Komitmen afektif merupakan salah satu kategori komitmen
yang memiliki ikatan secara emosional melekat paada seorang
karyawan untuk mengidentifikasi dan melibatkan dirinya dengan
organisasi (Allen dan Meyer, 1990). Menurut Kartika (2011),
komitmen afektif merupakan bagian dari komitmen organisasional
yang mengacu pada sisi emosional yang melekat pada diri seorang
karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat yang senantiasa
setia terhadap organisasi tempat bekerja karena keinginan untuk
bertahan berasal dari dalam hatinya. Komitmen afektif juga
merupakan penentu atas dedikasi dan loyalitas karyawan. Karyawan
yang memiliki komitmen afektif tinggi, menunjukkan rasa memiliki
atas organisasi, meningkatnya keterlibatan dalam aktivitas organisasi,
keinginan untuk mencapai tujuan organisasi, dan keinginan untuk
dapat tetap bertahan dalam organisasi. Komitmen afektif dapat
muncul karena adanya kebutuhan, dan adanya ketergantungan
terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan oleh organisasi di
masa lalu yang tidak dapat ditinggalkan karena akan merugikan.
Komitmen ini terbentuk sebagai hasil organisasi dapat membuat
karyawan memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikuti segala nilainilai organisasi, dan berusaha untuk mewujudkan tujuan organisasi sebagai prioritas utama, dan karyawan akan mempertahankan
keanggotaannya.
Menurut Allen dan Meyer (1990) terdapat tiga komponen dalam
komitmen organisasi yaitu: komitmen afektif, komitmen kontinuans,
dan komitmen normatif. Penjelasan dari setiap komponen adalah
sebagai berikut:
a. Komitmen afektif, mengarah pada “the employee’s emotional
attachment to, identification with, and involvement in the
organization”. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan
keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan, dan
keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang memiliki
komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi
karena mereka memang memiliki rasa ingin (want to) melakukan
hak tersebut.
b. Komitmen kontinuans, mengarah pada “an awareness of the cost
associated with leaving the organization”. Hal ini menunjukkan
adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan dan
berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau meninggalkan
organisasi. Karyawan yang bekerja berdasarkan komitmen
kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh
(need to) melakukan hal tersebut karena tida ada pilihan lain.
c. Komitmen normatif, mengarah pada “a feeling of obligation to
continue empoyment”. Komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk bekerja dalam organisasi. Karyawan yang
memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka
wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Oleh karena itu,
tingkah laku karyawan didasari adanya keyakinan tentang apa
yang benar serta berkaitan dengan masalah moral.
Teori dukungan organisasi yang dipaparkan Eisenberger et al.
(1986), Shore dan Tetrick (1991) dalam Kartika (2011) menjelaskan
adanya komitmen secara emosional dari karyawan kepada
organisasinya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa untuk
memenuhi kebuuhan emosi sosial dan untuk menilai kesiapan
organisasi dalam pemberian penghargaan terhadap peningkatan usaha
dari karyawan, maka karyawan akan membentuk sebuah kepercayaan
dasar mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi yang
dilakukan oleh karyawan terhadap peningkatan usaha. Seorang
karyawan dalam sebuah organisasi, dapat merasakan adanya
dukungan organisasi yang sesuai dengan norma, keinginan, dan
harapan yang dimiliki oleh karyawan, sehingga akan terbentuk sebuah
komitmen dari karyawan untuk memenuhi kewajibannya pada
organisasi, dan tidak akan meninggalkan organisasi, karena karyawan
telah memiliki ikatan emosional yang kuat terhadap organisasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar