Menurut Masten dan Reed (2002) resiliensi didefinisikan sebagai
kumpulan fenomena yang dikarakteristikkan oleh pola adaptasi positif
pada kontek keterpurukan.
Menurut Jonh G Allen (2005) dalam bukunya Coping With
Trauma, bahwasannya;
“Reciliency is the capacity to cope with adversity”. Atau
kemampuan seseorang dalam menghadapi atau menanggulangi
kesengasaraan atau situsi sulit.
Menurut Best Masten & Garmezy (1990) dalam Margareth E.
Blausten & Kristine M. Kinniburg (2010) dalam bukunya Treathing
Traumatic Stress in childern and adolecent, menyebutkan bahwasannya
resiliensi adalah ;
“The process of, the capacity for, or outcome of successful
adaptation despite challenging or threatening circumstances” atau
proses dari kemampuan beradaptasi dari tantangan atau kenyataan
yang mengancam.
Dalam buku Character & Resilience Manifesto karangan Chris
Paterson, Claire Tyler, dan Jen Lexmond (2014) mengutarakan bahwa
resiliensi adalah;
“These are the attributes that enable individuals to make the most
of opportunities that present themselves, to stick with things when
the going gets tough, to bounce back from adversity and to forge
and maintain meaningful relationship”, atau term dari individu
yang memungkinkan untuk membuat keadaan yang lebih
1 menguntungkan atau layak dari sesuatu yang menusuk dan keras,
untuk melambungkan kembali dari kesengsaraan dan memberikan
arti dalam sebuah hubungan”
Dalam Buku The Road to Resilience (International Federation of
Red Cross and Red Crescent Societes : 2012) Resiliensi adalah ;
“Ability of systems to respond and adapt effectively to changing
circumstance . Yakni kemampuan untuk merespon dan beradaptasi
secara efektif untuk merubah keadaan.”
Menurut Ann S. Mastern and Abigail H. Gerwirtz dalam buku
Blackwell handbook of early Childhood Development (2006), milik
Kathleen McCartney dan Deborah Philips, yang tercantum dalam
glosarium bahwasannya resiliensi adalah;
“Positive patterns of adaptation in the context of risk or
adversity”, yakni pola positif untuk beradaptasi dalam konteks
resiko atau kemalangan.
Menurut Cowen and work (1988) dalam buku Bill Gillham and
James A. Thompson yakni Child Safety: problem and prevention from
preschool to adolescence (2005) bahwa ;
“Resiliensi adalah the process (however it operates) by which
children over-come adverse experiences” Yakni proses oleh
individu/anak-anak dalam menanggulangi pengalaman yang
menyakitkan.
Menurut Dulmu & Rapp-Plagici (2004) dalam CognitiveBehavioral Interventions In Educational Settings : 2006. Resiliensi adalah
kapasitas untuk mengembangkan diri walaupun terdapat faktor resiko atau
untuk membuka diri dari kondisi stres.
Resiliensi mewujudkan kualitas pribadi yang memungkinkan satu
untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan. Penelitian selama 20 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa resiliensi adalah karakteristik
multidimensi yang bervariasi dengan konteks, waktu, usia, jenis kelamin,
dan asal budaya, serta dalam individu mengalami situasi kehidupan yang
berbeda. (Connor & Davidson, 2003)
Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relative
baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan.
Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul
dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak,
remaja dan orang dewasa sembuh dari kondisi stress, trauma, dan resiko
dalam kehidupan mereka. (Desmita, 2010)
“Resilience is defined as an individual's or family's abilities to
function well and achieve life's goals despite overbearing stressors
or challenges that might easily impair the person or family.
Embedded in the term is a sense of elasticity and flexibility, such as
the abilities to bounce back from an overwhelming stressor and to
remain flexible in the presence of ongoing pressures.”
Artinya resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan individu atau
keluarga untuk mencapai tujuan hidup yang baik meskipun stress atau
tantangan dapat mengganggu individu maupun keluarga. Tertanam dalam
istilah ini, rasa elastisitas dan fleksibilitas seperti kemampuan untuk
bangkit dan tetap fleksibel dengan adanya tekanan yang berkelanjutan.
(Mullin, Arce, Vol 11 No.4, 2008)
Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai
kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif, dan
positif. Reivich dan shatte memandang bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi
resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek
kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich dan Shatte
tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya
dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga
pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari.
Resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang
yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan,
ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan
positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam
Larson dan Luthans, 2006).
Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap
resilien. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien)
secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak
dipelihara, maka kemampuan tersebut akan hilang (Corner, 1995).
Resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi
kesulitan, rasa frustrasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu
(Janas, 2002). Perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan membuat
individu mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam
proses kehidupan (Henderson, 2003)
Dari beberapa definisi dari para ahli tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwasannya resiliensi adalah kemampuan sesorang untuk
beradaptasi terhadap masalah yang sedang dihadapi dengan cara mencari solusi dari masalah tersebut, sehingga ia dapat bangkit dari masalah yang
membuat hidupnya terpuruk atau pada kondisi yang tidak menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar