Mobile learning sendiri merupakan
salah satu jenis pembelajaran yang sedang
berkembang saat ini. Konsep
pembelajarannya sendiri mobile learning
mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki
media lain yaitu mudah di akses setiap saat
dan lebih menarik untuk dipelajari pada
umumnya. Quinn (2000) berpendapat
bahwa m-learning adalah sebuah elearning yang dapat diwujudkan melalui
perangkat mobile, namun m-learning
memiliki manfaat ketersediaan materi ajar
yang dapat diakses pengguna kapan saja
dan di mana saja melalui perangkat
mobile.
Mobile learning didefinisikan oleh
Kulkulska (2015:1) yaitu sebuah konsep
baru dalam pendidikan dan memiliki salah
satu konotasi yag familiar berkaitan
dengan mobilitas pelajar. Konotasi yang
familiar tersebut ialah penggunaan
perangkat genggam baik itu ponsel,
smartphone, maupun tablet yang saat ini
menjadi tren perkembangan komunikasi
dan informasi di dunia. Penggunaan
perangkat genggam tersebut dimanfaatkan
sebagai suatu strategi dalam belajar dalam
arti bahwa pebelajar harus mampu untuk
terlibat daalam kegiatan pembelajaran
tanpa dibatasi ruangan.
Mcquiggan (2015:8) menyatakan
Istilah mobile learning atau biasa disebut
m-learning merupakan pengalaman dan
kesempatan yang diberikan oleh evolusi
teknologi pendidikan. Ini dapat dilakukan
di mana saja dan kapan saja pembelajaran
dilakukan instan, akses belajar
dikendalikan secara pribadi. Dimana
pembelajaran penuh dengan alat dan
sumber daya, kita aka lebih mengkonstruk
pengetahuan kita sendiri, memuaskan
keingintahuan kita, berkolaborasi dengan
orang lain, dan budidaya pengalaman.
Menurut Tamimuddin (2007:1)
mobile learning diartikan kepada
Kamis, 30 April 2020
Gamifikasi (skripsi dan tesis)
Gamifikasi merupakan konsep
yang berasal dari domain media. Ini
digunakan pada tahun 2008 tetapi baru
mendapatkan pengakuan luas pada paruh
tahun kedua 2010 ketika menjadi topik
presentasi konfrensi dan diadopsi oleh
industri. Definisi gamifikasi menurut
Deterding dkk (2011) adalah penggunaan
P elemen game design dalam konteks nongame , sedangkan menurut Huotari dan
Hamari (2012) mendefinisikannya sebagai
suatu proses untuk memberikan bentuk
pengalaman bermain untuk mendukung
penciptaan nilai secara keseluruhan.
Gamifikasi adalah alat yang ampuh
untuk memberikan pendidikan dan
pelatihan di perusahaan. Pertimbangkan
definisi formal dari permainan dalam
konteks pendidikan seperti: pemain,
kegiatan berpikir, tantangan abstrak,
aturan, interaktivitas, umpan balik, hasil
yang diukur dan reaksi emosional yang
semua terdapat dalam satu struktur (Kapp,
2013:2).
Permainan yang abstrak
menunjukkan hanya karakteristik tertentu
dari kehidupan nyata dan mereka
menyajikan realitas yang berbeda. Unsur
tantangan membuat pemain terdorong
untuk mencapai tujuan tertentu.
Interaktivitas dalam game terjadi antara
pemain dan sistem permainan dan di antara
pemain. Umpan balik positif atau negatif
mempengaruhi perilaku permainan
pemain. Pemain bereaksi secara emosional
terhadap bagian yang berbeda dari
pengalaman gaming. Gamifikasi
menggunakan dinamika berbasis game ini
untuk terlibat dan tidak hanya melihat.
Gamifikasi menyajikan antarmuka estetika
menarik yang mempengaruhi bagaimana
pemain melakuakan permaianan.
Komponen yang paling penting dari
gamifikasi adalah bagaimana
mempromosikan permainan berpikir,
mengubah dari suatu kegiatan sehari-hari
menjadi kesempatan untuk belajar dan
berkembang. (Kapp, 2013:2)
Dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa
gamifikasi merupakan penerapan teknik
dan strategi dari suatu permainan ke dalam
konteks nonpermainan yang bertujuan
untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Metode seperti ini bekerja dengan cara
membuat materi atau teknologi menjadi
lebih menarik dengan mendorong
pengguna untuk ikut terlibat dalam
perilaku yang diinginkan. Tujuannya
adalah meningkatkan partisipasi, motivasi,
dan prestasi pengguna
Gamifikasi Dalam PEmbelajaran (skripsi dan tesis)
Banyak peneliti menerapkan gamifikasi dalam pembelajaran dengan alasan untuk meningkatkan motivasi
siswa (Khalil et al., 2018). Dengan demikian, konseptualisasi motivasi diperlukan untuk memahami
dampak ataupun faktor-faktor penghambat dalam implementasi gamifikasi dalam pembelajaran. Teori
motivasi yang telah sukses diterapkan dalam gamifikasi adalah teori determinasi diri atau selfdetermination theory (Groh, 2012; Sailer et al., 2017). Teori ini menjelaskan tiga kebutuhan dasar, yaitu
kebutuhan akan kompetensi, otonomi, dan relasi (Deci & Ryan, 1985), yang dipaparkan secara singkat
sebagai berikut.
▪ Kebutuhan akan kompetensi. Kebutuhan ini merujuk pada keinginan untuk merasa mampu dalam
mencapai tujuan tertentu, serta kompeten menyelesaikan suatu permasalahan (Deci & Ryan, 2004).
Di dalam konteks pendidikan, ketika faktor-faktor yang menumbuhkan perasaan kompeten (seperti
kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan atau keterampilan baru) dapat dikembangkan, maka
iklim kompetisi akan tumbuh, dan akibatnya motivasi instrinsik juga akan meningkat (Chen, 2019).
▪ Kebutuhan akan otonomi. Kebutuhan ini berkenaan dengan perasaan bebas secara psikologis dan
keinginan untuk menyelesaikan suatu tugas. Siswa yang bebas secara psikologis akan membuat
keputusan berdasarkan nilai dan minatnya sendiri (Decy & Ryan, 2004), dan siswa yang memiliki
keinginan akan melaksanakan tugas tanpa tekanan dan paksaan eksternal (Vansteenkiste et al., 2010).
Pemberian kesempatan kepada siswa untuk memilih, misalnya melalui umpan balik yang positif,
merupakan salah satu bentuk fasilitasi otonomi, yang pada akhirnya akan meningkatkan motivasi
intrinsiknya (Griffin, 2016).
▪ Kebutuhan akan relasi. Kebutuhan ini merujuk pada perasaan memiliki, terikat, dan peduli terhadap
kelompok (Sailer et al., 2017). Motivasi intrinsik siswa akan semakin kuat ketika mereka diberikan
ruang untuk bekerja sama, serta berbagi pengalaman dan tujuan bersama. Dengan demikian, guru
sebaiknya mengurangi faktor-faktor yang dapat menghalangi siswa untuk melakukan interaksi sosial,
melainkan membuat lingkungan belajar yang mendukung terjadinya relasi sosial sehingga kebutuhan
siswa akan relasi terpenuhi
Gamifikasi (skripsi dan tesis)
Gamifikasi adalah penggunaan elemen-elemen desain gim dalam konteks-konteks bukan gim (Deterding
et al., 2011; Groh, 2012). Beberapa kata atau frasa kunci dalam definisi tersebut adalah gim, elemen, desain,
dan konteks bukan gim. Oleh karena itu, kata-kata atau frasa-frasa kunci tersebut akan dibahas lebih lanjut.
Gim adalah suatu sistem yang membuat para pemainnya terlibat dalam konflik buatan, didefinisikan
oleh aturan-aturan tertentu, dan menghasilkan suatu luaran yang dapat terkuantifikasi (Salen et al., 2004).
Karena gim merupakan suatu sistem yang didefinisikan dengan aturan-aturan tertentu, maka gim berbeda
dengan permainan. Permainan mengarah kepada aktivitas-aktivitas bebas dan eksploratif (Groh, 2012).
Karena penjelasan gim yang seperti ini, maka gamifikasi berhubungan pada karakteristik gim yang berbasis
aturan dan berorientasi tujuan.
Elemen yang dimaksud dalam definisi gamifikasi merujuk pada bangunan-bangunan gim yang
disematkan pada konteks dunia nyata. Hal inilah yang membedakan gamifikasi dengan gim serius karena
gim serius sengaja dikembangkan secara penuh untuk tujuan yang spesifik dan tidak mengarah ke hiburan
(Xu et al., 2013).
Istilah desain adalah istilah berikutnya yang muncul dalam definisi gamifikasi. Istilah inilah yang
membedakan gamifikasi dengan teknologi-teknologi berbasis gim. Berbeda dengan teknologi-teknologi
berbasis gim yang terdiri dari aspek-aspek teknologi, seperti mesin-mesin gim dan kontrolir, gamifikasi
secara jelas merujuk pada proses desain yang disengaja (Deterding et al., 2011).
Istilah terakhir dalam definisi gamifikasi adalah konteks bukan gim. Dengan istilah ini, gamifikasi dapat
diterapkan kepada berbagai bidang dan skenario. Dengan demikian, sangat memungkinkan untuk
membawa elemen-elemen desain gim kepada bidang pendidikan pada umumnya, dan pembelajaran
matematika pada khususnya.
Definisi Flipped Classroom (skripsi dan tesis)
Flipped classroom menjadi pendekatan pembelajaran yang menarik perhatian para peneliti, akademisi, dan
guru. Hwang et al. (2019) melaporkan adanya tren yang naik terhadap penelitian mengenai flipped
classroom. Dari penelitian-penelitian ini, beragam definisi telah ditawarkan untuk pendekatan
pembelajaran yang juga sering disebut dengan flipped learning (Bond, 2019) dan inverted classroom (Lage
et al., 2000) ini. Dua definisi yang sering digunakan oleh para peneliti untuk mendefinisikan pendekatan
ini adalah definisi yang diajukan oleh Bishop & Verleger (2013) dan Flipped Learning Network (FLN,
2014).
Bishop & Verleger (2013) mendefinisikan flipped classroom sebagai strategi pembelajaran yang terdiri
dari dua bagian, yaitu aktivitas-aktivitas pembelajaran kelompok interaktif di dalam kelas, dan pengajaran
langsung berbasis komputer yang dilakukan secara individual dan dilaksanakan di luar kelas. Definisi ini
secara jelas membedakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa ketika di dalam kelas dan di luar
kelas. Secara garis besar, aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh siswa ketika di dalam kelas adalah
belajar secara berkelompok. Selain itu, pembelajaran di dalam kelas dilakukan secara interaktif. Artinya,
flipped classroom menekankan interaksi antar pelaku pembelajaran.
Sebaliknya, kegiatan pembelajaran di
luar kelas menekankan pembelajaran langsung yang dilakukan secara individual. Kegiatan di luar kelas
Y. semacam ini didukung oleh komputer sebagai media penyampai pesan pembelajarannya. Media berbasis
komputer yang digunakan dalam kegiatan di luar kelas merupakan video-video pembelajaran.
Definisi flipped learning yang lebih komprehensif diusulkan oleh FLN (2014). Definisi tersebut adalah
sebagai berikut.
[A] pedagogical approach in which direct instruction moves from the group learning space to
the individual learning space, and the resulting group space is transformed into a dynamic,
interactive learning environment where the educator guides students as they apply concepts and
engage creatively in the subject matter.
Untuk mengimplementasikan pendekatan flipped learning seperti yang didefinisikan oleh FLN (2014)
tersebut, guru harus menggabungkan empat pilar pendekatan pembelajaran tersebut, yaitu (1) lingkungan
belajar yang fleksibel, (2) budaya belajar berpusat siswa, (3) konten pembelajaran yang terencana, dan (4)
guru yang profesional. Dengan lingkungan belajar yang fleksibel, siswa mendapatkan moda pembelajaran
yang bervariasi, dan dapat memilih kapan dan di mana mereka belajar. Budaya belajar dalam pendekatan
flipped learning harus bergeser dari pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat
pada siswa. Dengan budaya ini, siswa akan menggunakan waktu belajar di kelas untuk mengeksplorasi
topik secara mendalam dan mendapatkan kesempatan belajar yang lebih kaya. Selanjutnya, guru harus
memilih dan memilah konten pembelajaran mana yang akan diajarkan secara langsung dan konten mana
yang diletakkan pada lingkungan belajar individu. Di pilar terakhir, guru harus profesional. Artinya, peran
guru tidak dapat digantikan oleh flipped learning, tetapi peran guru dalam pendekatan ini semakin krusial
dibandingkan dengan pembelajaran tradisional.
Employee Engagement (skripsi dan tesis)
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Shuck
dan Wollard dalam Ray French (2015:132)
yang berjudul “Organizational Behaviour”
mendefinisikan employee engagement sebagai
berikut: “Employee engagement is an
individual employee’s cognitive, emotional and
behavioral state directed toward desired
organizational outcomes”. Pendapat lain
dikemukan oleh Khan’s dalam Ling Suan
Choo, Norslah Mat dan Mohammed Al-Omari
(2013) bahwa “Employee engagement is the
harnessing of organization members’ selves to
their work roles; in engagement, people employ
and express themselves physically, cognitively,
and emotionally during role performances”.
Sedangkan menurut Akila Narayanan (2014)
dalam buku Gamification for Employee
Engagement, “Employee engagement can be
defined as the degree to which an employee
bonded towards his organization or job”.
Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi Employee Engagement, Akila
Narayanan (2014) dalam buku Gamification for
Employee Engagement, menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi Employee
Engagement sebagai berikut: 1). Satisfaction. A
satisfied employee need not be an engaged
employee, but an engaged employee almost
always satisfied employee. At the outset, job
satisfaction indicate degree to which an
employee is content with their job, whereas
engagement bespeaks the degree to which an
employee goes beyond the call of duty. 75-80%
employee can be satisfied if they are assured of
; job security, financial stability, compensation,
benefits, flexibility at the workplace. While
satisfaction can’t directly contribute to
engagement, it certainly disturb the
engagement level if not taken care of; 2).
Motivation. A satisfied employee need not be
motivated employee and motivated employee
not be an engaged employee, whereas an
engaged employee is almost always a satisfiedcum-motivated employee. Motivation refers to
psychological drive that reinforced one’s
action toward accomplishing task or goals. It
clearly indicates why an employee behaves in a
certain fashion. There are two categories of
motivation: a). Extrinsic Motivation; b).
Intrinsic Motivation; 3). Advancement. Refers
to the growth in one’s career in term of
designation or position, usually in relation to
their good performance. This can also involve
advancement in term of gaining knowledge,
skills, and maturity to move to the next level or
undertake challenging assignments
Gamification (skripsi dan tesis)
Palmer dalam jurnal Conaway (2014) yang
berjudul “Gamification and service marketing”
menjelaskan definisi gamification sebagai
berikut: “Gamification is taking the essence of
games-fun, play, transparency, design,
challenge-and applying it to real-world
objectives rather than pure entertainment”
Pendapat lain dikemukan oleh Deterding
dalam jurnal Han (2015) yang berjudul
“Gamified Pedagogy: From Gaming Theory to
Creating a Self-Motivated Learning
Environment in Studio Art” mendefinisikan
gamification sebagai berikut: “Gamification is
using game design elements In non-contexts to
motivate and increase user activity and
retention”. Maka berdasarkan pendapatpendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa
Gamification merupakan suatu proses
pengaplikasian unsur-unsur yang ada dalam
game pada hal-hal non-konteks dengan tujuan
memotivasi dan meningkatkan keterlibatan
penggunanya.
Menurut jurnal Jeffrey dan Elisabeth (2016)
dalam jurnal yang berjudul “A framework for understanding game-based teaching and
learning” menjelaskan elemen-elemen dari
gamification: “One use of gamification is to
turn learning into game by adopting games
elements and structures. These game elements
can include everything from leaderboards,
badges or “archievement” all the way to fully
realized game narrative”
Defini Pelatihan (skripsi dan tesis)
Menurut Jan Bella dalam Graha (2012)
dalam jurnal nasional yang berjudul “Pengaruh
Pelatihan dan Komunikasi Terhadap Kinerja
Karyawan Call Center di Bandung”
menjelaskan definisi pelatihan sebagai berikut:
“Pendidikan dan Latihan sama dengan
pengembangan yaitu merupakan proses
peningkatan keterampilan kerja baik teknis
maupun manajerial. Pendidikan berorientasi
pada teori, dilakukan dalam kelas, berlangsung
lama, dan biasanya menjawab why. Latihan
berorientasi pada praktek, dilakukan di
lapangan, berlangsung singkat biasanya
menjawab how.”
Menurut Mangkuprawira dalam buku
Manajemen Sumber Daya Manusia Satrategik
(2014:133) “Pelatihan bagi karyawan
merupakan sebuah proses mengajarkan
pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap
agar karyawan semakin terampil dan mampu
melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik
sesuai dengan standar.” Maka berdasarkan
pendapat-pendapat para ahli, dapat disimpulkan
bahwa pelatihan adalah merupakan proses
peningkatan pengetahuan serta keterampilan
kerja karyawan sehingga adanya perubahan
kearah lebih baik.
Pelatihan-pelatihan tersebut menurut Sikula
dalam Priansa (2014:176-178), bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas, memperbaiki
kualitas, terciptanya perencanaan kerja
pegawai, meningkatkan moril kerja pegawai
untuk lebih bertanggung jawab terhadap
tugasnya, memberikan kesempatan bagi
pegawai untuk lebih dapat mengembangkan
diri, meningkatkan keselamatan dan kesehatan
kerja, meningkatkan kreatifitas pegawai serta
memberikan kesempatan bagi pegawai untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki pegawai termasuk meningkatkan
perkembangan pribadinya
Elemen-elemen Gamifikasi (skripsi dan tesis)
Dalam pendekatan gamifikasi terkandung beberapa elemen yang dapat
menjadikan pembelajaran berbeda dengan pembelajaran tradisional pada
umumnya. Kapp (2013) mengemukakan beberapa elemen yang terdapat dalam
gamifikasi, antara lain:
1) Story
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata peserta didik lebih mudah
mengingat fakta, istilah, dan jargon ketika mereka mempelajari informasi tersebut
dalam bentuk story (cerita) daripada dalam bentuk daftar berpoin. Cerita dapat
membangkitkan emosi, menyediakan konteks untuk menempatkan informasi, dan
merupakan cara manusia memberikan informasi dari generasi ke generasi.
Penggunaan elemen cerita mirip dengan penggunaan studi kasus atau
skenario, hanya saja penggunaan cerita harus memiliki makna dan mampu menarik
emosional peserta didik. Dengan melibatkan peserta didik dalam sebuah cerita,
dapat membantu dan menguatkan dalam mengingat sebuah pembelajaran. Cerita
yang baik berfokus pada upaya membantu peserta didik untuk melakukan
pemecahan masalah, dapat mengedukasi peserta didik, dan mudah diingat ketika
kondisi sebenarnya terjadi. 2) Challenge
Dalam konten gamifikasi, challenge atau tantangan memiliki peran yang
besar dalam merangsang keaktifan peserta didik. Penelitian menunjukkan bahwa
tantangan merupakan salah satu motivator yang kuat dalam belajar.
3) Curiousity
Mau tak mau, saat bermain video game, pemain akan menjadi penasaran.
Mereka menjelajahi ruang permainan untuk melihat apa yang terjadi. "Bagaimana
jika aku tidak membunuh naga itu dan melarikan diri?" "Bagaimana jika aku
mengenakan pajak pada pendudukku sebesar 50 persen?" "Bagaimana jika aku
berlari lurus ke gedung itu?".
Manusia secara alami didorong oleh rasa ingin tahu, sehingga pengembang
game memanfaatkannya dengan menciptakan berbagai level dan tempat untuk
dijelajahi bentuk game. Pengembang game memungkinkan pemain untuk
melakukan tugas atau mengambil tindakan lebih dari sekali sehingga mereka dapat
menjelajahi berbagai alternatif. Keingintahuan digunakan untuk memotivasi
pemain untuk tetap berada dalam permainan dan untuk melibatkan mereka dengan
lingkungan permainan.
4) Character
Penelitian yang melibatkan karakter (avatar) menunjukan beberapa hasil
menarik. Pada tes yang melibatkan masalah kata yang berbeda, kelompok yang
18
memiliki karakter menjelaskan masalah menghasilkan jawaban yang benar 30
persen lebih banyak daripada kelompok yang hanya dengan teks di layar.
Tampaknya dengan memiliki avatar yang muncul di layar dapat memotivasi
peserta didik karena mereka menjadi merasa lebih bertanggung jawab kepada sosok
"manusia" daripada ke komputer. Dan karakter yang terdapat dalam komputer
bahkan tidak harus realistis. Penelitian tambahan menunjukkan bahwa karakter
"realistis" tidak memfasilitasi pembelajaran yang lebih baik daripada karakter
"seperti kartun". Indikasinya jelas bahwa hanya dengan menggunakan karakter
seperti yang ada pada teknik permainan video dapat membuat konten menjadi lebih
menarik dan membantu peserta didik belajar lebih banyak.
5) Interactivity
Salah satu ciri khas dari konten gamifikasi adalah interactivity atau interaktivitas.
Dengan mendorong peserta didik untuk terlibat langsung dengan konten
pembelajaran dapat mengarahkan mereka pada tingkat pembelajaran yang lebih
dalam. Ada banyak keuntungan yang didapat apabila peserta didik mampu
berinteraksi dengan materi pelajaran yang mereka pelajari. Berdasarkan hasil studi,
serta akal sehat, menunjukkan bahwa interaktivitas dapat membantu peserta didik
menyimpan informasi serta meningkatkan kesediaan peserta didik untuk
menghabiskan waktu dengan materi.
6) Feedback
Penelitian menunjukkan bahwa feedback atau umpan balik merupakan
elemen penting dalam pembelajaran. Semakin sering dan tepat sasaran umpan
19
balik, semakin efektif pembelajaran. Sayangnya, dalam banyak program
pembelajaran, umpan balik jarang diterapkan dan kurang spesifik. Pemberian
umpan balik kepada peserta didik bisa dalam bentuk latihan mandiri, isyarat visual,
kegiatan tanya jawab yang sering, bilah kemajuan, atau komentar yang ditempatkan
dengan cermat oleh karakter non-pemain. Bahkan sesuatu yang sederhana seperti
meringkas materi yang baru saja dibahas sebagai ulasan efektif dapat memberikan
umpan balik tentang tingkat pemahamannya.
7) Freedom to Fail
Dalam konten gamifikasi, jadikanlah kegagalan sebagai salah satu opsi.
Dalam banyak kejadian, peserta didik diberikan skor secara objektif hanya untuk
dua kondisi, yaitu jawaban yang benar atau jawaban salah. Hanya sedikit orang
yang dapat menghargai kegagalan dalam lingkungan belajar tradisional, dan
sebagian besar akan melakukan apa saja untuk menghindari kegagalan. Hal tersebut
menunjukan bahwa sebagian besar lingkungan belajar tidak mendorong eksplorasi
atau belajar coba-coba. Peserta didik memiliki sedikit wawasan tentang
konsekuensi dari jawaban yang salah atau keputusan yang salah selain. Menjawab
pertanyaan yang salah untuk “melihat apa yang terjadi” bisasanya kurang disukai
dalam sebagian besar pembelajaran.
Pengertian Gamifikasi (skripsi dan tesis)
Kata gamifikasi berasal dari istilah bahasa inggris yaitu gamification.
Menurut kamus Oxford gamification adalah suatu penerapan dari unsur-unsur yang
ada dalam sebuah permainan (game) seperti penilaian poin, persaingan, dan
peraturan main ke dalam kegiatan atau aktivitas lainnya. Pendekatan ini sebenarnya
telah banyak digunakan khususnya dalam bidang bisnis online sebagai salah satu strategi untuk menawarkan suatu produk atau jasa. Sebagai contoh, banyak aplikasi
online saat ini yang menggunakan sistem poin dengan beragam syarat dan
ketentuan dan diikuti dengan tawaran promo serta keuntungan. Pengguna atau
pelanggan yang tertarik secara otomatis akan terpacu dan lebih aktif dalam
menggunakan aplikasi tersebut untuk mencapai target poin yang telah ditentukan.
Teknik tersebut serupa dengan unsur yang ada dalam permainan (games), yaitu
mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya untuk dapat melanjutkan ke level
selanjutnya.
Menurut Kapp (2012), gamifikasi dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep
yang menggabungkan antara permainan, estetika dan kemampuan berpikir untuk
menarik perhatian, memotivasi, mempromosikan sebuah pembelajaran, serta
menyelesaikan masalah. Selanjutnya Kapp membagi gamifikasi menjadi dua
macam, yaitu gamifikasi struktural (structural gamification) dan gamifikasi konten
(content gamification). Gamifikasi struktural merupakan penerapan dari elemen
permainan untuk mendorong peserta didik tanpa ada perubahan pada konten.
Konten sama sekali tidak diubah menjadi permainan, melainkan hanya strukturnya
saja. Fokus utama dari gamifikasi jenis ini adalah untuk memotivasi pengguna
melalui konten dan melibatkan mereka ke dalam proses belajar menggunakan
system reward (hadiah). Sedangkan gamifikasi konten adalah penerapan elemen
dan algoritma permainan yang ikut mengubah isi konten menjadiseperti permainan.
Penambahan elemen-elemen ini membuat konten terlihat seperti permainan tetapi
sebenarnya tidak mengubah konten menjadi permainan sesungguhnya.
Gartner (Burke, 2014:13) mendefinisikan gamifikasi sebagai pemanfaatan
dari unsur mekanis dan user experience design sebuah game, guna menarik dan
memotivasi seseorang secara digital untuk mencapai tujuan mereka. Yang
dimaksud dengan unsur mekanis adalah elemen kunci seperti poin, papan peringkat
(leaderboard), dan lencana (badges) yang menunjang berjalannya suatu game.
Sedangkan user experience design digambarkan sebagai tingkat kepuasan yang
dirasakan oleh pemain atau pengguna selama melakukan interaksi dengan elemenelemen yang ada pada game tersebut. Kemudian disebutkan bahwa gamifikasi
digunakan untuk menarik dan memotivasi seseorang secara digital, hal ini
dikarenakan media yang digunakan untuk mengoperasikan game merupakan
perangkat digital seperti, komputer, smartphone, tablet, dan lain-lain. Penerapan
gamifikasi sebagai alat motivasi bertujuan untuk mengubah kebiasaan, membangun
suatu keterampilan, atau untuk meningkatkan kreativitas seseorang. Sedangkan
menurut Herger (2014) gamifikasi meminjam elemen dan teknik dari beberapa
bidang, seperti games, ilmu perilaku (behavior), motivasi yang masuk akal untuk
mempelajari suatu konsep dasar dan melanjutkannya hingga konsep definisi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gamifikasi adalah salah
satu pendekatan yang memanfaatkan unsur mekanik dari sebuah game untuk
kegiatan lain di luar game (non-game). Tujuan utama dari gamifikasi sendiri adalah
untuk meningkatkan motivasi seseorang dengan cara yang menarik, sehingga dapat
membantu dan memudahkan mereka untuk mencapai tujuan tertentu. Gamifikasi
memecah dan membagi sebuah “jalan besar” untuk mencapai suatu tujuan ke dalam
bentuk yang lebih sederhana dan menarik.
Pendekatan Pembelajaran (skripsi dan tesis)
Kata pendekatan berasal dari kata dasar “dekat” yang mempunyai arti pendek
atau tidak jauh. Sedangkan pengertian pendekatan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia merujuk pada proses, cara, dan usaha untuk mendekati sesuatu. Dalam
konteks pembelajaran istilah pendekatan dapat diartikan sebagai suatu cara atau usaha yang dilakukan dalam proses pembelajaran untuk membantu mencapai tujuan
pembelajaran.
Hamdayana (2016:128) menganalogikan pendekatan pembelajaran sebagai
sebuah jalan yang akan dilalui oleh peserta didik dan pendidik dalam mencapai
tujuan pembelajaran dengan cara menyajikan materi dengan bentuk yang berbeda.
Sedangkan menurut Wahjoedi (1999:121), pendekatan pembelajaran merupakan
cara untuk mengelola kegiatan belajar serta perilaku peserta didik. Hal tersebut
dilakukan dalam rangka membuat peserta didik aktif dalam kegiatan pembelajaran
sehingga dapat memperoleh hasil belajar yang optimal.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan
pembelajaran merupakan sebuah usaha untuk membantu mencapai tujuan
pembelajaran melalui penyajian materi ke dalam bentuk yang berbeda. Dengan
hadirnya beragam pendekatan pembelajaran yang berbeda, diharapkan seorang
pendidik mampu memilih pendekatan yang tepat sesuai dengan karakteristik
kompetensi dasar
Pelaksanaan Pembelajaran (skripsi dan tesis)
Pelaksanaan pembelajaran merupakan bentuk penerapan dari RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran). Seorang pendidik yang berada dalam satuan
pendidikan diwajibkan untuk menyusun RPP. RPP merupakan sebuah rancangan
dari kegiatan pembelajaran untuk diterapkan dalam satu kali pertemuan atau lebih.
11
Dengan kata lain RPP merupakan acuan dan pedoman pendidik dalam
melaksanakan pembelajaran di dalam kelas.
Untuk menyusun sebuah RPP pendidik perlu mengacu pada Silabus yang
mencangkup Kompetensi Dasar (KD), Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK),
Materi Pembelajaran, kegiatan pembelajaran, Penilaian, Alokasi Waktu, Dan
Sumber Belajar. Silabus sendiri dikembangkan dan disesuaikan oleh masingmasing satuan pendidikan. Adapun langkah-langkah pembelajaran yang terdapat
RPP meliputi:
1) Kegiatan Pendahuluan
Rusman (2018:14) memaparkan beberapa kegiatan yang wajib dilakukan oleh
seorang pendidik dalam kegiatan pendahuluan, yaitu:
a) Mempersiapkan peserta didik dari segi psikis dan fisik supaya siap memulai
proses pembelajaran.
b) Memberikan motivasi belajar kepada peserta didik dengan menyesuaikan pada
topik materi ajar pada kehidupan sehari-hari.
c) Mengajukan pertanyaan yang dapat memancing ingatan peserta didik terhadap
materi sebelumnya yang kemudian dihubungkan dengan materi yang akan
dipelajari.
d) Memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran dan kompetensi dasar
yang akan dicapai.
e) Menyampaikan materi dan menjelaskan uraian kegiatan yang akan dilakukan
sesuai dengan silabus.
2) Kegiatan Inti
Kegiatan inti berisi serangkaian kegiatan pembelajaran yang akan dilalui oleh
peserta didik sesuai dengan KD. Dalam penyusunan kegiatan inti, pemilihan model,
metode, media, dan sumber pembelajaran perlu memerhartikan karakteristik dari
peserta didik dan mata pelajaran. Selanjutnya kegiatan pembelajaran disesuaikan
dengan pemilihan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan oleh peserta
didik.
3) Kegiatan Penutup
Rusman (2018:14) memaparkan bahwa kegiatan penutup digunakan untuk
melakukan refleksi guna mengevaluasi:
a) Seluruh rangkaian aktivitas dan hasil dari kegiatan pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
b) Memberikan umpan balik (feedback) terhadap proses dan hasil pembelajaran.
c) Memberikan tugas sebagai bentuk tindak lanjut dari kegiatan pembelajaran
yang telah dilaksanakan.
d) Menyampaikan rencana terkait dengan kegiatan pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
Komponen Pembelajaran (skripsi dan tesis)
Pembelajaran merupakan sebuah sistem yang memiliki sejumlah komponen
yang saling terhubung dan memengaruhi satu sama lainnya. Ruhimat et al.
(2011:148-175) mengungkapkan beberapa komponen pembelajaran sebagai
berikut: 1) Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran adalah target yang ingin dicapai setelah kegiatan
pembelajaran dilaksanakan. Tujuan ini merupakan bagian dari upaya pencapaian
tujuan yang lebih tinggi, yaitu tujuan pendidikan dan tujuan pembangunan nasional.
2) Bahan Pembelajaran
Bahan pembelajaran atau juga sering disebut dengan materi pembelajaran
adalah penjabaran dari isi kurikulum yang kemudian dikemas dalam bentuk mata
pelajaran ataupun bidang studi beserta dengan topik dan rinciannya. Secara umum
isi dari kurikulum dapat dikelompokan kedalam tiga unsur utama, yaitu: logika
(pengetahuan tentang benar-salah), etika (pengetahuan tentang baik-buruk), dan
estetika (pengetahuan tentang keindahan).
3) Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran adalah serangkaian langkah-langkah yang digunakan
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dalam penerapannya
strategi pembelajaran sangat bergantung dan tidak dapat dipisahkan dengan
komponen lain yang terdapat dalam sistem. Dengan kata lain strategi pembelajaran
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti: tujuan, materi, peserta didik, fasilitas,
waktu, dan pendidik.
4) Media pembelajaran
Media pembelajaran adalah alat dan bahan yang dapat membantu dalam
menyampaikan bahan pembelajaran. Selain itu menurut Wirawan et.al (2018:256)
10
media pembelajaran juga dapat digunakan sebagai upaya meningkatkan kegiatan
belajar peserta didik. Jenis media pembelajaran dapat meliputi: media visual, media
audio, media audio visual, media penyaji, dan media interaktif.
5) Evaluasi pembelajaran
Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan untuk
memperoleh informasi tentang nilai suatu objek yang bersifat menyeluruh. Dalam
prosesnya evaluasi pembelajaran tidak hanya didasarkan pada hasil pengukuran
saja, namun dapat pula didasarkan dari hasil pengamatan yang kemudian
menghasilkan keputusan nilai tentang suatu objek yang bersifat final.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan
kondisi pembelajaran yang baik, keberadaan dari komponen-komponen tersebut
tidak boleh dihilangkan meskipun hanya satu komponen. Disebutkan bahwa salah
satu komponen yang harus tersedia dalam pembelajaran adalah media. Sesuai
dengan poin tersebut, dalam penelitian ini penggunaan aplikasi Kahoot! merupakan
salah satu bentuk dari penerapan media yang dilakukan sebagai upaya untuk
meningkatkan keaktifan dan motivasi belajar peserta didik.
Pengertian Pembelajaran (skripsi dan tesis)
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 Ayat 20, pengertian dari pembelajaran adalah suatu proses yang
melibatkan interaksi antara peserta didik, pendidik, dan sumber belajar yang
berlangsung pada suatu lingkungan belajar. Peserta didik merupakan objek dari
pendidikan yang mendapatkan pengajaran ilmu melalui proses pembelajaran guna
mengembangkan kemampuan diri. Ilmu yang diterima oleh peserta didik diajarkan
oleh seorang pendidik, yaitu tenaga profesional yang bertugas untuk melakukan
perencanaan dan mengoperasikan proses pembelajaran, melakukan penilaian hasil
pembelajaran, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan kepada peserta didik.
Sedangkan segala bentuk alat dan bahan yang dapat digunakan untuk memberikan
ilmu kepada peserta didik maupun pendidik disebut dengan sumber belajar.
Ruhimat et al. (2011:188) secara garis besar meyebutkan bahwa pembelajaran
pada hakikatnya merupakan interaksi antara peserta didik dengan lingkungan
pembelajarannya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang
dimaksud adalah perubahan perilaku peserta didik yang dapat berupa pengetahuan,
sikap, sampai dengan keterampilan.
8
Rusman (2018:95) menggambarkan pembelajaran sebagai suatu sistem yang
terbentuk dari beberapa komponen yang saling berhubungan satu sama lain.
Adapun komponen tersebut terdiri dari tujuan, materi, metode, dan evaluasi.
Pendidik sebagai fasilitator mempunyai peran penting dalam mengelola komponenkomponen tersebut. Sebagai contoh, pendidik harus terampil dalam menentukan
dan menyiapkan media, metode, strategi, dan pendekatan yang akan digunakan
dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
merupakan bentuk interaksi antar komponen yang terjadi dalam lingkungan belajar.
Secara garis besar komponen pembelajaran dapat berupa peserta didik, pendidik,
tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Pembelajaran akan terjadi apabila peserta
didik dapat secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar yang diatur oleh
pendidik. Oleh karena itu pendidik mempunyai peran penting dalam mengelola dan
merancang sebuah pembelajaran. Apabila dapat dilaksanakan dengan baik, maka
tujuan dari pembelajaran akan tercapai. Salah satunya yaitu untuk merubah perilaku
peserta didik kearah yang lebih baik serta mengembangkan ilmu, keterampilan, dan
potensi dari peserta didik
Sistem Manajemen Pembelajaran (skripsi dan tesis)
Sistem manajemen pembelajaran adalah istilah yang
merujuk pada sebuah aplikasi LMS (Learning
Management System) yang merupakan sistem yang
digunakan untuk membantu administrasi dan berfungsi
sebagai platform E-learning content [8]. Ada tiga fiturfitur standar pembelajaran elektronik menurut Wahono,
fitur tersebut adalah sebagai berikut :
a) Fitur kelengkapan Belajar-mengajar
b) Fitur Diskusi dan komunikasi
c) Fitur Ujian dan Penugasan
. Definisi Gamifikasi (skripsi dan tesis)
Gamifikasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang
menggunakan pemikiran dan mekanika permainan untuk
mengikat User dan menyelesaikan masalah[7]. Secara
lebih detil Kapp mendefinisikan gamifikasi sebagai
konsep yang menggunakan mekanika berbasis
permainan, estetika dan permainan berfikir untuk
mengikat orang-orang, tindakan memotivasi,
mempromosikan pembelajaran dan menyelesaikan
masalah[2].
Model ARSC (The Attention, Relevance, Confidence, and Satisfaction) (skripsi dan tesis)
Model ARCS (The Attention, Relevance, Confidence, and
Satisfaction) adalah sebuah pendekatan untuk desain
instruksional menggunakan teknologi multimedia berdasarkan
pada sintesis konsep motivasi, untuk motivasi mahasiswa
dalam konteks pembelajaran. Kondisi pertama adalah bahwa
pelajaran harus menarik dan mempertahankan perhatian
peserta didik (A). Persyaratan ini didasarkan pada penelitian
tentang rasa ingin tahu, gairah, dan kebosanan. Kondisi kedua
untuk motivasi adalah untuk membangun relevansi (R).
Persyaratan ini didasarkan pada penelitian tentang motivasi
intrinsik dan kompetensi sebagai sasaran dalam teori
penentuan nasib sendiri. Kondisi ketiga untuk memotivasi
peserta didik adalah kepercayaan (C). Persyaratan ini
didasarkan pada penelitian tentang self-efficacy dan atribusi.
Kondisi keempat adalah kepuasan (S). Persyaratan ini
didasarkan pada teori penguatan dan teori ekuitas yang telah
umum digunakan di daerah lain seperti I/O Psikologi. Model
ARCS adalah proses desain sepuluh langkah sistematis untuk
mengembangkan unsur-unsur motivasi dalam pengaturan
instruksional: memperoleh informasi saja, memperoleh
informasi peserta didik, menganalisis peserta didik,
menganalisis bahan yang ada, daftar tujuan dan penilaian,
daftar taktik potensial, memilih dan merancang taktik,
mengintegrasikan dengan instruksi, memilih dan
mengembangkan bahan, dan mengevaluasi dan merevisi
Karakteristik Gamifikasi (skripsi dan tesis)
1.Sistem yang menggunakan gamification menggunakan
poin atau nilai tertentu.
2. Poin dapat diubah menjadi bentuk lain seperti badge atau
reward lainnya.
3. Sebagian/semua aktifitas utama yang dilakukan pada
sistem dicatat dan menghasilkan poin.
4. Memiliki level atau pangkat yang diambil dari aktifitas
yang dilakukan oleh pengguna sistem.
