Kamis, 30 Januari 2020

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)

 Terdapat faktor-faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan munculnya perilaku inovatif karyawan. Nijenhuis (2015) mengemukakan beberapa faktor eksternal maupun faktor internal yaitu : a. Faktor Eksternal 1) Competitive pressures. Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi mampu mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki efek positif untuk munculnya perilaku inovatif. 2) Social – Political pressures. Organisasi yang memiliki dukungan dari pemerintah harus terus memberi hasil kerja yang memuaskan jika tetap ingin mendapat dukungan. Sehingga pemimpin dan karyawan harus memuncul perilaku inovasi agar tetap memberi hasil kerja yang terus berkembang dan lebih baik. 
b. Faktor Internal 1) Interaksi dengan atasan (Kepemimpinan),karyawan yang memiliki hubungan yang positif dengan atasan mereka lebih mungkin untuk menunjukkan perilaku inovatif kerja dan mampu memberi keyakinan bahwa perilaku inovatif mereka akan menghasilkan keuntungan kinerja. Hubungan yang berkualitas sering ditandai dengan saling percaya dan menghormati.2) Interaksi dengan grup rekan kerja (Team Work), karyawan yang memiliki hubungan baik dengan rekan kerja lebih mungkin memudahkan mereka mengimplementasikan ide baru mereka juga meningkatkan idea generation di dalam sebuah grup rekan kerja mereka. Dan hal ini memudahkan perilaku inovatif kerja untuk berkembang.
 Pendapat lain tentang faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut pendapat Etikariena & Muluk (2014) ; yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor tersebut adalah: 
a. Faktor Internal 1. Tipe Kepribadian. Menurut Janssen, Van den Ven dan West adalah orang yang memiliki tipe kepribadian adalah orang yang mampu dan berani mengambil resiko terhadap perilaku inovatif yang di buat. 2. Gaya individu dalam memecahkan masalah,karyawan yang memiliki gaya pemecahan masalah yang intuitif dapat menghasilkan ide-ide sehingga menghasilkan solusi yang baru. 
b. Faktor Eksternal 1. Kepemimpinan, banyak bawahan yang kutrang dapat menjaga hubungannya dengan pemimpinnya, dan hal tersebut dapat membuat perilaku inovatif sesorang tidak terlihat, namun karyawan yang memiliki hubungan yang positif dengan pemimpinnya, cenderung memunculkan perilaku inovatif pada karyawan. Harapan yang tinggi dari pemimpin agar karyawannya menjadi inovatif juga dapat mempengaruhi munculnya perilaku inovatif pada karyawan (Scott & Bruce, Dalam Ratnasari Deasi, 2013). 2. Dukungan untuk berinovasi, dukungan dari orang-orang disekitar individu sangat membantu bagi karyawan tersebut dalam menciptakan suatu perilaku inovatif, bukan hanya itu dukungan dari orang dalam organisasi tersebut juga bisa memunculkan perilaku inovatif bagi karyawan tersebut . (Scott & Bruce,Dalam Ratnasari Deasi, 2013). 3. Tuntutan dalam pekerjaan, tuntutan dari perusahaan cenderung meningkatkan semangat para karyawannya untuk berperilaku inovatif. Tuntutan tersebut menjadi dorongan bagi karyawan tersebut. Salah satu hal yang muncul akibat adanya tingkat tuntutan pekerjaan yang tinggi tersebut adalah perilaku inovatif. Etikariena & Muluk,( 2014). 4. Iklim psikologis, iklim psikologis menunjukkan kepada bagaimana lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterpretasikan oleh karyawan. Etikariena & Muluk,( 2014). Lebih jelas lagi West dan Farr (1989) membagi sejumlah faktor yang mendukung dan memfasilitasi perilaku inovatif ke dalam level individu, kelompok, dan organisasi. 
Kemudian, beberapa peneliti seperti Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004) dan Hammond Farr, Neff, Schwall, & Zhao (2011) melakukan studi literatur pada sejumlah faktor multilevel yang memfasilitasi inovasi. Berikut penjelasan faktor-faktor yang memfasilitas inovasi pada ketiga level, yaitu: 27 1. Level Individu Studi metaanalisis yang dilakukan oleh Hammond et al. (2011) dan Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004) menunjukkan sejumlah faktor yang memfasilitasi inovasi pada level individu. Faktor-faktor ini dibagi kedalam lima kelompok, antara lain: a. Kepribadian. Diketahui bahwa kepribadian kreatif berhubungan dengan perilaku inovatif. Selain itu, berdasarkan trait kepribadian the Big Five Factors, keterbukaan (openness) terhadap pengalaman dikaitkan dengan perilaku inovatif. Individu yang derajat openness yang tinggi memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, mandiri, dan sensitivitas terhadap karya senin (McCrae, dalam Hammond et al., 2011). Terlebih individu dengan openness yang tinggi cenderung lebih berpikir secara divergent. Selain itu, aspek kepribadian, seperti tolerance of ambiguity, percaya diri, tidak konvensional, originality, authoritarianism, mandiri (independence), dan proaktif, turut mempengaruhi inovasi pada level individu (Anderson et al., 2004). b. Demografis Pada aspek demografis, seperti pendidikan dan lamanya masa kerja, merefleksikan penguasaan pengetahuan terhadap tugas-tugas melalu pendidikan formal, pelatihan, atau pengalaman kerja (Oldham & Cummings, dalam Hammond et al., 2011). Individu yang memperoleh pengetahuan dan pengalaman, lebih akan membangun dan mengintegrasikan gagasan, fakta, dan peluangpeluang sehingga 28 menghasilkan ide yang kreatif terhadap permasalahan (Amabile, dalam Hammond et al., 2011). c. Kemampuan Dari hasil kajian studi yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004), ditemukan beberapa faktor kemampuan yang memfasilitasi perilaku inovasi, yaitu intelegensi di atas rata-rata, taskspecific knowledge, gaya berpikir divergent, dan ideational fluency. d. Motivasi Motivasi, baik yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik, memiliki hubungan positif dengan perilaku inovasi. Motivasi intrinsik merujuk pada motivasi yang berasal dari engagement individu terhadap tugas, sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari faktor di luar tugas, seperti rewards dan kompensasi. Hammond et al., (2011). Selain itu, selfefficacy, baik keyakinan diri individu terhadap kompetensi pekerjaan maupun kompetensi kreativitas, juga mempengaruhi motivasi individu untuk terlibat dalam inovasi. Selain itu, tekad untuk berhasil dan personal initiative juga turut memfasilitasi inovasi (Anderson et al., 2004). e. Karakteristik Pekerjaan Terdapat beberapa karakteristik pekerjaan sebagai prediktor inovasi, di antaranya kompleksitas pekerjaan, otonomi, time pressure, dan role requirement. Kompleksitas pekerjaan yang tidak bersifat rutinitas dan lebih menantang dapat meningkatkan idea generation. Terdapat hubungan yang postif antara otonomi dan idea generation, 29 pengujian gagasan, serta implementasi inovasi. Dengan memberikan keleluasaan dan kemandirian pada karyawan dalam menyelesaikan tugas, dapat menstimulus individu untuk berinovasi (Axtell, dalam Hammond et al., 2011). 
Selain itu, persepsi terhadap ekspektasi atau persyaratan akan berinovasi juga memiliki korelasi yang positif dengan perilaku individu (Scott & Bruce, dalam Hammond et al., 2011). Anderson et al. (2004) menemukan karakteristik pekerjaan lainnya yang turut mempengaruhi inovasi, yaitu kepuasan kerja, tuntuan pekerjaan, dukungan untuk berinovasi, mentor guidance, dan pemberian pelatihan yang sesuai. 2. Level Tim. Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengklasifikasi variabel level tim sebagai prediktor inovasi berdasarkan model perfoma tim ke dalam input-process-output. a. Variabel Input Tim. Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengidentifikasi komposisi dan struktur tim ke dalam keragaman anggota kelompok (team member diversity), team size, dan tenure. Job-relevant diversity memiliki kolerasi yang positif dengan inovasi. Jobrelevant diversity merujuk pada heterogenitas anggota kelompok sesuai dengan pekerjaan atau tugas yang terkait, seperti function, profesi, pendidikan, tenure, pengetahuan, keterampilalan, dan kemahiran. Keragamaman semacam ini menghasilkan inovasi tim. Selain itu, task and goal interdependence menstimulus interaksi interpersonal, komunikasi, dan kerja sama dalam tim, sehingga mampu memfasilitasi inovasi. Task and goal interdependence adalah sejauhmana anggota kelompok saling bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan tugas mereka dan meraih tujuan bersama. Lalu, team size juga memiliki hubungan positif dengan inovasi karena dalam tim yang besar memiliki beragam sudut pandang, keterampilan, dan perspektif. Berbeda halnya dengan team longevity, tim yang sudah terbangun lama cenderung kurang inovatif dari waktu ke waktu. Angggota kelompok cenderung lebih rentan terhadap groupthink, lebih homogen, kurang kritis, dan kurang tertarik terhadap tantangan. Oleh karena itu, semakin lama suatu tim terbangun, semakin berkurang inovasi yang ditampilkan. b. Variabel Proses Tim. West dan rekan (dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado, 2009) menspesifikan tujuh variabel proses yang meningkatkan inovasi tim. Pertama, visi memiliki hubungan positif dengan inovasi. Visi mengukur sejauhmana anggota kelompok memiliki pemahaman yang sama terhadap tujuan-tujuan dan menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap tujuan kelompok. Dengan adanya tujuan tujuan yang jelas membantu anggota kelompok memberikan kontribusinya, memberikan kebermaknaan kerja, serta memotivasi individu untuk meningkatkan performa inovasi.  Kedua, participative safety juga berkorelasi secara postif dengan inovasi. Participative safety ditandai dengan partisipasi dalam membuat keputusan dan intragroup safety. Intragroup safety merujuk pada iklim psikologis yang tidak mengancam dalam tim, dimana adanya trust dan mutual support. Psychological safety memiliki tiga fungsi penting terhadap inovasi tim, yaitu berkontribusi dalam formulasi rencana, memfasilitasi eksekusi rencana, dan meningkatkan team learning. Ketiga, dukungan untuk inovasi memberikan pengaruh yang positif terhadap inovasi. Dukungan untuk inovasi dideskripsikan sebagai ekspektasi, penerimaan, dan dukungan pelaksanaan dalam memperkenalkan cara-cara baru dalam melakukan pekerjaan. Keempat, task orientation berhubungan secara postif terhadap inovasi. Task orientation, yang biasa disebut climate for excellence, dideskripsikan sebagai fokus bersama terhadap kualitas perfoma pekerjaan yang excellent sesuai dengan visi. Kelima, kohesi pun turut mempengaruhi inovasi. Kohesi merujuk pada komitmen anggota kelompok terhadap pekerjaan tim dan hasrat mereka untuk menjaga keanggotaan kelompoknya (Lott & Lott, dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado, 2009). Para peneliti inovasi menganggap bahwa kohesi merupakan prasyarat penting untuk menampilkan perilaku inovatif (West & Farr, 1989; Woodman et al., 1993). Anggota kelompok yang memiliki belongingness yang kuat dan 32 merasa saling attach dengan sesama anggota kelompok, cenderung lebih koperatif, saling berinteraksi, dan bertukar ide. Keenam, komunikasi, baik bersifat internal dan eksternal diyakini memiliki hubungan postif dengan inovasi. Komunikasi ekternal yang dimaksud ialah menjalin relasi interpersonal dengan orang-orang diluar tim atau organisasinya. Hal ini membantu tim dalam memperoleh pengetahuan dan perspektif baru. Melalui komunikasi, terjadi sharing informasi dan ide, dimana hal tersebut merupakan sumber inovasi. Selain itu, komunikasi berperan dalam implementasi ide-ide baru, dimana adanya mutual monitoring dan umpan balik. Terakhir, task conflict dianggap memilki hubungan yang postif dengan inovasi, sebaliknya relationship conflict berhubungan negatif dengan inovasi. Task-related disagreement dapat memicu anggota kelompok untuk bertukar informasi, melalui eksplorasi opini yang saling bertentangan, sehingga membantu proses generation gagasan-gagasan baru dan solusi serta membantu dalam pemecahan masalah. Sebaliknya, konflik relasi dapat menyebabkan reaksi psikologis yang negatif, seperti ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan frustrasi, sehingga mengalihkan fokus anggota kelompok untuk berinovasi. 3. Level Organisasi Hasil konten analisis yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, dan Nijstad (2004) terhadap berbagai penelitian inovasi, menghasilkan klasifikasi fasilitator inovasi pada level organisasi ke dalam struktur, 33 strategi, sumber daya, dan budaya organisasi. Pertama, struktur organisasi yang cenderung specialization, dimana memiliki beragam specialist, pembedaan functional, dan professionalism diasosiasikan secara positif dengan inovasi organisasi. Disisi lain, organisasi yang centralization dan formalization, cenderung kurang berinovasi. Kedua, strategi organisasi dengan prospector type diyakini mendukung berkembangnya inovasi dalam organisasi. Ketiga, semakin besar jumlah karyawan dalam suatu organisasi, cenderung lebih berinovasi. Di sisi lain, semakin luasnya market share (pangsa pasar), justru menurunkan inovasi dalam organisasi. Keempat, sumber daya (resources), baik dari segi annual turnover dan ketersediaan sumber daya, turut mempengaruhi inovasi dalam organisasi. Terakhir, budaya organisasi yang mendukung karyawan untuk bereksperimen, yang menoleransi terhadap kegagalan ide, dan yang berani mengambil risiko, mempengaruhi tumbuhnya inovasi dalam organisasi. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan dengan rekan kerja, dukungan untuk berinovasi dari anggota tim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif. Untuk dapat membangun hubungan kerja yang baik dengan rekan kerja yang berada dalam sebuah tim dapat dilakukan melalui pelatihan team building. Team building adalah salah satu aktivitas dalam proses yang dapat meningkatkan perilaku inovatif, kerjasama yang baik antara masing-masing anggota tim untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya yakni peningkatan operasi kerja tim. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan pelatihan team building adalah suatu metode pelatihan yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesolidan atau kohesivitas tim dengan membentuk dan mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya

Tidak ada komentar: