Kamis, 30 April 2020

Mobile Learning (skripsi dan tesis)

Mobile learning sendiri merupakan salah satu jenis pembelajaran yang sedang berkembang saat ini. Konsep pembelajarannya sendiri mobile learning mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki media lain yaitu mudah di akses setiap saat dan lebih menarik untuk dipelajari pada umumnya. Quinn (2000) berpendapat bahwa m-learning adalah sebuah elearning yang dapat diwujudkan melalui perangkat mobile, namun m-learning memiliki manfaat ketersediaan materi ajar yang dapat diakses pengguna kapan saja dan di mana saja melalui perangkat mobile. Mobile learning didefinisikan oleh Kulkulska (2015:1) yaitu sebuah konsep baru dalam pendidikan dan memiliki salah satu konotasi yag familiar berkaitan dengan mobilitas pelajar. Konotasi yang familiar tersebut ialah penggunaan perangkat genggam baik itu ponsel, smartphone, maupun tablet yang saat ini menjadi tren perkembangan komunikasi dan informasi di dunia. Penggunaan perangkat genggam tersebut dimanfaatkan sebagai suatu strategi dalam belajar dalam arti bahwa pebelajar harus mampu untuk terlibat daalam kegiatan pembelajaran tanpa dibatasi ruangan. Mcquiggan (2015:8) menyatakan Istilah mobile learning atau biasa disebut m-learning merupakan pengalaman dan kesempatan yang diberikan oleh evolusi teknologi pendidikan. Ini dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja pembelajaran dilakukan instan, akses belajar dikendalikan secara pribadi. Dimana pembelajaran penuh dengan alat dan sumber daya, kita aka lebih mengkonstruk pengetahuan kita sendiri, memuaskan keingintahuan kita, berkolaborasi dengan orang lain, dan budidaya pengalaman. Menurut Tamimuddin (2007:1) mobile learning diartikan kepada

Gamifikasi (skripsi dan tesis)

 Gamifikasi merupakan konsep yang berasal dari domain media. Ini digunakan pada tahun 2008 tetapi baru mendapatkan pengakuan luas pada paruh tahun kedua 2010 ketika menjadi topik presentasi konfrensi dan diadopsi oleh industri. Definisi gamifikasi menurut Deterding dkk (2011) adalah penggunaan P elemen game design dalam konteks nongame , sedangkan menurut Huotari dan Hamari (2012) mendefinisikannya sebagai suatu proses untuk memberikan bentuk pengalaman bermain untuk mendukung penciptaan nilai secara keseluruhan. Gamifikasi adalah alat yang ampuh untuk memberikan pendidikan dan pelatihan di perusahaan. Pertimbangkan definisi formal dari permainan dalam konteks pendidikan seperti: pemain, kegiatan berpikir, tantangan abstrak, aturan, interaktivitas, umpan balik, hasil yang diukur dan reaksi emosional yang semua terdapat dalam satu struktur (Kapp, 2013:2). Permainan yang abstrak menunjukkan hanya karakteristik tertentu dari kehidupan nyata dan mereka menyajikan realitas yang berbeda. Unsur tantangan membuat pemain terdorong untuk mencapai tujuan tertentu. Interaktivitas dalam game terjadi antara pemain dan sistem permainan dan di antara pemain. Umpan balik positif atau negatif mempengaruhi perilaku permainan pemain. Pemain bereaksi secara emosional terhadap bagian yang berbeda dari pengalaman gaming. Gamifikasi menggunakan dinamika berbasis game ini untuk terlibat dan tidak hanya melihat. Gamifikasi menyajikan antarmuka estetika menarik yang mempengaruhi bagaimana pemain melakuakan permaianan. Komponen yang paling penting dari gamifikasi adalah bagaimana mempromosikan permainan berpikir, mengubah dari suatu kegiatan sehari-hari menjadi kesempatan untuk belajar dan berkembang. (Kapp, 2013:2) Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gamifikasi merupakan penerapan teknik dan strategi dari suatu permainan ke dalam konteks nonpermainan yang bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah. Metode seperti ini bekerja dengan cara membuat materi atau teknologi menjadi lebih menarik dengan mendorong pengguna untuk ikut terlibat dalam perilaku yang diinginkan. Tujuannya adalah meningkatkan partisipasi, motivasi, dan prestasi pengguna 

Gamifikasi Dalam PEmbelajaran (skripsi dan tesis)

Banyak peneliti menerapkan gamifikasi dalam pembelajaran dengan alasan untuk meningkatkan motivasi siswa (Khalil et al., 2018). Dengan demikian, konseptualisasi motivasi diperlukan untuk memahami dampak ataupun faktor-faktor penghambat dalam implementasi gamifikasi dalam pembelajaran. Teori motivasi yang telah sukses diterapkan dalam gamifikasi adalah teori determinasi diri atau selfdetermination theory (Groh, 2012; Sailer et al., 2017). Teori ini menjelaskan tiga kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan akan kompetensi, otonomi, dan relasi (Deci & Ryan, 1985), yang dipaparkan secara singkat sebagai berikut. ▪ Kebutuhan akan kompetensi. Kebutuhan ini merujuk pada keinginan untuk merasa mampu dalam mencapai tujuan tertentu, serta kompeten menyelesaikan suatu permasalahan (Deci & Ryan, 2004). Di dalam konteks pendidikan, ketika faktor-faktor yang menumbuhkan perasaan kompeten (seperti kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan atau keterampilan baru) dapat dikembangkan, maka iklim kompetisi akan tumbuh, dan akibatnya motivasi instrinsik juga akan meningkat (Chen, 2019). ▪ Kebutuhan akan otonomi. Kebutuhan ini berkenaan dengan perasaan bebas secara psikologis dan keinginan untuk menyelesaikan suatu tugas. Siswa yang bebas secara psikologis akan membuat keputusan berdasarkan nilai dan minatnya sendiri (Decy & Ryan, 2004), dan siswa yang memiliki keinginan akan melaksanakan tugas tanpa tekanan dan paksaan eksternal (Vansteenkiste et al., 2010). Pemberian kesempatan kepada siswa untuk memilih, misalnya melalui umpan balik yang positif, merupakan salah satu bentuk fasilitasi otonomi, yang pada akhirnya akan meningkatkan motivasi intrinsiknya (Griffin, 2016). ▪ Kebutuhan akan relasi. Kebutuhan ini merujuk pada perasaan memiliki, terikat, dan peduli terhadap kelompok (Sailer et al., 2017). Motivasi intrinsik siswa akan semakin kuat ketika mereka diberikan ruang untuk bekerja sama, serta berbagi pengalaman dan tujuan bersama. Dengan demikian, guru sebaiknya mengurangi faktor-faktor yang dapat menghalangi siswa untuk melakukan interaksi sosial, melainkan membuat lingkungan belajar yang mendukung terjadinya relasi sosial sehingga kebutuhan siswa akan relasi terpenuhi

Gamifikasi (skripsi dan tesis)

Gamifikasi adalah penggunaan elemen-elemen desain gim dalam konteks-konteks bukan gim (Deterding et al., 2011; Groh, 2012). Beberapa kata atau frasa kunci dalam definisi tersebut adalah gim, elemen, desain, dan konteks bukan gim. Oleh karena itu, kata-kata atau frasa-frasa kunci tersebut akan dibahas lebih lanjut. Gim adalah suatu sistem yang membuat para pemainnya terlibat dalam konflik buatan, didefinisikan oleh aturan-aturan tertentu, dan menghasilkan suatu luaran yang dapat terkuantifikasi (Salen et al., 2004). Karena gim merupakan suatu sistem yang didefinisikan dengan aturan-aturan tertentu, maka gim berbeda dengan permainan. Permainan mengarah kepada aktivitas-aktivitas bebas dan eksploratif (Groh, 2012). Karena penjelasan gim yang seperti ini, maka gamifikasi berhubungan pada karakteristik gim yang berbasis aturan dan berorientasi tujuan. Elemen yang dimaksud dalam definisi gamifikasi merujuk pada bangunan-bangunan gim yang disematkan pada konteks dunia nyata. Hal inilah yang membedakan gamifikasi dengan gim serius karena gim serius sengaja dikembangkan secara penuh untuk tujuan yang spesifik dan tidak mengarah ke hiburan (Xu et al., 2013). Istilah desain adalah istilah berikutnya yang muncul dalam definisi gamifikasi. Istilah inilah yang membedakan gamifikasi dengan teknologi-teknologi berbasis gim. Berbeda dengan teknologi-teknologi berbasis gim yang terdiri dari aspek-aspek teknologi, seperti mesin-mesin gim dan kontrolir, gamifikasi secara jelas merujuk pada proses desain yang disengaja (Deterding et al., 2011). Istilah terakhir dalam definisi gamifikasi adalah konteks bukan gim. Dengan istilah ini, gamifikasi dapat diterapkan kepada berbagai bidang dan skenario. Dengan demikian, sangat memungkinkan untuk membawa elemen-elemen desain gim kepada bidang pendidikan pada umumnya, dan pembelajaran matematika pada khususnya.

Definisi Flipped Classroom (skripsi dan tesis)

 Flipped classroom menjadi pendekatan pembelajaran yang menarik perhatian para peneliti, akademisi, dan guru. Hwang et al. (2019) melaporkan adanya tren yang naik terhadap penelitian mengenai flipped classroom. Dari penelitian-penelitian ini, beragam definisi telah ditawarkan untuk pendekatan pembelajaran yang juga sering disebut dengan flipped learning (Bond, 2019) dan inverted classroom (Lage et al., 2000) ini. Dua definisi yang sering digunakan oleh para peneliti untuk mendefinisikan pendekatan ini adalah definisi yang diajukan oleh Bishop & Verleger (2013) dan Flipped Learning Network (FLN, 2014). Bishop & Verleger (2013) mendefinisikan flipped classroom sebagai strategi pembelajaran yang terdiri dari dua bagian, yaitu aktivitas-aktivitas pembelajaran kelompok interaktif di dalam kelas, dan pengajaran langsung berbasis komputer yang dilakukan secara individual dan dilaksanakan di luar kelas. Definisi ini secara jelas membedakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa ketika di dalam kelas dan di luar kelas. Secara garis besar, aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh siswa ketika di dalam kelas adalah belajar secara berkelompok. Selain itu, pembelajaran di dalam kelas dilakukan secara interaktif. Artinya, flipped classroom menekankan interaksi antar pelaku pembelajaran. 
Sebaliknya, kegiatan pembelajaran di luar kelas menekankan pembelajaran langsung yang dilakukan secara individual. Kegiatan di luar kelas Y. semacam ini didukung oleh komputer sebagai media penyampai pesan pembelajarannya. Media berbasis komputer yang digunakan dalam kegiatan di luar kelas merupakan video-video pembelajaran. Definisi flipped learning yang lebih komprehensif diusulkan oleh FLN (2014). Definisi tersebut adalah sebagai berikut. [A] pedagogical approach in which direct instruction moves from the group learning space to the individual learning space, and the resulting group space is transformed into a dynamic, interactive learning environment where the educator guides students as they apply concepts and engage creatively in the subject matter. Untuk mengimplementasikan pendekatan flipped learning seperti yang didefinisikan oleh FLN (2014) tersebut, guru harus menggabungkan empat pilar pendekatan pembelajaran tersebut, yaitu (1) lingkungan belajar yang fleksibel, (2) budaya belajar berpusat siswa, (3) konten pembelajaran yang terencana, dan (4) guru yang profesional. Dengan lingkungan belajar yang fleksibel, siswa mendapatkan moda pembelajaran yang bervariasi, dan dapat memilih kapan dan di mana mereka belajar. Budaya belajar dalam pendekatan flipped learning harus bergeser dari pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dengan budaya ini, siswa akan menggunakan waktu belajar di kelas untuk mengeksplorasi topik secara mendalam dan mendapatkan kesempatan belajar yang lebih kaya. Selanjutnya, guru harus memilih dan memilah konten pembelajaran mana yang akan diajarkan secara langsung dan konten mana yang diletakkan pada lingkungan belajar individu. Di pilar terakhir, guru harus profesional. Artinya, peran guru tidak dapat digantikan oleh flipped learning, tetapi peran guru dalam pendekatan ini semakin krusial dibandingkan dengan pembelajaran tradisional.

Employee Engagement (skripsi dan tesis)

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Shuck dan Wollard dalam Ray French (2015:132) yang berjudul “Organizational Behaviour” mendefinisikan employee engagement sebagai berikut: “Employee engagement is an individual employee’s cognitive, emotional and behavioral state directed toward desired organizational outcomes”. Pendapat lain dikemukan oleh Khan’s dalam Ling Suan Choo, Norslah Mat dan Mohammed Al-Omari (2013) bahwa “Employee engagement is the harnessing of organization members’ selves to their work roles; in engagement, people employ and express themselves physically, cognitively, and emotionally during role performances”. Sedangkan menurut Akila Narayanan (2014) dalam buku Gamification for Employee Engagement, “Employee engagement can be defined as the degree to which an employee bonded towards his organization or job”. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Employee Engagement, Akila Narayanan (2014) dalam buku Gamification for Employee Engagement, menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi Employee Engagement sebagai berikut: 1). Satisfaction. A satisfied employee need not be an engaged employee, but an engaged employee almost always satisfied employee. At the outset, job satisfaction indicate degree to which an employee is content with their job, whereas engagement bespeaks the degree to which an employee goes beyond the call of duty. 75-80% employee can be satisfied if they are assured of ; job security, financial stability, compensation, benefits, flexibility at the workplace. While satisfaction can’t directly contribute to engagement, it certainly disturb the engagement level if not taken care of; 2). Motivation. A satisfied employee need not be motivated employee and motivated employee not be an engaged employee, whereas an engaged employee is almost always a satisfiedcum-motivated employee. Motivation refers to psychological drive that reinforced one’s action toward accomplishing task or goals. It clearly indicates why an employee behaves in a certain fashion. There are two categories of motivation: a). Extrinsic Motivation; b). Intrinsic Motivation; 3). Advancement. Refers to the growth in one’s career in term of designation or position, usually in relation to their good performance. This can also involve advancement in term of gaining knowledge, skills, and maturity to move to the next level or undertake challenging assignments

Gamification (skripsi dan tesis)

Palmer dalam jurnal Conaway (2014) yang berjudul “Gamification and service marketing” menjelaskan definisi gamification sebagai berikut: “Gamification is taking the essence of games-fun, play, transparency, design, challenge-and applying it to real-world objectives rather than pure entertainment” Pendapat lain dikemukan oleh Deterding dalam jurnal Han (2015) yang berjudul “Gamified Pedagogy: From Gaming Theory to Creating a Self-Motivated Learning Environment in Studio Art” mendefinisikan gamification sebagai berikut: “Gamification is using game design elements In non-contexts to motivate and increase user activity and retention”. Maka berdasarkan pendapatpendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa Gamification merupakan suatu proses pengaplikasian unsur-unsur yang ada dalam game pada hal-hal non-konteks dengan tujuan memotivasi dan meningkatkan keterlibatan penggunanya. Menurut jurnal Jeffrey dan Elisabeth (2016) dalam jurnal yang berjudul “A framework for understanding game-based teaching and learning” menjelaskan elemen-elemen dari gamification: “One use of gamification is to turn learning into game by adopting games elements and structures. These game elements can include everything from leaderboards, badges or “archievement” all the way to fully realized game narrative”

Defini Pelatihan (skripsi dan tesis)

Menurut Jan Bella dalam Graha (2012) dalam jurnal nasional yang berjudul “Pengaruh Pelatihan dan Komunikasi Terhadap Kinerja Karyawan Call Center di Bandung” menjelaskan definisi pelatihan sebagai berikut: “Pendidikan dan Latihan sama dengan pengembangan yaitu merupakan proses peningkatan keterampilan kerja baik teknis maupun manajerial. Pendidikan berorientasi pada teori, dilakukan dalam kelas, berlangsung lama, dan biasanya menjawab why. Latihan berorientasi pada praktek, dilakukan di lapangan, berlangsung singkat biasanya menjawab how.” Menurut Mangkuprawira dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia Satrategik (2014:133) “Pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik sesuai dengan standar.” Maka berdasarkan pendapat-pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah merupakan proses peningkatan pengetahuan serta keterampilan kerja karyawan sehingga adanya perubahan kearah lebih baik. Pelatihan-pelatihan tersebut menurut Sikula dalam Priansa (2014:176-178), bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, memperbaiki kualitas, terciptanya perencanaan kerja pegawai, meningkatkan moril kerja pegawai untuk lebih bertanggung jawab terhadap tugasnya, memberikan kesempatan bagi pegawai untuk lebih dapat mengembangkan diri, meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja, meningkatkan kreatifitas pegawai serta memberikan kesempatan bagi pegawai untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki pegawai termasuk meningkatkan perkembangan pribadinya

Elemen-elemen Gamifikasi (skripsi dan tesis)

 Dalam pendekatan gamifikasi terkandung beberapa elemen yang dapat menjadikan pembelajaran berbeda dengan pembelajaran tradisional pada umumnya. Kapp (2013) mengemukakan beberapa elemen yang terdapat dalam gamifikasi, antara lain: 1) Story Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata peserta didik lebih mudah mengingat fakta, istilah, dan jargon ketika mereka mempelajari informasi tersebut dalam bentuk story (cerita) daripada dalam bentuk daftar berpoin. Cerita dapat membangkitkan emosi, menyediakan konteks untuk menempatkan informasi, dan merupakan cara manusia memberikan informasi dari generasi ke generasi. Penggunaan elemen cerita mirip dengan penggunaan studi kasus atau skenario, hanya saja penggunaan cerita harus memiliki makna dan mampu menarik emosional peserta didik. Dengan melibatkan peserta didik dalam sebuah cerita, dapat membantu dan menguatkan dalam mengingat sebuah pembelajaran. Cerita yang baik berfokus pada upaya membantu peserta didik untuk melakukan pemecahan masalah, dapat mengedukasi peserta didik, dan mudah diingat ketika kondisi sebenarnya terjadi.  2) Challenge Dalam konten gamifikasi, challenge atau tantangan memiliki peran yang besar dalam merangsang keaktifan peserta didik. Penelitian menunjukkan bahwa tantangan merupakan salah satu motivator yang kuat dalam belajar. 3) Curiousity Mau tak mau, saat bermain video game, pemain akan menjadi penasaran. Mereka menjelajahi ruang permainan untuk melihat apa yang terjadi. "Bagaimana jika aku tidak membunuh naga itu dan melarikan diri?" "Bagaimana jika aku mengenakan pajak pada pendudukku sebesar 50 persen?" "Bagaimana jika aku berlari lurus ke gedung itu?". Manusia secara alami didorong oleh rasa ingin tahu, sehingga pengembang game memanfaatkannya dengan menciptakan berbagai level dan tempat untuk dijelajahi bentuk game. Pengembang game memungkinkan pemain untuk melakukan tugas atau mengambil tindakan lebih dari sekali sehingga mereka dapat menjelajahi berbagai alternatif. Keingintahuan digunakan untuk memotivasi pemain untuk tetap berada dalam permainan dan untuk melibatkan mereka dengan lingkungan permainan. 4) Character Penelitian yang melibatkan karakter (avatar) menunjukan beberapa hasil menarik. Pada tes yang melibatkan masalah kata yang berbeda, kelompok yang 18 memiliki karakter menjelaskan masalah menghasilkan jawaban yang benar 30 persen lebih banyak daripada kelompok yang hanya dengan teks di layar. Tampaknya dengan memiliki avatar yang muncul di layar dapat memotivasi peserta didik karena mereka menjadi merasa lebih bertanggung jawab kepada sosok "manusia" daripada ke komputer. Dan karakter yang terdapat dalam komputer bahkan tidak harus realistis. Penelitian tambahan menunjukkan bahwa karakter "realistis" tidak memfasilitasi pembelajaran yang lebih baik daripada karakter "seperti kartun". Indikasinya jelas bahwa hanya dengan menggunakan karakter seperti yang ada pada teknik permainan video dapat membuat konten menjadi lebih menarik dan membantu peserta didik belajar lebih banyak. 5) Interactivity Salah satu ciri khas dari konten gamifikasi adalah interactivity atau interaktivitas. Dengan mendorong peserta didik untuk terlibat langsung dengan konten pembelajaran dapat mengarahkan mereka pada tingkat pembelajaran yang lebih dalam. Ada banyak keuntungan yang didapat apabila peserta didik mampu berinteraksi dengan materi pelajaran yang mereka pelajari. Berdasarkan hasil studi, serta akal sehat, menunjukkan bahwa interaktivitas dapat membantu peserta didik menyimpan informasi serta meningkatkan kesediaan peserta didik untuk menghabiskan waktu dengan materi. 6) Feedback Penelitian menunjukkan bahwa feedback atau umpan balik merupakan elemen penting dalam pembelajaran. Semakin sering dan tepat sasaran umpan 19 balik, semakin efektif pembelajaran. Sayangnya, dalam banyak program pembelajaran, umpan balik jarang diterapkan dan kurang spesifik. Pemberian umpan balik kepada peserta didik bisa dalam bentuk latihan mandiri, isyarat visual, kegiatan tanya jawab yang sering, bilah kemajuan, atau komentar yang ditempatkan dengan cermat oleh karakter non-pemain. Bahkan sesuatu yang sederhana seperti meringkas materi yang baru saja dibahas sebagai ulasan efektif dapat memberikan umpan balik tentang tingkat pemahamannya. 7) Freedom to Fail Dalam konten gamifikasi, jadikanlah kegagalan sebagai salah satu opsi. Dalam banyak kejadian, peserta didik diberikan skor secara objektif hanya untuk dua kondisi, yaitu jawaban yang benar atau jawaban salah. Hanya sedikit orang yang dapat menghargai kegagalan dalam lingkungan belajar tradisional, dan sebagian besar akan melakukan apa saja untuk menghindari kegagalan. Hal tersebut menunjukan bahwa sebagian besar lingkungan belajar tidak mendorong eksplorasi atau belajar coba-coba. Peserta didik memiliki sedikit wawasan tentang konsekuensi dari jawaban yang salah atau keputusan yang salah selain. Menjawab pertanyaan yang salah untuk “melihat apa yang terjadi” bisasanya kurang disukai dalam sebagian besar pembelajaran.

Pengertian Gamifikasi (skripsi dan tesis)

 Kata gamifikasi berasal dari istilah bahasa inggris yaitu gamification. Menurut kamus Oxford gamification adalah suatu penerapan dari unsur-unsur yang ada dalam sebuah permainan (game) seperti penilaian poin, persaingan, dan peraturan main ke dalam kegiatan atau aktivitas lainnya. Pendekatan ini sebenarnya telah banyak digunakan khususnya dalam bidang bisnis online sebagai salah satu  strategi untuk menawarkan suatu produk atau jasa. Sebagai contoh, banyak aplikasi online saat ini yang menggunakan sistem poin dengan beragam syarat dan ketentuan dan diikuti dengan tawaran promo serta keuntungan. Pengguna atau pelanggan yang tertarik secara otomatis akan terpacu dan lebih aktif dalam menggunakan aplikasi tersebut untuk mencapai target poin yang telah ditentukan. Teknik tersebut serupa dengan unsur yang ada dalam permainan (games), yaitu mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya untuk dapat melanjutkan ke level selanjutnya. 
Menurut Kapp (2012), gamifikasi dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menggabungkan antara permainan, estetika dan kemampuan berpikir untuk menarik perhatian, memotivasi, mempromosikan sebuah pembelajaran, serta menyelesaikan masalah. Selanjutnya Kapp membagi gamifikasi menjadi dua macam, yaitu gamifikasi struktural (structural gamification) dan gamifikasi konten (content gamification). Gamifikasi struktural merupakan penerapan dari elemen permainan untuk mendorong peserta didik tanpa ada perubahan pada konten. Konten sama sekali tidak diubah menjadi permainan, melainkan hanya strukturnya saja. Fokus utama dari gamifikasi jenis ini adalah untuk memotivasi pengguna melalui konten dan melibatkan mereka ke dalam proses belajar menggunakan system reward (hadiah). Sedangkan gamifikasi konten adalah penerapan elemen dan algoritma permainan yang ikut mengubah isi konten menjadiseperti permainan. Penambahan elemen-elemen ini membuat konten terlihat seperti permainan tetapi sebenarnya tidak mengubah konten menjadi permainan sesungguhnya. 
Gartner (Burke, 2014:13) mendefinisikan gamifikasi sebagai pemanfaatan dari unsur mekanis dan user experience design sebuah game, guna menarik dan memotivasi seseorang secara digital untuk mencapai tujuan mereka. Yang dimaksud dengan unsur mekanis adalah elemen kunci seperti poin, papan peringkat (leaderboard), dan lencana (badges) yang menunjang berjalannya suatu game. Sedangkan user experience design digambarkan sebagai tingkat kepuasan yang dirasakan oleh pemain atau pengguna selama melakukan interaksi dengan elemenelemen yang ada pada game tersebut. Kemudian disebutkan bahwa gamifikasi digunakan untuk menarik dan memotivasi seseorang secara digital, hal ini dikarenakan media yang digunakan untuk mengoperasikan game merupakan perangkat digital seperti, komputer, smartphone, tablet, dan lain-lain. Penerapan gamifikasi sebagai alat motivasi bertujuan untuk mengubah kebiasaan, membangun suatu keterampilan, atau untuk meningkatkan kreativitas seseorang. Sedangkan menurut Herger (2014) gamifikasi meminjam elemen dan teknik dari beberapa bidang, seperti games, ilmu perilaku (behavior), motivasi yang masuk akal untuk mempelajari suatu konsep dasar dan melanjutkannya hingga konsep definisi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gamifikasi adalah salah satu pendekatan yang memanfaatkan unsur mekanik dari sebuah game untuk kegiatan lain di luar game (non-game). Tujuan utama dari gamifikasi sendiri adalah untuk meningkatkan motivasi seseorang dengan cara yang menarik, sehingga dapat membantu dan memudahkan mereka untuk mencapai tujuan tertentu. Gamifikasi memecah dan membagi sebuah “jalan besar” untuk mencapai suatu tujuan ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan menarik. 

Pendekatan Pembelajaran (skripsi dan tesis)

 Kata pendekatan berasal dari kata dasar “dekat” yang mempunyai arti pendek atau tidak jauh. Sedangkan pengertian pendekatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merujuk pada proses, cara, dan usaha untuk mendekati sesuatu. Dalam konteks pembelajaran istilah pendekatan dapat diartikan sebagai suatu cara atau   usaha yang dilakukan dalam proses pembelajaran untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran. Hamdayana (2016:128) menganalogikan pendekatan pembelajaran sebagai sebuah jalan yang akan dilalui oleh peserta didik dan pendidik dalam mencapai tujuan pembelajaran dengan cara menyajikan materi dengan bentuk yang berbeda. Sedangkan menurut Wahjoedi (1999:121), pendekatan pembelajaran merupakan cara untuk mengelola kegiatan belajar serta perilaku peserta didik. Hal tersebut dilakukan dalam rangka membuat peserta didik aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga dapat memperoleh hasil belajar yang optimal. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran merupakan sebuah usaha untuk membantu mencapai tujuan pembelajaran melalui penyajian materi ke dalam bentuk yang berbeda. Dengan hadirnya beragam pendekatan pembelajaran yang berbeda, diharapkan seorang pendidik mampu memilih pendekatan yang tepat sesuai dengan karakteristik kompetensi dasar

Pelaksanaan Pembelajaran (skripsi dan tesis)

 Pelaksanaan pembelajaran merupakan bentuk penerapan dari RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Seorang pendidik yang berada dalam satuan pendidikan diwajibkan untuk menyusun RPP. RPP merupakan sebuah rancangan dari kegiatan pembelajaran untuk diterapkan dalam satu kali pertemuan atau lebih. 11 Dengan kata lain RPP merupakan acuan dan pedoman pendidik dalam melaksanakan pembelajaran di dalam kelas. Untuk menyusun sebuah RPP pendidik perlu mengacu pada Silabus yang mencangkup Kompetensi Dasar (KD), Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK), Materi Pembelajaran, kegiatan pembelajaran, Penilaian, Alokasi Waktu, Dan Sumber Belajar. Silabus sendiri dikembangkan dan disesuaikan oleh masingmasing satuan pendidikan. Adapun langkah-langkah pembelajaran yang terdapat RPP meliputi: 
1) Kegiatan Pendahuluan 
Rusman (2018:14) memaparkan beberapa kegiatan yang wajib dilakukan oleh seorang pendidik dalam kegiatan pendahuluan, yaitu: a) Mempersiapkan peserta didik dari segi psikis dan fisik supaya siap memulai proses pembelajaran. b) Memberikan motivasi belajar kepada peserta didik dengan menyesuaikan pada topik materi ajar pada kehidupan sehari-hari. c) Mengajukan pertanyaan yang dapat memancing ingatan peserta didik terhadap materi sebelumnya yang kemudian dihubungkan dengan materi yang akan dipelajari. d) Memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran dan kompetensi dasar yang akan dicapai. e) Menyampaikan materi dan menjelaskan uraian kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan silabus. 
 2) Kegiatan Inti 
Kegiatan inti berisi serangkaian kegiatan pembelajaran yang akan dilalui oleh peserta didik sesuai dengan KD. Dalam penyusunan kegiatan inti, pemilihan model, metode, media, dan sumber pembelajaran perlu memerhartikan karakteristik dari peserta didik dan mata pelajaran. Selanjutnya kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan pemilihan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan oleh peserta didik.
 3) Kegiatan Penutup 
Rusman (2018:14) memaparkan bahwa kegiatan penutup digunakan untuk melakukan refleksi guna mengevaluasi: a) Seluruh rangkaian aktivitas dan hasil dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. b) Memberikan umpan balik (feedback) terhadap proses dan hasil pembelajaran. c) Memberikan tugas sebagai bentuk tindak lanjut dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. d) Menyampaikan rencana terkait dengan kegiatan pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Komponen Pembelajaran (skripsi dan tesis)

Pembelajaran merupakan sebuah sistem yang memiliki sejumlah komponen yang saling terhubung dan memengaruhi satu sama lainnya. Ruhimat et al. (2011:148-175) mengungkapkan beberapa komponen pembelajaran sebagai berikut:  1) Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran adalah target yang ingin dicapai setelah kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Tujuan ini merupakan bagian dari upaya pencapaian tujuan yang lebih tinggi, yaitu tujuan pendidikan dan tujuan pembangunan nasional. 2) Bahan Pembelajaran Bahan pembelajaran atau juga sering disebut dengan materi pembelajaran adalah penjabaran dari isi kurikulum yang kemudian dikemas dalam bentuk mata pelajaran ataupun bidang studi beserta dengan topik dan rinciannya. Secara umum isi dari kurikulum dapat dikelompokan kedalam tiga unsur utama, yaitu: logika (pengetahuan tentang benar-salah), etika (pengetahuan tentang baik-buruk), dan estetika (pengetahuan tentang keindahan). 3) Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran adalah serangkaian langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dalam penerapannya strategi pembelajaran sangat bergantung dan tidak dapat dipisahkan dengan komponen lain yang terdapat dalam sistem. Dengan kata lain strategi pembelajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti: tujuan, materi, peserta didik, fasilitas, waktu, dan pendidik. 4) Media pembelajaran Media pembelajaran adalah alat dan bahan yang dapat membantu dalam menyampaikan bahan pembelajaran. Selain itu menurut Wirawan et.al (2018:256) 10 media pembelajaran juga dapat digunakan sebagai upaya meningkatkan kegiatan belajar peserta didik. Jenis media pembelajaran dapat meliputi: media visual, media audio, media audio visual, media penyaji, dan media interaktif. 5) Evaluasi pembelajaran Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh informasi tentang nilai suatu objek yang bersifat menyeluruh. Dalam prosesnya evaluasi pembelajaran tidak hanya didasarkan pada hasil pengukuran saja, namun dapat pula didasarkan dari hasil pengamatan yang kemudian menghasilkan keputusan nilai tentang suatu objek yang bersifat final. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang baik, keberadaan dari komponen-komponen tersebut tidak boleh dihilangkan meskipun hanya satu komponen. Disebutkan bahwa salah satu komponen yang harus tersedia dalam pembelajaran adalah media. Sesuai dengan poin tersebut, dalam penelitian ini penggunaan aplikasi Kahoot! merupakan salah satu bentuk dari penerapan media yang dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan keaktifan dan motivasi belajar peserta didik. 

Pengertian Pembelajaran (skripsi dan tesis)

Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 20, pengertian dari pembelajaran adalah suatu proses yang melibatkan interaksi antara peserta didik, pendidik, dan sumber belajar yang berlangsung pada suatu lingkungan belajar. Peserta didik merupakan objek dari pendidikan yang mendapatkan pengajaran ilmu melalui proses pembelajaran guna mengembangkan kemampuan diri. Ilmu yang diterima oleh peserta didik diajarkan oleh seorang pendidik, yaitu tenaga profesional yang bertugas untuk melakukan perencanaan dan mengoperasikan proses pembelajaran, melakukan penilaian hasil pembelajaran, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan kepada peserta didik. Sedangkan segala bentuk alat dan bahan yang dapat digunakan untuk memberikan ilmu kepada peserta didik maupun pendidik disebut dengan sumber belajar. Ruhimat et al. (2011:188) secara garis besar meyebutkan bahwa pembelajaran pada hakikatnya merupakan interaksi antara peserta didik dengan lingkungan pembelajarannya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang dimaksud adalah perubahan perilaku peserta didik yang dapat berupa pengetahuan, sikap, sampai dengan keterampilan. 8 Rusman (2018:95) menggambarkan pembelajaran sebagai suatu sistem yang terbentuk dari beberapa komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun komponen tersebut terdiri dari tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Pendidik sebagai fasilitator mempunyai peran penting dalam mengelola komponenkomponen tersebut. Sebagai contoh, pendidik harus terampil dalam menentukan dan menyiapkan media, metode, strategi, dan pendekatan yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan bentuk interaksi antar komponen yang terjadi dalam lingkungan belajar. Secara garis besar komponen pembelajaran dapat berupa peserta didik, pendidik, tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Pembelajaran akan terjadi apabila peserta didik dapat secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar yang diatur oleh pendidik. Oleh karena itu pendidik mempunyai peran penting dalam mengelola dan merancang sebuah pembelajaran. Apabila dapat dilaksanakan dengan baik, maka tujuan dari pembelajaran akan tercapai. Salah satunya yaitu untuk merubah perilaku peserta didik kearah yang lebih baik serta mengembangkan ilmu, keterampilan, dan potensi dari peserta didik

Sistem Manajemen Pembelajaran (skripsi dan tesis)

 Sistem manajemen pembelajaran adalah istilah yang merujuk pada sebuah aplikasi LMS (Learning Management System) yang merupakan sistem yang digunakan untuk membantu administrasi dan berfungsi sebagai platform E-learning content [8]. Ada tiga fiturfitur standar pembelajaran elektronik menurut Wahono, fitur tersebut adalah sebagai berikut : a) Fitur kelengkapan Belajar-mengajar b) Fitur Diskusi dan komunikasi c) Fitur Ujian dan Penugasan

. Definisi Gamifikasi (skripsi dan tesis)

 Gamifikasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menggunakan pemikiran dan mekanika permainan untuk mengikat User dan menyelesaikan masalah[7]. Secara lebih detil Kapp mendefinisikan gamifikasi sebagai konsep yang menggunakan mekanika berbasis permainan, estetika dan permainan berfikir untuk mengikat orang-orang, tindakan memotivasi, mempromosikan pembelajaran dan menyelesaikan masalah[2].

Model ARSC (The Attention, Relevance, Confidence, and Satisfaction) (skripsi dan tesis)

Model ARCS (The Attention, Relevance, Confidence, and Satisfaction) adalah sebuah pendekatan untuk desain instruksional menggunakan teknologi multimedia berdasarkan pada sintesis konsep motivasi, untuk motivasi mahasiswa dalam konteks pembelajaran. Kondisi pertama adalah bahwa pelajaran harus menarik dan mempertahankan perhatian peserta didik (A). Persyaratan ini didasarkan pada penelitian tentang rasa ingin tahu, gairah, dan kebosanan. Kondisi kedua untuk motivasi adalah untuk membangun relevansi (R). Persyaratan ini didasarkan pada penelitian tentang motivasi intrinsik dan kompetensi sebagai sasaran dalam teori penentuan nasib sendiri. Kondisi ketiga untuk memotivasi peserta didik adalah kepercayaan (C). Persyaratan ini didasarkan pada penelitian tentang self-efficacy dan atribusi. Kondisi keempat adalah kepuasan (S). Persyaratan ini didasarkan pada teori penguatan dan teori ekuitas yang telah umum digunakan di daerah lain seperti I/O Psikologi. Model ARCS adalah proses desain sepuluh langkah sistematis untuk mengembangkan unsur-unsur motivasi dalam pengaturan instruksional: memperoleh informasi saja, memperoleh informasi peserta didik, menganalisis peserta didik, menganalisis bahan yang ada, daftar tujuan dan penilaian, daftar taktik potensial, memilih dan merancang taktik, mengintegrasikan dengan instruksi, memilih dan mengembangkan bahan, dan mengevaluasi dan merevisi

Karakteristik Gamifikasi (skripsi dan tesis)

1.Sistem yang menggunakan gamification menggunakan poin atau nilai tertentu. 2. Poin dapat diubah menjadi bentuk lain seperti badge atau reward lainnya. 3. Sebagian/semua aktifitas utama yang dilakukan pada sistem dicatat dan menghasilkan poin. 4. Memiliki level atau pangkat yang diambil dari aktifitas yang dilakukan oleh pengguna sistem. 5. Sistem yang menggunakan gamification selalu memiliki cara untuk membuat pengguna (pemain) untuk kembali 

Bidang Terapan Gamifikasi (skripsi dan tesis)

