Ada dua teori perubahan dalam organisasi yaitu teori E (economic value) dan
teori 0 (organizational capabilities), teori E bersifat top-down sedangkan teori 0
bersifat bottom-up (Beer dan Nohria, 2000 dalam Beer, 2001). Tujuan utama dari teori E
adalah untuk memaksimalkan nilai ekonomis organisasi dengan perencanaan yang
terprogram dan memfokuskan pada struktur dan sistem. Oleh karena itu, peran pimpinan
atau manajer tingkat atas memainkan peran sebagai pengendali utama. Teori ini
menunjukan bahwa proses perubahan dilakukan berdasarkan rencana yang telah disusun
oleh manajer tingkat atas tanpa melibatkan manajer tingkat bawah atau pekerja. Tentu
saja proses perubahan berdasarkan teori ini sangat berpotensi melahirkan penolakan
terhadap perubahan karena sifatnya yang sentralistik.
Teori 0 memandang bahwa proses perubahan dilakukan untuk meningkatkan dan
mengembangkan kapabilitas organisasi dengan melibatkan seluruh lapisan organisasi
sehingga fokus utamanya adalah budaya organisasi. Perencanaan disusun lebih fleksibel
sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan internal maupun eksternal organisasi.
Perubahan yang dilakukan berdasarkan teori ini cenderung sedikit melahirkan penolakan
karena sifatnya yang partisipatif. Pimpinan organisasi harus memperhatikan suara atau
aspirasi bawahannya tentang proses perubahan yang akan dilakukan dan melakukan
sosialisasi tentang visi dan misi perubahan yang akan dilakukan. Teori 0 yang bersifat
partisipatif ini mendorong setiap orang dalam organisasi untuk: berperan dalam
setiap proses perubahan, hal ini berarti setiap orang adalah agen perubahan yang
memiliki karakter proactive to change. Implikasinya adalah proses perubahan bisa berawal
dari individu.
Perubahan yang dilakukan pada lingkup yang luas seperti budaya organisasi
cenderung untuk menghasilkan penolakan dan biaya yang dikeluarkan akan relatif
sangat besar, karena perubahan pada level budaya akan mengakibatkan perubahan pada
sistem, struktur, proses, dan kebijakan secara simultan. Terlebih lagi bila perubahan tersebut
tidak didukung oleh perencanaan yang matang dan sumberdaya yang menunjang, akan
menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Argumentasi ini bukan berarti menyalahkan
atau menolak proses perubahan yang diawali dari budaya organisasi, hanya saja
perIu pertimbangan yang mendalam untuk melakukan proses perubahan secara revolutif.
Namun demikian, perubahan secara revolutif dapat dilakukan pada level individu
atau iklim dalam organisasi yaitu dengan melakukan interaksi antar individu untuk
memotong rutinitas pekerjaan yang menjadi salah satu sumber resistensi perubahan
organisasi. Revolusi iklim pekerjaan dapat dilakukan dengan inisiatif untuk melakukan
peran yang lebih besar (extrarole) sehingga perubahan dapat tercipta. Salah satu peran
tambahan yang dapat dilakukan adalah taking charge yang memiliki orientasi perubahan
dan berfokus pada kemajuan organisasi (Morrison dan Phelps, 1999). Taking charge
adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seorang pekerja diluar peran formalnya
yang dilakukan secara sukarela dengan usaha konstruktif dan berkaitan dengan
pekerjaan di lingkup unit organisasinya. Orang-orang yang bersedia untuk mengambil
peran tambahan bagi pekerjaanya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap
organisasi dan memiliki self efficacy yang tinggi (Morrison dan Phelps, 1999).
Relevansinya dengan proses perubahan pada level iklim organisasi adalah bahwa setiap
individu memiliki potensi untuk mengambil peran tarnbaban yang dibutuhkan organisasi
untuk memulai proses perubahan dengan memotong rutinitas pekerjaan sehingga akan
128
tertanam dalam diri setiap individu rasa tanggung jawab untuk memajukan
organisasinya. Hal ini akan mendorong setiap pekerja untuk selalu melakukan perubahan
(proactive to change) agar aktivitas yang dilakukannya dapat sesuai dengan tuntutan
organisasi dan lingkungan eksternalnya.
Iklim perubahan yang tercipta pada level individu atau unit ini merupakan
langkah awal bagi organisasi untuk menciptakan budaya perubahan dalam lingkup yang
lebih luas lagi. Membudayakan perubahan (culturing the change), itulah sasaran utama
organisasi seharusnya agar selalu dapat segera menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan yang terjadi. Perubahan yang efektif akan tercapai bila organisasi mampu
menciptakan dan mempertahankan iklim dan budaya yang baru (Sclmeider et.al, 1996),
yaitu budaya untuk berubah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar