Dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 juga disebutkan mengenai pengertian Sertifikat Halal, yang berbunyi: Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Produsen yang mengajukan Sertifikasi Halal akan mendapatkan Label Halal setelah mendapat Sertifikat Halal. hal tersebut menjadi bukti kehalalan produknya. Dalam Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 disebutkan pula mengenai pengertian Label Halal yaitu ”Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk”. Sertifikasi Halal pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan, sehingga dapat menenteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya. Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara menerapkan Sistem Jaminan Halal. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 yang berbunyi: Penyelenggaraan JPH bertujuan: 1) memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan 2) meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Cara mendapatkan sertifikat halal tersebut mengalami perubahan seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Meskipun demikian, sertifikasi halal sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 masih digunakan sebelum dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) oleh pemerintah. Berikut adalah dua cara sertifikasi halal sebelum dan sesudah disahkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal: 1) Sebelum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Proses sertifikasi halal mempunyai proses yang sama antara produk satu dengan produk lainnya, hanya standarisasinya saja yang berbeda. Sebelum produsen mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, maka terlebih dahulu disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal sebagai berikut: a) Produsen menyiapkan suatu Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System). b) Sistem Jaminan Halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan. c) Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (Halal Manual). Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut. d) Produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin e) Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran, dari mulai dari direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik. f) Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah Sistem Jaminan Halal yang menjamin kehalalan produk ini dilakukan sebagaimana mestinya. g) Untuk melaksanakan butir f, perusahaan harus mengangkat seorang Auditor Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal. Proses Sertifikasi Halal: a) Setiap produsen yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir tersebut berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang digunakan. b) Formulir yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnya dikembalikan ke sekretariat LPPOM MUI sesuai daerah masingmasing untuk diperiksa kelengkapannya, dan bila belum memadai perusahaan harus melengkapi sesuai dengan ketentuan. c) Jika sudah lengkap biaya akan ditentukan dan perusahaan akan menerima pemberitahuan biaya Sertifikasi Halal. Biaya tersebut diluar akomodasi, transportasi dan konsumsi auditor LPPOM MUI. Akomodasi, transportasi dan konsumsi auditor ditanggung oleh perusahaan. d) Setelah pembayaran biaya Sertifikasi Halal, LPPOM MUI akan memberitahukan perusahaan mengenai jadwal audit. Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen dan pada saat audit, perusahaan harus dalam keadaan memproduksi produk yang disertifikasi. e) Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium (bila diperlukan) dievaluasi dalam Rapat Gabungan Komisi Fatwa dan Auditor LPPOM MUI. f) Sidang Komisi Fatwa MUI ini dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, dan hasilnya akan disampaikan kepada produsen pemohon sertifikasi halal melalui Memo Sidang Komisi Fatwa MUI dan Auditor LPPOM MUI. g) Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. Pemeriksaan (audit) produk halal mencakup: a) Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk (Sistem Jaminan Halal). b) Pemeriksaan dokumen-dokumen spesifikasi yang menjelaskan asal-usul bahan, komposisi dan proses pembuatannya dan/atau sertifikat halal pendukungnya, dokumen pengadaan dan penyimpanan bahan, formula produksi serta dokumen pelaksanaan produksi halal secara keseluruhan. c) Observasi lapangan yang mencakup proses produksi secara keseluruhan mulai dari penerimaan bahan, produksi, pengemasan dan penggudangan serta penyajian untuk restoran/catering/outlet. d) Keabsahan dokumen dan kesesuaian secara fisik untuk setiap bahan harus terpenuhi. e) Pengambilan contoh dilakukan untuk bahan yang dinilai perlu. Masa berlaku sertifikat halal adalah dua tahun, untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LP POM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada produsen yang bersangkutan. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus daftar kembali untuk Sertifikat Halal yang baru. Sistem pengawasan yang dilakukan LP POM MUI setelah produsen mendapat Sertifikat Halal adalah sebagai berikut: a) Perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim Sidak LP POM MUI. b) Perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya Sertifikat Halal. Mulai bulan Juli 2012, pendaftaran Sertifikasi Halal hanya bisa dilakukan secara online melalui website LP-POM MUI www.halalmui.org pada kolom Layanan Sertifikasi Online CerolSS23000 atau langsung melalui alamat website: www.elppommui.org. Secara Umum Prosedur Sertifikasi Halal adalah sebagai berikut: a) Perusahaan yang mengajukan sertifikasi, baik pendaftaran baru, pengembangan (produk/fasilitas) dan perpanjangan, dapat melakukan pendaftaran secara online. melalui website LPPOM MUI. b) Mengisi data pendaftaran: status sertifikasi (baru/pengembangan/perpanjangan), data Sertifikat halal, status SJH (jika ada) dan kelompok produk. c) Membayar biaya pendaftaran dan biaya akad sertifikasi halal. d) Mengisi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran sesuai dengan status pendaftaran (baru/pengembangan/perpanjangan) dan proses bisnis (industri pengolahan, RPH, restoran, dan industri jasa), diantaranya: Manual SJH, Diagram alir proses produksi, data pabrik, data produk, data bahan dan dokumen bahan yang digunakan, serta data matrix produk. e) Setelah selesai mengisi dokumen yang dipersyaratkan, maka tahap