5. Sistem yang menggunakan gamification selalu memiliki
cara untuk membuat pengguna (pemain) untuk kembali
Bidang Terapan Gamifikasi (skripsi dan tesis)
Banyak bidang ilmu yang mulai menerapkan gamifikasi dengan tujuan meningkatkan ketertarikan penggunanya,
diantaranya:
1. Edukasi, contohnya pada Khan Academy. Gamifikasi
pada edukasi biasanya ditujukan untuk meningkatkan
motivasi belajar penggunanya. Disini kita harus
mendesain sistem belajar agar lebih menarik dan tidak
membosankan. Misalkan kita membuat suatu materi
belajar itu seperti game RPG, dimana awalnya kita masih
level 1. Selama kita membaca Guidebook (materi) dan
mengerjakan Quest (tugas), maka karakter kita akan
berkembang dan akan naik level.
2. Marketing. Gamifikasi juga dapat digunakan untuk
meningkatkan efektifitas promosi suatu produk. Contoh
jelasnya pada Foursquare, yang menggunakan gamifikasi
dalam meningkatkan ketertarikan pengguna terhadap
product-nya. Atau kita juga dapat melihat Stack
Overflow, sebuah platform untuk Question & Answer
tentang segala macam hal. Yang jadi masalah dari Stack
Overflow yaitu susahnya mengajak orang untuk
membantu menjawab pertanyaan, sedangkan yang
bertanya sudah pasti banyak. Sehingga gamifikasi
bertugas untuk mengajak pengguna untuk membantu
pengguna lain yang bertanya.
3. Health. Bahkan banyak aplikasi kesehatan yang
menggunakan gamifikasi, dengan tujuan orang tersebut
rajin berolahraga atau mau menjaga asupan gizinya.
Contohnya seperti aplikasi S health, Pedometer, LG
Health, Runtastic Runing & Fitness. S Health, Pedometer,
LG Health, Runtastic Runing & Fitness merupakan
aplikasi yang mencatat seberapa jauh dan sering kita
berlari. Agar user S Health, Pedometer, LG Health,
Runtastic Runing & Fitness semakin rajin jogging, maka
gamifikasi berperan sebagai motivator. Beberapa fitur
dari Pedometer, LG Health, Runtastic Runing & Fitness
yaitu leaderboard, sharing, sampai kita juga dapat
mengetahui lintasan yang kita tempuh dan seberapa kalori
yang terbakar
Gamifikasi (skripsi dan tesis)
Nick Pelling pertama kali menggunakan istilah
gamifikasi (gamification) di tahun 2002 pada presentasi dalam
acara TED (Technology, Entertainment, Design). Gamification
adalah pendekatan pembelajaran menggunakan elemen-elemen
di dalam game atau video game dengan tujuan memotivasi
para mahasiswa dalam proses pembelajaran dan
memaksimalkan perasaan enjoy dan engagement terhadap
proses pembelajaran tersebut, selain itu media ini dapat
digunakan untuk menangkap hal-hal yang menarik minat
mahasiswa dan menginspirasinya untuk terus melakukan
pembelajaran. Gamifikasi adalah menggunakan unsur mekanik
game untuk memberikan solusi praktikal dengan cara
membangun ketertarikan (engagement) kelompok tertentu[1].
Secara lebih detil[2] mendefinisikan gamifikasi sebagai konsep
yang menggunakan mekanika berbasis permainan, estetika dan
permainan berfikir untuk mengikat orang-orang, tindakan
memotivasi, mempromosikan pembelajaran dan
menyelesaikan masalah. Glover menyimpulkan bahwa
gamifikasi memberikan motivasi tambahan untuk menjamin
para peserta didik (learners) mengikuti kegiatan pembelajaran
secara lengkap[3]. Engagement dapat diartikan sebagai
kesediaan untuk berpartisipasi, Frederick mendefinisikan
student engagement sebagai tindakan metakonstruksi yang
meliputi keterlibatan perilaku, emosi dan kognitif siswa dalam
belajar[4].
Seperti halnya game yang mengijinkan para pemainnya
untuk melakukan restart atau bermain ulang, membuat
kesalahan-kesalahan yang dapat diperbaiki sehingga membuat
para pemain tidak takut mengalami kegagalan dan
meningkatkan keterikatannya terhadap game tersebut.
Gamifikasi bekerja dengan membuat teknologi yang lebih
menarik (Takahashi, 2010), mendorong pengguna untuk
terlibat dalam perilaku yang diinginkan (Stuart,2010),
menunjukkan jalan untuk penguasaan dan otonomi, membantu
untuk memecahkan masalah dan tidak menjadi gangguan, dan
mengambil keuntungan dari kecenderungan psikologis
manusia untuk terlibat dalam game (Radoff, 2011). Menurut
Zichermann gamification adalah proses cara berpikir games
dan mekanika games untuk melibatkan pengguna dan
memecahkan masalah[5][6]. Definisi yang lebih umum
(Deterding,2011) gamifikasi adalah penggunaan elemen desain
yang membentuk sebuah games dalam konteks non-games[7].
Bentuk Resistensi (skripsi dan tesis)
Studi James Scott dalam Andi Suriadi menyatakan resistensi yaitu focus
pada bentuk-bentuk perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar
sehari-hari, ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan
dalam masyarakat. Mereka yang tidak punya kekuatan dalam melakukan
penolakan terbuka ternyata mempunyai cara lain dalam menghindari intervensi
dari negara dan perusahaan. Menurut Scott terdapat beberapa bentuk resistensi
yaitu:
Resistensi tertutup (simbolis atau ideologis). Yaitu gossip, fitnah,
penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat,serta
penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa.
Resistensi semi-terbuka (protes sosial atau demostrasi) Resistensi
terbuka. Resistensi terbuka merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi,
sistematis dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam resistensi adalah
cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan Perlawanan sehari-hari dan bentuknya merupakan gejala yang terjadi
disekitar kita, yang kadang sering terlupa bahwa perlawanan atau penolakan
akan suatu hal tidak harus terbuka, karena memang secara tidar sadar kita
melakukan perlawanan secara diam-diam (tak terbuka).
Tingkatan Resistensi (skripsi dan tesis)
Jika dilihat dalam lingkungan kerja, maka tingkatan resistensi terbagi menjadi 4
yaitu1 :
a. Acceptance
Acceptance ialah pada tingkat ini, penolakan individu terhadap
perubahan masih berada dalam tataran kognisi. Belum menimbulkan reaksi yang
jelas, namum terindikasi dengan hasil perkerjaan yang tidak maksimal. Jika
dalam sebuah perusahaan bisa ditandai dengan adanya
pengundurandirisecarapasif dan sikap mengabaikan terhadap instruksi-instruksi
pekerjaan.
b. Indifference
Merupakan sikap tidak acuh ditunjukkan oleh sikap apatis, hilangnya
minat dan semangat untuk melakukan sesuatu.
c. Passive Resistance
Tingkataan ini ditunjukkan oleh adanya sikap tidak mau
belajar,melakukan protes, bekerja berdasarkan aturan,dan melakukan kegiatan
sesedikit mungkin.
d. Active Resistance
Dilakukan dengan cara melakukan pekerjaan lebih lambat,
memperpanjang waktu istirahat kerja dan meninggalkan pekerjaan, melakukan
kesalahan, mengganggu dan sengaja melakukan sabotase.
Perubahan budaya organisasi (skripsi dan tesis)
Pada awalnya orang berpendapat bahwa budaya organisasi yang sudah
ditanamkan oleh pendiri dan sekaligus pemimpin tidak dapat atau sulit untuk
berubah. Namun, perkembangan menunjukan bahwa perubahan budaya
bukannlah suatu hal yang tidak mungkin. Bahkan apabila terjadi perubahan
lingkungan, melakukan perubahan adalah suatu keharusan apabila tidak ingin
tertinggal dalam perkembangan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kinerja
organisasi akan meningkat karena adanya perubahan budaya organisasi.
Perubahan budaya organisasi di suatu sisi dapat meningkatkan kinerja,
namun di sisi lain dapat pula mengalami kegagalan apabila tidak dipersiapkan dan
dikelola dengan benar. Namun, apabila tidak dilakukan perubahan budaya
organisasi, sedangkan lingkungan berubah, dapat dipastikan mengalami
kegagalan. Paling tidak perubahan harus dilakukan untuk dapat mempertahankan
diri dari tekanan persaingan.
Adappun Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy dalam Wibowo
(2010:229) mengemukakan adanya situasi di mana manajemen puncak harus
mempertimbangkan perlunya membentuk kembali budayanya, yaitu :
1. “Ketika lingkungan sedang mengalami perubahan fundamental dan
perusahaan sangat didorong oleh nilai-nilai. Nilai-nilai tradisional
akan dibawa pada penurunan serius.
2. Ketika industri sangat kompetitif dan lingkungan berubah cepat.
Perusahaan harus membangun budaya yang memberikan perhatian
besar pada perubahan.
3. Ketika perusahaan sedang-sedang saja atau menjadi lebih buruk.
Perusahaan harus membangun kembali komitmen bersama pada
kesejahteraan perusahaan, dikaitkan dengan keberatan orientasi
terhadap pelayanan pelanggan.
4. Ketika perusahaan benar-benar diambang menjadi perusahaan besar.
Budaya dan nilai-nilai asli yang menyokongnya secara serius perlu
dilengkapi apabila mereka mempertahankan transisi pada lingkungan
perusahaan besar.”
Apabila perusahaan ingin berhasil menjalankan perubahan budaya
korporasi, maka diperlukan langkah bertahap sebagai berikut (Jerome Want dalam
Wibowo, 2010:235-239) :
1. “Develope a Systematic Change Plan (mengembangkan Rencana
Perubahan Sistematis)
2. Indentifying Change Leader (mengidentifikasi pemimpin
perubahan)
3. Openess to New Ideas (keterbukaan pada gagasan baru)
4. Building a Board Concensus for Change (membangun konsensus
luas untuk perubahan)
5. Eliminate Bias From The Change Process (menghilangkan bias
dari proses perubahan)
6. Individualize Change Strategies (strategi perubahan sendiri)
7. Commit Your Best People (komitmen dengan orang terbaik anda)
8. A Never-Ending Process (suatu proses tidak pernah berakhir)”
Dari langkah-langkah diatas dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut :
28
1. Develope a Systematic Change Plan (mengembangkan Rencana
Perubahan Sistematis)
Ketika sebuah perusahaan melakukan perubahan budayanya, mereka
sering kali gagal menggelar rencana yang sistematis dan dapat
diperhitungkan. Sering kali mereka sekedar melompat pada
kelompok fokus tertutup atau survei dengan samar-samar tentang
apa yang telah dilakukan atau bagaimana mereka akan
melakukannya.
Rencana perubahan harus menggambarkan sasaran, jangka waktu,
orang yang perlu disertakan dalam proses, taktik untuk mengatasi
hambatan, sumberdaya yang diperlukan, persyaratan kepemimpinan
yang diperlukan, dan ukuran yang dipergunakan untuk menandai
kemajuan.
2. Indentifying Change Leader (mengidentifikasi pemimpin perubahan)
Pemimpin perubahan mungkin saja orang bijak, pekerja lama yang
mempunyai persaan tentang sejarah perusahaan maupun pengakuan
bahwa perusahaan perlu mengubah budayanya. Pemimpin perubahan
ini bisa datang dari seluruh organisasi dan mempunyai kepedulian
tinggi terhadap implikasi proses perubahan bagi organisasi.
Perusahaan harus membangun komitmen dengan orang terbaiknya
untuk memimpin perubahan. 3. Openess to New Ideas (keterbukaan pada gagasan baru)
Tim perubahan maupun organisasi yang lebih besar perlu bersikap
terbuka untuk mendengarkan gagasan baru, gagasan tersebut dapat
berupa perubahan teknologi, sistem informasi, prosedur kerja, serta
inovasi yang baru, tidak peduli berapapun besar perbedaan yang
terjadi. Karakteristik umum budaya yang menuju pada kegagalan
adalah mereka tidak terbuka pada gagasan baru, organisasi yang
menolak gagasan baru adalah merupakan pertanda sebagai organisasi
yang bersikap resisten terhadap perubahan.
4. Building a Board Concensus for Change (membangun konsensus
luas untuk perubahan)
Membangun konsensus bukan hanya sekedar kompromi untuk
mendapatkan orang melalui rapat dan yang sudah pasti bukan
kelompok fokus. Membangun konsensus memberi kesempatan orang
berbagi pandangan berbeda dan sesudah itu membawa pandangan
tersebut bersama menempa keyakinan konsensus kuat sekitar isu
budaya utama.
5. Eliminate Bias From The Change Process (menghilangkan bias dari
proses perubahan)
Bias adalah hambatan utama kinerja bisnis tetapi hanya sedikit yang
mengenal adanya perangkap dari bias. Adalah wajar bagi orang
untuk melewatkan biasnya sendiri dan menganggapnya sah.
Akibatnya, bisnis sering membuat keputusan kritis dengan
30
konsekuensi jangka panjang berdasar informasi dan sistem
keyakinan yang bias.
6. Individualize Change Strategies (strategi perubahan sendiri)
Perusahaan sering meniru perusahaan lain walaupun apa yang
mereka tiru tidak berjalan. Ini adalah addictive behavior (perilaku
kecanduan) dunia bisnis. Perilaku ini menjadi atribut kurangnya
kreativitas, takut mengambil resiko, atau kepemimpinan yang kurang
suka kebebasan.
Apa yang diperlukan adalah strategi yang bersifat individual.
Prosesnya memperhitungkan di mana perusahaan berdiri dalam
siklus perubahan bisnis, kondisi kompetitif eksternal, umur dan
sejarah perusahaan, kepemimpinan dan gaya manajemen, tujuan
masa depan, masalah dan tantangan yang dihadapi dan terutama
budaya sekarang.
7. Commit Your Best People (komitmen dengan orang terbaik anda)
Hasil terbaik hanya dapat diperoleh apabila perusahaan mendapatkan
komitmen dari orang terbaiknya terhadap proses. Kredibilitas proses
terletak terbesar pada reputasi dan kompetensi orang yang
memimpin proses pembangunan budaya.
8. A Never-Ending Process (suatu proses tidak pernah berakhir)
Pembangunan budaya bukan program sekali jadi, dengan titk akhir
definitif. Merupakan proses yang sedang berjalan dan harus dijaga
teteap bergerak dengan perubahan eksternal di pasar. Terlalu banyak
31
perusahaan takut melakukan proses perubahan budaya karena tidak
memahami tentang arti pentingnya, di samping usaha yang tidak
pernah berakhir di banyak bidang di mana perusahaan berfungsi.
Masalah Adaptasi Eksternal dan Internal Budaya Organisasi (skripsi dan tesis)
Salah satu unsur dalam budaya organisasi adalah memahami masalah
adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Dalam budaya organisasi perlu
ditekankan bagaimana cara untuk memahami dan merasakan masalah-masalah
yang dihadapi. Masalah yang dihadapi dapat berupa eksternal dan internal. Uraian
lebih lanjut sebagai berikut (Moh. Pabundu Tika, 2012:46) :
A. Masalah adaptasi eksternal budaya organisasi
Masalah adaptasi eksternal dikhususkan untuk mangatasi siklus
berbagai sistem yang terkait dengan perubahan lingkungan. Schein
dalam Moh. Pabundu Tika (2012:46) membagi masalah adaptasi
eksternal ke dalam lima unsur sebagai berikut :
1) “Misi dan Strategi
2) Tujuan
3) Cara atau Alat
4) Pengukuran
5) Koreksi “ Adapun penjelasan dari kelima unsur tersebut adalah :
1) Misi dan Strategi
Merupakan suatu pemahaman bersama tentang misi utama,
tugas pokok organisasi atau fungsi organisasi lainnya yang
tersirat maupun tersurat. Misi mencakup arti yang lebih dalam
bagaimana menghidupkan lingkungan tertentu, hal tersebut
mencakup perhitungan terhadap kesempatan dan hambatan
lingkungan. Strategi adalah rencana atau cara kerja dengan
menggunakan sumber daya perusahaan yang terbatas untuk
lambat laun mencapai sasaran yang ditetapkan.
2) Tujuan
Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari misi utama
organisasi. Tujuan utama tidak secara otomatis bahwa
anggota-anggota kelompok akan mempunyai tujuan yang
sama.
3) Cara atau Alat
Merupakan suatu konsensus tentang sarana untuk mencapai
tujuan organisasi seperti sistem informasi, sistem pengendalian
struktur organisasi, divisi tenaga kerja, gaya organisasi.
Kecakapan, teknologi dan pengetahuan yang diperoleh
kelompok juga menjadi bagian dari budaya jika ada konsensus
penggunanya. 4) Pengukuran
Merupakan pengembangan konsensus menyangkut kriteria
yang digunakan untuk mengukur kinerja kelompok dalam
mencapai tujuan dan target yang telah ditetapkan seperti sistem
informasi dan sistem pengendalian.
5) Koreksi
Merupakan pengembangan konsensus terhadap strategistrategi perbaikan atau yang perlu diperbarui jika kelompok
tidak mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
B. Masalah integrasi internal budaya organisasi
Masalah integrasi internal dipengaruhi oleh sistem adaptasi eksternal.
Masalah ini harus dihadapi oleh berbagai kelompok jika berfungsi
sebagai sistem sosial. Selanjutnya Schein dalam Moh. Pabundu Tika
(2012:48) membagi masalah integrasi internal menjadi enam unsur
yaitu :
1) “Bahasa yang sama dan kategori konseptual
2) Batasan-batasan kelompok dan kriteria inklusif dan eksklusif
3) Kekuatan dan status
4) Hubungan keintiman, kekeluargaan dan cinta
5) Imbalan dan hukuman
6) Agama dan ideologi”
Dari keenam unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Bahasa yang sama dan kategori konseptual
Merupakan kategori-kategori konseptual dan bahasa yang
dipakai bersama untuk berkomunikasi antar individu, jika
anggota-anggota yang membentuk sebuah kelompok. 2) Batasan-batasan kelompok dan kriteria inklusif dan eksklusif
Konsensus ini menyangkut batasan-batasan kelompok dan
kriteria organisasi dalam menentukan sesuatu yang termasuk
didalam dan diluar organisasi.
3) Kekuatan dan status
Merupakan konsensus tentang kriteria dan peraturan
bagaimana seseorang memperoleh, membina dan kehilangan
suatu kekuatan. Konsensus ini menyangkut kriteria
pengalokasian kekuasaan status.
4) Hubungan keintiman, kekeluargaan dan cinta
Setiap kelompok harus memutuskan bagaimana mengatasi
masalah-masalah otoritas dan bagaimana membangun
hubungan kerja. Masalah otoritas merupakan penjabaran dari
perasaan agresi hubungan keintiman, dan maslah-masalah
keintiman menyangkut perasaan sependeritaan dan cinta
5) Imbalan dan hukuman
Setiap kelompok harus mengembangkan sistem menyangkut
aturan-aturan yang harus dipenuhi. Kelompok harus tahu
perbuatan apa saja yang bisa mendapatkan imbalan, status dan
kekuatan, dan perbuatan apa saja yang bisa membuat hukuman
dan tidak terjalinnya komunikasi. 6) Agama dan ideologi
Agama dapat menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan
dan dapat memberi petunjuk bagaimana mengatasi ambisius,
ketidaktentuan, nasib, dan situasi menakutkan. Ideologi dapat
dipandang sebagai seperangkat nilai utama yang dapat
dianggap sebagai sesep gerakan yang saling berhadapan
dengan kelompok lain dan lingkungan yang lebih luas.
Karakteristik budaya organisasi (skripsi dan tesis)
Subtansi atau akar budaya organisasi adalah karakteristik inti yang
mengidentifikasikan ciri-ciri, sifat-sifat, unsur-unsur, atau elemen-elemen yang
melekat pada budaya organisasi. Tiap organisasi disamping mempunyai elemen
yang umum juga mempunyai karakteristik yang umum.
Diantara karakteristik tersebut menurut Arni Muhammad (2011:29) adalah
1. “Dinamis
2. Memerlukan informasi
3. Mempunyai tujuan
4. Struktur”
Dari karakteristik diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dinamis
Orgaisasi sebagai suatu sistem terbuka terus menerus mengalami
perubahan, karena selalu menghadapi tantangan baru dari
lingkungannya dan perlu menyesuaikan didri dengan keadaan
lingkungan yang selalu berubah tersebut. Salah satu faktor yang
membuat sifat dinamis ini ialah perubahan teknologi. Perubahan
teknologi yang terjadi dalam masyarakat akan memberikan dampak
pada organisasi.
2. Memerlukan informasi
Semua organisasi memerlukan informasi untuk hidup. Tanpa
informasi organisasi tidak dapat jalan. Dengan adanya infromasi
bahan mentah dapat diolah menjadi hasil produkasi yang
dimanfaatkan oleh manusia.
3. Mempunyai tujuan
Organisasi merupakan kelompok orang yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, setiap organisasi harus
mempunyai tujuannya sendiri-sendiri. Tentu saja tujuan organisasi
dengan organisasi lainnya sangat bervariasi.
4. Struktur
Organisasi dalam usaha mencapai tujuannya biasanya membuat
aturan-aturan, undang-undang dan hierarki hubungan dalam
organisasi, hal ini dinamakan struktur organisasi.
Karakteristik budaya organisasi menurut Jerald Greenberg dan Robert A.
Baron dalam Wibowo (2010:36) :
1. “Innovation (inovasi)
2. Stability (stabilitas)
3. Orientation toward people (orientasi pada orang)
4. Result-orientation (orientasi pada hasil)
5. Attention to detail (perhatian pada hal-hal detail)
6. Collaborative orientation (orientasi pada kolaborasi)”
Dari karakteristik-karakteristik tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut :
1. Innovation (inovasi), suatu tingkatan dimanana orang diharapkan
kreatif dan membangkit gagasan baru.
2. Stability (stabilitas), bersifat menghargai lingkungan kerja yang
stabil, dapat diperkirakan, dan berorientasi pada aturan.
3. Orientation toward people (orientasi pada orang), merupakan
orientasi untuk menjadi jujur, mendukung, dan menunjukan
penghargaan pada hak individual.
4. Result-orientation (orientasi pada hasil), meletakan kekuatan pada
kepeduliannya untuk mencapai hasil yang diharapkan.
5. Attention to detail (perhatian pada hal-hal detail), dimaksudkan
dengan berkepentingan untuk menjadi analitis dan seksama.
6. Collaborative orientation (orientasi pada kolaborasi), merupakan
orientasi yang menekankan pada bekerja tim sebagai lawan dari
bekerja individual.
Victor tan dalam Syamsir Torang (2014:110) juga mengidentifikasi
beberapa karakteristik budaya organisasi, yaitu :
22
a) “Individual intiative (tanggung jawab, kebebasan dan ketidak
tergantungan yang dimiliki individu)
b) Risk tolerance (pekerja didorong mengambil resiko, menjadi
agresif dan inovatif)
c) Direction (kemampuan organisasi menciptakan sasaran yang jelas
dan menetapkan target kinerja)
d) Integration (setiap unit dalam organisasi didorong untuk bekerja
dengan cara terkoordinasi)
e) Management support (tersedia bantuan, dan dukungan untuk
bawahannya)
f) Control (jumlah aturan, ketentuan, dan pengawasan langsung
terhadap perilaku karyawan)
g) Identity ( identitas)
h) Reward system (didasarkan pada relatif kinerja)
i) Confict tolerance ( konflik dan kritikan secara terbuka)
j) Communication pattern (pola komunikasi dibatasi pada
kewenangan hierarki formal)
Bentuk dan Jenis Budaya Organisasi (skripsi dan tesis)
Jeff Cartwright dalam Syamsir Torang (2014:107) membagi empat bentuk
budaya yang dipandang sebagai siklus budaya, yaitu sebagai berikut :
1. “Monoculture
2. Superordinate culture
3. Divisive Culture
4. Disjunctive Culture”
Dari bentuk-bentuk budaya tersebut dapat diartikan sebagai berikut :
1. Monoculture
Iindividu atau kelompok berpikir sama sesuai dengan norma
budaya yang sama, dicirikan ekstren (fanatik dan fundamentalis)
2. Superordinate culture
Subkultur terkoordinasi (setiap individu bergerak dengan
keyakinan dan nilai-nilai, gagasan dan sudut pandang sendiri,
namun bekerja dalam satu organisasi dan semua termotivasi).
Superordinate culture merupakan bentuk ideal budaya organisasi. Perbedaan budaya menjadi akibat pemisahan dan konflik atau
sumber vitalitas, kreativitas dan energi.
3. Divisive Culture
Bentuk ini memecahbelah karena setiap individu memiliki agenda
dan tujuan sendiri. Dalam model ini, organisasi ditarik ke arah
berbeda. Gejala budaya ini adalah Vandalisme, kejahatan,
inefisiensi dan kekacauan.
4. Disjunctive Culture
Diindikasikan dengan pemecahan organisasi secara eksplosif atau
menjadi unit budaya individual.
Jenis-jenis budaya organisasi dapat ditentukan berdasarkan proses
informasi, menurut Robert E. Quinn dan Michael dalam Moh. Pabundu Tika
(2012:7) membagi budaya organisasi berdasarkan proses informasi sebagai
berikut :
1. “Budaya Rasional
2. Budaya Ideologis
3. Budaya Konsensus
4. Budaya Hierarkis”
Dari jenis-jenis budaya diatas dapat diartikan sebagai berikut :
1. Budaya Rasional
Dalam budaya ini, proses informasi individual (klarifikasi sasaran
pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai
sarana bagi tujuan kinerja yang diajukan (efisiensi, produktifitas, dan
keuntungan atau dampak).
19
2. Budaya Ideologis
Dalam budaya ini, pemrosesan informasi intuitif (dari pengetahuan
yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan sebagai sarana bagi
tujuan revitalisasi (dukungan dari luar, perolehan sumber daya dan
pertumbuhan).
3. Budaya Konsensus
Dalam budaya ini, pemrosesan informasi kolektif (diskusi,
partisipasi, dan konsensus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi
tujuan kohesi (iklim, moral, dan kerja sama kelompok).
4. Budaya Hierarkis
Dalam budaya hierarkis, pemrosesan informasi formal (dokumentasi,
komputasi, dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan
kesinambungan (stabilitas, kontrol dan koordinasi).
Pengertian Budaya Organisasi (skripsi dan tesis)
Orang pada tahapan karier, perlu memahami budaya organisasi dan
bagaimana bekerjanya karena akan mempunyai pengaruh kuat pada kehidupan
kerjanya. Budaya organisasi membentuk responnya dengan cara yang kuat, tetapi
cerdik. Budaya organisasi dapat membentuk mereka menjadi pekerja yang mampu
bekerja dengan cepat atau lambat, menjadi manajer yang keras atau bersahabat,
manjadi pemain tim atau individual.
Budaya organisasi dapat juga dikatakan sebagai kebiasaan yang terus
berulang ulang dan menjadi nilai (value) dan gaya hidup oleh sekelompok
individu dalam organisasi yang diikuti oleh individu berikutnya. Dapat pula
dikatakan bahwa budaya organisasi adalah norma-norma yang telah disepakati
untuk menuntun perilaku individu dalam organisasi. Oleh sebab itu budaya
organisasi merupakan dasar bagi pimpinan dan staff/anggota organisasi dalam
membuat perencanaan atau strategi dan taktik dalam menyusun visi-misi untuk
mencapai tujuan organisasi.
16
Menurut Thompson dan Stickland dalam Syamsir Torang (2014:106)
budaya organisasi menunjukan nilai, beliefs, prinsip, tradisi, dan cara sekelompok
orang beraktivitas dalam organisasi. Budaya organisasi merupakan hasil atau
output organisasi.
Menurut Jerome Want dalam Wibowo (2010:18) ) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai berikut :
“Budaya organisasi adalah sebuah sistem keyakinan kolektif yang
dimiliki orang dalam organisasi tentang kemampuan mereka bersaing di
pasar, dan bagaimana mereka bertindak dalam sistem keyakinan
tersebut untuk memberikan nilai tambah produk dan jasa di pasar
(pelanggan) sebagai imbalan atas penghargaan finansial. Budaya
organisasi diungkapkan melalui sikap, sistem keyakinan, impian,
prilaku, nilai-nilai, tata cara dari perusahaan, dan terutama melalui
tindakan serta kinerja pekerjaan dalam manajemen.”
Menurut Gibson, Ivanicec dan donelly dalam Syamsir Torang (2014:106-
107) mengartikan budaya organisasi sebagai berikut :
“Asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan presepsi yang
dimiliki bersama oleh anggota organisasi yang membentuk dan
mempengaruhi sikap, prilaku, serta petunjuk dalam memecahkan
masalah.”
Menurut Robert Kreitner dan Angelo yang diterjemahkan oleh Erly
Suandy (2005:79) mengartikan budaya organisasi sebagai berikut :
“Satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh
kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan,
pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam”
Menurut Phithi Sithi Amnuai dalam Moh. Pabundu Tika (2012:4)
mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut :
17
“Seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggotaanggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna
mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi
internal”
Mengacu pada beberapa pendapat tentang budaya organisasi, maka dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan filosofi dasar organisasi yang
terdiri dari dimensi sistem (system), keyakinan (belief),norma (norm), dan nilai
(value) yang dipandang sebagai karakteristik inti dan menjadi dasar individu atau
kelompok untuk beraktivitas dalam organisasi.
Budaya Perubahan dan Organizational Citizenship Behavior (skripsi dan tesis)
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa perubahan secara revolutif dapat
dilakukan pada level iklim organisasi yaitu melalui interaksi antar individu. Untuk
membangun budaya perubahan dalam orgmsast diperlukan karakter-karakter
kepribadian yang dapat mendukung penciptaan iklim perubahan tersebut sehingga
menumbuhkan spirit of the change dalam organisasi setiap waktu. Salah satu yang harus
dimiliki oleh setiap individu untuk membangun budaya perubahan adalah organizational
citizenship behavior (OCB) yaitu perilaku yang dilakukan oleh seseorang di luar peran
formalnya (Greenberg dan Baron, p. 408). Seseorang dengan OCB yang tinggi memiliki
karakter kepribadian yang dapat mendukung proses perubahan dalam organisasi, karena
ia bersedia untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan di luar rutinitas yang dituntut oleh
organisasi dan memiliki keinginan untuk menolong pekerjaan orang lain secara sukarela.
Karakter OCB seperti altruism, conscientiousness, sportmanship, dan civic virtue sangat
mendukung penciptaan spirit of the change karena di dalamnya terkandung nilai-nilai
positif yang memberikan nilai tambah bagi organisasi. Selain itu, OCB juga mendukung interaksi antar individu seperti sharing knowledge, pembentukan tim yang efektif, dan
memberikan penghargaan secara adil atas kontribusi yang telah dilakukan untuk
organisasi.
Greenberg dan Baron (2003) memberikan beberapa cara yang dapat digunakan
untuk meningkatkan OCB dalam organisasi seperti membiasakan sikap saling tolongmenolong dalam pekerjaan, menjadi contoh bagi pekerja lain dalam hal kebaikan,
membangun kondisi yang menyenangkan dalam lingkungan kerja, dan berlaku sopan
santun serta sportif dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Namun demikian,
organisasi juga harus memperhatikan faktor lain yang dapat menimbulkan OCB.
Beberapa penelitian empiris menunjukan bahwa OCB dapat lahir bila organisasi
memperlakukan individu di dalamnya dengan adil dan dapat menciptakan kepuasan
kerja serta memberikan dukungan terhadap individu tersebut dalam meraih prestasi dan
karirnya. Jadi, intinya adalah OCB dapat menjadi pendukung terciptanya budaya
perubahan dalam organisasi karena mengandung nilai-nilai positif
Peran Pemimpin Dalam Membudayakan Perubahan (skripsi dan tesis)
Pemimpin memainkan peran yang sangat penting dalam membangun budaya perubahan. Paradigma tentang kepemimpinan harus diubah terlebih dahulu, pemimpin
yang otoriter tidak sesuai lagi dengan tuntutan organisasi dalam menghadapi perubahan
lingkungan ekstemal, karena sifatnya satu arah dan mengabaikan suara dari manajemen
tingkat bawah. Kepemimpinan transformasional lebih sesuai untuk menghadapi tuntutan
persaingan global, karena tipe kepemimpinan ini lebih bersifat partisipatif. Paradigma
pemimpin abad 21 telah berubah, untuk membudayakan perubahan pemimpin dituntut
untuk memiliki visi yang jelas, mampu memberdayakan bawahannya, mengakumulasi
dan menyebarkan knowledge, mengumpulkan dan mengintegrasikan informasi ekstemal
serta menghilangkan status quo dan mendorong kreativitas (Dess dan Picken, 2000).
Nilai yang dibangun agar organisasi menjadi lebih inovatif adalah transparansi,
kedisiplinan, bekerja berdasarkan kompetensi, partisipatif, fleksibel dan dapat segera
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Hal ini menyebabkan interaksi antar
individu dalam organisasi menjadi lebih terbuka dan pergeseran peran menjadi lebih
egaliter.
Pemimpin harus rnemiliki tiga karakter utama agar mampu membudayakan
perubahan dalam organisasinya yaitu komitmen, konsisten dan memiliki kompetensi.
Komitmen berkaitan dengan loyalitas pemimpin pada organisasinya dan memiliki
kepedulian yang tinggi pada bawahannya. Selain itu komitmen juga berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya organisasi yang digunakan untuk kepentingan bersama dan
transaksi dengan semua pihak yang terlibat dalam proses perubahan. Konsisten berkaitan
dengan keteladanan seorang pemimpin. Setiap perilaku pemimpin dalam organisasi
menjadi rujukan bagi bawahannya. Visi dan misi yang telah disusun menjadi patokan
tingkat konsistensi pemimpin pada perilakunya. Kompetensi berkaitan dengan
kemampuan seorang pemimpin untuk rnemberikan pengaruh pada bawahannya untuk
menjalankan visi dan misi yang telah ditetapkan. Pemimpin rnenjadi pusat informasi dan
harus menyebarkan ke seluruh lapisan organisasi sehingga proses perubahan yang
dilakukan dapat berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, pemimpin harus rnerniliki sifat
terbuka dan transparan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan perubahan
organisasi. Selain itu, pemimpin juga harus bersikap adil dalam rnenyebarkan informasi
yang dimilikinya untuk kepentingan organisasi
Membangun Budaya Berubah (skripsi dan tesis)
Membudayakan perubahan berarti memanfaatkan seluruh sumberdaya dan
potensi organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis atau
menjadikan organisasi memiliki bargaining power sehingga memiliki kekuatan untuk
proactive to change. Membudayakan perubahan berarti rnenjadikan setiap individu
dalam organisasi bernilai dan menjadikannya sebagai sumber perubahan yang penting,
membudayakan perubahan juga berarti menanamkan paradigma bahwa setiap orang
adalah agen perubah dan memiliki peran yang strategis untuk pertumbuhan dan
perkembangan organisasi. Budaya organisasi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
perubahan akan lebih mudah untuk menghadapi dinamisasi lingkungan dengan
menghasilkan kreativitas dan inovativitas yang barn. Pada intinya membudayakan
perubahan adalah menanamkan spirit of the change pada setiap individu dalam
organisasi. Semangat perubahan dapat dilakukan dengan melakukan sharing knowledge,
memberikan penghargaan kepada setiap individu (appreciating capabilities), dan
melakukan setiap aktivitas untuk kepentingan organisasi.
1. Sharing knowledge
Pengetahuan merupakan informasi yang relevan, dapat diaplikasikan dan
sebagian didapatkan melalui pengalaman (Leonard dan Sensiper), pengetahuan dapat
berbentuk nyata (explicit) dan abstrak (implicit). Pengetahuan yang berbentuk abstrak
dinamakan tacit knowledge yaitu pengetahuan atau informasi yang sukar untuk
diartikulasikan atau dinyatakan secara verbal, biasanya didapatkan melalui
pengalaman (Lubit, 2001; Berman et.al, 2002). Berman et.al (2002) menyatakan
bahwa tacit knowledge merupakan sumberdaya penting bagi banyak organisasi
untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Organisasi harus memiliki
knowledge yang bersifat khusus dan sukar untuk ditiru oleh organisasi lain dan dalam
waktu yang bersamaan harus menghasilkan pengetahuan yang baru agar dapat
unggul dari para pesaingnya (lubit, 2001).
Tacit knowledge memiliki karakter yang sulit ditiru karena terbentuk dari
pengalaman individu. Tacit knowledge hanya dapat dirasakan rnanfaatnya
dengan melakukan interaksi (sharing) antar individu dalam waktu yang tidak pendek.
Interaksi antar individu penting untuk dilakukan karena masing-masing orang
merniliki tacit knowledge yang berbeda-beda, hal ini bisa menjadi sebuah keunggulan
organisasi bila tacit knowledge mampu dijadikan kompetensi inti sebuah organisasi. Lubit
129
(2001) menyebutkan tiga cara untuk mengubah tacit knowledge menjadi kompetensi inti
sebuah organisasi yaitu dengan melakukan kerjasama dengan para pakar dan pe1atih
dalam pekerjaan, membangun jaringan dalam organisasi dan bekerja berdasarkan
tim atau kelompok, dan melakukan pencatatan terhadap tacit knowledge yang telah
terjadi pada masa sebelumnya.
Knowledge merupakan salah satu sumberdaya perubahan yang melekat
pada ciri seseorang dan dapat dijadikan alat untuk membudayakan perubahan dalam
organisasi karena knowledge dapat melahirkan inovasi dan kreativitas baru yang
dapat mendorong organisasi untuk berubah. Sharing knowledge mendorong individu untuk
selalu berinteraksi satu sama lain sehingga masing-masing individu dapat meningkatkan
knowledge-nya. Setiap individu harus memainkan perannya sebagai knowledge
broker yang mampu memberikan informasi dan pengetahuan pada pihak-pihak
yang belum mendapatkannya. Sharing knowledge merupakan interaksi antar individu yang
dapat merubah cara pandang seseorang tentang pentingnya perubahan dan
menumbuhkembangkan semangat untuk berubah. Sarana yang paling tepat untuk
sharing knowledge adalah dengan membentuk tim dalam organisasi, sehingga sharing
knowledge bisa terjadi antara individu atau antara tim. Tim merupakan sarana yang
tepat karena terdiri dari berbagai individu dengan knowledge yang berbeda dan
diharapkan dari interaksi di dalam tim tersebut tercipta ide-ide baru yang dapat
digunakan untuk memenuhi tuntutan perubahan lingkungan ekstemal. Hitt (2000)
menyebutkan bahwa multicultural work teams merupakan sarana yang sesuai untuk
menciptakan budaya yang inovatif karena tim ini terdiri dari individu dengan
pendekatan pemecahan masalah yang beragam.
Metode pengajaran (teaching) dilakukan oleh Ford Motor Company dibawah
kepemimpinan Jacques Nasser sebagai sarana untuk sharing knowledge (Wetlaufer, 1999).
Setiap individu dapat menjadi teacher dengan menuangkan segala ide dan gagasan yang
dapat memajukan organisasinya, karena pada dasarnya setiap individu memiliki potensi
untuk memberikan masukan kepada organisasi tentang bagaimana organisasi harus
berubah dan melakukan perubahan. Tentu saja ide dan gagasan yang diberikan dicurahkan
tersebut sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing individu. Pengalaman
adalah guru pada masing-masing individu dan akan bermanfaat bila diajarkan kepada
orang lain sehingga menjadi sebuah pengalaman baru yang lama- kelamaan akan
terakumulasi menjadi knowledge yang bernilai.
2. Memberikan penghargaan kepada individu
Perusahaan mobil BMW merupakan salah satu organisasi dengan tingkat
inovativitas yang tinggi karena setiap orang dituntut untuk terus berkreasi. Pekerja di
BMW memiliki semangat yang tinggi untuk menghasilkan inovasi karena mereka
merasa bahwa setiap bagian dari mobil BMW merupakan hasil dari karyanya.
Appreciating, itulah kuncinya sehingga inovasi yang dihasilkan tidak pemah berhenti.
Setiap individu terus berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baru, mereka terbiasa
dengan perubahan karena tanpa berubah mereka akan kalah oleh pesaingnya. Kreativitas
dapat lahir bila organisasi memberikan tantangan kepada individu, selain itu organisasi
juga harus memberikan kebebasan, mendukung dengan sumberdaya yang dimiliki, dan
melibatkannya dalam sebuah tim (Amabile, 1998).
Appreciating berarti manajemen tingkat atas harus melakukan interaksi
130
dengan pekerja di tingkat bawah. Pimpinan harus menyadari bahwa sumber perubahan
bisa berasal dari setiap lapis an organisasi. Menanyakan sesuatu kepada individu
sesuai dengan kapasitas dan keahliannya merupakan salah satu cara untuk
menghargai keberadaannya dan langkah yang efektif untuk membudayakan perubahan.
Ide-ide yang berasal dari setiap individu dalam organisasi merupakan sumber perubahan
yang sangat berharga, karena ide-ide tersebut berasal dari kalangan bawah yang
biasanya menggambarkan keadaan organisasi sesungguhnya. Memberikan penghargaan
kepada individu karena kontribusinya terhadap organisasi berarti juga memberikan
motivasi untuk bekerja lebih baik lagi sehingga dapat menghasilkan kreativitas baru.
3. Melakukan aktivitas untuk kepentingan organisasi
Membudayakan perubahan dapat dilakukan dengan merubah cara pandang
setiap individu dalam melakukan aktivitasnya. Rasa kepemilikan organisasi harus
ditanamkan dalam setiap pikiran orang (sense of belonging for organization), bahwa
setiap aktivitas yang dilakukan adalah untuk kepentingan dan kemajuan organisasi.
Penanaman paradigma ini sangat penting untuk menghindari kecenderungan status quo
yang dapat menghinggapi pikiran setiap individu. Rasa kepemilikan yang besar terhadap
organisasi akan menciptakan individu yang cerdas dan kreatif karena mereka akan
berusaha sesuai dengan peran dan kemampuannya untuk menghasilkan ide dan
gagasan yang dapat menjadikan organisasi tumbuh dan berkembang. Selain itu
mereka juga akan mempersiapkan generasi penerus yang dapat melanjutkan
kehidupan organisasi pada masa mendatang.
Rasa kepemilikan yang tinggi terhadap organisasi akan melahirkan toxic
handler yaitu individu yang mampu dan bersedia berkorban untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dalam organisasi (Frost dan Robinson, 1999). Toxic handler
selalu berusaha untuk meringankan permasalahan yang terjadi dalam organisasi dengan
mendengarkan secara empati, memberikan solusi, memberikan kepercayaan diri pada
orang lain dan mampu untuk mempermudah permasalahan dengan bahasa yang
sederhana. Toxic handler memainkan peran yang penting pada proses perubahan
yang dilakukan, terutama untuk menghadapi pihak-pihak yang menolak perubahan.
Membudayakan perubahan berarti menciptakan toxic handler agar dampak dari
perubahan tidak terlalu menyakitkan bagi organisasi. Selain itu, rasa kepemilikan terhadap
organisasi juga akan menghasilkan perilaku politik yang dimaksudkan untuk
kepentingan bersama, bukan semata untuk kepentingan individu. Political skill merupakan
keahlian individu yang mengkombinasikan kesadaran sosial dengan kemampuan
berkomunikasi dengan baik. Individu dengan political skill yang tinggi akan mampu
mengendalikan emosinya dan mudah melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosial
yang berbeda (Ferris et.al, 2000). Political skill berkaitan dengan kebanggaan individu
terhadap nilai-nilai yang ada dalam organisasi dan kepekaan sosial dari interaksi yang
dilakukan antar individu. Hal ini menunjukan bahwa membangun budaya perubahan
dapat dilakukan bila aktivitas politik yang dilakukan setiap individu dilakukan untuk
kepentingan organisasi dan mempertimbangkan interaksi dengan individu lainnya.
Menjadi Proaktif Terhadap Perubahan (skripsi dan tesis)
Ada dua teori perubahan dalam organisasi yaitu teori E (economic value) dan
teori 0 (organizational capabilities), teori E bersifat top-down sedangkan teori 0
bersifat bottom-up (Beer dan Nohria, 2000 dalam Beer, 2001). Tujuan utama dari teori E
adalah untuk memaksimalkan nilai ekonomis organisasi dengan perencanaan yang
terprogram dan memfokuskan pada struktur dan sistem. Oleh karena itu, peran pimpinan
atau manajer tingkat atas memainkan peran sebagai pengendali utama. Teori ini
menunjukan bahwa proses perubahan dilakukan berdasarkan rencana yang telah disusun
oleh manajer tingkat atas tanpa melibatkan manajer tingkat bawah atau pekerja. Tentu
saja proses perubahan berdasarkan teori ini sangat berpotensi melahirkan penolakan
terhadap perubahan karena sifatnya yang sentralistik.
Teori 0 memandang bahwa proses perubahan dilakukan untuk meningkatkan dan
mengembangkan kapabilitas organisasi dengan melibatkan seluruh lapisan organisasi
sehingga fokus utamanya adalah budaya organisasi. Perencanaan disusun lebih fleksibel
sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan internal maupun eksternal organisasi.
Perubahan yang dilakukan berdasarkan teori ini cenderung sedikit melahirkan penolakan
karena sifatnya yang partisipatif. Pimpinan organisasi harus memperhatikan suara atau
aspirasi bawahannya tentang proses perubahan yang akan dilakukan dan melakukan
sosialisasi tentang visi dan misi perubahan yang akan dilakukan. Teori 0 yang bersifat
partisipatif ini mendorong setiap orang dalam organisasi untuk: berperan dalam
setiap proses perubahan, hal ini berarti setiap orang adalah agen perubahan yang
memiliki karakter proactive to change. Implikasinya adalah proses perubahan bisa berawal
dari individu.
Perubahan yang dilakukan pada lingkup yang luas seperti budaya organisasi
cenderung untuk menghasilkan penolakan dan biaya yang dikeluarkan akan relatif
sangat besar, karena perubahan pada level budaya akan mengakibatkan perubahan pada
sistem, struktur, proses, dan kebijakan secara simultan. Terlebih lagi bila perubahan tersebut
tidak didukung oleh perencanaan yang matang dan sumberdaya yang menunjang, akan
menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Argumentasi ini bukan berarti menyalahkan
atau menolak proses perubahan yang diawali dari budaya organisasi, hanya saja
perIu pertimbangan yang mendalam untuk melakukan proses perubahan secara revolutif.
Namun demikian, perubahan secara revolutif dapat dilakukan pada level individu
atau iklim dalam organisasi yaitu dengan melakukan interaksi antar individu untuk
memotong rutinitas pekerjaan yang menjadi salah satu sumber resistensi perubahan
organisasi. Revolusi iklim pekerjaan dapat dilakukan dengan inisiatif untuk melakukan
peran yang lebih besar (extrarole) sehingga perubahan dapat tercipta. Salah satu peran
tambahan yang dapat dilakukan adalah taking charge yang memiliki orientasi perubahan
dan berfokus pada kemajuan organisasi (Morrison dan Phelps, 1999). Taking charge
adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seorang pekerja diluar peran formalnya
yang dilakukan secara sukarela dengan usaha konstruktif dan berkaitan dengan
pekerjaan di lingkup unit organisasinya. Orang-orang yang bersedia untuk mengambil
peran tambahan bagi pekerjaanya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap
organisasi dan memiliki self efficacy yang tinggi (Morrison dan Phelps, 1999).
Relevansinya dengan proses perubahan pada level iklim organisasi adalah bahwa setiap
individu memiliki potensi untuk mengambil peran tarnbaban yang dibutuhkan organisasi
untuk memulai proses perubahan dengan memotong rutinitas pekerjaan sehingga akan
128
tertanam dalam diri setiap individu rasa tanggung jawab untuk memajukan
organisasinya. Hal ini akan mendorong setiap pekerja untuk selalu melakukan perubahan
(proactive to change) agar aktivitas yang dilakukannya dapat sesuai dengan tuntutan
organisasi dan lingkungan eksternalnya.
Iklim perubahan yang tercipta pada level individu atau unit ini merupakan
langkah awal bagi organisasi untuk menciptakan budaya perubahan dalam lingkup yang
lebih luas lagi. Membudayakan perubahan (culturing the change), itulah sasaran utama
organisasi seharusnya agar selalu dapat segera menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan yang terjadi. Perubahan yang efektif akan tercapai bila organisasi mampu
menciptakan dan mempertahankan iklim dan budaya yang baru (Sclmeider et.al, 1996),
yaitu budaya untuk berubah
Tantangan Perubahan Organisasi (skripsi dan tesis)
Perubahan pada organisasi tidaklah semudah membalikan telapak tangan,
terlebih lagi bila perubahan dilakukan tanpa visi dan misi yang jelas, hanya akan
menyebabkan penolakan terhadap perubahan itu sendiri. Kebanyakan orang memandang
bahwa perubahan hanya akan menimbulkan ketidakstabilan dan kerusakan organisasi,
membuang sumberdaya dan merugikan orang-orang yang terkena dampak perubahan.
Perampingan struktur organisasi adalah salah satu contohnya, banyak pekerja yang
mengalami pemutusan hubungan kerja dan pekerja lainnya selalu dilingkupi rasa
ketakutan menjadi korban selanjutnya. Proses perubahan yang dilakukan organisasi
biasanya menghasilkan pihak-pihak yang menolak (rejecting to change), mendukung
dan mendorong (proactive to change) atau hanya sekedar menunggu (waiting for
change) dari dampak perubahan tersebut. Salah satu penyebab terjadinya penolakan
perubahan adalah ketidaksamaan pandangan antara pemimpin dan bawahan (Strebel,
1996). Pimpinan organisasi merupakan pengendali utama proses perubahan sehingga
harus memiliki visi dan misi yang jelas. Namun, visi dan mist saja tidak cukup.
Pemimpin harus melakukan sosialisasi kepada bawahannya. Penolakan terhadap
perubahan dari bawahan karena tidak adanya kesamaan pandangan ini merupakan
penyebab utama tidak efektifnya proses perubahan.
Penolakan terhadap perubahan tidak hanya datang dari bawahan saja, tetapi juga
dari manajemen tingkat atas atau pimpinan organisasi sekalipun. Hal ini disebabkan
karena mereka terjebak dalam rutinitas pekerjaan dan merasa sudah sampai pada puncak
kesuksesan. Pekerjaan yang dilakukan secara rutin akan membangun sikap pembelaan
terhadap status quo dan cenderung untuk menolak perubahan. Keadaan ini semakin
parah bila sudah menjadi budaya organisasi. Orang-orang yang terlibat di dalamnya
tidak akan sadar bahwa perubahan Iingkungan eksternal menuntut mereka untuk segera
keluar dari rutinitas pekerjaan. Disinilah peran orang-orang yang sadar tentang
perubahan atau pihak -pihak yang mendorong perubahan organisasi bermain. Mereka
harus memunjukan data dan fakta bahwa perubahan merupakan suatu keharusan bagi
sebuah organisasi seiring dengan semakin dinamisnya lingkungan ekstemal. Organisasi
harus memberikan dukungan pada pihak-pihak yang proactive to change sebagai
sumberdaya perubahan organisasi dan menangani pihak-pihak yang menolak perubahan
dengan bijaksana
karakteristik dari perilaku kepemimpinan transformasional (skripsi dan tesis)
Beberapa karakteristik dari perilaku kepemimpinan transformasional
antara lain:
a) Mempunyai misi yang besar dan mempunyai intuisi
b) Menempatkan diri sebagai motor penggerak perubahan
c) Berani mengambil resiko dengan pertimbangan yang matang
d) Memberikan kesadaran kepada bawahan akan pentingnya hasil pekerjaan
e) Memiliki kepercayaan akan kemampuan bawahan
f) Fleksibel dan terbuka terhadap pengalaman baru
g) Berusaha meningkatkan motivasi yang lebih tinggi daripada sekedar
motivasi yang bersifat materi
h) Mendorong bawahan untuk menempatkan kepentingan organisasi di atas
kepentingan pribadi dan golongan
i) Mampu mengartikulasikan nilai inti/budaya tradisi untuk membimbing
tradisi mereka bawahan
Kepemimpinan Tranformasional (skripsi dan tesis)
Istilah kepemimpinan transformatif berasal dari dua kata, yaitu
kepemimpinan atau leadership dan transformatif atau tranformasional.
Istilah transformatif berinduk kepada kata to transfrom, yang bermakna
mentranformatifkan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang
berbeda. Menurut Raihan, dalam bukunya Kepemimpinan Sekolah
Transformatif, menyatakan bahwa tahun 1980-an menjadi saksi lahirnya
konsep baru tentang transformatif. Teori ini sering dirujuk sebagai model
kepemimpinan yang efektif, yang disusun berdasarkan perspektif hubungan
leader-follower. Kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses
dimana pemimpin mengambil tindakan-tindakan untuk meningkatkan
kesadaran rekan kerja mereka tentang apa yang penting, untuk
meningkatkan kematangan motivasi rekan kerja mereka serta mendorong mereka untuk melampaui minat pribadi mereka demi mencapai
kemaslahatan kelompok, organisasi, atau masyarakat.Kepemimpinan tranformasional merupakan kepemimpinan yang
masih terbilang baru yang dipandang efektif untuk mendedikasikan
perubahan, terutama pada situasi lingkungan yang bersifat transional.
Model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan
seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan
tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin
transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan
mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan
mengakui kredibilitas pemimpinnya. Hater dan Bass menyatakan bahwa
"the dynamic of transformational leadership involve strong personal
identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or
going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance".
Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin
yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam
membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga
harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan
bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang
lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan
Implikasi Kepemimpinan (skripsi dan tesis)
Kepemimpinan memiliki beberapa implikasi, antara lain :
a. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan
atau bawahan (fllowers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan
untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya
karyawan, tidak akan ada pemimpin.
b. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya
(his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja
yang memuaskan. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk
kekuasaan atau kekuatan yeng berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan
dalam berbagai situasi.
c. Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap
bertanggung jawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cignizance),
keberanian bertindak dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri
sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang
lain (comminication) dalam mambangun organisasi. Seorang pemimpin terutama harus mempunyai fungsi sebagai penggerak
atau dinamisator dan koordinator dari sumber daya manusia, sumber daya alam,
semua dana dan sarana yang disiapkan oleh sekumpulan manusia yang
berorganisasi untuk mencapai sebuah tujuan
Definisi Kepemimpinan (skripsi dan tesis)
Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya
dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk
mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas
yang harus dilaksanakan. Menurut Stone, semakin banyak jumlah sumber
kekuasaan yang tersedia bagi pemimpin, akan makin besar potensi
kepemimpinan yang efektif. Jenis pemimpin ini bermacam-macam, ada
pemimpin formal, yaitu yang terjadi karena pemimpin bersandar pada
wewenang formal. Ada pula pemimpin nonformal, yaitu terjadi karena
pemimpin tanpa wewenang formal berhasil mempengaruhi perilaku orang
lain.
1
Secara klasikal, kepemimpinan dalam bahasa Inggris disebut
sebagai leadership yang berarti being a leader power of leading: the
qualities of leader.
2 Namun secara terminology, ada beberapa
kepemimpinan menurut para ahli yang dipandang dari berbagai perspektif
tergantung dari sudut mana para ahli memandang hakikat kepemimpinan.
Menurut E. Mulyasa, kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk
mempengaruhi orang-orang terhadap tercapainya tujuan organisasi.
3
Sedangkan kepemimpinan menurut Malayau S.P Hasibuan adalah cara
seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja
sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi
.4
Kepemimpinan biasanya diartikan sebagai kekuatan untuk
menggerakkan orang dan mempengaruhi orang. Kepemimpinan hanyalah
sebuah alat, sarana atau proses untuk membujuk orang agar bersedia
melakukan sesuatu secara suka rela. Berkaitan dengan kesediaan orang lain
mengikuti keinginan pemimpin, di sini dikemukakan ada beberapa
kekuatan (kekuasaan) yang mesti dimiliki pemimpin itu agar orang yang
digerakkan tersebut mengikuti keinginannya, yaitu berupa ancaman,
penghargan, otoritas, dan bujukkan.
5
Pengertian lain menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses
menghargai orang lain untuk memahami dan menyepakati tentang apa yang
perlu untuk dilakukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan
secara efektif, dan proses memfasilitasi usaha individu atau kelompok
(kolektif) untuk memenuhi tujuan-tujuan utama.
Banyaknya konsep definisi kepemimpinan yang berbeda hampir sebanyak
jumlah orang yang telah berusaha untuk mendefinisikannya. Untuk lebih
mempermudah pemahaman kita, maka akan diambil satu definisi yang kiranya
mampu menjadi landasan untuk membahas konsep kepemimpinan itu sendiri.
Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara
pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang
mencerminkan tujuan bersamanya.
Konflik Organisasi (skripsi dan tesis)
McCollum mendefinisikan konflik sebagai perilaku seseorang dalam rangka
berposisi dengan pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain sehingga konflik dapat
diartikan sebagai peristiwa sosial yang mencakup penentangan (oposisi) atau
ketidaksetujuan (Lestari, 2012). Menurut Mangkunegara (2011), konflik adalah suatu
pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap
dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya.
Pengertian Resistensi (skripsi dan tesis)
Herskovitch mendefinisikan resistensi terhadap perubahan sebagai perilaku
karyawan yang dimaksudkan untuk menghindari perubahan dan atau mengganggu
suksesnya penerapan perubahan dalam bentuk tertentu. (dalam Boohene & Williams,
2012). Pengertian lain tentang resistensi terhadap perubahan juga diartikan sebagai
sikap atau perilaku yang mengindikasikan tidak adanya keinginan untuk mendukung
atau membuat sebuah perubahan (Mullins; Schermerhorn; Hunt & Osborn dalam
Yilmaz & Kilicoglu, 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi terhadap perubahan pada tataran
individu menurut Sembiring (2009) terdiri atas :
1. Kebiasaan kerja
Resistensi terjadi karena karyawan khawatir kebiasaan kerja yang ia praktikkan
selama ini yang sudah nyaman akan berubah menjadi kebiasaan kerja baru yang
mungkin bisa mengganggu atau merepotkan karyawan tersebut.
2. Keamanan
Perubahan dapat menimbulkan perasaan tidak aman, perasaan tidak aman muncul
karena karyawan merasa takut akan pemecatan, merasa khawatir apakah
karyawan tersebut masih memenuhi syarat untuk tetap menduduki jabatan atau
posisi yang dia pangku selama ini, atau apakah karyawan tersebut akan digantikan
oleh seseorang.
3. Ekonomi
Faktor ekonomi seperti gaji merupakan hal yang sering ditanyakan ketika terjadi
perubahan dalam organisasi. Setiap karyawan akan berharap bahwa perubahan
tidak berdampak pada menurunya gaji.
4. Sesuatu yang tidak diketahui
Karyawan akan berpandangan bahwa suatu perubahan akan membawa pada
perubahan berikutnya. Perubahan-perubahan tersebut merupakan hal yang tidak
diketahui karyawan.
5. Pemrosesan informasi
Resistensi seseorang terhadap perubahan dapat terjadi karena karyawan tidak
menerima informasi secara komprehensif. Kurangnya pemahaman akan informasi
tersebut dapat juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan menginterpretasikan
informasi
Pengertian Perubahan Organisasi (skripsi dan tesis)
Wibowo menyatakan bahwa perubahan dapat terjadi pada diri kita maupun di
sekeliling kita, bahkan kadang-kadang kita tidak sadari bahwa hal tersebut
berlangsung (2011 : 104). Pengertian lain dari Kreitner dan Kinicki (2001 : 659) yang
menyatakan bahwa ada dua kekuatan yang dapat mendorong munculnya kebutuhan
untuk melakukan perubahan di dalam perusahaan, yaitu:
1. Kekuatan eksternal, yaitu kekuatan yang muncul dari luar perusahaan, seperti:
karakteristik demografis (usia, pendidikan, tingkat keterampilan, jenis kelamin,
imigrasi, dan sebagainya), perkembangan teknologi, perubahan-perubahan di
pasar, tekanan-tekanan sosial dan politik.
2. Kekuatan internal, yaitu kekuatan yang muncul dari dalam perusahaan, seperti:
masalah-masalah/prospek sumber daya manusia (kebutuhan yang tidak terpenuhi,
ketidakpuasan kerja, produktifitas, motivasi kerja, dan sebagainya), perilaku dan
keputusan manajemen
Kesiapan Organisasi untuk Berubah (skripsi dan tesis)
Menurut Weiner (2009) kesiapan organisasi untuk berubah merupakan kebersamaan
tekad anggota organisasi untuk mengimplementasikan perubahan (komitmen perubahan) dan
kepercayaan bersama pada kemampuan kolektif yang mereka miliki dalam melakukan
perubahan tersebut. Kesiapan organisasi juga diartikan sebagai suatu keadaan psikologis
bersama di mana anggota organisasi merasa berkomitmen untuk melaksanakan perubahan
organisasi dan merasa percaya diri dalam kemampuan kolektif anggota organisasi untuk
melakukan perubahan tersebut.
Selain itu kesiapan organisasi untuk berubah juga mengacu pada seberapa besar anggota
organisasi menilai perubahan, bagaimana perubahan tersebut menguntungkan mereka dan
bagaimana mereka menilai tiga (3) faktor penentu dari kemampuan mengimplementasikan
perubahan, yakni: tuntutan tugas, ketersediaan sumber daya dan faktor situasional yang ada.
Ketika kesiapan organisasi untuk berubah tinggi, maka anggota organisasi akan lebih tertarik
untuk memulai/menginisiasi perubahan, mengerahkan usaha yang lebih besar untuk
perubahan tersebut, menunjukkan ketekunan yang lebih besar, serta menampilkan perilaku
lebih kooperatif terhadap perubahan yang akhirnya akan membantu efektivitas/keberhasilan
pelaksanaan perubahan (Weiner, 2009).
Sedangkan kesiapan organisasi untuk berubah menurut Ramnarayan & Rao (2011)
adalah adaptasi organisasi dalam rangka mencari cara untuk menyesuaikan kembali (realign)
organisasi dengan lingkungan yang berubah. Menurut Ramnarayan terdapat enam dimensi
terkait kesiapan organiasasi untuk berubah, yakni: 1) komitmen terhadap rencana, prioritas,
program dan tujuan; 2) perhatian terhadap inovasi/perubahan; 3) perhatian terhadap integrasi
lateral; 4) perhatian terhadap integrasi vertikal; 5) pemindaian lingkungan, upaya membangun
jaringan; dan pembelajaran dari orang lain; 6) membangun kapabilitas individu atau
kelompok (Ramnarayan & Rao, 2011).
Kesiapan Individu untuk Berubah (skripsi dan tesis)
Kesiapan individu untuk berubah menurut Armenakis dkk (1993) adalah keyakinan,
perilaku dan intensi seseorang terhadap perubahan yang dibutuhkan dan terkait dengan
persepsi mereka terhadap kapasitas individual dan organisasinya untuk mencapai keberhasilan
dalam perubahan tersebut. Armenakis dkk (1993) mendefinisikan kesiapan untuk berubah
sebagai perilaku kognitif baik itu dalam bentuk resistensi maupun dukungan atas upaya
perubahan. Lebih lanjut, Armenakis dkk (1993), dan Anderson (2002) menyatakan bahwa
kesiapan pekerja adalah prekursor kognitif perilaku yang mendukung upaya perubahan dan
tercermin dalam kesediaan anggota organisasi untuk mengadopsi perubahan (Mangundjaya,
2016).
Pengertian ini ditunjang oleh Holt dkk (2007) yang menyatakan bahwa kesiapan
individu untuk berubah adalah seberapa besar individu secara kognitif dan emosional
menampilkan penerimaan dan usaha untuk dapat melaksanakan rencana dalam rangka
melakukan perubahan terhadap kondisi saat itu. Definisi lain mengenai kesiapan individu
untuk berubah menurut Hanpachern (1997) adalah sejauh mana individu-individu siap secara mental, psikologi, maupun fisik siap atau prima untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pengembangan organisasi.
Secara umum, Hanpachern (1997) menjelaskan terdapat tiga (3) dimensi kesiapan untuk
berubah, yaitu: 1) Mempromosikan perubahan. Dimensi ini menurut Hanpachern
menggambarkan sikap atau respon individu dalam menunjukkan dukungan terhadap
perubahan organisasi dengan cara mempromosikan perubahan organisasi terhadap orang lain;
2) Berpartisipasi pada perubahan. Dimensi ini mencerminkan respon atau sikap individu
dalam mendukung implementasi perubahan di organisasi dengan cara melakukan berbagai
usaha untuk mencapai keberhasilan tersebut; 3) Penolakan/resistensi terhadap perubahan.
Dimensi ini mencerminkan respon atau sikap individu yang menolak perubahan yang
ditunjukkan dengan adanya sikap negatif terhadap perubahan organisasi.
Komitmen Afektif untuk Berubah (skripsi dan tesis)
Herscovitch dan Meyer (2002) mendefinisikan komitmen afektif untuk berubah sebagai
suatu keinginan untuk memberikan dukungan terhadap perubahan yang dilandasi pada
kepercayaan bahwa perubahan memiliki manfaat dan merupakan hal yang baik. Lebih lanjut
Herscovitch dan Meyer (2002) menjelaskan bahwa komitmen afektif untuk berubah
merupakan kesediaan pekerja untuk berubah melampaui persyaratan minimum yang ada;
mereka percaya terhadap perubahan, dan ingin memberikan kontribusi terhadap keberhasilan
perubahan.
Terkait dengan hal ini, penelitian Parish dkk, 2008 juga menunjukkan bahwa komitmen
afektif untuk berubah juga berdampak positif dan signifikan terhadap kegiatan memfasilitasi
pembelajaran individual. Selain itu komitmen afektif untuk individu untuk berubah
berdampak positif terhadap percepatan perubahan organisasi dan dapat meningkatkan kinerja
individu. Penelitian lain yang dilakukan Herscovitch dan Meyer (2002), Schweiger (2002)
dan Cummingham (2006), menjelaskan bahwa komitmen afektif untuk berubah yang dimiliki
individu akan berdampak positif dan signifikan terhadap keterikatan emosional pekerja.
Selain itu, Paton dan McCalman (2008, dalam Parish dkk, 2008) juga menyebutkan bahwa
keberhasilan implementasi perubahan merupakan hasil utama dari adanya komitmen anggota
organisasi terhadap strategi perubahan yang ditetapkan.
Langganan:
Postingan (Atom)