Minggu, 31 Mei 2020

Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)

Menurut Masten dan Reed (2002) resiliensi didefinisikan sebagai kumpulan fenomena yang dikarakteristikkan oleh pola adaptasi positif pada kontek keterpurukan. Menurut Jonh G Allen (2005) dalam bukunya Coping With Trauma, bahwasannya; “Reciliency is the capacity to cope with adversity”. Atau kemampuan seseorang dalam menghadapi atau menanggulangi kesengasaraan atau situsi sulit. Menurut Best Masten & Garmezy (1990) dalam Margareth E. Blausten & Kristine M. Kinniburg (2010) dalam bukunya Treathing Traumatic Stress in childern and adolecent, menyebutkan bahwasannya resiliensi adalah ; “The process of, the capacity for, or outcome of successful adaptation despite challenging or threatening circumstances” atau proses dari kemampuan beradaptasi dari tantangan atau kenyataan yang mengancam. Dalam buku Character & Resilience Manifesto karangan Chris Paterson, Claire Tyler, dan Jen Lexmond (2014) mengutarakan bahwa resiliensi adalah; “These are the attributes that enable individuals to make the most of opportunities that present themselves, to stick with things when the going gets tough, to bounce back from adversity and to forge and maintain meaningful relationship”, atau term dari individu yang memungkinkan untuk membuat keadaan yang lebih 1 menguntungkan atau layak dari sesuatu yang menusuk dan keras, untuk melambungkan kembali dari kesengsaraan dan memberikan arti dalam sebuah hubungan” Dalam Buku The Road to Resilience (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societes : 2012) Resiliensi adalah ; “Ability of systems to respond and adapt effectively to changing circumstance . Yakni kemampuan untuk merespon dan beradaptasi secara efektif untuk merubah keadaan.” Menurut Ann S. Mastern and Abigail H. Gerwirtz dalam buku Blackwell handbook of early Childhood Development (2006), milik Kathleen McCartney dan Deborah Philips, yang tercantum dalam glosarium bahwasannya resiliensi adalah; “Positive patterns of adaptation in the context of risk or adversity”, yakni pola positif untuk beradaptasi dalam konteks resiko atau kemalangan. Menurut Cowen and work (1988) dalam buku Bill Gillham and James A. Thompson yakni Child Safety: problem and prevention from preschool to adolescence (2005) bahwa ; “Resiliensi adalah the process (however it operates) by which children over-come adverse experiences” Yakni proses oleh individu/anak-anak dalam menanggulangi pengalaman yang menyakitkan. Menurut Dulmu & Rapp-Plagici (2004) dalam CognitiveBehavioral Interventions In Educational Settings : 2006. Resiliensi adalah kapasitas untuk mengembangkan diri walaupun terdapat faktor resiko atau untuk membuka diri dari kondisi stres. Resiliensi mewujudkan kualitas pribadi yang memungkinkan satu untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan. Penelitian selama 20 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa resiliensi adalah karakteristik multidimensi yang bervariasi dengan konteks, waktu, usia, jenis kelamin, dan asal budaya, serta dalam individu mengalami situasi kehidupan yang berbeda. (Connor & Davidson, 2003) Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relative baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja dan orang dewasa sembuh dari kondisi stress, trauma, dan resiko dalam kehidupan mereka. (Desmita, 2010) “Resilience is defined as an individual's or family's abilities to function well and achieve life's goals despite overbearing stressors or challenges that might easily impair the person or family. Embedded in the term is a sense of elasticity and flexibility, such as the abilities to bounce back from an overwhelming stressor and to remain flexible in the presence of ongoing pressures.” Artinya resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan individu atau keluarga untuk mencapai tujuan hidup yang baik meskipun stress atau tantangan dapat mengganggu individu maupun keluarga. Tertanam dalam istilah ini, rasa elastisitas dan fleksibilitas seperti kemampuan untuk bangkit dan tetap fleksibel dengan adanya tekanan yang berkelanjutan. (Mullin, Arce, Vol 11 No.4, 2008) Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif, dan positif. Reivich dan shatte memandang bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich dan Shatte tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari. Resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam Larson dan Luthans, 2006). Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resilien. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien) secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak dipelihara, maka kemampuan tersebut akan hilang (Corner, 1995). Resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi kesulitan, rasa frustrasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu (Janas, 2002). Perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan membuat individu mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam proses kehidupan (Henderson, 2003) Dari beberapa definisi dari para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwasannya resiliensi adalah kemampuan sesorang untuk beradaptasi terhadap masalah yang sedang dihadapi dengan cara mencari solusi dari masalah tersebut, sehingga ia dapat bangkit dari masalah yang membuat hidupnya terpuruk atau pada kondisi yang tidak menyenangkan.

Tidak ada komentar: