Konflik kerja-keluarga merupakan hal yang perlu diperhatikan, mengingat
semakin meningkatnya partisipasi wanita dalam angkatan kerja di beberapa dekade
terakhir ini. Keterlibatan wanita dalam dunia kerja menyebabkan ketidakseimbangan
individu antara tuntutan peran di pekerjaan, dengan tuntutan peran dikeluarga.
Ketidakseimbangan ini akan berujung menjadi konflik kerja-keluarga yang tentunya
akan berdampak pada individu dan juga organisasi. Dengan demikian, respon dan
perhatian yang tepat sangat di perlukan untuk mempertahankan individu untuk tetap
tinggal di dalam organisasi.
Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan Konflik kerja-keluarga sebagai
bentuk konflik peran dimana tuntutan peran dan pekerjaan tidak dapat di sejajarkan,
dimana waktu dan perhatian dihabiskan pada satu peran saja dan mengabaikan
tuntutan peran lainnya. Hal ini menyebabkan individu tidak dapat optimal dengan
satu peran yang telah diabaikan.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Stoner, Hatman, dan Anora (2000) yang
mendefinisikan Konflik kerja- keluarga (Work family conflict) sebagai situasi yang
terjadi saat individu mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan peran antara
pekerjaan dengan peran keluarga, dan juga sebaliknya dimana waktu dan perhatian
dihabiskan pada satu peran saja. Ahmad (2008) menambahkan Konflik kerja-keluarga
sebagai bentuk konflik antar peran, dimana tuntutan dari keluarga dan pekerjaan
saling bertentangan dalam beberapa hal. Banyak karyawan pria maupun wanita
melaporkan terjadinya konflik yang terjadi di kehidupan keluarganya yang
dipengaruhi oleh pekerjaan, munculnya stress yang berlebihan yang diakibatkan oleh
jenis pekerjaan dan kondisi kerja.
Greenhaus & Beutell (1985) mengungkapkan ada tiga tipe Konflik kerja-
keluarga, yaitu 1) konflik berdasarkan waktu (time –based conflict) dimana konflik
muncul karena waktu yang digunakan untuk melakukan peran pada salah satu domain
(pekerjaan atau keluarga) menghalangi waktu yang digunakan untuk melakukan
peran domain yang lain (keluarga atau pekerjaan). 2) konflik berdasarkan ketegangan
(strain-based conflict), yaitu konflik yang terjadi karena ketegangan pada salah satu
peran mempersulit seseorang untuk melakukan peran lainnya. 3) konflik berdasarkan
perilaku (behavior-based conflict), yaitu konflik yang terjadi karena adanya
ketidaksesuaian pola perilaku yang diharapkan pada kedua domain.
Konflik kerja-keluarga adalah sebagai bentuk interole conflict, dimana tuntutan
peran di dalam pekerjaan dan keluarga akan saling mempengaruhi. Dengan demikian
ada dua dimensi: pertama, konflik pekerjaan terhadap keluarga (Work-family conflict)
yaitu pemenuhan peran dalam pekerjaan dapat menimbulkan kesulitan pemenuhan
peran dalam keluarga. Kedua, konflik keluarga terhadap pekerjaan (Family-work
conflict), yaitu pemenuhan peran dalam keluarga dapat menimbulkan kesulitan
pemenuhan peran dalam pekerjaan (Christine & Oktorina, 2010).
Individu yang bekerja sulit untuk terlepas dari kemungkinan terjadinya Konflik
kerja-keluarga karena tuntutan peran yang harus dilakukan dalam waktu bersamaan
sebagai pekerja dan anggota keluarga. Konflik yang terus menerus terjadi akan
berdampak pada organisasi, keluarga, maupun indiividu itu sendiri. Maka perlu
disadari oleh individu untuk dapat berupaya menjalankan kedua peran dengan
seimbang demi mengatasi terjadinya konflik yang terus berkelanjutan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Konflik kerja-keluarga
merupakan konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara
mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Konflik ini terjadi ketika
seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut
dipengaruhi oleh kemampuan individu yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan
keluarganya.