivasi intrinsik. Dalam Chalofsky & Krishna (2009) diketahui bahwa faktor intrinsik juga diketahui memiliki hubungan dengan employee engagement, walaupun masih sedikit penelitian yang mendukung opini tersebut

Hygiene factors (skripsi dan tesis)

Faktor ini mendorong individu untuk mendapatakan nilai instrumental. perilaku mereka ditempat kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif jangka panjang. Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan. Faktor ini juga dikenal sebagai faktor job context yang menyediakan petunjuk bagi perusahaan dalam membuat keadaan kerja yang baik sehingga karyawan nyaman bekerja didalamnya (Robbins, 2009). Selain itu, faktor ini juga merupakan faktor ekstrinsik yang bekerja sebagai pemeliharaan untuk menghindari ketidakpuasan. Faktor ekstrinsik ini meliputi :
1) Company Policy
Aspek ini dideskripsikan sebagai ketidakjelasan komunikasi, kurangnya wewenang untuk memuaskan penyelesaian tugas, dan kurangnya tugas organisasi.
2) Supervision
Dijelaskan sebagai aspek yang melihat mampu atau tidak mampunya supervisor dalam melaksanakan tugasnya, adil atau tidak adil dalam mengawasi, siap atau tidak siapmya 
supervisor untuk menyerahkan tanggung jawab, dan siap atau tidak siapnya untuk mengajar.
3) Interpersonal Relation
Dalam aspek ini melihat interaksi antara individu dan atasan, rekan, bawahan. Termasuk salah satu hubungan kerja atau semata-mata hubungan sosial dalam pekerjaan.
4) Salary
Aspek ini meliputi adanya upah atau peningkatan gaji dan tidak terpenuhinya harapan pada peningkatan gaji.
5) Working Condition
Aspek ini melihat kondisi fisik kerja, jumlah pekerjaan, ketersediaan fasilitas untuk bekerja. Selain itu, meliputi kurang tidaknya ventilasi, penerangan, peralatan, ruang, dan karakteristik lingkungan lainnya.
Penggunaan Two Factor Theory dalam konsep motivasi terdapat opini dari beberapa tokoh. Dalam House dan Wigdor (1999) dinyatakan jika dua faktor dalam teori Herzberg pada mulanya bersifat independen, setelah melakukan kajian dari beberapa penelitian maka ditemukan kedua faktor tersebut bersifat unidimensional. Selain itu, kedua faktor dalam Two Factor Theory tidak dapat dibedakan faktor mana yang lebih mempunyai efek terhadap individu. Hal ini disebabkan karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepuasannya masing-masing (House & Wigdor, 1999). Selain itu,
kebutuhan setiap individu sifatnya tidak permanen, individu dapat termotivasi dengan kebutuhan dan faktor kepuasan yang berbeda karena pengalaman (Osemeke & Adegboyega, 2017).
Beberapa kajian literatur mengenai motivation factors (intrinsik) dan hygiene factors (ekstrinsik) menyatakan bahwa faktor ekstrinsik merupakan faktor yang lebih baik dalam bekerja (Lam, 2001; Mickel & Baron, 2008). Namun, penelitian lain menemukan bahwa faktor ekstrinsik cenderung memiliki kekurangan untuk memberikan dampak positif bagi kinerja dan karyawan itu sendiri. Disisi lain, penelitian yang dilakukan di industri perbankan menemukan bahwa faktor intrinsik dan ekstrinsik keduanya tetap memberikan hubungan positif pada kinerja dan engagement karyawan (Khan & Iqbal, 2013)

Dimensi Two Factor Theory (skripsi dan tesis)

Dalam Fugar (2007) Herzberg menyimpulkan bahwa Two Factor Theory adalah produk dari dua faktor, yaitu :
a. Motivation factors
Faktor ini merupakan faktor yang dapat menghasilkan kepuasan positif. Faktor ini mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi dan realisasi diri dalam pekerjaannya. Selain itu, faktor ini dikenal sebagai job content yang bertujuan meningkatkan rasa berarti karyawan pada pekerjaannya, pengalaman tanggung jawab, serta pencapaian dari usaha mereka (Robbins, 2009). Faktor ini melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan untuk sebuah kinerja yang unggul. Faktor ini disebut dengan faktor intrinsik yang dikaitkan dengan isi pekerjaan, yaitu :  
1) Achievement
Aspek ini dideskripsikan sebagai adanya keberhasilan menyelesaikan pekerjaan, penyelesaian masalah, mempertahankan nama baik, evaluasi hasil kerjaan. Termasuk adanya kegagalan dan ketiadaan dalam pencapaian.
2) Recognition
Aspek ini menunjukkan adanya tindakan penghargaan dari supervisor, individu lain dalam manajemen seperti nasabah, rekan, profesional kolega atau publik. Aspek ini dapat ditunjukkan dalam bentuk tindakan pengumuman, pujian, ataupun menyalahkan.
3) Advancement
Aspek ini melihat perubahan yang sebenarnya dalam status atau posisi seseorang dalam perusahaan. Hal tersebut termasuk kemungkinan adanya kenaikan jabatan.
4) Work It Self
Aspek ini melihat tugas dalam pekerjaan sebagai sumber perasaan senang atau buruk terhadap pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan dapat menjadi rutinitas atau sebuah kreatifitas atau justru membosankan, terlalu mudah atau terlalu sulit.
5) Responsibility
Dalam aspek ini meliputi tanggung jawab pribadi untuk suatu pekerjaan dan untuk pekerjaan lain atau memberikan tanggung jawab baru.

Definisi Two Factor Theory (skripsi dan tesis)

Herzberg, Mausner, dan Snyderman pada tahun 1959
melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa manusia
memiliki dua pasang kebutuhan. Kebutuhannya sebagai binatang
untuk menghindari rasa sakit dan kebutuhannya sebagai manusia
untuk bertumbuh secara psikologis. Temuan ini menuntun mereka
untuk mengambangkan faktor ganda teori motivasi atau Two Factors
Theory. Sejak saat itu pula teori ini telah menarik perhatian dari
bidang psikologi dan manajer industri (House & Wigdor, 1999).
Menurut Two Factor Theory yang dicetuskan oleh
Herzberg, terdapat 2 faktor motivasi. Motivation factors (intrinsik)
sendiri terkait dengan sifat pekerjaan itu sendiri dan imbalan yang
mengalir langsung dari performansi kerja. Selain faktor intrinsik yang
dianggap ampuh adalah adanya karakteristik yang mendorong
kebutuhan individu untuk aktualisasi diri dan realisasi diri di dalam
pekerjaannya. Beberapa aspek dalam faktor intrinsik antara lain
prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan
kemajuan. Sedangkan hygiene factors (ekstrinsik) dikaitkan pada
hubungan individu dengan konteks atau lingkungan tempat dia
melakukan pekerjaannya. Seperti upah, kebijakan dan administrasi
perusahaan dalam organisasi dianggap sebagai faktor utama dalam
faktor ekstrinsik (House & Wigdor, 1999).
Dalam beberapa kajian literatur lain mengenai motivasi
intrinsik dan estrinsik dikatakan bahwa perbedaan keduanya terletak
pada sumber dorongan. Kjerulf (2015) menjelaskan bahwa motivation
factors (intrinsik) ketika seseorang memiliki keinginan melakukan
sesuatu. Di sisi lain, hygiene factors (ekstrinsik) ketika seseorang
melakukan sesuatu karena individu lain yang mencoba
mengarahkannya. Dalam Khan dan Iqbal (2013) motivasi intrinsik
merujuk pada dorongan untuk kepentingan kesenangan dan kepuasan
pribadi. Motivasi ekstrinsik merujuk pada dorongan untuk nilai instrumental seperti hadiah.
Berrdasarkan penjabaran konsep Two Factor Theory yang terdiri dari motivation factors (intrinsik) dan hygiene factors (ekstrinsik), peneliti menyimpulkan bahwa Two Factor Theory merupakan keadaan psikologis yang berfokus pada motivasi disebabkan oleh kepuasan yang bersumber dari nilai pribadi untuk aktualisasi dan realisasi diri, dan bersumber dari nilai instrumental untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang telah dilakukan

Penyebab Employee Engagement (skripsi dan tesis)

Employee engagement sebenarnya sudah cukup banyak
diteliti sehingga menghasilkan beragam pendapat dan hasil penelitian
mengenai kondisi apa yang dapat menyebabkan individu menjadi
terikat (engage) pada suatu organisasi. Dalam penilitian Saks (2006)
disebutkan beberapa variabel sebagai penyebab employee engagement,
seperti perceived organizational support (POS), reward, dan justice.
Perceive organizational support termasuk dalam dimensi
psychological safety yaitu adanya keinginan individu untuk
menunjukkan dan bersedia terikat dengan suatu organisasi tanpa adanya
ketakutan seperti konsekuensi negatif (Kahn, 1992). Kahn (1990)
menemukan bahwa dukungan dan kepercayaan dalam hubungan
interpersonal terlebih dengan adanya dukungan manajemen maka akan
lebih mengenal psychological safety. Anggota organisasi akan merasa
aman dalam lingkungan kerja dengan adanya keterbukaan dan
dukungan. Lingkungan yang mendukung akan diikuti dengan anggota
yang bersedia untuk mencoba suatu hal yang baru dan ketika gagal hal
tersebut bukan menjadi ketakutan tetapi sebuah pembelajaran (Kahn,
1990).
Reward atau hadiah, menurut Kahn (1990) individu memiliki
beragam persepsi mengenai fungsi mereka ketika terikat (engage)
dilihat dari keuntungan yang didapat dari peran mereka dalam suatu
organisasi. Dalam hal ini, adanya harapan dari para karyawan ketika
mereka terikat dengan sendirinya dalam pekerjaan, mereka memiliki
persepsi untuk adanya jumlah yang lebih dalam hal hadiah (upah,
insentif) dan juga pengakuan. Menurut Maslach (2001) kurangnya
hadiah atau pengakuan akan mengarah pada burnout. Sedangkan dalam
Social Exchange Theory, ketika karyawan menerima hadiah dan
pengakuan dari organisasi, mereka akan merasa memiliki kewajiban
untuk meningkatkan keterikatan mereka pada organisasi (Saks, 2006).
Pada dimensi psychological safety yang diidentifikasi oleh
Kahn (1990), melibatkan situasi sosial yang dapat diprediksi dan
bersifat konsisten. Hal tersebut menyangkut keadilan dari organisasi
seperti dalam penyaluran hadiah (reward) dan peraturan-peraturan yang
berlaku. Persepsi terhadap keadilan ini akan berhubungan dengan hasil
akhir organisasi seperti kepuasan kerja, komitmen, dan kinerja
(Colquitt, 2001).
Menurut Mokaya dan Kipyegon (2014) dengan adanya
pemenuhan secara sosial, psikologis, maupun materiil, memungkinkan
karyawan untuk bersedia tinggal dalam organisasi dan memberikan
kontribusinya untuk kesuksesan organisasi. Peran tersebut terdapat
dalam konsep motivasi Two Factor Theory yang terdiri dari faktor
ekstrinsik maupun intrinsik. Khan dan Iqbal (2013) menyatakan bahwa
karyawan memiliki faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mereka
butuhkan sehingga mengarahkan pada kondisi engagement. Hal ini
kemudian menjadi menarik ketika faktor-faktor tersebut ini dapat
mengembangkan kekuatan individu (Wubbolding, 1996).
Engagement diperkirakan juga dapat disebabkan oleh
beberapa variabel demografis. Menurut Swaminathan dan Ananth
(2009) ditemukan bahwa pengalaman masa kerja dan gaji bulanan
ternyata memiliki kontribusi terhadap meningkatkan perasaan terikat
(engage) pada karyawan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa
karyawan yang sudah bekerja selama lebih dari 16 tahun akan merasa
lebih engage. Selain itu, karyawan yang pengalaman bekerja dibawah 6
tahun juga diketahui merasa engage dikarenakan karyawan yang
memilik pengalaman dibawah 6 tahun merasa masih membutuhkan
lebih banyak pembelajaran dan lebih stabil dalam meyelesaikan
pekerjaan mereka. Selain itu, karyawan yang mendapatkan penghasilan
lebih tinggi dianggap lebih terpuaskan dalam segala aspek terutama
uang. Namun, dalam penelitian tersebut diketahui bahwa jenis kelamin,
usia dan jenjang pendidikan tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap employee engagement

Psychological Availability (skripsi dan tesis)

Dimensi ini dikaitkan dengan individu yang memiliki
sumber daya fisik, kognitif, atau psikologis untuk lebih melibatkan
diri dalam peran kerja. Dimensi ini mengukur seberapa siap
seseorang untuk terikat (engage). Seseorang yang lebih atau rendah
kesediaannya (availability) untuk memberikan sumber dayanya
pada peran kerja bergantung pada bagaimana penyelesaian atau
solusi mereka terhadap variasi tuntutan dari lingkungan kerja
maupun tidak (Kahn, 1990). Dimensi ini serupa dengan aspek
vigour yaitu tingginya tingkat enerhi dan ketahanan mental
karyawan (Schaufeli, 2002). Aspek pada psychological availability
diartikan sebagai memberikan kesempatan individu untuk memiliki
dan memberikan sumber daya lebih atau justru lebih sedikit yang
nantinya berpengaruh pada proses melibatkan diri mereka dalam
peran kerja. Terdiri dari empat aspek, yaitu:
1) Physical Energy
Pada aspek ini individu dituntut memiliki tingkat energi
secara fisik, kekuatan, dan kesiapan individu.
2) Emotional Energy
Aspek ini individu dimaksudkan memiliki kemampuan
emosional untuk terikat (engage) secara personal. Secara
sederhana, individu dalam hal ini akan memiliki keyakinan
akan tanggungjawabnya dalam suatu organisasi sehingga tidak
akan meninggalkan akan menghindar dari pekerjaan di sebuah
organisasi.
3) Insecurity
Aspek ini mengenai bagaimana perasaan aman dari
individu tentang pekerjaan dan status mereka. Gangguan
ketidaknyaman (insecurity) dari diri mereka sendiri dalam
pekerjaan mereka, secara umum akan menimbulkan
kecemasan dan salah satunya individu tersebut menjadi kurang
percaya diri.
4) Outside Life
Aspek ini mengenai potensi psikologis dari peran kinerja
anggota organisasi. Pada saat tertentu anggota organisasi
dengan sukarela menginvestasikan sumber dayanya diluar
kehidupan kerjanya dalam peran kinerja

Psychological Safety (skripsi dan tesis)

Dimensi ini merupakan kebersediaan individu untuk
menunjukkan pengalamaan yang bersifaat perasaaan. Perasaan
tersebut mencakup tidak adanya ketakutan atau konsekuensi negatif
terhadap pandangan pada diri sendiri, status atau karir. Dimensi ini
dianggap sebagai perasaan aman seseorang dalam sebuah situasi
yang mana mereka percaya bahwa mereka tidak menderita (Kahn,
1990). Dimensi ini serupa dengan aspek dedication yaitu perasaan
antuisias, bangga, dan percaya dalam menghadapi tantangan
(Schaufeli, 2002). Aspek pada psychological safety dikaitkan
dengan unsur-unsur sistem sosial yang menciptakan situasi sosial
yang mengancam atau justu aman bersifat dapat diprediksi
sehingga menciptakan keputusan yang konsisten untuk terlibat.
Terdiri dari empat aspek, yaitu :
1) Interpersonal Relationships
Aspek ini berkaitan dengan perasaan aman dan nyaman
secara psikologis ketika mereka didukung dan dipercaya. Hal
ini seperti sebuah relasi yang memiliki kelenturan yang mana
mengizinkan sesoerang untuk mencoba dan mungkin untuk
gagal tanpa menimbulkan ketakutan atas konsekuensinya.
2) Group and Intergroup Dynamics
Aspek ini mencakup kekhawatiran anggota organisasi
secara sadar ataupun tidak sadar ketika dalam situasi peran
kerja. Beberapa dinamika dalam situasi kerja seperti ketika
berhadapan dengan otoritas, dan persaingan. Dalam aspek ini
juga meliputi distribusi wewenang dan kekuasaan di antara
kelompok-kelompok dalam organisasi. Contohnya, dalam
suatu perusahaan terdapat pebedaan distribusi tugas dalam
suatu kelompok, termasuk dalam pembedaan terhadap status
dari sebuah kelompok.
3) Management Style and Process
Aspek ini berhubungan dengan lingkungan manajerial
yang suportif . Hal ini memungkinkan orang untuk berani
mencoba dan tanpa takut gagal sebagai konsekuensinya.
Seseorang akan merasa lebih aman saat mereka memiliki
kendali atas pekerjaan mereka. Keengganan manajerial untuk
melonggarkan kontrol, mengirim pesan bahwa karyawan
mereka tidak dipercaya dan mereka harus memiliki ketakutan
ketika melampaui batas kemampuan atau keinginan mereka.
4) Organizational Norms
Aspek ini dikaitkan dengan sebuah norma yang
merupakan harapan bersama tentang perilaku umum anggota
dari sebuah sistem (Hackman, 1986). Individu yang tetap
berada pada cara kerja dan berperilaku seperti biasanya akan
merasa lebih aman daripada individu yang menyimpang di luar
batas-batas cara dan perilaku seperti individu yang lain.

Psychological Meaningfulness (skripsi dan tesis)

Dimensi ini dilihat sebagai penerimaan individu pada suatu
umpan balik dari investasi yang telah ia berikan berupa fisik,
kognitif, atau emosional. Pengalaman keberhargaan
(meaningfulness) seseorang, ketika mereka merasa bermanfaat,
berguna, dan bernilai yang seolah-olah mereka membuat suatu
perbedaan dan tidak dianggap biasa (Kahn, 1990). Dimensi ini
serupa dengan aspek absorption yaitu karyawan menikmati seluruh
pekerjaannya, merasa sulit terpisah oleh pekerjaannya (Schaufeli,
2002). Aspek pada psychological meaningfulness dikaitkan dengan
elemen kerja yang menciptakan insentif yang berupa reward
(pendorong) atau bahkan disinsentif untuk dapat terlibat secara
pribadi. Terdapat tiga aspek dalam keadaan psikologis ini, yaitu :
1) Task Characteristics
Aspek ini merupakan pengalaman anggota organisasi
ketika melakukan peran kerjanya yang bersifat menantang,
membutuhkan kreatifitas, sehingga individu akan cenderung
mengalami beragam pengalaman yang berharga atau berarti.
Situasi ideal untuk aspek ini misalnya bekerja pada proyek
besar dan rumit. Pada aspek task characteristics ini menuntut
keterampilan rutin dan adanya keterampilan baru yang
memungkinkan seseorang untuk merasakan kompetensi,
pertumbuhan, dan pembelajaran.
2) Role Characteristics
Aspek ini dikaitkan dengan peran identitas yang harus
dilakukan anggota organisasi secara eksplisit. Anggota
organisasi dapat menyukai atau tidak menyukai identitas dan
sikap mereka saat situasi peran kerja. Keadaan ini biasanya
mereka lakukan atas dasar seberapa baik peran mereka sesuai
dengan apa yang mereka lihat atau inginkan untuk mereka
lakukan.
3) Work Interactions
Pada aspek ini individu akan mendapatkan pengalaman
psychological meaningfulness ketika tugas kinerja mereka
diikuti dengan penghargaan interpersonal dari interaksi dengan
supervisor, sesama karyawan dan klien. Interaksi tersebut juga
memberikan sebuah martabat bagi individu, penghargaan pada
diri sendiri, dan rasa dihargai atau berharga.

Dimensi Employee Engagement (skripsi dan tesis)

Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa employee engagement
merupakan variabel dasar yang mempengaruhi sikap dan perilaku yang
berhubungan dengan pekerjaan (Christian, Garza & Slaughter, 2011).
Kahn (1990) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi dalam employee
engagement, yaitu emotional engagement sebagai bentuk keterlibatan
secara emosional terhadap pekerjaan individu itu sendiri; cognitive
engagement sebagai bentuk keseriusan individu untuk fokus pada saat
bekerja; physical engagement sebagai bentuk kebersediaan individu
bekerja lebih untuk atasan. Dimensi tersebut merupakan penggambaran
konsep awal engagement yang dapat mengukur tingkat dimensi yang
individu sadari dan tanpa disadari.
Kahn (1990) kembali memutuskan untuk mengulangi determinan
engagement dengan sebutan psychological condition yang terdiri dari
meaningfulness, safety, dan availability. Hal ini didukung oleh Welch
(2011) yang menjelaskan bahwa employee engagement dapat dipahami
sebagai kinerja peran kognitif, emosional dan fisik yang bergantung
pada kondisi kejiwaan (psychological conditions) (Welch, 2011). 

Definisi Employee Engagement (skripsi dan tesis)

Gagasan mengenai employee engagement telah muncul pada tahun
1961 oleh Kahn dan Goffman. Secara konsep, Kahn dan Goffman
menyebutnya sebgaia kelekatan dan ketidaklekatan terhadap variasi
peran kerja (Kahn 1990:649). Namun, seiring perkembangan ilmu
penelitian, muncullah kembali beberapa pendapat mengenai
engagement. Menurut Welch (2011), konsep dari employee engagement
ini terus berkembang sehingga menjadi fokus dalam organisasi secara
global. Berbagai pendapat mengenai engagement kemudian dibagi
menjadi beberapa wave yang terkelompokkan melalui tahun munculnya
penemuan-penemuan baru dari para ahli.
Karakteristik employee engagement pada era pre-wave ini
merupakan pengenalan secara menyuluruh mengenai kebutuhan
karyawan untuk engaged (terikat) dengan pekerjaan dan organisasi
mereka (Welch, 2011). Seperti dalam Katz dan Kahn (1966)
diterangkan bahwa kebutuhan perilaku karyawan adalah untuk
pencapaian efektivitas organisasi termasuk untuk sesekali terikat
(engage) dalam perilaku inovatif dan kooperatif yang melebihi dari apa
yang diperlukan namun tetap sesuai dengam objektivitas dari

Motivasi intrinsik berpengaruh terhadap kinerja karyawan (skripsi dan tesis)

Pengaruh motivasi intrinsik terhadap kinerja karyawan Menurut Febrian (2013), motivasi intrinsik yang berhasil dicapai oleh seseorang, maka yang bersangkutan akan cenderung untuk terus termotivasi, dan sebaliknya apabila seseorang sering gagal mewujudkan motivasinya, maka yang bersangkutan akan terus bekerja sampai motivasinya tercapai atau menjadi putus asa yang berakibat lanngsung pada kinerja karyawan tersebut. Motivasi merupakan variabel penting, yang dimana motivasi perlu mendapat perhatian yang besar pula bagi organisasi dalam peningkatan kinerja karyawannya. Motivasi intrinsik memiliki pengaruh terhadap kinerja karena dengan motivasi yang ada dalam diri karyawan akan memicu karyawan untuk mencapai pekerjaan sehingga memberikan kontribusi terhadap kinerja karyawan. 

Kepemimpinan intrapersonal berpengaruh terhadap kinerja karyawan (skripsi dan tesis)

Pengaruh kepemimpinan intrapersonal terhadap kinerja karyawan Menurut Amalia (2016), efektivitas penyelesaian tugas tergantung pada efektivitas kepemimpinan yang diterapkan oleh pimpinan perusahaan. Efektivitas kepemimpinan timbul akibat adanya motivasi yang tinggi dari karyawan akibat gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional yang diterapkan perusahaan secara keseluruhan. Kepemimpinan intrapersonal dibangun atas dasar landasan spiritual karena berkaitan dengan pengendalian diri, dengan adanya pengendalian diri yang baik akan memicu hasil kerja yang baik juga. Kemajuan perusahaan sangat dipengaruhi oleh kinerja karyawannya, setiap perusahaan akan terus berusaha untuk meningkatkan kinerja karyawannya agar dapat mencapai hasil kerja yang baik dan memuaskan. 

Komitmen afektif berpengaruh terhadap kinerja karyawan (skripsi dan tesis)

Pengaruh komitmen afektif terhadap kinerja karyawan Menurut Greenberg dan Baron (1993) dalam Chairy (2002), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggu adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya akan lebuh menguntungkan bagi organisasi. Sedangkan menurut Mowdayet al (1982) dalam Chairy (2002), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi. Komitmen organisasi memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan, karena karyawan yang memiliki rasa komitmen tinggi terhadap organisasi cenderung memiliki rasa cinta, rasa ingin berpihak, dan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap organisasi tempat mereka bekerja sehingga dapat menjadi motivasi agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Hal ini tentu saja akan meningkatkan kinerja karyawan dari aspek pekerjaan dan aspek personal.

Kepemimpinan intrapersonal berpengaruh terhadap komitmen Afektif (skripsi dan tesis)

Pengaruh kepemimpinan intrapersonal terhadap komitmen afektif Menurut Betty (2008), kepemimpinan transformasional mempengaruhi komitmen tanpa menggunakan penghargaan atau hukuman. Kepemimpinan transformasional secara lansung mempengaruhi tingkat partisipasi dan harus menunjkkan hubungan yang sama dengan partisipasi, dan harus menunjukkan hubungan yang sama dengan partisipasi dalam organisasi. Kepemimpinan intrapersonal mengarahkan perilaku seseorang dalam kehidupan organisasi termasuk perilaku komitmen. Komitmen akan tumbuh dan meningkat karena adanya kelekatan psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi 

Motivasi intrinsik berpengaruh terhadap komitmen afektif (skripsi dan tesis)

Pengaruh motivasi intrinsik terhadap komitmen afektif Menurut Suwatno (2011) dalam Prahiawan dan Simbolon (2014), motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melalukan sesuatu. Motivasi mengarahkan perilaku seseorang dalam kehidupan organisasi termasuk perilaku komitmen. Komitmen akan tumbuh dan meningkat karena adanya kebutuhan yang terpenuhi misalnya kebutuhan akan aktualisasi diri dan pengakuan prestasi. Semakin tinggi motivasi dalam diri karyawan maka akan mendorong sesorang untuk memiliki komitmen 

Kepemimpinan intrapersonal berpengaruh terhadap motivasi intrinsik (skripsi dan tesis)

Pengaruh kepemimpinan intrapersonal terhadap motivasi intrinsik Menurut Tjahjono dan Palupi (2013) kepemimpinan intrapersonal harus bisa manjalankan praktik kepemimpinan transaksional secara adil dan kepemimpinan transformasional berbasis pada berbagai nilai spiritualitas pada berbagai level kepemimpinan, bahkan pada karyawan tingkat dasar. Sehingga penelitian terdahulu untuk hipotesis kepemimpinan intrapersonal terhadap motivasi intrinsik merujuk kepada kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Menurut Amalia (2016), kombinasi dari kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional akan menimbulkan pengaruh luar biasa dalam efektivitas kepemimpinan dalam suatu perusahaan. Efektivitas kepemimpinan tersebut akan membawa dampak pada motivasi kerja karyawan. Karyawan yang bekerja dengan memiliki kepemimpinan intrapersonal dalam dirinya akan merasa termotivasi untuk bekerja dan berusaha lebih baik lagi dalam menyelesaikan pekerjaannya. Kepemimpinan intrapersonal dibangun atas dasar landasan spiritual karena  berkaitan dengan pengendalian diri menjadikan motivasi intrinsik yang dimiliki seseorang akan meningkat karena memiliki pengendalian pribadi yang baik ditempat kerja. Semakin tinggi kepemimpinan intrapersonal yang dimiliki seseorang maka akan semakin tinggi motivasi intrinsik nya.

Dampak Kinerja Efektifitas (skripsi dan tesis)

dan produktivitas organisasi sangat dipengaruhi oleh kinerja karyawan, menurut Nitisemito (1992) dalam Sinay (2009), kinerja akan menimbulkan semangat kerja dan gairah kerja. Hal ini akan berdampak pada efektifitas perusahaan sebagai salah satu bentuk organisasi.  Kinerja menunjukkan tingkat keberhasilan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Semakin tinggi kenerja dari karyawan, maka produktivitas secara keseluruhan akan meningkat, Pengertian kinerja merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Dimensi Kinerja (skripsi dan tesis)

Menurut Wayan (2013) dimensi yang digunakan dalam
melakukan penilaian terhadap kinerja berdasarkan pendapat para pakar
dapat disimpulkan bahwa dimensi kinerja diuraikan menjadi sebagai
berikut:
1) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu
periode waktu yang ditentukan, dan volume pekerjaan yang
dilakukan pada hari kerja normal.
2) Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan
syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya, dan yang perlu
diperhatikan adalah akurasi keahlian, dan kesempurnaan pekerjaan.
3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan
ketrampilannya seta kejelasan dan pemahaman karyawan mengenai
fakta-fakta atau faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan.
4) Creativeness, yaitu memiliki gagasan-gagasan dan tindakan tindakan untuk menyelesaikan persoalan yang timbul.
5) Cooperation, yaitu kesediaan pegawai untuk bekerjasama dengan
orang lain sesama anggota organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi bersama.
6) Dependebility, yaitu kesadaaran dan dapat dipercaya dalam hal
kehadiran dan penyelesaian pekerjaan.
7) Initiative, yaitu semangat pegawai untuk melaksanakan tugas-tugas
baru dan dalam memperbesar tanggung jawab.
8) Personal qualities, yaitu menyangkut kepemimpinan, keramahtamahan, dan integrasi pribadi.

Faktor yang Mempengaruhi Kinerja (skripsi dan tesis)

Kinerja karyawan dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain (Robbins; Judge, 2008) : 1) Dasar-dasar perilaku individu yang meliputi karakteristik biografis, kemampuan dan pembelajaran. 2) Nilai, sikap dan kepuasan kerja. 3) Komitmen 4) Persepsi dan pengambilan keputusan individu. 5) Motivasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2006) faktor yang mempengaruhi kinerja terbagi menjadi dua bagian yaitu faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). 1) Faktor Kemampuan Kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge dan skill) artinya pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya akan lebih mudah untuk mencapai kinerja yang maksimal. 2) Faktor Motivasi Motivasi diartikan sebagai suatu sikap (attitude) pemimpin dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) di lingkungan organisasi yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerja yang akan menunjukkan motivasi kerja tinggi, sebaliknya apabila mereka bersikap negatif terhadap situasi kerja akan menunujukkan motivasi kerja yang rendah, situasi yang dimaksud adalah hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan, dan kondisi kerja. Kinerja juga dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor individual (kemampuan keahlian, latar belakang, dan demografi), faktor psikologis (persepsi, attitude personality, pembelajaran dan motivasi) serta faktor organisasi (sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur dan job design).

Tujuan Pengelolaan Kinerja (skripsi dan tesis)

Menurut Tjahjono (2009) terdapat tiga tujuan dari pengelolaan kinerja, yaitu : 1) Tujuan Strategis Sebuah sistem pengelolaan kinerja harus menghubungkan antara aktivitas karyawan dengan tujuan organisasi. Salah satu cara mengimplementasikan strategi ini adalah dengan mendefinisikan hasil, perilaku dan karakteristik karyawan terlebih dahulu yang selanjutnya digunakan untuk mengeksekusi strategi yang disertai dengan pengembangan pengukuran kinerjadan sistem umpan balik untuk memaksimalkan potensi karyawan sehingga dapat memperoleh hasil yang tinggi. 2) Tujuan Administratif Sebuah organisasi sering menggunakan informasi pengelolaan kinerja untuk tujuan pengambilan keputusan administrasi, seperti kebijakan kenaikan gaji, promosi jabatan, pemberhentian karyawan dan penghargaan atas kinerja karyawan. 3) Tujuan Pengembangan Tujuan ketiga adalah untuk mengembangkan karyawan agar bisa bekerja secara efektif. Ketika karyawan sudah tidak bekerja sesuai dengan harapan, maka pemimpin harus segera meningkatkan kinerja mereka. Melalui proses evaluasi kinerja dan umpan balik yang diberikan kepada karyawan maka akan ditemukan kelemahan-kelemahan karyawan yang membuat kinerja menurun. Penentuan unit setiap organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah dan mempengaruhii bagaimana sebaiknya perilaku kerja yang diharapkan dari setiap personel. Tetapi tujuan saja tidak cukup, karena diperlukan ukuran apakah seseorang telah mencapai kinerja yang diharapkan, sehingga penilaian kuantitatif dan kualitatif standar kerja untuk setiap tugas dan jabatan personel memegang peranan penting. Akhir dari proses kinerja adalah penilaian kinerja itu sendiri yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan

Pengertian Kinerja Karyawan (skripsi dan tesis)

Menurut Mangkunegara (2006), kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, sedangkan menurut Nawawi (2001) yang dimaksud kinerja adalah hasil dari pelaksanaan suatu pekerjaan, baik yang bersifat fisik/mental maupun non fisik/nonmental. Kinerja karyawan merupakan aspek penting dalam manajemen sumber daya manusia. Sedarmayanti (2007) menyatakan bahwa kinerja merupakan sistem yang digunakan untuk menilai dan megetahui apakah seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya secara keseluruhan, atau merupakan perpaduan dari hasil kerja (apa yang harus dicapai seseorang) dan kompetensi (bagaimana seseorang mencapainya).

Dampak Komitmen Organisasi (skripsi dan tesis)

Menurut Sopiah (2008) dampak komitmen organisasi dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu :   1) Ditinjau dari sudut organisasi Karyawan yang memiliki komitmen tinggi pada organisasi akan menimbulkan kinerja yang tinggi, tingkat aben berkurang, loyalitas karyawan, dan lain-lain. Sedangkan karyawan yang memliki komitmen rendah, akan berdampak pada turnover, tingginya absen, kinerja lamban, dan kurangnya intensitas untuk bertahan sebagai karyawan, rendahnya kualitas kerja dan kurangnya loyalitas pada organisasi, dan dapat memicu perilaku karyawan yang kurang baik. 2) Ditinjau dari sudut karyawan Komitmen karyawan yang tinggi akan berdampak pada perkembangan karir yang dimiliki oleh karyawan. Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi tempat dia bekerja akan mendorong individu untuk selalu menyesuaikan diri dengan tujuan organisasi. Komitmen individu yang kuat akan memudahkan pemimpin untuk menggerakkan sumberdaya manusia yang ada dalam pencapaian tujuan organisasi. Menurut Sudarmanto (2014) komitmen yang kuat terhadap organisasi dapat mengurangi tingkat turnover karyawan.

Pengertian Komitmen Afektif (skripsi dan tesis)

Komitmen afektif merupakan salah satu kategori komitmen yang memiliki ikatan secara emosional melekat paada seorang karyawan untuk mengidentifikasi dan melibatkan dirinya dengan organisasi (Allen dan Meyer, 1990). Menurut Kartika (2011), komitmen afektif merupakan bagian dari komitmen organisasional yang mengacu pada sisi emosional yang melekat pada diri seorang karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat yang senantiasa setia terhadap organisasi tempat bekerja karena keinginan untuk bertahan berasal dari dalam hatinya. Komitmen afektif juga merupakan penentu atas dedikasi dan loyalitas karyawan. Karyawan yang memiliki komitmen afektif tinggi, menunjukkan rasa memiliki atas organisasi, meningkatnya keterlibatan dalam aktivitas organisasi, keinginan untuk mencapai tujuan organisasi, dan keinginan untuk dapat tetap bertahan dalam organisasi. Komitmen afektif dapat muncul karena adanya kebutuhan, dan adanya ketergantungan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan oleh organisasi di masa lalu yang tidak dapat ditinggalkan karena akan merugikan. Komitmen ini terbentuk sebagai hasil organisasi dapat membuat karyawan memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikuti segala nilainilai organisasi, dan berusaha untuk mewujudkan tujuan organisasi   sebagai prioritas utama, dan karyawan akan mempertahankan keanggotaannya. Menurut Allen dan Meyer (1990) terdapat tiga komponen dalam komitmen organisasi yaitu: komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif. Penjelasan dari setiap komponen adalah sebagai berikut: a. Komitmen afektif, mengarah pada “the employee’s emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization”. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan, dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang memiliki rasa ingin (want to) melakukan hak tersebut. b. Komitmen kontinuans, mengarah pada “an awareness of the cost associated with leaving the organization”. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan dan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau meninggalkan organisasi. Karyawan yang bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tida ada pilihan lain. c. Komitmen normatif, mengarah pada “a feeling of obligation to continue empoyment”. Komitmen normatif berkaitan dengan   perasaan wajib untuk bekerja dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Oleh karena itu, tingkah laku karyawan didasari adanya keyakinan tentang apa yang benar serta berkaitan dengan masalah moral. Teori dukungan organisasi yang dipaparkan Eisenberger et al. (1986), Shore dan Tetrick (1991) dalam Kartika (2011) menjelaskan adanya komitmen secara emosional dari karyawan kepada organisasinya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa untuk memenuhi kebuuhan emosi sosial dan untuk menilai kesiapan organisasi dalam pemberian penghargaan terhadap peningkatan usaha dari karyawan, maka karyawan akan membentuk sebuah kepercayaan dasar mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi yang dilakukan oleh karyawan terhadap peningkatan usaha. Seorang karyawan dalam sebuah organisasi, dapat merasakan adanya dukungan organisasi yang sesuai dengan norma, keinginan, dan harapan yang dimiliki oleh karyawan, sehingga akan terbentuk sebuah komitmen dari karyawan untuk memenuhi kewajibannya pada organisasi, dan tidak akan meninggalkan organisasi, karena karyawan telah memiliki ikatan emosional yang kuat terhadap organisasinya.

Faktor- Faktor Motivasi (skripsi dan tesis)

Menurutt Herzberg yang dikutip oleh Luthans (2006), yang tergolong faktor yang mempengaruhi motivasi adalah : 1) Achievement (Prestasi) Keberhasilan seorang karyawan dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya. Agar seorang karyawan dapat berhasil dan melaksanakan pekerjaannya, maka pemimpin harus mempelajari karyawannya dan pekerjaannya dengan memberikan kesempatan agar karyawan dapat berusaha mencapai hasil yang baik. Ketika karyawan memiliki prestasi kerja yang baik maka pemimpin harus memberikan penghargaan atas prestasinya tersebut. 2) Regocnition (Pengakuan atau Penghargaan) Sebagai lanjutan dari keberhasilan pelaksanaan, pemimpin harus memberi pernyataan pengakuan terhadap keberhasilan karyawan.   3) Work it self (Pekerjaan itu Sendiri) Pimpinan membuat usaha-usaha riil dan meyakinkan, sehingga bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang dilakukannya dan berusaha menghindari dari kebosanan dalam pekerjaan serta mengusahakan agar setiap bawahan sudah tepat dalam pelaksanaannya. 4) Responsibility (Tanggung Jawab) Agar tanggung jawab benar-benar menjadi faktor motivator bagi bawahan, pemimpin harus menghindari supervise yang ketat, dengan membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu dan menerapkan prinsip partisipasi. Dengan adanya prinsip partisipasi akan membuat laryawan merencanakan dan melaksanakan pekerjaan sepenuhnya. 5) Advencement (Pengembangan) Pengembangan merupakan salah satu faktor motivator bagi bawahan. Faktor pengembangan benar-benar berfungsi sebagai motivator, dan pemimpin dapat memulai dengan melatih bawahannya untuk pekerjaan yang lebih bertanggungjawab. Apabila ini sudah dilakukan selanjutnya pemimpin memberikan rekomendasi pada karyawannya untuk melakukan pengembangan, atau menaikkan pangkatnya, atau dikirim melalui pendidikan dan pelatihan lanjutan.

Teori Motivasi Intrinsik (skripsi dan tesis)

Menurut Sashkin (1976), Thomas, dan Velthouse (1990) dalam pelelitian Xu et al. (2010) menjelaskan mengenai model motivasi yang menyatakan bahwa perilaku kepemimpinan yang partisipatif akan meningkatkan kinerja terhadap tugas yang diberikan dan meningkatkan motivasi intrinsik dan memberdayakan secara psikologis untuk karyawan. Oleh sebab itu banyak penelitian terdahulu yang membahas tentang motivasi intrinsik, perasaan bernilai, serta rasa selfdetermination bagi karyawan. Menurut Ryan dan Deci (2000), Self Determination Theory merupakan teori yangberkaitan degan motivasi dan kepribadian manusia. Dua tipe motivasi yang melekat dalam diri manusia adalah autonomous motivation dan controlled motivation. Autonomous motivation disebut juga sebagai motivasi intrinsik dimana aktivitas yang dilakukan oleh individu atas dasar rasa senang dan ketulusan,  sedangkan controlled motivation yang sering disebut juga sebagai motivasi ekstrinsik merupakan aktiviitas yang dikerjakan individu karena tekanan dari pihak luar. Seseorang dikatakan memiliki self determination apabila kegiatan yang dilakukan dipengaruhi oleh motivasi intrinsik. Itulah alasan kenapa manusia bisa merasa bahagia setelah menolong orang lain meskipun kerja kerasnya tidak dibayar sama sekali. Seseorang yang memiliki motivasi intrinsik dalam dirinya memiliki potensi besar yang membuat orang bekerja lebih keras bahkan tanpa adanya insentif.

Definisi Motivasi Intrinsik (skripsi dan tesis)

 Menurut Nawawi (2001) motivasi intrinsik adalah pendorong kerja yang bersumber dari dalam diri pekerja sebagai individu yang berupa kesadaran mengenai pentingnya atau manfaat atau makna pekerjaan yang dilaksanakannya. Dengan kata lain motivasi ini bersumber dari pekerjaan yang dilaksanakannya dengan baik karena mampu memenuhi kebutuhan atau menyenangkan atau memungkinkan mencapai suatu tujuan karena memberi harapan tertentu di masa depan, misalnya bekerja karena merasa memperoleh kesempatan untuk mengaktualisasi atau mewujudkan realisasi dirinya secara maksimal. Sedangkan menurut Herzberg yang dikutip Luthans (2006) motivasi intrinsik adalah motivasi yang mendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri individu, yang lebih dikenal sebagai faktor motivasional. Terdapat dua perspektif teori pada faktor-faktor yang mendukung atau melemahkan motivasi intrinsik seseorang, yaitu faktor intrapersonal dan faktor lingkungan atau kontinjensi telah   diidentifikasikan sebagai hal yang dapat mempengaruhi motivasi intrinsik (Hagger; Chatzisarantis, 2011). Menurut Siagian (2004) motivasi intrinsik adalah motivasi yang bersumber dari dalam individu. Motivasi ini menghasilkan integritas dari tujuan-tujuan, baik dari tujuan organisasi maupun tujuan dari individu dimana keduanya dapat terpuaskan. Individu yang memiliki motivasi intrinsik, akan merasa puas apabila kegiatan yang dilakukan telah mencapai hasil. Semakin kuat motivasi intrinsik yang dimiliki seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang akan memperlihatkan tingkah laku untuk mencapai tujuan. Menurut Quigley dan Tymon (2006) motivasi intrinsik didasarkan pada pengalaman yang dinilai positif dimana seseorang mendapat tugas langsung dari pekerjaan mereka, serta sesorang memiliki semangat dan perasaan positif yang berasal dari pekerjaan mereka. Empat komponen motivasi intrinsik menurut Quigley dan Tymon (2006), yaitu : 1) Kebermaknaan, karyawan akan merasa termotivasi untuk bekerja jika pekerjaannya dirasa bermafaat bagi dirinya sendiri. Hal ini terkait dengan bakat, minat, pengetahuan, dan tata nilai karyawan. 2) Pilihan, setiap karyawan akan membuat pilihan dan menentukan cara untuk memenuhi kebutuhannya, dan hal ini akan menimbulkan motivasi untuk dirinya sendiri.   3) Kompetensi, karyawan yang memiliki kompetensi yang memadai akan menampilkan kemampuan dan hasil kerja yang memadai juga. 4) Kemajuan, kemajuan dalam bekerja yang didorong pleh diri sendiri dengan memunculkan kreativitas dan efektivitas dalam pekerjaannya. Istilah „intrinsik‟ digunakan untuk menekankan bahwa motivasi adalah menuju pada pencapaian pribadi dan keberhasilan tugas daripada menuju „ekstrinsik‟ kepuasan yang timbul dari fitur kerja.

Peran Kepemimpinan Intrapersonal (skripsi dan tesis)


Kepemimpinan intrapersonal menekankan kepemimpinan setiap
pribadi dalam mengelola dirinya sendiri di dalam organisasi.
Kepemimpinan intrapersonal bukan hanya melekat pada yang memiliki
kekuasan formal di dalam organisasi seperti ketua, manajer, dan
direktur. Kekuasaan dalam kepemimpinan intrapersonal bersifat
kekuasaan mental untuk menjadi subjek dalam pengambilan keputusan
mental untuk menjadi subjek dalam mengambil keputusan mental
secara mandiri, misalnya keputusan mental untuk bersyukur,
menerima, dan memaafkan (Tjahjono;Palupi, 2015).
Kepemimpinan intrapersonal berperan dalam mengelola sinergi
karena mereka bersikap solutif dan berorientasi untuk membangun
pola sinergi yang lebih luas bagi kepentingan organisasi, serta berperan
signifikan dalam mengelola pola konflik yang bersifat fungsional dan
sehat dalam meningkatkan nilai organisasi secara organisasi secara
efektif (Tjahjono;Palupi, 2015). Pribadi dengan kepemimpinan
intrapersonal yang kuat dapat memahami pola umum tujuan dari
organisasi, dan dapat membangun kebersamaan dengan anggota
organisasi dengan lebih mudah

Dimensi Kepemimpinan Intrapersonal (skripsi dan tesis)


Menurut Tjahjono dan Palupi (2015) terdapat tiga dimensi utama
dalam kepemimpinan intrapersonal yaitu :
1) Kecintaan dan syukurpada Allah SWT, pengendalian diri ditujukan
karena bentuk tunduk dan syukur kepada Allah SWT, sehingga
manusia dapat mencapai jalan takwa. Hal ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan seharusnya membebaskan manusia dari bentuk
pengaruh yang tidak sejalan dengan nilai-nilai spiritualitas kepada
Allah SWT.
2) Dorongan untuk menjadi solusi bagi permasalahan sesama dalam
kehidupan, kepemimpinan manusia didorong pada upaya memberi
manfaat dan menjadi rahmat bagi alam semesta
3) Selalu membangun mentalitas belajar, untuk membangun kapasitas
belajar (continuous improvement). Hari ini harus lebih baik dari
kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Dengan
demikian kepemimpinan adalah sebuah perbaikan dan bersifat
terbuka untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Apabila
setiap pribadi dalam organisasi mempunyai kepemimpinan
intrapersonal yang kuat maka mereka secara mental memiliki
keberlimpahan untuk memberi

Kepemimpinan Berbasis Spiratualitas (skripsi dan tesis)


Menurut Tjahjono dan Palupi (2015) kepemimpinan
intrapersonal harus bisa manjalankan praktik kepemimpinan
transaksional secara adil dan kepemimpinan transformasional berbasis
pada berbagai nilai spiritualitas pada berbagai level kepemimpinan,
bahkan pada karyawan tingkat dasar. Dalam Robins dan Judge (2007)
kepemimpinan transaksional adalah pemimpin yang membimbing atau
memotivasi para karyawan yang diarahkan menuju tujuan yang
ditetapkan dengan menjelaskan peranan dan tugas yang dibutuhkan,
sedangkan kepemimpinan transformasinal adalah pemimpin yang
mengispirasi pengikutnya untuk melampaui kepentingan diri mereka
sendiri dan yang berkemampuan untuk memiliki pengaruh secara
mendalam dan luar biasa terhadap para karyawannya. Kepemimpinan
yang transaksional dan transformasional saling melengkapi satu sama
lain, dimana tidak saling mempertentangkan pendekatan untuk
menyelesaikan segala sesuatunya. Kepemipinan yang transformasional
membentuk kepemimpinan transaksional dan menghasilkan upaya dari
para karyawan serta kinerja yang melampaui apa yang hanya dapat
dilakukan kepemimpinan transaksional saja (Robbins; Judges, 2008).
Dari penjelasan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa,
kepemimpinan intrapersonal memberikan tekanan kuat pada diri
sendiri setiap karyawannya. Dengan kata lain, kepemimpinan
intrapersonal membangun nilai kepemimpinan yang diterapkan pada
level individu untuk membangun spiritualitas dalam bekerja.
Kepemimpinan intrapersonal menekankan pada kepemimpinan
setiap pribadi dalam mengelola dirinya di dalam organisasi.
Kepemimpinan intrapersonal melekat tidak hanya pada mereka yang
memiliki kekuasaan formal di dalam organisasi seperti ketua, direktur,
dan manajer. Kepemimpinan intrapersonal hadir pada setiap jenjang
manajerial formal, karena kekuasaan dalam kepemimpinan
intrapersonal bersifat kekuasaan mental untuk menjadi subjek dalam
pengambilan keputusan mental secara mandiri. Sebagai contoh
keputusan mental untuk bersyukur, menerima dan memaafkan.
10
Pribadi-pribadi demikian adalah pribadi-pribadi yang dapat berperan
signifikan membangun sinergi karena mereka bersikap dan berperilaku
solutif dan berorientasi membangun pola sinergi yang lebih luas bagi
kepentingan organisasi. Mereka dapat mengelola perbedaan dalam
keanekaragaman untuk saling melengkapi. Mereka dapat menemukan
berbagai kesamaan dan kekayaan potensi keanekaragaman untuk
membangun sinergi. Mereka memadang regulasi dan prosedur formal
organisasi bukan fokus pada aspek perlindungan atas kepentingan
pribadinya, namun mereka melihat regulasi dan prosedur sebagai
sarana membangun harmoni di dalam keanekaragaman
(Tjahjono;Palupi, 2013)

Konsep Kepemimpinan Intrapersonal (skripsi dan tesis)


Menurut Tjahjono; Palupi (2015), hal fundamental yang menjadi
tantangan setiap orang adalah pengendalian dirinya. Dalam persepktif
spiritualitas, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa perang terbesar
umat manusia adalah pengendalian diri mereka terhadap hawa
nafsunya. Hal ini yang menjadi isu penting dalam kepemimpinan yang
dibangun dari konsep pengaruh dan kekuasaan. Konsep kepemimpinan
 memiliki hubungan erat dengan konsep kekuasaan dan pengaruh
terhadap pihak lain. Esensi kepemimpinan adalah bagaimana
mempengaruhi orang lain. Sumber-sumber yang digunakan untuk
mempengaruhi adalah kekuasaan. Pengaruh-pengaruh tersebut
bersumber pada aspek formal maupun aspek personal. Kepemimpinan
intrapersonal adalah kepemimpinan yang dibangun untuk
mengendalikan diri berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan spiritualitas
mereka sehingga terbangun harmoni antara pikiran, perasaan dan
tindakan. Di dalam kepemimpinan intrapersonal dibangun kecerdasan
secara komprehensif, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan eksekusi, kecerdasan adversitas dan kecerdasan
spiritual. Sumber-sumber pengaruh dalam kepemimpinan intrapersonal
berasal dari aspek yang relatif melekat pada individu

Pengertian Kepemimpinan Intrapersonal (skripsi dan tesis)


Kepemimpinan intrapersonal adalah kepemimpinan yang
dibangun untuk mengendalikan diri berdasarkan nilai-nilai dan
keyakinan spiritualitas mereka sehingga dapat membangun sebuah
harmoni antara pikiran, perasaan dan tindakan. Di dalam
kepemimpinan intrapersonal dibangun kecerdasan secara
komprehensif, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional,
kecerdasan eksekusi, kecerdasan adversitas dan kecerdasan spiritual.
Sumber-sumber pengaruh dalamkepemimpinan intrapersonal berasal
dari aspek yang relatif melekat pada individu (Tjahjono; Palupi, 2015).

Kemampuan pengambilan keputusan karir (skripsi dan tesis)

 
Proses pengambilan keputusan diawali dengan
suatu keinginan akan perubahan, perasaan akan
ketidaknyamanan, dan pencapaian akan sesuatu yang
diharapkan. Bentuk usaha individu untuk mencapai
harapan tersebut ditandai dengan pengumpulan
informasi yang direalisasikan berdasarkan ide,
perasaan, dan pengalaman. Nilai, kejadian, perasaan,
dan harapan merupakan hal yang terintegral dalam diri
individu sehingga mampu membuat perbedaan antara
hal apa yang penting dan tidak, sehingga berdasarkan 
pembedaan yang jelas mampu menentukan suatu
alternatif pilihan yang menurut individu benar dan tepat
sebagai suatu keputusan (Paolucci et. al, 1977).
Pengambilan keputusan dipandang sebagai
proses pemberian alasan (reasoning) atau merupakan
proses emosional untuk memunculkan pemikiran atau
keyakinan yang rasional atau irasional terhadap suatu
hal, didasarkan pada asumsi yang eksplisit atau jelas
atau asumsi terselubung (Steinberg, 2009).
Pengambilan keputusan yang baik menurut Stanovich
(2010) adalah proses pengambilan tindakan terukur
secara rasional, hal apa yang harus dilakukan dengan
sumber (secara fisik maupun mental) yang tersedia
baik bagi si individu. Pengambilan keputusan karir
merupakan sebuah proses dalam memilih sebuah
pekerjaan (Zunker, 1994 dalam Rowland, 2004).
Brown & Brooks (dalam Rowland, 2004)
mendefinisikan pengambilan keputusan karir sebagai
sebuah proses pemikiran seseorang dalam
mengintegrasikan atau menggabungkan pengetahuan
tentang dirinya dengan pengetahuan suatu pekerjaan
untuk membuat pilihan berkaitan dengan karir.
Cohen (2003) menggambarkan empat tahapan
yang perlu dilalui melalui teknik eksistensial agar
seseorang dapat mengambil keputusan yang benar.
Keempat tahapan tersebut adalah (1) responsibility
stage. Pada tahap ini ada kesadaran akan kebebasan
dan tanggung jawab berperan. Berdasarkan perspektif
eksistensial, tanggung jawab serupa dengan
kebebasan; (2) evalution stage. Pada tahap ini
individu mengevaluasi semua pilihan karir yang muncul
memberikan makna bagi kehidupannya, dan terdapat
pencarian akan makna dan pencarian terhadap
keaslian diri; 3) action stage. Pada tahap ini individu
menerapkan pilihan karirnya pada suatu pekerjaan
yang nyata; dan 4) re-evaluation stage. Pada tahap
ini individu mengevaluasi ulang pilihan karir yang telah
diambil berdasarkan pengalaman kerja yang telah
dilaluinya.
Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai
sebuah proses dari membuat pilihan-pilihan
berdasarkan alternatif-alternatif kemungkinan (Evans
et all, 2002). Furby & Beyth-Marom dalam
penelitiannya terhadap remaja yang berada dalam
penjara menyatakan bahwa model paling efektif untuk
melatihkan keterampilan pengambilan keputusan
adalah proses yang dikembangkan oleh model
normatif. Proses pengambilan keputusan dengan
model normatif memiliki langkah-langkah: (1)
mengidentifikasi kemungkinan pilihan-pilihan; (2)
mengidentifikasi berbagai konsekuensi yang dapat
mengikuti setiap pilihan yang muncul; (3) mengevaluasi
setiap sifat yang diharapkan dari setiap konsekuensi;
(4) menafsir setiap kemungkinan dari setiap
konsekuensi; dan (5) menentukan pilihan dengan
menggunakan aturan keputusan (Furby & Beyth-
Marom (1992) dalam Evans et al., 2002

Determinasi diri (skripsi dan tesis)

 
Determinasi diri diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia sebagai menentukan nasib sendiri.
Determinasi dirimerupakan salah satu teori motivasi
Determinasi diri berfokus pada intrinsic motivation
atau motivasi yang muncul dari dalam diri seseorang
(Deci & Ryan, www.selfdetermination.org). Deci &
Ryan (dalam Field, Hoffman & Posch. 1997)
berdasarkan prespektif psikologi mendefinisikan
determinasi diri sebagai kapasitas seseorang untuk
memilih dan memiliki beberapa pilihan untuk
menentukan suatu tindakan atau dikatakan kebulatan
tekad seseorang atau ketetapan hati seseorang pada
suatu tujuan yang hendak dicapainya. Determinasi diri
adalah kemampuan diri dalam mengidentifikasi dan
mencapai tujuan berdasarkan pengetahuan dan
penilaian individu terhadap diri sendiri (Field &
Hoffman, 1994, p. 164 dalam Field, Hoffman &
Posch. 1997). Powers, dkk (dalam dalam Field,
Hoffman & Posch. 1997) berpendapat bahwa
determinasi diri merupakan sikap dan kemampuan
individu yang dapat memfasilitasi dirinya dalam
mengidentifikasi dan mencapai tujuan. Power juga
berpendapat bahwa determinasi diri dapat
direfleksikan sebagai penguasaan diri sendiri atau
kontrol diri, berpartisipasi aktif dalam pembuatan
keputusan, dan kemampuan memimpin diri sendiri
untuk menggapai tujuan hidup pribadi yang bernilai.
Berdasarkan beberapa pengertian yang
dipaparkan, dapat terlihat bahwa determinasi diri
terdiri dari beberapa komponen. Palmer dan
Wehmeyer (2003) menyatakan bahwa komponen
pemecahan masalah dan penentuan tujuan merupakan
komponen yang penting dalam determinasi diri. Kedua
komponen tersebut perlu dimiliki oleh individu sejak
dini. Niemic dan Ryan (2009) mengungkapkan bahwa
komponen determinasi diri terdiri dari otonomi
(autonomy), kompetensi (competence), dan relasi
(relatedness). Deci dan Ryan melihat ketiga komponen
itu sebagai tiga kebutuhan psikologis bawaan yang
mendasari perilaku (dalam Schunk, Pintrich, Meece,
2012). Kebutuhan otonomi mengacu pada kebutuhan
untuk merasakan kontrol, bertindak sebagai agen/
penyebab perilaku mandiri, atau memiliki otonomi
dalam interaksi dengan lingkungan, atau suatu persepsi
lokus kualitas internal dari sudut pandang persepsi
penyebab (Ryan & Deci, 2000 dalam Schunk,
Pintrich, Meece, 2012). Individu-individu memiliki
suatu kebutuhan psikologis pokok untuk mengalami
perasaan otonomi dan perasaan kontrol. Otonomi
berkaitan dengan keberadaan individu secara mandiri.
Jika dikaitkan dengan pengambilan keputusan, individu
mampu mengambil keputusan sendiri bagi dirinya.
Kompetensi digambarkan sebagai kemampuan
yang dimiliki oleh seseorang dalam mendukung
tindakan yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan.
Kebutuhan untuk memiliki kompetensi serupa dengan
kebutuhan memiliki penguasaan terhadap lingkungan
(White, 1959 dalam Schunk, Pintrich, Meece, 2012).
Individu-individu perlu merasa dirinya kompeten dan
bertingkah laku kompeten dalam interaksinya dengan
individu lain, dalam mengerjakan tugas dan aktivitas,
dan dalam konteks yang lebih besar.
Relasi berkaitan dengan hubungan seseorang
dengan orang lain. (Niemic dan Ryan, 2009).
Kebutuhan keterkaitan (relatedness)mengacu pada
kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok,
atau kadang-kadang dinamakan kebutuhan kecocokan
sosial (belongingness) (Schunk, Pintrich, Meece,
2012).

Elemen Komponen perilaku Determinasi Diri (skripsi dan tesis)

 
Wehmeyer dalam Agran mengidentifikasi   ele-
men komponen yang berhubungan dengan perilaku
determinasi diri (Agran, 1997). Komponen tersebut
yaitu 
1. Membuat pilihan
Guess dalam Agran mengajukan tiga level dalam
membuat pilihan, yaitu pilihan sebagai pengindi-
kasi preferensi, pilihan sebagai proses membuat
keputusan, serta pilihan sebagai ekspresi atas ke-
mandirian dan martabat. Reid, dkk. dalam Agran
mengidentifikasi dua komponen dasar dalam in-
struksi membuat pilihan, yang pertama yaitu
melibatkan perilaku tertentu yang diperlukan un-
tuk memilih satu hal atau peristiwa dari dua atau
beberapa alternatif. Yang kedua yaitu mengarah-
kan tindakan tersebut menuju pemilihan dari ha-
sil pilihannya tersebut.
2. Membuat keputusan
Terdapat kemiripan antara membuat pilihan dan
membuat keputusan. Membuat pilihan mengacu
pada proses pemilihan alternatif berdasarkan pa-
da pilihan individual. Membuat keputusan meng-
acu pada satu set keterampilan yang lebih luas
yang menggabungkan pembuatan pilihan se-
bagai salah satu dari sekian banyak komponen
yang ada.
3. Memecahkan masalah
Elemen ketiga adalah pemecahan masalah. Pem-
ecahan masalah juga berkaitan dengan pengam-
bilan keputusan, karena pengambilan keputusan
merupakan sebuah proses di mana individu mem-
pertimbangkan berbagai solusi atau pemecahan
masalah. Masalah itu sendiri adalah merupakan
sebuah tugas yang solusinya belum didapatkan,
atau lebih khusus masalah adalah situasi terten-
tu di mana seseorang harus merespon agar dapat
berfungsi secara optimal dan efektif dalam ling-
kungannya. Seperti halnya proses pembuatan
pilihan, ketrampilan memecahkan masalah juga
tertanam di hampir semua prosedur pembuatan
keputusan. Proses membuat keputusan di-mulai
dengan membuat daftar pilihan yang sudah di-
identifikasi. Praktisnya, individu harus menggu-
nakan pemecahan masalah sebelum terjadi-nya
pembuatan keputusan. Dalam pemecahan ma-
salah, penekanan instruksional biasanya meli-
puti tiga titik fokus yaitu identifikasi masalah,
penjelasan masalah dan analisis, dan penyelesai-
an masalah.
4. Penetapan tujuan dan pencapaian
Untuk menjadi agen menyebab dalam kehidupan,
individu perlu memiliki ketrampilan yang diper-
lukan untuk merencanakan, mengatur, dan men-
capai tujuan. Tujuan di sini mengandung bebera-
pa makna, menurut Locke dan Latham tujuan di
sini mencangkup arti penting dari istilah-istilah
seperti niat atau maksud, tugas, batas waktu, tu-
juan, arahan, dan tujuan akhir. Semua ini memi-
liki kesamaan makna bahwa ada sesuatu yang in-
gin dicapai oleh seseorang.
5. Kemampuan mengobservasi diri
Menguji keadaan lingkungan belajar, dan meng-
evaluasi apa yang diinginkan.
6. Kemampuan mengevaluasi diri
Membandingkan tingkah laku belajar yang dia-
wasi sendiri dengan tujuan yang dicapai.
7. Kemampuan menguatkan diri
Berperan aktif dalam belajar, membuat jadwal
penguat baru untuk lebih memotivasi dirinya
dalam belajar.
8. Lokus kontrol internal
Rotter dalam Agran mendefinisikan lokus kon-
trol sebagai sejauh mana seseorang merasakan
hubungan yang berkelanjutan antara tindakan-
nya dan hasil. Mercer dan Snell dalam Agran
mendekripsikannya dengan cara berikut:
a. Jika individu memiliki lokus kontrol internal,
ia melihat penguatan sebagai akibat paling
utama dari setiap tindakannya.
b. Jika individu memiliki lokus kontrol ekster-
nal, ia melihat penguatan sebagai hasil dari
kekuatan dari luar, contohnya keberuntungan,
nasib, kesempatan, dan lainnya.
Lokus kontrol internal telah dikaitkan dengan
hasil adaptif, termasuk hasil pendidikan yang
positif dan prestasi, serta meningkatkan wak-
tu dan perhatian pada tugas sekolah yang ter-
kait.
9. Pengaruh positif dari efikasi dan harapan
Efikasi diri mengacu pada keyakinan bahwa
seseorang dapat berhasil melaksanakan perilaku
yang diperlukan untuk memproduksi hasil
yang diberikan. Efikasi harapan mengacu pada
keyakinan individu bahwa jika suatu perilaku
tertentu dilakukan, hal itu akan menyebabkan
hasil yang diharapkan. Ini menjadi jelas bahwa
kedua-nya perlu dimiliki oleh individu tetapi tidak
cukup untuk menciptakan sebuah determinasi
diri. Sederhananya, individu harus percaya bahwa
mereka dapat melakukan perilaku tertentu yang