Banyak bidang ilmu yang mulai menerapkan gamifikasi dengan tujuan meningkatkan ketertarikan penggunanya, diantaranya: 1. Edukasi, contohnya pada Khan Academy. Gamifikasi pada edukasi biasanya ditujukan untuk meningkatkan motivasi belajar penggunanya. Disini kita harus mendesain sistem belajar agar lebih menarik dan tidak membosankan. Misalkan kita membuat suatu materi belajar itu seperti game RPG, dimana awalnya kita masih level 1. Selama kita membaca Guidebook (materi) dan mengerjakan Quest (tugas), maka karakter kita akan berkembang dan akan naik level. 2. Marketing. Gamifikasi juga dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas promosi suatu produk. Contoh jelasnya pada Foursquare, yang menggunakan gamifikasi dalam meningkatkan ketertarikan pengguna terhadap product-nya. Atau kita juga dapat melihat Stack Overflow, sebuah platform untuk Question & Answer tentang segala macam hal. Yang jadi masalah dari Stack Overflow yaitu susahnya mengajak orang untuk membantu menjawab pertanyaan, sedangkan yang bertanya sudah pasti banyak. Sehingga gamifikasi bertugas untuk mengajak pengguna untuk membantu pengguna lain yang bertanya. 3. Health. Bahkan banyak aplikasi kesehatan yang menggunakan gamifikasi, dengan tujuan orang tersebut rajin berolahraga atau mau menjaga asupan gizinya. Contohnya seperti aplikasi S health, Pedometer, LG Health, Runtastic Runing & Fitness. S Health, Pedometer, LG Health, Runtastic Runing & Fitness merupakan aplikasi yang mencatat seberapa jauh dan sering kita berlari. Agar user S Health, Pedometer, LG Health, Runtastic Runing & Fitness semakin rajin jogging, maka gamifikasi berperan sebagai motivator. Beberapa fitur dari Pedometer, LG Health, Runtastic Runing & Fitness yaitu leaderboard, sharing, sampai kita juga dapat mengetahui lintasan yang kita tempuh dan seberapa kalori yang terbakar

Gamifikasi (skripsi dan tesis)

Nick Pelling pertama kali menggunakan istilah gamifikasi (gamification) di tahun 2002 pada presentasi dalam acara TED (Technology, Entertainment, Design). Gamification adalah pendekatan pembelajaran menggunakan elemen-elemen di dalam game atau video game dengan tujuan memotivasi para mahasiswa dalam proses pembelajaran dan memaksimalkan perasaan enjoy dan engagement terhadap proses pembelajaran tersebut, selain itu media ini dapat digunakan untuk menangkap hal-hal yang menarik minat mahasiswa dan menginspirasinya untuk terus melakukan pembelajaran. Gamifikasi adalah menggunakan unsur mekanik game untuk memberikan solusi praktikal dengan cara membangun ketertarikan (engagement) kelompok tertentu[1]. Secara lebih detil[2] mendefinisikan gamifikasi sebagai konsep yang menggunakan mekanika berbasis permainan, estetika dan permainan berfikir untuk mengikat orang-orang, tindakan memotivasi, mempromosikan pembelajaran dan menyelesaikan masalah. Glover menyimpulkan bahwa gamifikasi memberikan motivasi tambahan untuk menjamin para peserta didik (learners) mengikuti kegiatan pembelajaran secara lengkap[3]. Engagement dapat diartikan sebagai kesediaan untuk berpartisipasi, Frederick mendefinisikan student engagement sebagai tindakan metakonstruksi yang meliputi keterlibatan perilaku, emosi dan kognitif siswa dalam belajar[4]. Seperti halnya game yang mengijinkan para pemainnya untuk melakukan restart atau bermain ulang, membuat kesalahan-kesalahan yang dapat diperbaiki sehingga membuat para pemain tidak takut mengalami kegagalan dan meningkatkan keterikatannya terhadap game tersebut. Gamifikasi bekerja dengan membuat teknologi yang lebih menarik (Takahashi, 2010), mendorong pengguna untuk terlibat dalam perilaku yang diinginkan (Stuart,2010), menunjukkan jalan untuk penguasaan dan otonomi, membantu untuk memecahkan masalah dan tidak menjadi gangguan, dan mengambil keuntungan dari kecenderungan psikologis manusia untuk terlibat dalam game (Radoff, 2011). Menurut Zichermann gamification adalah proses cara berpikir games dan mekanika games untuk melibatkan pengguna dan memecahkan masalah[5][6]. Definisi yang lebih umum (Deterding,2011) gamifikasi adalah penggunaan elemen desain yang membentuk sebuah games dalam konteks non-games[7]. 

Bentuk Resistensi (skripsi dan tesis)

Studi James Scott dalam Andi Suriadi menyatakan resistensi yaitu focus pada bentuk-bentuk perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar sehari-hari, ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan dalam masyarakat. Mereka yang tidak punya kekuatan dalam melakukan penolakan terbuka ternyata mempunyai cara lain dalam menghindari intervensi dari negara dan perusahaan. Menurut Scott terdapat beberapa bentuk resistensi yaitu: Resistensi tertutup (simbolis atau ideologis). Yaitu gossip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat,serta penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa. Resistensi semi-terbuka (protes sosial atau demostrasi) Resistensi terbuka. Resistensi terbuka merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi, sistematis dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam resistensi adalah cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan Perlawanan sehari-hari dan bentuknya merupakan gejala yang terjadi disekitar kita, yang kadang sering terlupa bahwa perlawanan atau penolakan akan suatu hal tidak harus terbuka, karena memang secara tidar sadar kita melakukan perlawanan secara diam-diam (tak terbuka).

Tingkatan Resistensi (skripsi dan tesis)

Jika dilihat dalam lingkungan kerja, maka tingkatan resistensi terbagi menjadi 4 yaitu1 : a. Acceptance Acceptance ialah pada tingkat ini, penolakan individu terhadap perubahan masih berada dalam tataran kognisi. Belum menimbulkan reaksi yang jelas, namum terindikasi dengan hasil perkerjaan yang tidak maksimal. Jika dalam sebuah perusahaan bisa ditandai dengan adanya pengundurandirisecarapasif dan sikap mengabaikan terhadap instruksi-instruksi pekerjaan. b. Indifference Merupakan sikap tidak acuh ditunjukkan oleh sikap apatis, hilangnya minat dan semangat untuk melakukan sesuatu. c. Passive Resistance Tingkataan ini ditunjukkan oleh adanya sikap tidak mau belajar,melakukan protes, bekerja berdasarkan aturan,dan melakukan kegiatan sesedikit mungkin. d. Active Resistance Dilakukan dengan cara melakukan pekerjaan lebih lambat, memperpanjang waktu istirahat kerja dan meninggalkan pekerjaan, melakukan kesalahan, mengganggu dan sengaja melakukan sabotase. 

Perubahan budaya organisasi (skripsi dan tesis)

Pada awalnya orang berpendapat bahwa budaya organisasi yang sudah ditanamkan oleh pendiri dan sekaligus pemimpin tidak dapat atau sulit untuk berubah. Namun, perkembangan menunjukan bahwa perubahan budaya bukannlah suatu hal yang tidak mungkin. Bahkan apabila terjadi perubahan lingkungan, melakukan perubahan adalah suatu keharusan apabila tidak ingin tertinggal dalam perkembangan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kinerja organisasi akan meningkat karena adanya perubahan budaya organisasi. Perubahan budaya organisasi di suatu sisi dapat meningkatkan kinerja, namun di sisi lain dapat pula mengalami kegagalan apabila tidak dipersiapkan dan dikelola dengan benar. Namun, apabila tidak dilakukan perubahan budaya organisasi, sedangkan lingkungan berubah, dapat dipastikan mengalami kegagalan. Paling tidak perubahan harus dilakukan untuk dapat mempertahankan diri dari tekanan persaingan. 
Adappun Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy dalam Wibowo (2010:229) mengemukakan adanya situasi di mana manajemen puncak harus mempertimbangkan perlunya membentuk kembali budayanya, yaitu : 1. “Ketika lingkungan sedang mengalami perubahan fundamental dan perusahaan sangat didorong oleh nilai-nilai. Nilai-nilai tradisional akan dibawa pada penurunan serius. 2. Ketika industri sangat kompetitif dan lingkungan berubah cepat. Perusahaan harus membangun budaya yang memberikan perhatian besar pada perubahan. 3. Ketika perusahaan sedang-sedang saja atau menjadi lebih buruk. Perusahaan harus membangun kembali komitmen bersama pada kesejahteraan perusahaan, dikaitkan dengan keberatan orientasi terhadap pelayanan pelanggan. 4. Ketika perusahaan benar-benar diambang menjadi perusahaan besar. Budaya dan nilai-nilai asli yang menyokongnya secara serius perlu dilengkapi apabila mereka mempertahankan transisi pada lingkungan perusahaan besar.” Apabila perusahaan ingin berhasil menjalankan perubahan budaya korporasi, maka diperlukan langkah bertahap sebagai berikut (Jerome Want dalam Wibowo, 2010:235-239) : 1. “Develope a Systematic Change Plan (mengembangkan Rencana Perubahan Sistematis) 2. Indentifying Change Leader (mengidentifikasi pemimpin perubahan) 3. Openess to New Ideas (keterbukaan pada gagasan baru) 4. Building a Board Concensus for Change (membangun konsensus luas untuk perubahan) 5. Eliminate Bias From The Change Process (menghilangkan bias dari proses perubahan) 6. Individualize Change Strategies (strategi perubahan sendiri) 7. Commit Your Best People (komitmen dengan orang terbaik anda) 8. A Never-Ending Process (suatu proses tidak pernah berakhir)” Dari langkah-langkah diatas dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut : 28 1. Develope a Systematic Change Plan (mengembangkan Rencana Perubahan Sistematis) Ketika sebuah perusahaan melakukan perubahan budayanya, mereka sering kali gagal menggelar rencana yang sistematis dan dapat diperhitungkan. Sering kali mereka sekedar melompat pada kelompok fokus tertutup atau survei dengan samar-samar tentang apa yang telah dilakukan atau bagaimana mereka akan melakukannya. Rencana perubahan harus menggambarkan sasaran, jangka waktu, orang yang perlu disertakan dalam proses, taktik untuk mengatasi hambatan, sumberdaya yang diperlukan, persyaratan kepemimpinan yang diperlukan, dan ukuran yang dipergunakan untuk menandai kemajuan. 2. Indentifying Change Leader (mengidentifikasi pemimpin perubahan) Pemimpin perubahan mungkin saja orang bijak, pekerja lama yang mempunyai persaan tentang sejarah perusahaan maupun pengakuan bahwa perusahaan perlu mengubah budayanya. Pemimpin perubahan ini bisa datang dari seluruh organisasi dan mempunyai kepedulian tinggi terhadap implikasi proses perubahan bagi organisasi. Perusahaan harus membangun komitmen dengan orang terbaiknya untuk memimpin perubahan.  3. Openess to New Ideas (keterbukaan pada gagasan baru) Tim perubahan maupun organisasi yang lebih besar perlu bersikap terbuka untuk mendengarkan gagasan baru, gagasan tersebut dapat berupa perubahan teknologi, sistem informasi, prosedur kerja, serta inovasi yang baru, tidak peduli berapapun besar perbedaan yang terjadi. Karakteristik umum budaya yang menuju pada kegagalan adalah mereka tidak terbuka pada gagasan baru, organisasi yang menolak gagasan baru adalah merupakan pertanda sebagai organisasi yang bersikap resisten terhadap perubahan. 4. Building a Board Concensus for Change (membangun konsensus luas untuk perubahan) Membangun konsensus bukan hanya sekedar kompromi untuk mendapatkan orang melalui rapat dan yang sudah pasti bukan kelompok fokus. Membangun konsensus memberi kesempatan orang berbagi pandangan berbeda dan sesudah itu membawa pandangan tersebut bersama menempa keyakinan konsensus kuat sekitar isu budaya utama. 5. Eliminate Bias From The Change Process (menghilangkan bias dari proses perubahan) Bias adalah hambatan utama kinerja bisnis tetapi hanya sedikit yang mengenal adanya perangkap dari bias. Adalah wajar bagi orang untuk melewatkan biasnya sendiri dan menganggapnya sah. Akibatnya, bisnis sering membuat keputusan kritis dengan 30 konsekuensi jangka panjang berdasar informasi dan sistem keyakinan yang bias. 6. Individualize Change Strategies (strategi perubahan sendiri) Perusahaan sering meniru perusahaan lain walaupun apa yang mereka tiru tidak berjalan. Ini adalah addictive behavior (perilaku kecanduan) dunia bisnis. Perilaku ini menjadi atribut kurangnya kreativitas, takut mengambil resiko, atau kepemimpinan yang kurang suka kebebasan. Apa yang diperlukan adalah strategi yang bersifat individual. Prosesnya memperhitungkan di mana perusahaan berdiri dalam siklus perubahan bisnis, kondisi kompetitif eksternal, umur dan sejarah perusahaan, kepemimpinan dan gaya manajemen, tujuan masa depan, masalah dan tantangan yang dihadapi dan terutama budaya sekarang. 7. Commit Your Best People (komitmen dengan orang terbaik anda) Hasil terbaik hanya dapat diperoleh apabila perusahaan mendapatkan komitmen dari orang terbaiknya terhadap proses. Kredibilitas proses terletak terbesar pada reputasi dan kompetensi orang yang memimpin proses pembangunan budaya. 8. A Never-Ending Process (suatu proses tidak pernah berakhir) Pembangunan budaya bukan program sekali jadi, dengan titk akhir definitif. Merupakan proses yang sedang berjalan dan harus dijaga teteap bergerak dengan perubahan eksternal di pasar. Terlalu banyak 31 perusahaan takut melakukan proses perubahan budaya karena tidak memahami tentang arti pentingnya, di samping usaha yang tidak pernah berakhir di banyak bidang di mana perusahaan berfungsi.

Masalah Adaptasi Eksternal dan Internal Budaya Organisasi (skripsi dan tesis)

Salah satu unsur dalam budaya organisasi adalah memahami masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Dalam budaya organisasi perlu ditekankan bagaimana cara untuk memahami dan merasakan masalah-masalah yang dihadapi. Masalah yang dihadapi dapat berupa eksternal dan internal. Uraian lebih lanjut sebagai berikut (Moh. Pabundu Tika, 2012:46) : 
A. Masalah adaptasi eksternal budaya organisasi 
Masalah adaptasi eksternal dikhususkan untuk mangatasi siklus berbagai sistem yang terkait dengan perubahan lingkungan. Schein dalam Moh. Pabundu Tika (2012:46) membagi masalah adaptasi eksternal ke dalam lima unsur sebagai berikut : 1) “Misi dan Strategi 2) Tujuan 3) Cara atau Alat 4) Pengukuran 5) Koreksi “  Adapun penjelasan dari kelima unsur tersebut adalah : 1) Misi dan Strategi Merupakan suatu pemahaman bersama tentang misi utama, tugas pokok organisasi atau fungsi organisasi lainnya yang tersirat maupun tersurat. Misi mencakup arti yang lebih dalam bagaimana menghidupkan lingkungan tertentu, hal tersebut mencakup perhitungan terhadap kesempatan dan hambatan lingkungan. Strategi adalah rencana atau cara kerja dengan menggunakan sumber daya perusahaan yang terbatas untuk lambat laun mencapai sasaran yang ditetapkan. 2) Tujuan Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari misi utama organisasi. Tujuan utama tidak secara otomatis bahwa anggota-anggota kelompok akan mempunyai tujuan yang sama. 3) Cara atau Alat Merupakan suatu konsensus tentang sarana untuk mencapai tujuan organisasi seperti sistem informasi, sistem pengendalian struktur organisasi, divisi tenaga kerja, gaya organisasi. Kecakapan, teknologi dan pengetahuan yang diperoleh kelompok juga menjadi bagian dari budaya jika ada konsensus penggunanya. 4) Pengukuran Merupakan pengembangan konsensus menyangkut kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja kelompok dalam mencapai tujuan dan target yang telah ditetapkan seperti sistem informasi dan sistem pengendalian. 5) Koreksi Merupakan pengembangan konsensus terhadap strategistrategi perbaikan atau yang perlu diperbarui jika kelompok tidak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 
B. Masalah integrasi internal budaya organisasi 
Masalah integrasi internal dipengaruhi oleh sistem adaptasi eksternal. Masalah ini harus dihadapi oleh berbagai kelompok jika berfungsi sebagai sistem sosial. Selanjutnya Schein dalam Moh. Pabundu Tika (2012:48) membagi masalah integrasi internal menjadi enam unsur yaitu : 1) “Bahasa yang sama dan kategori konseptual 2) Batasan-batasan kelompok dan kriteria inklusif dan eksklusif 3) Kekuatan dan status 4) Hubungan keintiman, kekeluargaan dan cinta 5) Imbalan dan hukuman 6) Agama dan ideologi” Dari keenam unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Bahasa yang sama dan kategori konseptual Merupakan kategori-kategori konseptual dan bahasa yang dipakai bersama untuk berkomunikasi antar individu, jika anggota-anggota yang membentuk sebuah kelompok. 2) Batasan-batasan kelompok dan kriteria inklusif dan eksklusif Konsensus ini menyangkut batasan-batasan kelompok dan kriteria organisasi dalam menentukan sesuatu yang termasuk didalam dan diluar organisasi. 3) Kekuatan dan status Merupakan konsensus tentang kriteria dan peraturan bagaimana seseorang memperoleh, membina dan kehilangan suatu kekuatan. Konsensus ini menyangkut kriteria pengalokasian kekuasaan status. 4) Hubungan keintiman, kekeluargaan dan cinta Setiap kelompok harus memutuskan bagaimana mengatasi masalah-masalah otoritas dan bagaimana membangun hubungan kerja. Masalah otoritas merupakan penjabaran dari perasaan agresi hubungan keintiman, dan maslah-masalah keintiman menyangkut perasaan sependeritaan dan cinta 5) Imbalan dan hukuman Setiap kelompok harus mengembangkan sistem menyangkut aturan-aturan yang harus dipenuhi. Kelompok harus tahu perbuatan apa saja yang bisa mendapatkan imbalan, status dan kekuatan, dan perbuatan apa saja yang bisa membuat hukuman dan tidak terjalinnya komunikasi. 6) Agama dan ideologi Agama dapat menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dan dapat memberi petunjuk bagaimana mengatasi ambisius, ketidaktentuan, nasib, dan situasi menakutkan. Ideologi dapat dipandang sebagai seperangkat nilai utama yang dapat dianggap sebagai sesep gerakan yang saling berhadapan dengan kelompok lain dan lingkungan yang lebih luas.

Karakteristik budaya organisasi (skripsi dan tesis)

Subtansi atau akar budaya organisasi adalah karakteristik inti yang mengidentifikasikan ciri-ciri, sifat-sifat, unsur-unsur, atau elemen-elemen yang melekat pada budaya organisasi. Tiap organisasi disamping mempunyai elemen yang umum juga mempunyai karakteristik yang umum. Diantara karakteristik tersebut menurut Arni Muhammad (2011:29) adalah 
1. “Dinamis
 2. Memerlukan informasi 
3. Mempunyai tujuan 
4. Struktur” 
Dari karakteristik diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
 1. Dinamis Orgaisasi sebagai suatu sistem terbuka terus menerus mengalami perubahan, karena selalu menghadapi tantangan baru dari lingkungannya dan perlu menyesuaikan didri dengan keadaan lingkungan yang selalu berubah tersebut. Salah satu faktor yang membuat sifat dinamis ini ialah perubahan teknologi. Perubahan teknologi yang terjadi dalam masyarakat akan memberikan dampak pada organisasi.
 2. Memerlukan informasi Semua organisasi memerlukan informasi untuk hidup. Tanpa informasi organisasi tidak dapat jalan. Dengan adanya infromasi bahan mentah dapat diolah menjadi hasil produkasi yang dimanfaatkan oleh manusia. 
3. Mempunyai tujuan Organisasi merupakan kelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, setiap organisasi harus mempunyai tujuannya sendiri-sendiri. Tentu saja tujuan organisasi dengan organisasi lainnya sangat bervariasi. 
4. Struktur Organisasi dalam usaha mencapai tujuannya biasanya membuat aturan-aturan, undang-undang dan hierarki hubungan dalam organisasi, hal ini dinamakan struktur organisasi. 
Karakteristik budaya organisasi menurut Jerald Greenberg dan Robert A. Baron dalam Wibowo (2010:36) : 1. “Innovation (inovasi) 2. Stability (stabilitas) 3. Orientation toward people (orientasi pada orang) 4. Result-orientation (orientasi pada hasil) 5. Attention to detail (perhatian pada hal-hal detail) 6. Collaborative orientation (orientasi pada kolaborasi)” Dari karakteristik-karakteristik tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut : 1. Innovation (inovasi), suatu tingkatan dimanana orang diharapkan kreatif dan membangkit gagasan baru. 2. Stability (stabilitas), bersifat menghargai lingkungan kerja yang stabil, dapat diperkirakan, dan berorientasi pada aturan. 3. Orientation toward people (orientasi pada orang), merupakan orientasi untuk menjadi jujur, mendukung, dan menunjukan penghargaan pada hak individual. 4. Result-orientation (orientasi pada hasil), meletakan kekuatan pada kepeduliannya untuk mencapai hasil yang diharapkan. 5. Attention to detail (perhatian pada hal-hal detail), dimaksudkan dengan berkepentingan untuk menjadi analitis dan seksama. 6. Collaborative orientation (orientasi pada kolaborasi), merupakan orientasi yang menekankan pada bekerja tim sebagai lawan dari bekerja individual. Victor tan dalam Syamsir Torang (2014:110) juga mengidentifikasi beberapa karakteristik budaya organisasi, yaitu : 22 a) “Individual intiative (tanggung jawab, kebebasan dan ketidak tergantungan yang dimiliki individu) b) Risk tolerance (pekerja didorong mengambil resiko, menjadi agresif dan inovatif) c) Direction (kemampuan organisasi menciptakan sasaran yang jelas dan menetapkan target kinerja) d) Integration (setiap unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara terkoordinasi) e) Management support (tersedia bantuan, dan dukungan untuk bawahannya) f) Control (jumlah aturan, ketentuan, dan pengawasan langsung terhadap perilaku karyawan) g) Identity ( identitas) h) Reward system (didasarkan pada relatif kinerja) i) Confict tolerance ( konflik dan kritikan secara terbuka) j) Communication pattern (pola komunikasi dibatasi pada kewenangan hierarki formal)

Bentuk dan Jenis Budaya Organisasi (skripsi dan tesis)

Jeff Cartwright dalam Syamsir Torang (2014:107) membagi empat bentuk budaya yang dipandang sebagai siklus budaya, yaitu sebagai berikut : 1. “Monoculture 2. Superordinate culture 3. Divisive Culture 4. Disjunctive Culture” Dari bentuk-bentuk budaya tersebut dapat diartikan sebagai berikut : 1. Monoculture Iindividu atau kelompok berpikir sama sesuai dengan norma budaya yang sama, dicirikan ekstren (fanatik dan fundamentalis) 2. Superordinate culture Subkultur terkoordinasi (setiap individu bergerak dengan keyakinan dan nilai-nilai, gagasan dan sudut pandang sendiri, namun bekerja dalam satu organisasi dan semua termotivasi). Superordinate culture merupakan bentuk ideal budaya organisasi.  Perbedaan budaya menjadi akibat pemisahan dan konflik atau sumber vitalitas, kreativitas dan energi. 3. Divisive Culture Bentuk ini memecahbelah karena setiap individu memiliki agenda dan tujuan sendiri. Dalam model ini, organisasi ditarik ke arah berbeda. Gejala budaya ini adalah Vandalisme, kejahatan, inefisiensi dan kekacauan. 4. Disjunctive Culture Diindikasikan dengan pemecahan organisasi secara eksplosif atau menjadi unit budaya individual. Jenis-jenis budaya organisasi dapat ditentukan berdasarkan proses informasi, menurut Robert E. Quinn dan Michael dalam Moh. Pabundu Tika (2012:7) membagi budaya organisasi berdasarkan proses informasi sebagai berikut : 1. “Budaya Rasional 2. Budaya Ideologis 3. Budaya Konsensus 4. Budaya Hierarkis” Dari jenis-jenis budaya diatas dapat diartikan sebagai berikut : 1. Budaya Rasional Dalam budaya ini, proses informasi individual (klarifikasi sasaran pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kinerja yang diajukan (efisiensi, produktifitas, dan keuntungan atau dampak). 19 2. Budaya Ideologis Dalam budaya ini, pemrosesan informasi intuitif (dari pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan revitalisasi (dukungan dari luar, perolehan sumber daya dan pertumbuhan). 3. Budaya Konsensus Dalam budaya ini, pemrosesan informasi kolektif (diskusi, partisipasi, dan konsensus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi tujuan kohesi (iklim, moral, dan kerja sama kelompok). 4. Budaya Hierarkis Dalam budaya hierarkis, pemrosesan informasi formal (dokumentasi, komputasi, dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol dan koordinasi).

Pengertian Budaya Organisasi (skripsi dan tesis)

 Orang pada tahapan karier, perlu memahami budaya organisasi dan bagaimana bekerjanya karena akan mempunyai pengaruh kuat pada kehidupan kerjanya. Budaya organisasi membentuk responnya dengan cara yang kuat, tetapi cerdik. Budaya organisasi dapat membentuk mereka menjadi pekerja yang mampu bekerja dengan cepat atau lambat, menjadi manajer yang keras atau bersahabat, manjadi pemain tim atau individual. Budaya organisasi dapat juga dikatakan sebagai kebiasaan yang terus berulang ulang dan menjadi nilai (value) dan gaya hidup oleh sekelompok individu dalam organisasi yang diikuti oleh individu berikutnya. Dapat pula dikatakan bahwa budaya organisasi adalah norma-norma yang telah disepakati untuk menuntun perilaku individu dalam organisasi. Oleh sebab itu budaya organisasi merupakan dasar bagi pimpinan dan staff/anggota organisasi dalam membuat perencanaan atau strategi dan taktik dalam menyusun visi-misi untuk mencapai tujuan organisasi. 16 Menurut Thompson dan Stickland dalam Syamsir Torang (2014:106) budaya organisasi menunjukan nilai, beliefs, prinsip, tradisi, dan cara sekelompok orang beraktivitas dalam organisasi. Budaya organisasi merupakan hasil atau output organisasi. Menurut Jerome Want dalam Wibowo (2010:18) ) mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut : “Budaya organisasi adalah sebuah sistem keyakinan kolektif yang dimiliki orang dalam organisasi tentang kemampuan mereka bersaing di pasar, dan bagaimana mereka bertindak dalam sistem keyakinan tersebut untuk memberikan nilai tambah produk dan jasa di pasar (pelanggan) sebagai imbalan atas penghargaan finansial. Budaya organisasi diungkapkan melalui sikap, sistem keyakinan, impian, prilaku, nilai-nilai, tata cara dari perusahaan, dan terutama melalui tindakan serta kinerja pekerjaan dalam manajemen.” Menurut Gibson, Ivanicec dan donelly dalam Syamsir Torang (2014:106- 107) mengartikan budaya organisasi sebagai berikut : “Asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan presepsi yang dimiliki bersama oleh anggota organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap, prilaku, serta petunjuk dalam memecahkan masalah.” Menurut Robert Kreitner dan Angelo yang diterjemahkan oleh Erly Suandy (2005:79) mengartikan budaya organisasi sebagai berikut : “Satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam” Menurut Phithi Sithi Amnuai dalam Moh. Pabundu Tika (2012:4) mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut : 17 “Seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggotaanggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal” Mengacu pada beberapa pendapat tentang budaya organisasi, maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan filosofi dasar organisasi yang terdiri dari dimensi sistem (system), keyakinan (belief),norma (norm), dan nilai (value) yang dipandang sebagai karakteristik inti dan menjadi dasar individu atau kelompok untuk beraktivitas dalam organisasi.

Budaya Perubahan dan Organizational Citizenship Behavior (skripsi dan tesis)

Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa perubahan secara revolutif dapat dilakukan pada level iklim organisasi yaitu melalui interaksi antar individu. Untuk membangun budaya perubahan dalam orgmsast diperlukan karakter-karakter kepribadian yang dapat mendukung penciptaan iklim perubahan tersebut sehingga menumbuhkan spirit of the change dalam organisasi setiap waktu. Salah satu yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk membangun budaya perubahan adalah organizational citizenship behavior (OCB) yaitu perilaku yang dilakukan oleh seseorang di luar peran formalnya (Greenberg dan Baron, p. 408). Seseorang dengan OCB yang tinggi memiliki karakter kepribadian yang dapat mendukung proses perubahan dalam organisasi, karena ia bersedia untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan di luar rutinitas yang dituntut oleh organisasi dan memiliki keinginan untuk menolong pekerjaan orang lain secara sukarela. Karakter OCB seperti altruism, conscientiousness, sportmanship, dan civic virtue sangat mendukung penciptaan spirit of the change karena di dalamnya terkandung nilai-nilai positif yang memberikan nilai tambah bagi organisasi. Selain itu, OCB juga mendukung   interaksi antar individu seperti sharing knowledge, pembentukan tim yang efektif, dan memberikan penghargaan secara adil atas kontribusi yang telah dilakukan untuk organisasi. Greenberg dan Baron (2003) memberikan beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan OCB dalam organisasi seperti membiasakan sikap saling tolongmenolong dalam pekerjaan, menjadi contoh bagi pekerja lain dalam hal kebaikan, membangun kondisi yang menyenangkan dalam lingkungan kerja, dan berlaku sopan santun serta sportif dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Namun demikian, organisasi juga harus memperhatikan faktor lain yang dapat menimbulkan OCB. Beberapa penelitian empiris menunjukan bahwa OCB dapat lahir bila organisasi memperlakukan individu di dalamnya dengan adil dan dapat menciptakan kepuasan kerja serta memberikan dukungan terhadap individu tersebut dalam meraih prestasi dan karirnya. Jadi, intinya adalah OCB dapat menjadi pendukung terciptanya budaya perubahan dalam organisasi karena mengandung nilai-nilai positif

Peran Pemimpin Dalam Membudayakan Perubahan (skripsi dan tesis)

 Pemimpin memainkan peran yang sangat penting dalam membangun budaya perubahan. Paradigma tentang kepemimpinan harus diubah terlebih dahulu, pemimpin yang otoriter tidak sesuai lagi dengan tuntutan organisasi dalam menghadapi perubahan lingkungan ekstemal, karena sifatnya satu arah dan mengabaikan suara dari manajemen tingkat bawah. Kepemimpinan transformasional lebih sesuai untuk menghadapi tuntutan persaingan global, karena tipe kepemimpinan ini lebih bersifat partisipatif. Paradigma pemimpin abad 21 telah berubah, untuk membudayakan perubahan pemimpin dituntut untuk memiliki visi yang jelas, mampu memberdayakan bawahannya, mengakumulasi dan menyebarkan knowledge, mengumpulkan dan mengintegrasikan informasi ekstemal serta menghilangkan status quo dan mendorong kreativitas (Dess dan Picken, 2000). Nilai yang dibangun agar organisasi menjadi lebih inovatif adalah transparansi, kedisiplinan, bekerja berdasarkan kompetensi, partisipatif, fleksibel dan dapat segera menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Hal ini menyebabkan interaksi antar individu dalam organisasi menjadi lebih terbuka dan pergeseran peran menjadi lebih egaliter. Pemimpin harus rnemiliki tiga karakter utama agar mampu membudayakan perubahan dalam organisasinya yaitu komitmen, konsisten dan memiliki kompetensi. Komitmen berkaitan dengan loyalitas pemimpin pada organisasinya dan memiliki kepedulian yang tinggi pada bawahannya. Selain itu komitmen juga berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya organisasi yang digunakan untuk kepentingan bersama dan transaksi dengan semua pihak yang terlibat dalam proses perubahan. Konsisten berkaitan dengan keteladanan seorang pemimpin. Setiap perilaku pemimpin dalam organisasi menjadi rujukan bagi bawahannya. Visi dan misi yang telah disusun menjadi patokan tingkat konsistensi pemimpin pada perilakunya. Kompetensi berkaitan dengan kemampuan seorang pemimpin untuk rnemberikan pengaruh pada bawahannya untuk menjalankan visi dan misi yang telah ditetapkan. Pemimpin rnenjadi pusat informasi dan harus menyebarkan ke seluruh lapisan organisasi sehingga proses perubahan yang dilakukan dapat berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, pemimpin harus rnerniliki sifat terbuka dan transparan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan perubahan organisasi. Selain itu, pemimpin juga harus bersikap adil dalam rnenyebarkan informasi yang dimilikinya untuk kepentingan organisasi

Membangun Budaya Berubah (skripsi dan tesis)

Membudayakan perubahan berarti memanfaatkan seluruh sumberdaya dan potensi organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis atau menjadikan organisasi memiliki bargaining power sehingga memiliki kekuatan untuk proactive to change. Membudayakan perubahan berarti rnenjadikan setiap individu dalam organisasi bernilai dan menjadikannya sebagai sumber perubahan yang penting, membudayakan perubahan juga berarti menanamkan paradigma bahwa setiap orang adalah agen perubah dan memiliki peran yang strategis untuk pertumbuhan dan perkembangan organisasi. Budaya organisasi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai perubahan akan lebih mudah untuk menghadapi dinamisasi lingkungan dengan menghasilkan kreativitas dan inovativitas yang barn. Pada intinya membudayakan perubahan adalah menanamkan spirit of the change pada setiap individu dalam organisasi. Semangat perubahan dapat dilakukan dengan melakukan sharing knowledge, memberikan penghargaan kepada setiap individu (appreciating capabilities), dan melakukan setiap aktivitas untuk kepentingan organisasi.
 1. Sharing knowledge 
Pengetahuan merupakan informasi yang relevan, dapat diaplikasikan dan sebagian didapatkan melalui pengalaman (Leonard dan Sensiper), pengetahuan dapat berbentuk nyata (explicit) dan abstrak (implicit). Pengetahuan yang berbentuk abstrak dinamakan tacit knowledge yaitu pengetahuan atau informasi yang sukar untuk diartikulasikan atau dinyatakan secara verbal, biasanya didapatkan melalui pengalaman (Lubit, 2001; Berman et.al, 2002). Berman et.al (2002) menyatakan bahwa tacit knowledge merupakan sumberdaya penting bagi banyak organisasi untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Organisasi harus memiliki knowledge yang bersifat khusus dan sukar untuk ditiru oleh organisasi lain dan dalam waktu yang bersamaan harus menghasilkan pengetahuan yang baru agar dapat unggul dari para pesaingnya (lubit, 2001). Tacit knowledge memiliki karakter yang sulit ditiru karena terbentuk dari pengalaman individu. Tacit knowledge hanya dapat dirasakan rnanfaatnya dengan melakukan interaksi (sharing) antar individu dalam waktu yang tidak pendek. Interaksi antar individu penting untuk dilakukan karena masing-masing orang merniliki tacit knowledge yang berbeda-beda, hal ini bisa menjadi sebuah keunggulan organisasi bila tacit knowledge mampu dijadikan kompetensi inti sebuah organisasi. Lubit 129 (2001) menyebutkan tiga cara untuk mengubah tacit knowledge menjadi kompetensi inti sebuah organisasi yaitu dengan melakukan kerjasama dengan para pakar dan pe1atih dalam pekerjaan, membangun jaringan dalam organisasi dan bekerja berdasarkan tim atau kelompok, dan melakukan pencatatan terhadap tacit knowledge yang telah terjadi pada masa sebelumnya. Knowledge merupakan salah satu sumberdaya perubahan yang melekat pada ciri seseorang dan dapat dijadikan alat untuk membudayakan perubahan dalam organisasi karena knowledge dapat melahirkan inovasi dan kreativitas baru yang dapat mendorong organisasi untuk berubah. Sharing knowledge mendorong individu untuk selalu berinteraksi satu sama lain sehingga masing-masing individu dapat meningkatkan knowledge-nya. Setiap individu harus memainkan perannya sebagai knowledge broker yang mampu memberikan informasi dan pengetahuan pada pihak-pihak yang belum mendapatkannya. Sharing knowledge merupakan interaksi antar individu yang dapat merubah cara pandang seseorang tentang pentingnya perubahan dan menumbuhkembangkan semangat untuk berubah. Sarana yang paling tepat untuk sharing knowledge adalah dengan membentuk tim dalam organisasi, sehingga sharing knowledge bisa terjadi antara individu atau antara tim. Tim merupakan sarana yang tepat karena terdiri dari berbagai individu dengan knowledge yang berbeda dan diharapkan dari interaksi di dalam tim tersebut tercipta ide-ide baru yang dapat digunakan untuk memenuhi tuntutan perubahan lingkungan ekstemal. Hitt (2000) menyebutkan bahwa multicultural work teams merupakan sarana yang sesuai untuk menciptakan budaya yang inovatif karena tim ini terdiri dari individu dengan pendekatan pemecahan masalah yang beragam. Metode pengajaran (teaching) dilakukan oleh Ford Motor Company dibawah kepemimpinan Jacques Nasser sebagai sarana untuk sharing knowledge (Wetlaufer, 1999). Setiap individu dapat menjadi teacher dengan menuangkan segala ide dan gagasan yang dapat memajukan organisasinya, karena pada dasarnya setiap individu memiliki potensi untuk memberikan masukan kepada organisasi tentang bagaimana organisasi harus berubah dan melakukan perubahan. Tentu saja ide dan gagasan yang diberikan dicurahkan tersebut sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing individu. Pengalaman adalah guru pada masing-masing individu dan akan bermanfaat bila diajarkan kepada orang lain sehingga menjadi sebuah pengalaman baru yang lama- kelamaan akan terakumulasi menjadi knowledge yang bernilai. 
2. Memberikan penghargaan kepada individu 
Perusahaan mobil BMW merupakan salah satu organisasi dengan tingkat inovativitas yang tinggi karena setiap orang dituntut untuk terus berkreasi. Pekerja di BMW memiliki semangat yang tinggi untuk menghasilkan inovasi karena mereka merasa bahwa setiap bagian dari mobil BMW merupakan hasil dari karyanya. Appreciating, itulah kuncinya sehingga inovasi yang dihasilkan tidak pemah berhenti. Setiap individu terus berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru, mereka terbiasa dengan perubahan karena tanpa berubah mereka akan kalah oleh pesaingnya. Kreativitas dapat lahir bila organisasi memberikan tantangan kepada individu, selain itu organisasi juga harus memberikan kebebasan, mendukung dengan sumberdaya yang dimiliki, dan melibatkannya dalam sebuah tim (Amabile, 1998). Appreciating berarti manajemen tingkat atas harus melakukan interaksi 130 dengan pekerja di tingkat bawah. Pimpinan harus menyadari bahwa sumber perubahan bisa berasal dari setiap lapis an organisasi. Menanyakan sesuatu kepada individu sesuai dengan kapasitas dan keahliannya merupakan salah satu cara untuk menghargai keberadaannya dan langkah yang efektif untuk membudayakan perubahan. Ide-ide yang berasal dari setiap individu dalam organisasi merupakan sumber perubahan yang sangat berharga, karena ide-ide tersebut berasal dari kalangan bawah yang biasanya menggambarkan keadaan organisasi sesungguhnya. Memberikan penghargaan kepada individu karena kontribusinya terhadap organisasi berarti juga memberikan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi sehingga dapat menghasilkan kreativitas baru.
 3. Melakukan aktivitas untuk kepentingan organisasi 
Membudayakan perubahan dapat dilakukan dengan merubah cara pandang setiap individu dalam melakukan aktivitasnya. Rasa kepemilikan organisasi harus ditanamkan dalam setiap pikiran orang (sense of belonging for organization), bahwa setiap aktivitas yang dilakukan adalah untuk kepentingan dan kemajuan organisasi. Penanaman paradigma ini sangat penting untuk menghindari kecenderungan status quo yang dapat menghinggapi pikiran setiap individu. Rasa kepemilikan yang besar terhadap organisasi akan menciptakan individu yang cerdas dan kreatif karena mereka akan berusaha sesuai dengan peran dan kemampuannya untuk menghasilkan ide dan gagasan yang dapat menjadikan organisasi tumbuh dan berkembang. Selain itu mereka juga akan mempersiapkan generasi penerus yang dapat melanjutkan kehidupan organisasi pada masa mendatang. Rasa kepemilikan yang tinggi terhadap organisasi akan melahirkan toxic handler yaitu individu yang mampu dan bersedia berkorban untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam organisasi (Frost dan Robinson, 1999). Toxic handler selalu berusaha untuk meringankan permasalahan yang terjadi dalam organisasi dengan mendengarkan secara empati, memberikan solusi, memberikan kepercayaan diri pada orang lain dan mampu untuk mempermudah permasalahan dengan bahasa yang sederhana. Toxic handler memainkan peran yang penting pada proses perubahan yang dilakukan, terutama untuk menghadapi pihak-pihak yang menolak perubahan. Membudayakan perubahan berarti menciptakan toxic handler agar dampak dari perubahan tidak terlalu menyakitkan bagi organisasi. Selain itu, rasa kepemilikan terhadap organisasi juga akan menghasilkan perilaku politik yang dimaksudkan untuk kepentingan bersama, bukan semata untuk kepentingan individu. Political skill merupakan keahlian individu yang mengkombinasikan kesadaran sosial dengan kemampuan berkomunikasi dengan baik. Individu dengan political skill yang tinggi akan mampu mengendalikan emosinya dan mudah melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosial yang berbeda (Ferris et.al, 2000). Political skill berkaitan dengan kebanggaan individu terhadap nilai-nilai yang ada dalam organisasi dan kepekaan sosial dari interaksi yang dilakukan antar individu. Hal ini menunjukan bahwa membangun budaya perubahan dapat dilakukan bila aktivitas politik yang dilakukan setiap individu dilakukan untuk kepentingan organisasi dan mempertimbangkan interaksi dengan individu lainnya.

Menjadi Proaktif Terhadap Perubahan (skripsi dan tesis)

 Ada dua teori perubahan dalam organisasi yaitu teori E (economic value) dan teori 0 (organizational capabilities), teori E bersifat top-down sedangkan teori 0 bersifat bottom-up (Beer dan Nohria, 2000 dalam Beer, 2001). Tujuan utama dari teori E adalah untuk memaksimalkan nilai ekonomis organisasi dengan perencanaan yang terprogram dan memfokuskan pada struktur dan sistem. Oleh karena itu, peran pimpinan atau manajer tingkat atas memainkan peran sebagai pengendali utama. Teori ini menunjukan bahwa proses perubahan dilakukan berdasarkan rencana yang telah disusun oleh manajer tingkat atas tanpa melibatkan manajer tingkat bawah atau pekerja. Tentu saja proses perubahan berdasarkan teori ini sangat berpotensi melahirkan penolakan terhadap perubahan karena sifatnya yang sentralistik. Teori 0 memandang bahwa proses perubahan dilakukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kapabilitas organisasi dengan melibatkan seluruh lapisan organisasi sehingga fokus utamanya adalah budaya organisasi. Perencanaan disusun lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan internal maupun eksternal organisasi. Perubahan yang dilakukan berdasarkan teori ini cenderung sedikit melahirkan penolakan karena sifatnya yang partisipatif. Pimpinan organisasi harus memperhatikan suara atau aspirasi bawahannya tentang proses perubahan yang akan dilakukan dan melakukan sosialisasi tentang visi dan misi perubahan yang akan dilakukan. Teori 0 yang bersifat partisipatif ini mendorong setiap orang dalam organisasi untuk: berperan dalam setiap proses perubahan, hal ini berarti setiap orang adalah agen perubahan yang memiliki karakter proactive to change. Implikasinya adalah proses perubahan bisa berawal dari individu. Perubahan yang dilakukan pada lingkup yang luas seperti budaya organisasi cenderung untuk menghasilkan penolakan dan biaya yang dikeluarkan akan relatif sangat besar, karena perubahan pada level budaya akan mengakibatkan perubahan pada sistem, struktur, proses, dan kebijakan secara simultan. Terlebih lagi bila perubahan tersebut tidak didukung oleh perencanaan yang matang dan sumberdaya yang menunjang, akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Argumentasi ini bukan berarti menyalahkan atau menolak proses perubahan yang diawali dari budaya organisasi, hanya saja perIu pertimbangan yang mendalam untuk melakukan proses perubahan secara revolutif. Namun demikian, perubahan secara revolutif dapat dilakukan pada level individu atau iklim dalam organisasi yaitu dengan melakukan interaksi antar individu untuk memotong rutinitas pekerjaan yang menjadi salah satu sumber resistensi perubahan organisasi. Revolusi iklim pekerjaan dapat dilakukan dengan inisiatif untuk melakukan peran yang lebih besar (extrarole) sehingga perubahan dapat tercipta. Salah satu peran tambahan yang dapat dilakukan adalah taking charge yang memiliki orientasi perubahan dan berfokus pada kemajuan organisasi (Morrison dan Phelps, 1999). Taking charge adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seorang pekerja diluar peran formalnya yang dilakukan secara sukarela dengan usaha konstruktif dan berkaitan dengan pekerjaan di lingkup unit organisasinya. Orang-orang yang bersedia untuk mengambil peran tambahan bagi pekerjaanya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap organisasi dan memiliki self efficacy yang tinggi (Morrison dan Phelps, 1999). Relevansinya dengan proses perubahan pada level iklim organisasi adalah bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mengambil peran tarnbaban yang dibutuhkan organisasi untuk memulai proses perubahan dengan memotong rutinitas pekerjaan sehingga akan 128 tertanam dalam diri setiap individu rasa tanggung jawab untuk memajukan organisasinya. Hal ini akan mendorong setiap pekerja untuk selalu melakukan perubahan (proactive to change) agar aktivitas yang dilakukannya dapat sesuai dengan tuntutan organisasi dan lingkungan eksternalnya. Iklim perubahan yang tercipta pada level individu atau unit ini merupakan langkah awal bagi organisasi untuk menciptakan budaya perubahan dalam lingkup yang lebih luas lagi. Membudayakan perubahan (culturing the change), itulah sasaran utama organisasi seharusnya agar selalu dapat segera menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Perubahan yang efektif akan tercapai bila organisasi mampu menciptakan dan mempertahankan iklim dan budaya yang baru (Sclmeider et.al, 1996), yaitu budaya untuk berubah

Tantangan Perubahan Organisasi (skripsi dan tesis)

Perubahan pada organisasi tidaklah semudah membalikan telapak tangan, terlebih lagi bila perubahan dilakukan tanpa visi dan misi yang jelas, hanya akan menyebabkan penolakan terhadap perubahan itu sendiri. Kebanyakan orang memandang bahwa perubahan hanya akan menimbulkan ketidakstabilan dan kerusakan organisasi, membuang sumberdaya dan merugikan orang-orang yang terkena dampak perubahan. Perampingan struktur organisasi adalah salah satu contohnya, banyak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan pekerja lainnya selalu dilingkupi rasa ketakutan menjadi korban selanjutnya. Proses perubahan yang dilakukan organisasi biasanya menghasilkan pihak-pihak yang menolak (rejecting to change), mendukung dan mendorong (proactive to change) atau hanya sekedar menunggu (waiting for change) dari dampak perubahan tersebut. Salah satu penyebab terjadinya penolakan perubahan adalah ketidaksamaan pandangan antara pemimpin dan bawahan (Strebel, 1996). Pimpinan organisasi merupakan pengendali utama proses perubahan sehingga harus memiliki visi dan misi yang jelas. Namun, visi dan mist saja tidak cukup. Pemimpin harus melakukan sosialisasi kepada bawahannya. Penolakan terhadap perubahan dari bawahan karena tidak adanya kesamaan pandangan ini merupakan penyebab utama tidak efektifnya proses perubahan. Penolakan terhadap perubahan tidak hanya datang dari bawahan saja, tetapi juga dari manajemen tingkat atas atau pimpinan organisasi sekalipun. Hal ini disebabkan karena mereka terjebak dalam rutinitas pekerjaan dan merasa sudah sampai pada puncak kesuksesan. Pekerjaan yang dilakukan secara rutin akan membangun sikap pembelaan terhadap status quo dan cenderung untuk menolak perubahan. Keadaan ini semakin parah bila sudah menjadi budaya organisasi. Orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak akan sadar bahwa perubahan Iingkungan eksternal menuntut mereka untuk segera keluar dari rutinitas pekerjaan. Disinilah peran orang-orang yang sadar tentang perubahan atau pihak -pihak yang mendorong perubahan organisasi bermain. Mereka harus memunjukan data dan fakta bahwa perubahan merupakan suatu keharusan bagi sebuah organisasi seiring dengan semakin dinamisnya lingkungan ekstemal. Organisasi harus memberikan dukungan pada pihak-pihak yang proactive to change sebagai sumberdaya perubahan organisasi dan menangani pihak-pihak yang menolak perubahan dengan bijaksana

karakteristik dari perilaku kepemimpinan transformasional (skripsi dan tesis)

Beberapa karakteristik dari perilaku kepemimpinan transformasional antara lain: a) Mempunyai misi yang besar dan mempunyai intuisi b) Menempatkan diri sebagai motor penggerak perubahan c) Berani mengambil resiko dengan pertimbangan yang matang d) Memberikan kesadaran kepada bawahan akan pentingnya hasil pekerjaan e) Memiliki kepercayaan akan kemampuan bawahan f) Fleksibel dan terbuka terhadap pengalaman baru g) Berusaha meningkatkan motivasi yang lebih tinggi daripada sekedar motivasi yang bersifat materi h) Mendorong bawahan untuk menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi dan golongan i) Mampu mengartikulasikan nilai inti/budaya tradisi untuk membimbing tradisi mereka bawahan

Kepemimpinan Tranformasional (skripsi dan tesis)

Istilah kepemimpinan transformatif berasal dari dua kata, yaitu kepemimpinan atau leadership dan transformatif atau tranformasional. Istilah transformatif berinduk kepada kata to transfrom, yang bermakna mentranformatifkan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda. Menurut Raihan, dalam bukunya Kepemimpinan Sekolah Transformatif, menyatakan bahwa tahun 1980-an menjadi saksi lahirnya konsep baru tentang transformatif. Teori ini sering dirujuk sebagai model kepemimpinan yang efektif, yang disusun berdasarkan perspektif hubungan leader-follower. Kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses dimana pemimpin mengambil tindakan-tindakan untuk meningkatkan kesadaran rekan kerja mereka tentang apa yang penting, untuk meningkatkan kematangan motivasi rekan kerja mereka serta mendorong mereka untuk melampaui minat pribadi mereka demi mencapai kemaslahatan kelompok, organisasi, atau masyarakat.Kepemimpinan tranformasional merupakan kepemimpinan yang masih terbilang baru yang dipandang efektif untuk mendedikasikan perubahan, terutama pada situasi lingkungan yang bersifat transional. Model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya. Hater dan Bass menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance".
Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan

Implikasi Kepemimpinan (skripsi dan tesis)

Kepemimpinan memiliki beberapa implikasi, antara lain : a. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (fllowers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan, tidak akan ada pemimpin. b. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yeng berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi. c. Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggung jawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cignizance), keberanian bertindak dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (comminication) dalam mambangun organisasi.  Seorang pemimpin terutama harus mempunyai fungsi sebagai penggerak atau dinamisator dan koordinator dari sumber daya manusia, sumber daya alam, semua dana dan sarana yang disiapkan oleh sekumpulan manusia yang berorganisasi untuk mencapai sebuah tujuan

Definisi Kepemimpinan (skripsi dan tesis)

Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Menurut Stone, semakin banyak jumlah sumber kekuasaan yang tersedia bagi pemimpin, akan makin besar potensi kepemimpinan yang efektif. Jenis pemimpin ini bermacam-macam, ada pemimpin formal, yaitu yang terjadi karena pemimpin bersandar pada wewenang formal. Ada pula pemimpin nonformal, yaitu terjadi karena pemimpin tanpa wewenang formal berhasil mempengaruhi perilaku orang lain.
1 Secara klasikal, kepemimpinan dalam bahasa Inggris disebut sebagai leadership yang berarti being a leader power of leading: the qualities of leader.
2 Namun secara terminology, ada beberapa kepemimpinan menurut para ahli yang dipandang dari berbagai perspektif tergantung dari sudut mana para ahli memandang hakikat kepemimpinan. 
Menurut E. Mulyasa, kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang terhadap tercapainya tujuan organisasi.
3 Sedangkan kepemimpinan menurut Malayau S.P Hasibuan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi
.4 Kepemimpinan biasanya diartikan sebagai kekuatan untuk menggerakkan orang dan mempengaruhi orang. Kepemimpinan hanyalah sebuah alat, sarana atau proses untuk membujuk orang agar bersedia melakukan sesuatu secara suka rela. Berkaitan dengan kesediaan orang lain mengikuti keinginan pemimpin, di sini dikemukakan ada beberapa kekuatan (kekuasaan) yang mesti dimiliki pemimpin itu agar orang yang digerakkan tersebut mengikuti keinginannya, yaitu berupa ancaman, penghargan, otoritas, dan bujukkan.
5 Pengertian lain menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses menghargai orang lain untuk memahami dan menyepakati tentang apa yang perlu untuk dilakukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, dan proses memfasilitasi usaha individu atau kelompok (kolektif) untuk memenuhi tujuan-tujuan utama.
Banyaknya konsep definisi kepemimpinan yang berbeda hampir sebanyak jumlah orang yang telah berusaha untuk mendefinisikannya. Untuk lebih mempermudah pemahaman kita, maka akan diambil satu definisi yang kiranya mampu menjadi landasan untuk membahas konsep kepemimpinan itu sendiri. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya.

Konflik Organisasi (skripsi dan tesis)

McCollum mendefinisikan konflik sebagai perilaku seseorang dalam rangka berposisi dengan pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain sehingga konflik dapat diartikan sebagai peristiwa sosial yang mencakup penentangan (oposisi) atau ketidaksetujuan (Lestari, 2012). Menurut Mangkunegara (2011), konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya. 

Pengertian Resistensi (skripsi dan tesis)

Herskovitch mendefinisikan resistensi terhadap perubahan sebagai perilaku karyawan yang dimaksudkan untuk menghindari perubahan dan atau mengganggu suksesnya penerapan perubahan dalam bentuk tertentu. (dalam Boohene & Williams, 2012). Pengertian lain tentang resistensi terhadap perubahan juga diartikan sebagai sikap atau perilaku yang mengindikasikan tidak adanya keinginan untuk mendukung atau membuat sebuah perubahan (Mullins; Schermerhorn; Hunt & Osborn dalam Yilmaz & Kilicoglu, 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi terhadap perubahan pada tataran individu menurut Sembiring (2009) terdiri atas : 1. Kebiasaan kerja Resistensi terjadi karena karyawan khawatir kebiasaan kerja yang ia praktikkan selama ini yang sudah nyaman akan berubah menjadi kebiasaan kerja baru yang mungkin bisa mengganggu atau merepotkan karyawan tersebut. 2. Keamanan Perubahan dapat menimbulkan perasaan tidak aman, perasaan tidak aman muncul karena karyawan merasa takut akan pemecatan, merasa khawatir apakah karyawan tersebut masih memenuhi syarat untuk tetap menduduki jabatan atau posisi yang dia pangku selama ini, atau apakah karyawan tersebut akan digantikan oleh seseorang. 3. Ekonomi Faktor ekonomi seperti gaji merupakan hal yang sering ditanyakan ketika terjadi perubahan dalam organisasi. Setiap karyawan akan berharap bahwa perubahan tidak berdampak pada menurunya gaji. 4. Sesuatu yang tidak diketahui Karyawan akan berpandangan bahwa suatu perubahan akan membawa pada perubahan berikutnya. Perubahan-perubahan tersebut merupakan hal yang tidak diketahui karyawan. 5. Pemrosesan informasi Resistensi seseorang terhadap perubahan dapat terjadi karena karyawan tidak menerima informasi secara komprehensif. Kurangnya pemahaman akan informasi tersebut dapat juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan menginterpretasikan informasi

Pengertian Perubahan Organisasi (skripsi dan tesis)

 Wibowo menyatakan bahwa perubahan dapat terjadi pada diri kita maupun di sekeliling kita, bahkan kadang-kadang kita tidak sadari bahwa hal tersebut berlangsung (2011 : 104). Pengertian lain dari Kreitner dan Kinicki (2001 : 659) yang menyatakan bahwa ada dua kekuatan yang dapat mendorong munculnya kebutuhan untuk melakukan perubahan di dalam perusahaan, yaitu: 1. Kekuatan eksternal, yaitu kekuatan yang muncul dari luar perusahaan, seperti: karakteristik demografis (usia, pendidikan, tingkat keterampilan, jenis kelamin, imigrasi, dan sebagainya), perkembangan teknologi, perubahan-perubahan di pasar, tekanan-tekanan sosial dan politik. 2. Kekuatan internal, yaitu kekuatan yang muncul dari dalam perusahaan, seperti: masalah-masalah/prospek sumber daya manusia (kebutuhan yang tidak terpenuhi, ketidakpuasan kerja, produktifitas, motivasi kerja, dan sebagainya), perilaku dan keputusan manajemen

Kesiapan Organisasi untuk Berubah (skripsi dan tesis)

Menurut Weiner (2009) kesiapan organisasi untuk berubah merupakan kebersamaan tekad anggota organisasi untuk mengimplementasikan perubahan (komitmen perubahan) dan kepercayaan bersama pada kemampuan kolektif yang mereka miliki dalam melakukan perubahan tersebut. Kesiapan organisasi juga diartikan sebagai suatu keadaan psikologis bersama di mana anggota organisasi merasa berkomitmen untuk melaksanakan perubahan organisasi dan merasa percaya diri dalam kemampuan kolektif anggota organisasi untuk melakukan perubahan tersebut. Selain itu kesiapan organisasi untuk berubah juga mengacu pada seberapa besar anggota organisasi menilai perubahan, bagaimana perubahan tersebut menguntungkan mereka dan bagaimana mereka menilai tiga (3) faktor penentu dari kemampuan mengimplementasikan perubahan, yakni: tuntutan tugas, ketersediaan sumber daya dan faktor situasional yang ada. Ketika kesiapan organisasi untuk berubah tinggi, maka anggota organisasi akan lebih tertarik untuk memulai/menginisiasi perubahan, mengerahkan usaha yang lebih besar untuk perubahan tersebut, menunjukkan ketekunan yang lebih besar, serta menampilkan perilaku lebih kooperatif terhadap perubahan yang akhirnya akan membantu efektivitas/keberhasilan pelaksanaan perubahan (Weiner, 2009). Sedangkan kesiapan organisasi untuk berubah menurut Ramnarayan & Rao (2011) adalah adaptasi organisasi dalam rangka mencari cara untuk menyesuaikan kembali (realign) organisasi dengan lingkungan yang berubah. Menurut Ramnarayan terdapat enam dimensi terkait kesiapan organiasasi untuk berubah, yakni: 1) komitmen terhadap rencana, prioritas, program dan tujuan; 2) perhatian terhadap inovasi/perubahan; 3) perhatian terhadap integrasi lateral; 4) perhatian terhadap integrasi vertikal; 5) pemindaian lingkungan, upaya membangun jaringan; dan pembelajaran dari orang lain; 6) membangun kapabilitas individu atau kelompok (Ramnarayan & Rao, 2011). 

Kesiapan Individu untuk Berubah (skripsi dan tesis)

Kesiapan individu untuk berubah menurut Armenakis dkk (1993) adalah keyakinan, perilaku dan intensi seseorang terhadap perubahan yang dibutuhkan dan terkait dengan persepsi mereka terhadap kapasitas individual dan organisasinya untuk mencapai keberhasilan dalam perubahan tersebut. Armenakis dkk (1993) mendefinisikan kesiapan untuk berubah sebagai perilaku kognitif baik itu dalam bentuk resistensi maupun dukungan atas upaya perubahan. Lebih lanjut, Armenakis dkk (1993), dan Anderson (2002) menyatakan bahwa kesiapan pekerja adalah prekursor kognitif perilaku yang mendukung upaya perubahan dan tercermin dalam kesediaan anggota organisasi untuk mengadopsi perubahan (Mangundjaya, 2016). Pengertian ini ditunjang oleh Holt dkk (2007) yang menyatakan bahwa kesiapan individu untuk berubah adalah seberapa besar individu secara kognitif dan emosional menampilkan penerimaan dan usaha untuk dapat melaksanakan rencana dalam rangka melakukan perubahan terhadap kondisi saat itu. Definisi lain mengenai kesiapan individu untuk berubah menurut Hanpachern (1997) adalah sejauh mana individu-individu siap secara mental, psikologi, maupun fisik siap atau prima untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan organisasi. Secara umum, Hanpachern (1997) menjelaskan terdapat tiga (3) dimensi kesiapan untuk berubah, yaitu: 1) Mempromosikan perubahan. Dimensi ini menurut Hanpachern menggambarkan sikap atau respon individu dalam menunjukkan dukungan terhadap perubahan organisasi dengan cara mempromosikan perubahan organisasi terhadap orang lain; 2) Berpartisipasi pada perubahan. Dimensi ini mencerminkan respon atau sikap individu dalam mendukung implementasi perubahan di organisasi dengan cara melakukan berbagai usaha untuk mencapai keberhasilan tersebut; 3) Penolakan/resistensi terhadap perubahan. Dimensi ini mencerminkan respon atau sikap individu yang menolak perubahan yang ditunjukkan dengan adanya sikap negatif terhadap perubahan organisasi.

Komitmen Afektif untuk Berubah (skripsi dan tesis)

Herscovitch dan Meyer (2002) mendefinisikan komitmen afektif untuk berubah sebagai suatu keinginan untuk memberikan dukungan terhadap perubahan yang dilandasi pada kepercayaan bahwa perubahan memiliki manfaat dan merupakan hal yang baik. Lebih lanjut Herscovitch dan Meyer (2002) menjelaskan bahwa komitmen afektif untuk berubah merupakan kesediaan pekerja untuk berubah melampaui persyaratan minimum yang ada; mereka percaya terhadap perubahan, dan ingin memberikan kontribusi terhadap keberhasilan perubahan. Terkait dengan hal ini, penelitian Parish dkk, 2008 juga menunjukkan bahwa komitmen afektif untuk berubah juga berdampak positif dan signifikan terhadap kegiatan memfasilitasi pembelajaran individual. Selain itu komitmen afektif untuk individu untuk berubah berdampak positif terhadap percepatan perubahan organisasi dan dapat meningkatkan kinerja individu. Penelitian lain yang dilakukan Herscovitch dan Meyer (2002), Schweiger (2002) dan Cummingham (2006), menjelaskan bahwa komitmen afektif untuk berubah yang dimiliki individu akan berdampak positif dan signifikan terhadap keterikatan emosional pekerja. Selain itu, Paton dan McCalman (2008, dalam Parish dkk, 2008) juga menyebutkan bahwa keberhasilan implementasi perubahan merupakan hasil utama dari adanya komitmen anggota organisasi terhadap strategi perubahan yang ditetapkan.