selanjutnya sesuai dengan diagram alir proses sertifikasi halal seperti diatas yaitu pemeriksaan kecukupan dokumen sampai dengan Penerbitan Sertifikat Halal. Sebelum berlakunya UU No. 33 Tahun 2014, Tanda kehalalan suatu produk berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LP-POM MUI. Sertifikat halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh MUI Pusat atau Propinsi tentang halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang diproduksi oleh suatu perusahaan setelah diteliti dan dinyatakan halal oleh LPPOM MUI. 2) Sesudah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Proses pemberian sertifikat halal berdasarkan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, berdasarkan pasal 29 yang berbunyi: 1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH. 2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen: a) data Pelaku Usaha; b) nama dan jenis Produk; c) daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan d) proses pengolahan Produk.36 Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk dan daftar produk dan bahan yang digunakan dan proses pengolahan produk. Selanjutnya adalah pemeriksaan halal dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Untuk melakukan pemeriksanaan halal BPJPH menetapkan Lembaga Produk Halal (LPH) yang bertugas melakukan pemeriksaan halal dan/atau pengujian kehalalan produk hal tersebut sesuai dengan Pasal 30, yang berbunyi: 1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. 2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap. Pasal 31 mengatur, pemeriksaan dan/ atau Pengujian kehalalan produk dilakukan oleh auditor halal dilokasi usaha pada saat proses produksi, apabila terdapat bahan yang diragukan kehalalannya dapat dilakukan pengujian di laboratorium. Bunyi pasal 31 yaitu: 1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal. 2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi. 3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium. 4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal. Pada saat pemeriksaan oleh auditor halal, pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi hal-hal yang diperlukan kepada auditor halal. Setelah (LPH) selesai melaksanakantugasnya melakukan pemeriksaan halal selanjutnya LPH menyelarahkan hasilnya ke BP JPH dan kemudian BPJPH menyerahkannya kepada MUI untuk memperoleh menetapkan kehalalan Produk. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 32 yang berbunyi: 1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH. 2) BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk. Selanjutnya adalah penetapan kehalalan produk sesuai dengan Pasal 33, yang berbunyi: 1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI. 2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. 3) Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait. 4) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH. 5) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI. 6) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.40 Apabila dalam sidang fatwa halal, menyatakan produk halal, maka BPJPH menerbitkan sertifikat halal dalam waktu paling 7 hari sejak keputusan halal dari MUI. Sebaliknya apabila dalam sidang fatwa halal MUI menyatakan produk tidak halal, maka BPJPH mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha disertai dengan alasan. Selanjunya BPJPH harus mempublikasikan penerbitan sertifikat halal sesuai dengan Pasal 34, yang berbunyi: 1) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal. 2) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan.41 Secara singkat proses sertifikasi halal berdasar UU Jaminan Halal, dapat dideskripsikan sebagai berikut: a) Perusahaan mengajukan permohonan pengajuan sertifikasi halal ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) yang berada di bawah KementerianAgama. b) Pengisian berkas dan kelengkapan administrasi beserta data pendukung oleh perusahaan untuk diserahkan ke BPJPH. c) Berkas pengajuan setelah dikaji oleh BPJPH dilimpahkan ke Lembaga Penjamin Halal (LPH) yang telah terakreditasi untuk dilaksanakan audit. d) Pelaksanaan audit oleh LPH. Hasil audit berupa berita acara pemeriksaan (BAP) diberikan ke BPJPH untuk ditindaklanjuti. Jika dalam pelaksanaan audit, LPH menemukan bahan atau proses yang terkontaminasi barang halal atau najis, maka LPH akan memberikan rekomendasi kepada BPJPH penggantian bahan untuk ditindaklanjuti kepada pemohon. e) Berkas hasil audit LPH akan dilimpahkan ke Komisi Fatwa MUI untuk disidangkan dan ditetapkan hukum halal atau haramnya. f) Sidang Komisi Fatwa, jika ditemukan bahwa produk mengandung unsur babi atau benda najis yang belum melalui proses pensucian yang diterima shara„, Komisi Fatwa akan menolak pengajuan sertifikasi tersebut dan merekomendasikan perubahan bahan atau proses yang diragukan tadi. Sebagai upaya melakukan kontrol dan pengawasan internal terhadap produk, perusahaan menunjuk Penyelia Halal yang bertanggungjawab terhadap Proses Produk Halal (PPH). Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal dari BPJPH, wajib mencantumkan label halal pada kemasan produk, bagian tertentu atau tempat tertentu pada produk yang mudah dilihat, dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas dan dirusak sesui dengan Pasal 38 dan 39. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan label halal sesuai ketentuan pasal 38 dan 39 dikenai sanksi adminstratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis, pencabutan sertifikat halal. Sertifikat halal berlaku selama 4 tahun sejak sertifikat diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi. Pelaku usaha wajib memperpanjang sertifikat halal paling 3 bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal berakhir. Biaya sertifikat halal ditanggung oleh pelaku usaha, untuk pelaku usaha mikro dan kecil biaya sertifikasi dapat difasilitasi oleh pihak lain sesuai dengan Pasal 42. Berdasarkan Pasal 66, sejak berlaku UUJPH, peraturan yang mengatur tentang JPH masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU JPH. Kewajiban sertifikat halal bagi produk yang diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku 5 tahun sejak undang-undang ini diundangkan sesuai dengan Pasal 33. Berarti pada tahun 2019 semua produk yang beredar di masyarakat sudah harus bersertifikat halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar