Skema pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi, yang
menjadikan sektor pertanian (pedesaan) menjadi penopang industrialisasi ternyata
tidak bisa diharapkan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada
satu sisi masyarakat desa harus menerima kenyataan dimana laju perkembangan
industri berlangsung melalui pengorbanan sektor pertanian dan disisi lain sumber-
19
sumber agraria telah mengalami pengurasan besar-besaran dan mengalami
penurunan kapasitas untuk melakukan pemulihan.
Kehidupan rakyat pedesaan tidak menjadi baik bahkan sebaliknya, kemiskinan
dan kesenjangan sosial serta keterbelakangan telah menjadi bagian dari hidup
rakyat desa. Terhadap situasi yang demikian, banyak penduduk desa yang
akhirnya pergi ke luar desa, mengadu nasib dan sekaligus menyediakan tenaga
murah bagi percepatan industrialisasi. Marjinalisasi desa dapat dilihat sebagai
bagian dari skenario untuk menopang industri, yang berbasis tenaga kerja murah
dan bahan baku yang berlimpah serta murah.
Wartick (1985) menilai kehancuran lingkungan dan penurunan kapasitas sumber
daya alam merupakan kenyataan dari proses pengurasan kekayaan alam untuk
keperluan menggerakkan roda pembangunan. Hutan, tambang dan lain-lain telah
dengan sangat luar biasa dikuras dan tidak dipikirkan peruntukkannya bagi
generasi yang akan datang. Diberbagai daerah, terkesan kuat bahwa kekayaan
alam telah dijual. Sementara massa rakyat harus memikul akibatnya berupa
lingkungan yang rusak, sungai tercemar, hutan gundul dan kekayaan alam yang
menipis.
Memahami CSR sebagai kebertanggung jawaban entitas laba atas dampak
operasionalnya maka seharusnya praktik CSR juga melingkupi sektor industri
lain. Bahkan di banyak negara, komitmen keseimbangan triple bottom line juga
melingkupi industri keuangan, properti, media, komunikasi, teknologi, dan juga
dalam ranah perangkat pemerintahannya dan di kalangan masyarakat sipil.
Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas
pada sisi finansial saja (single bottom line), kini dikenal konsep triple bottom line,
yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3P (profit, people, planet).
Menurut Freeman (1984) dengan semakin berkembangnya konsep CSR ini, maka
banyak teori yang muncul yang diungkapkan berbagai pihak mengenai CSR ini.
Salah satu teori yang terkenal adalah teori Triple Bottom Line yang dikemukakan
oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya Cannibals with Forks, the
Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness. Elkington mengembangkan
konsep triple bottom line dengan istilah economoic prosperity, environmental
quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah
perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan
tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar keuntungan (profit),
perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian
lingkungan (planet).
Gunawan Widjaya (2008) menekankan dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak
lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu
aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi keuangan saja, namun juga harus
memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Uraian yang diberikan di atas
menunjukkan bahwa keuntungan ekonomis tidak dapat dipisahkan dalam
kerangka pelaksanaan CSR, oleh karena tujuan dari pelaksanaan CSR itu sendiri
sustainability bagi perusahaan. Melaksanakan CSR bukan berarti mengurangi kesejahteraan stakeholders, oleh karena itu maka aspek ekonomis juga harus
menjadi pertimbangan bagi perusahaan yang melaksanakan CSR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar