Salah satu masalah pemerintahan yang dapat berpotensi mempengaruhi biaya lengket
adalah kepemilikan negara. Keterlibatan pemerintahan dalam hal mencari keuntungan dari
kegiatan telah didokumentasikan oleh beberapa artikel. Sapienza (2004) mengungkapkan
bahwa perusahaan milik negara dikenakan biaya sosial, politik, dan biaya agensi. Kepemilikan
pemerintah pada perbankan memiliki efek distorsi pada alokasi sumber daya, alokasi sumber
daya yang dipolitisi ini mungkin akan berpengaruh pada perkembangan dan produktifitas
perusahaan.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sendiri juga dijadikan sebagai mekanisme
untuk mengejar tujuan para politisi, seperti memaksimalkan pekerjaan atau pembiayaan
perusahaan yang diinginkan para politisi saja untuk mengejar keuntungan pribadi dan dalam
rangka mencapai tujuan politik mereka, politisi sering memberikan perintah kepada manajer
BUMN untuk mentransfer sumber daya BUMN kepada konstituen mereka (Shleifer dan
Vishny,1994). Boardman dan Vining (1989) berpendapat bahwa dari pandangan teori hak
kepemilikan, dimana sebagai wakil dari pemegang saham mempunyai sedikit insentif untuk
mengawasi manajer BUMN. Perusahaan yang dimiliki pemerintah berpotensi dikenakan biaya
agensi yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan swasta. Selain itu, mekanisme pemantauan
dan jalannya kegiatan di tingkat pemerintah kurang efektif sehingga menyebabkan politisi dan
birokrat lebih berpotensi dalam melakukan intervensinya dengan mengorbankan kinerja
perusahaan
Wang et al (2008) menemukan bahwa perusahaan yang dikuasai pemerintah lokal
seperti provinsi dan kabupaten lebih memilih untuk menyewa auditor lokal, hal ini dilakukan
karena untuk alasan yang menguntungkan ( Pemerintah dapat mengintervensi pekerjaan
auditor agar auditor dapat memberikan pendapat yang menguntungkan). Pemerintah
menggunakan tekanan politik memaksa auditor lokal untuk berkolusi dengan mereka. Dengan
kata lain, Pemerintah menggunakan kekuasaanya untuk mempengari keputusan auditor lokal
untuk menutupi kinerja perusahaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang relatif buruk.
Selain itu, saat ini banyak perusahaan daerah yang kalah bersaing dengan sektor swasta dan
salah satu penyebabnya adalah besarnya campur tangan dan lambatnya pemerintah dalam
mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis. Pemerintah juga sering melakukan
eksploitatif terhadap perusahaan daerah dengan menargetkan penerimaan APBD dari
perusahaan daerah tanpa melihat perusahaan daerah tersebut mengalami untung atau rugi
(Yulianto, 2000).
Pada BPR milik pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten diduga terdapat
perbedaan dalam hal intervensi yang dilakukan oleh pemerintah, dimana karena BPR
kabupaten berada dalam taraf yang lebih rendah dibandingkan dengan BPR provinsi sehingga
pemerintah lebih leluasa untuk melakukan intervensinya kepada BPR kabupaten. Menurut
Penowo (2011) intervensi yang dilakukan pemerintah di BPR kabupaten seperti menyalurkan
kredit ke pegawai negeri sipil (PNS) ataupun anggota DPRD, serta menjadikan BPR milik
kabupaten sebagai alat untuk membiayai proyek besar pemerintah. Jika pemerintah turut terjun
dalam aktivitas BPR, dalam hal ini dikhawatirkan dapat menganggu kesehatan BPR milik
kabupaten itu sendiri. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kinerja BPR kabupaten. BPR
dapat menderita kerugian jika dikelola secara tidak efisien dan produktifitas yang rendah
sehingga membuat BPR tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dengan lembaga
keuangan lainnya.
Biaya operasional pada BPR kabupaten diduga menimbulkan biaya lengket. Karena
adanya perbedaan kepemilikan pemerintah pada kedua BPR tentunya akan ada perbedaan
campur tangan ataupun intervensi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap BPR kabupaten.
Ketika pendapatan meningkat, BPR milik pemerintah kabupaten cenderung akan
meningkatkan biaya operasional seperti biaya untuk merekrut karyawan baru, meningkatkan
kapasitas karyawan (memberikan training), biaya untuk memperoleh barang, ataupun biaya
yang digunakan untuk membiayai proyek pemerintah. Tetapi ketika pendapatan menurun,
sangat sulit bagi BPR milik pemerintah kabupaten untuk menurunkan sumber daya mereka
(terutama karyawan) karena tekanan sosial dan politik yang dilakukan oleh pemerintah,
sehingga hal tersebut dapat menyebabkan tingkat kelengketan biaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar