Minggu, 31 Mei 2020

Aspek-aspek dan Karakteristik Individu yang Memiliki Resiliensi (skripsi dan tesis)


Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk kemampuan resiliensi pada individu, yaitu sebagai berikut :
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi
yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang kurang
memiliki kemampuan untuk mengatur emosi akan mengalami kesulitan dalam
membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu : tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh individu cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin individu terasosiasi dengan kemarahannya maka akan semakin menjadi seorang yang pemarah.
Tidak semua emosi yang dirasakan harus dikontrol seperti emosi marah,
sedih, gelisah dan rasa bersalah. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi
yang dirasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang sehat,
bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan
bagian dari resiliensi.
Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan bahwa dua buah
keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi
emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini
akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali,
menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta
mengurangi stres yang dialami oleh individu. Regulasi emosi merupakan
kemampuan individu mengontrol emosi-emosi yang ditimbulkan dari sebuah
tekanan, agar individu tersebut tidak bertindak karena dikendalikan oleh
emosinya, supaya individu mampu bertindak secara tepat dan rasional.
b. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah akan
cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya sulit untuk
mengendalikan pikiran dan perilakunya. Individu yang menampilkan perilaku
mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif, hal ini akan
berdampak pada orang-orang sekitarnya, karena orang-orang yang berada
disekitarnya akan merasa tidak nyaman dan hal ini akan berakibat buruknya
hubungan sosial individu tersebut.
Individu yang mampu mengendalikan impuls, individu yang memiliki
pikiran yang positif sehingga dapat memberikan respon yang positif pula
terhadap permasalahannya. Reivich dan Shatte mengungkapkan hal ini dapat
dilakukan dengan mencari kebenaran mengenai apa yang dipikirkan dan
mengevaluasi manfaat dari pemecahan masalahan tersebut. Individu dapat
melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional terhadap dirinya,
seperti ‘apakah kesimpulan yang saya lakukan mengenai permasalahan ini
berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat
permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan
kemampuan regulasi emosi yang individu miliki.
c. Optimisme
Individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang
optimis, optimis merupakan kemampuan individu untuk melihat masa depan
cemerlang. Optimisme yang dimiliki oleh individu menandakan bahwa
individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan. Hal ini juga merefleksikan efikasi diri yang dimiliki oleh
individu, yaitu kepercayaan individu bahwa mampu menyelesaikan
permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Optimisme akan
menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi individu bila diiringi dengan efikasi
diri, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada pada individu terus
didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik.
Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis
(realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan
yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut.
Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan
yang cerah tidak bersamaan dengan usaha yang signifikan untuk
mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan efikasi diri
adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
d. Causal Analysis
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama.
Causal analysis identifikasikan dengan gaya berpikir explanatory yang erat
kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya
berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan
saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).
Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan
keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak  Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua).
Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep
resiliensi, individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat
jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Sebaliknya individu yang
cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat
merumuskan solusi dan tindakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada.
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibellitas
kognitif. Individu mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang
menyebabkan kemalangan yang menimpanya, tanpa terjebak pada salah satu
gaya berpikir explanatory. Individu tidak mengabaikan faktor permanen
maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain
atas kesalahan yang perbuatnya demi menjaga self-esteem atau
membebaskannya dari rasa bersalah. Individu tidak terlalu terfokus pada
faktor-faktor yang berada di luar kendalinya, sebaliknya memfokuskan dan
memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mulai mengatasi permasalahannya yang ada, mengarahkan hidupnya, bangkit dan meraih kesuksesan.
e. Empati
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain,
kemampuan empati adalah mampu dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan serta mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
Ketidakmampuan untuk berempati berpotensi menimbulkan kesulitan
dalam hubungan sosial, individu yang tidak membangun kemampuan untuk
peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk
menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan
orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan
individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat
merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal,
hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.
Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang
dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua
keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).
f. Efikasi Diri
Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi
diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa individu mampu
memecahkan masalah yang dialami dan mencapai kesuksesan. Efikasi diri
merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi.
g. Reaching out
Individu yang mampu melakukan reaching out adalah individu yang
tidak menghidari kegagalan, melainkan yang berani untuk menghadapinya.
Individu yang reaching out tidak hanya menjalani kehidupan yang standar
tetapi, berani untuk menerima kegagalan kehidupan dan hinaan orang lain
untuk mengapai kesuksesannya. Individu yang tidak memiliki kemampuan
reaching out cenderung untuk melebih-lebihkan (overestimate) dalam
memandang kemungkinan hal-hal yang buruk yang akan terjadi di masa datang sehingga terjadi kegagalan dalam mengoptimalkan kemampuan remaja. Menurut Wolin dan Wolin (1999), terdapat tujuh karateristik utama
yang dimiliki oleh individu resilien. Karateristik inilah yang membuat individu
mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu:
a. Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan
menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat
memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat menyesuaikan diri dalam
berbagai situasi.
b. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara
emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang.
Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara
jujur pada diri sendiri dan peduli pada orang lain.
c. Hubungan
Individu yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model
yang sehat.
d. Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas
diri sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersifat proaktif
bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha
memperbaiki diri ataupun situasi yang diubah serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yng tidak dapat diubah.
e. Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,
konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang
resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab individu mampu
mempertimbangkan konsenkuensi dari setiap perilaku dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.
f. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan,
menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagian dalam situasi apapun.
Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang
tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk
hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi
berbagai hal dan mebuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Individu dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang lain membutuhkan

Tidak ada komentar: