Biaya lengket timbul dari perilaku biaya di mana biaya mudah untuk ditambahkan
tetapi sulit untuk diturunkan. Perilaku biaya yang tidak proporsional dalam menanggapi
perubahan aktivitas telah dibahas dan didokumentasikan oleh beberapa artikel. Subramaniam
dan Weidenmier (2003) menemukan bahwa total biaya meningkat 0,93% per kenaikan 1%
pada pendapatan, tetapi turun sebesar 0,85% per penurunan 1%. Perilaku ini disebut sebagai
biaya lengket dimana kenaikan biaya lebih besar dibandingkan dengan penurunannya pada
perubahan volume aktivitas pada jumlah yang ekuivalen.
Perilaku biaya lengket dapat disebabkan oleh hubungan antar biaya dan aktivitas.
Pengurangan biaya dalam menanggapi pengurangan aktivitas tergantung pada kemampuan
manajemen untuk mengurangi biaya kapasitas yang tidak terpakai. Tidak semua biaya
dikatakan sebagai biaya lengket dan penyebab utama adanya biaya lengket adalah
ketidakpastian mengenai permintaan di masa depan dari produk perusahaan sehingga
membuat manajer untuk memperhitungkan penundaan pengurangan biaya sampai perusahaan
yakin dengan penurunan volume. Menurut Subramaniam dan Weidenmier (2003) pada saat
aktivitas perusahaan meningkat akan mengakibatkan peningkatan biaya secara langsung, tetapi
pada saat perusahaan mengalami penurunan aktivitas perusahaan tidak dapat secara langsung
mengurangi aset, karyawan, dan biaya lainnya dalam jangka pendek. Manajer perusahaan
beranggapan bahwa penurunan aktivitas bersifat sementara. Manajer memiliki keyakinan
bahwa aktivitas akan kembali normal, sehingga manajer melakukan penundaan dalam hal
pengurangan biaya saat penurunan aktivitas.
Porporato dan Werbin (2010) mengatakan bahwa biaya lengket adalah biaya yang
dapat dengan mudah ditingkatkan pada saat terjadi peningkatan permintaan produk
perusahaan, tetapi tidak turun seiring dengan penurunan permintaan produk. Penelitian
Porporato dan Werbin (2010) pada perusahaan perbankan di negara Brasil, Argentina, dan
Kanada menunjukan adanya perbedaan tingkat kelengketan biaya pada masing-masing negara
karena adanya perbedaan struktur biaya dan kondisi ekonomi pada masing-masing negara,
dimana bank yang beroperasi dilingkungan ekonomi yang tidak menentu seperti Argentina
menunjukan penurunan biaya yang paling rendah pada saat terjadi penurunan pendapatan.
Kelengketan biaya juga dapat mempengaruhi laba pada perusahaan, pada penelitian yang
dilakukan Yudhi et al (2010) perusahaan yang memiliki biaya lengket yang lebih besar akan
memperlihatkan penurunan laba yang lebih besar ketika level aktifitas menurun dibandingkan
dengan perusahaan yang biaya lengketnya lebih kecil, hal ini dikarenakan biaya lengket yang
tinggi dihasilkan dari penyesuaian biaya yang lebih sedikit ketika level aktivitas menurun,
karena itu penghematan biaya lebih sedikit.
Isu-isu tata kelola pemerintahan juga dapat menjelaskan perilaku biaya lengket.
Calleja et al (2006) menemukan bahwa perusahaan di negara Jerman dan Perancis
menunjukan biaya lengket yang lebih besar dari pada biaya lengket pada perusahaan di Inggris
dan Amerika Serikat, mereka menduga bahwa kode sistem hukum pada perusahaan di negara
Jerman dan Perancis tidak hanya membuat perusahaan menekankan pada kepentingan
pemegang saham tetapi juga pemangku kepentingan lain termasuk karyawan. Karyawan
memiliki posisi yang lebih kuat dalam tata kelola perusahaan, sehingga lebih sulit bagi
perusahaan untuk memberhentikan karyawan ketika penurunan pendapatan. Ketatnya undangundang perlindungan ketenagakerjaan juga dapat menyebabkan munculnya biaya lengket.
Karena sulit bagi perusahaan untuk mem-PHK karyawannya disaat penurunan aktivitas
perusahaan. Sedangkan pada perusahaan yang terdapat di Inggris dan Amerika Serikat
manajemen perusahaan dibawah tekanan pihak eksternal seperti pemegang saham, sehingga
perusahaan dalam mengambil sebuah keputusan dilakukan demi kepentingan pemegang
saham. Saat terjadi penurunan aktifitas perusahaan jauh lebih mudah untuk mengurangi
sumber daya mereka.
Biaya lengket juga ditemukan pada bidang kesehatan seperti rumah sakit milik
pemerintah. Balakrishnan dan Soderstom (2008) meneliti pengaruh kepemilikan terhadap
perilaku biaya, dimana menemukan bahwa rumah sakit milik pemerintah menunjukan adanya
kelengketan biaya. Diduga bahwa rumah sakit milik pemerintah mengalami kendala dalam
keuangan, mereka juga harus melalui proses birokrasi dan mekanisme politis yang rumit untuk
memperoleh tambahan dana dari lembaga pemerintah. Karena terdapat ketidakpastian atau
lambannya mengenai tambahan dana dari lembaga pemerintah membuat manajer rumah sakit
lebih memilih untuk mempertahankan sumber daya mereka karena untuk menghindari adanya
biaya penyesuaian saat aktivitas menurun.
Penelitian Anderson et al (2003) menggunakan variabel biaya penjualan, umum, dan
administrasi dalam memperhitungkan biaya lengket, karena biaya penjualan, umum, dan
administrasi merupakan biaya yang aktivitas penggeraknya adalah volume penjualan. Untuk
menguji adanya biaya lengket Anderson et al (2003) membandingkan variasi biaya penjualan,
umum, dan administrasi terhadap penjualan di periode dimana terjadinya peningkatan
penjualan dengan variasi biaya penjualan, umum, dan administrasi terhadap penjualan di
periode terjadinya penurunan penjualan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar