Sejalan dengan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat akibat
praktik sistem pemerintahan dengan sistem perencanaan ekonomi tersentralisasi,
memasuki akhir dekade 1990-an, semakin banyak pemerintahan di negara-negara
berkembang menerapkan agenda desentralisasi yang dipilih sejalan dengan proses
reformasi di negara-negara tersebut. Kajian sejumlah ahli administrasi publik,
seperti ditulis Odd-Helge Fjeldstad157 menjelaskan, pelaksanaan agenda
desentralisasi bertujuan untuk lebih mendorong partisipasi masyarakat dalam
konteks kepemerintahan yang demokratis. Melalui agenda desentralisasi,
pemerintah daerah diasumsikan lebih dekat menjangkau masyarakat sehingga
diharapkan mudah mengidentifikasi kebutuhan rakyatnya agar memberikan
pelayanan publik yang lebih memuaskan.158
Rondinelli, seperti dikutip Mugabi,159 mengartikan desentralisasi sebagai
pelimpahan atau transfer kewenangan politik dan hukum untuk merencanakan,
membuat keputusan dan mengelola fungsi-fungsi publik. Pelimpahan kewenangan
tersebut diberikan dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya kepada
lembaga-lembaga pelaksana lain di lapangan, yang mencakup: unit lembaga
subordinatif pemerintah (sub-ordinate units of government), lembaga publik semiotonom (semi-autonomous public corporations), otoritas pengembangan sebuah
wilayah (area wide or regional development authorities), otoritas lembaga fungsional (functional authorities), pemerintah daerah otonom (autonomous local
government), atau organisasi non pemerintah (non governmental organizations).
Desentralisasi juga didefinisikan sebagai penugasan (assignment), pelimpahan
(transfer) atau pendelegasian tanggungjawab aspek politik, administratif dan
keuangan (fiscal) pada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah.
Berdasarkan atas kajian Rondinelli dan UNDP, Mugabi membagi
desentralisasi menjadi empat tipe, yaitu: dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan
divestasi (privatisasi), yang dijelaskan lebih rinci pada Konsep
desentralisasi, menurut Hoessein, pada hakekatnya sama dengan proses
otonomisasi lebih luas ke daerah yang diberikan kepada masyarakat yang semula
tidak berstatus otonomi menjadi sebuah daerah otonom sehingga instrumen
desentralisasi dipandang sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Politik. Tampilkan semua postingan
Selasa, 07 Juni 2022
Teori Desentralisasi (skripsi, tesis, disertasi)
Teori Governance (skripsi, tesis, disertasi)
Pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintahan telah menjadi fenomena global sejak
awal dekade 1970-an, ketika para ilmuwan mengangkat hal tersebut menjadi
agenda internasional penting untuk mendapatkan solusi. Ditinjau dari pendekatan
teori governance yang mengkaji secara makro proses-proses perubahan dalam
kepemerintahan, krisis disebabkan akibat kuatnya hegemoni atau pengaruh negara
atas segala aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pelayanan publik yang
berkembang semakin kompleks. Model pemerintahan tradisional yang menggambarkan pendekatan
paradigma administrasi publik lama, seperti diuraikan Wahab, dicirikan dengan struktur pemerintahan vertikal, birokrasi yang kental, dan wataknya yang
intervensionis. Kondisi ini menyebabkan pemerintahan gagal mengadaptasikan
dirinya dengan lingkungan sehingga memunculkan ketidakpuasan masyarakat.
Fenomena tersebut kemudian mendorong para ilmuwan administrasi publik
melaksanakan berbagai kajian untuk menghasilkan sejumlah model pemerintahan
baru agar dapat mengkoreksi model pemerintahan tradisional tersebut.
Melalui buku: “The Spirit of Public Administration”, Frederickson tercatat
sebagai salah seorang pelopor yang menekankan pendekatan administrasi publik
tidak boleh bebas nilai tetapi harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi
masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat. Pendekatan administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan
dan keadilan sosial (social equity), masalah kewarganegaraan (citizenship), dan
etika (ethics) sehingga mengubah pola pikir lama yang menghambat terciptanya
keadilan sosial. Sejumlah pakar ilmu administrasi sebelumnya telah mengembangkan
administrasi publik sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, antara lain dengan
membentuk Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 dengan
tujuan melaksanakan studi perbandingan administrasi publik. Anggota CAG
terdiri atas para pakar administrasi publik, antara lain: John D. Montgomery,
William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred
W. Riggs. Dari CAG inilah kemudian muncul konsep administrasi pembangunan
(development administration), sebagai bidang kajian baru, yang salah satunya
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tuntutan pembangunan administrasi di
negara-negara berkembang. Pemikiran baru administrasi publik terus berkembang akibat pengaruh
nilai-nilai demokrasi, antara lain konsep partisipasi seperti dikemukakan
Montgomery dalam Kartasasmita117, yang menempatkan administrasi tidak terisolasi melainkan tetap berada di tengah-tengah masyarakatnya. Selain
menempatkan administrasi publik sebagai instrumen demokrasi, pemikiran ini
menggunakannya sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat termasuk
masyarakat bawah dan termarginalisasi. Sistem administrasi publik sekaligus
memiliki dimensi ruang dan waktu dimana penyelenggaraannya dipengaruhi oleh
sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi.
Sejak dekade 1980-an, seperti hasil kajian Dahrendorf, World
Development Report,120 dan Wahab, ada tuntutan politik yang menghubungkan
pemberian pelayanan publik yang semakin baik kepada sebagian besar masyarakat
merupakan salah satu tolok ukur legitimasi kredibilitas sekaligus kapasitas politik
pemerintah di mana pun. Di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya
misalnya, ada kecenderungan sikap skeptis yang mempertanyakan peran
pemerintah dalam menjalankan kegiatan akivitas pelayanan publik. Upaya-upaya reformasi administrasi pemerintahan di AS terus dilaksanakan
secara luas, baik menyangkut masalah struktural maupun berkaitan dengan
masalah perubahan kinerja. Hal ini terus berlanjut memasuki dekade 1990, baik
di level nasional, negara bagian, dan pemerintah daerah. Ukuran organisasi
kepemerintahan terus mengalami pengurangan yang dilaksanakan seiring kegiatan
privatisasi. Fenomena di Amerika Serikat tersebut antara lain dijelaskan oleh
Osborne dan Gabler dalam buku: “Reinventing Government,” yang menekankan
pentingnya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan; serta Osborne dan
Plastrik melalui buku: “Banishing Bureaucracy. The Five Strategies for
Reinventing Government.
Strategi Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)
Berbeda dengan Caiden yang meletakkan dasar-dasar konseptual
reformasi administrasi, Dror menjelaskan aspek strategi adanya berkelanjutan
antara perbaikan administrasi (administrative improvement) dengan reformasi
administrasi (administrative reforms). Dror mengartikan reformasi administrasi
sebagai: “Directed change of main features of administrative system.” Batasan
ini berguna sebagai landasan implementasi reformasi administrasi dalam
kebijakan publik. Sejumlah perubahan kebijakan publik dikategorikan reformasi
administrasi, menurut Dror, jika merupakan upaya pembangunan strategi secara
sadar terhadap sejumlah faktor utama dalam sebuah sistem administratif.
Penekanan terhadap ‘kesadaran’ inilah yang membedakan reformasi administrasi
dengan perubahan administrasi secara inkrimental sebagai jawaban atas
perubahan sosial. Batasan reformasi administrasi dengan perubahan administrasi
lebih berkaitan dengan adanya perubahan karakteristik utama (main features) dari
sistem administrasi.
Reformasi administrasi secara umum diharapkan meningkatkan efisiensi
dan efektivitas kebijakan publik berkaitan dengan sejumlah karakteristik sistem
administrasi yang berlaku. Dror menjelaskan masing-masing karakteristik
sistem administrasi tersebut memiliki efektivitas dan efisiensi berbeda jika
dikaitkan dengan maksud untuk meraih tujuan yang berbeda. Oleh karena itu,
berdasarkan atas tujuan yang akan dicapai dalam proses reformasi administrasi, Dror membuat enam kluster strategi reformasi administrasi. Pertama,
menghasilkan efisiensi administrasi, dapat diukur dari aspek penghematan nilai
uang, misalnya melalui penyederhanaan prosedur, perubahan prosedur,
pengurangan duplikasi proses, dan pendekatan yang sama dalam organisasi dan
metodenya.
Kedua, mengurangi praktik yang memperlemah reformasi administrasi
(seperti: korupsi, kolusi, favouritism dan lain-lain). Ketiga, merubah komponen
utama sistem administrasi untuk menghasilkan kondisi ideal, misalnya
menerapkan merit system dalam kepegawaian, menerapkan sistem anggaran
berbasis program, membangun bank data, dan sebagainya. Keempat,
menyesuaikan sistem administrasi untuk mengantisipasi efek perubahan sosial
akibat modernisasi atau peperangan. Kelima, membagi secara jelas antara pegawai
pada sistem administrasi dengan sistem politik, misalnya mengurai kekuasaan
birokrat atau aparat pemerintah pada level senior sehingga lebih patuh pada proses
politik. Keenam, merubah hubungan antara sistem administrasi dengan seluruh
atau sebagian dari komponen masyarakat, misalnya melalui strategi desentralisasi,
demokratisasi, dan partisipasi.
Pemilihan strategi reformasi administrasi di atas membutuhkan sebuah
sistem pembuatan kebijakan yang berkualitas tinggi. Ada tiga alasan utama.
Pertama, reformasi administrasi membutuhkan pegawai berkualitas sehingga
potensi melakukan kesalahan dikurangi. Kedua, reformasi administrasi
memerlukan kemampuan untuk memilih strategi yang tepat di antara banyaknya
alternatif strategi yang ada, yang masing-masing dilandasi dengan perbedaan nilai
(value), kepentingan (interest) organisasi, dan kepribadian (personalities). Pilihan
strategi tersebut erat kaitannya dengan penghitungan biaya politik, mencakup
bagaimana mempertahankan koalisi, bagaimana mendapatkan dukungan proses
rekrutmen, partisipasi dan sebagainya. Ketiga, reformasi administrasi cenderung
mendorong terjadinya kekakuan sistem yang lebih besar (over rigidity) kecuali
jika strategi yang dipilih tersebut benar-benar flexible, antara lain dengan
kemampuan membangun rencana kontigensi secara jelas Pelaksanaan agenda reformasi administrasi publik diharapkan mencapai
tujuan pembangunan yang berkaitan dengan aspek pemerataan pertumbuhan,
pengurangan kemiskinan, dan menciptakan perdamaian dan stabilitas di tengah
masyarakat karena administrasi publik dijadikan sebagai wahana untuk
mempertemukan antara kepentingan pemerintah, masyarakat sipil dan sektor
swasta.107 UNDP108 lebih jauh menjelaskan: “Reformasi administrasi adalah
perubahan yang sangat komprehensif pada berbagai bidang, meliputi struktur
organisasi, desentralisasi, manajemen pegawai, keuangan publik, manajemen
berbasis hasil, reformasi peraturan dan sebagainya. Juga mencakup reformasi
perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik.”
Berkaitan dengan perubahan kajian administrasi publik mulai dekade
1980-an, ada kecenderungan untuk mengarahkan administrasi publik tidak
semata-mata menghasilkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik oleh negara
tetapi juga menjamin adanya distribusi kesempatan yang lebih setara (baik politik,
ekonomi, sosial dan budaya) di masyarakat serta mendorong tercapainya
pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Disimpulkan bahwa strategi
reformasi administrasi tidak hanya bertujuan untuk mendorong tercapainya
modernisasi institusi sehingga mengefisienkan biaya pelayanan publik, namun
lebih jauh mendorong kemitraan dinamis antara negara, masyarakat sipil, dan
sektor bisnis untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Itu tercapai dengan
adanya sistem yang meningkatkan tanggungjawab dan menjamin adanya
partisipasi lebih luas dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan
pemberian mekanisme umpan balik untuk meningkatkan kinerja pelayanan
publik. Kajian administrasi publik adalah multi disiplin dan kompleks. Dror
mengeksplorasi sejumlah batasan (boundaries) yang dijadikan cara untuk
memahami pengembangan strategi reformasi administrasi. Beberapa keterbatasan
perlu diperhatikan dalam melaksanakan strategi reformasi administrasi mencakup empat hal. Pertama, aspek politisi dan institusi politik, artinya untuk mencapai
sasaran reformasi administrasi dalam proses kebijakan publik maka antara pejabat
administrasi dan politisi perlu memiliki kesamaan kemampuan dan kesepahaman
untuk mencapai perubahan yang dituju secara keseluruhan.
Kedua, keterbatasan menyangkut kesiapan institusi akademis berkaitan
dengan kemampuan institusi tersebut untuk menyediakan dan membangun pejabat
publik yang berkualitas. Ketiga, keterbatasan institusi hukum (legal), untuk
mengontrol kepatuhan administrasi, khususnya berkaitan dengan jaminan hak-hak
individual, dan menegakkan aturan berkaitan dengan norma, nilai dan etika,
misalnya sanksi kriminal berkaitan dengan praktik korupsi. Terakhir,
keterbatasan pada pembangunan institusi publik, misalnya kekosongan sistem data
pengumpulan pajak, kekosongan sistem pengambilan keputusan yang melibatkan
publik dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan sebagainya.
Berkaitan dengan pilihan strategi reformasi yang tepat untuk dilaksanakan
di sebuah negara, Hahn-Been Lee mengkategorisasikan menjadi tiga kelompok,
yaitu: 1) reformasi prosedural yang bertujuan untuk meningkatkan tatanan
kemasyarakatan, 2) reformasi teknik yang bertujuan untuk meningkatkan metode
administrasi, dan 3) reformasi programatis yang bertujuan meningkatkan kinerja
administrasi. Reformasi administrasi yang bertujuan untuk meningkatkan tatanan
kehidupan masyarakat (improved order) biasanya terjadi di negara-negara yang
baru saja mengalami pergantian pemerintahan secara cepat dan drastis akibat
pergantian rezim, misalnya negara yang baru merdeka dari proses kolonisasi,
sehingga perlu adanya tatanan administrasi pemerintahan baru yang dapat
menjamin tatanan masyarakat lebih stabil. Untuk memperbaiki tatanan masyarakat
tersebut maka jenis reformasi administrasi yang dilaksanakan berupa reformasi
prosedural dengan merancang prosedur rutin pemerintahan untuk menjalankan
pembangunan.
Dimensi Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)
Reformasi administrasi memiliki pengertian berbeda tergantung sistem
politik yang berlaku di tiap negara. Di negara maju, reformasi administrasi
bermakna proses perubahan struktur dan prosedur administrasi dalam pelayanan
publik, karena organisasi yang melaksanakan pelayanan publik memiliki batasan
yang jelas dengan lingkungan sistem sosial dan politik yang ada. Di negara
berkembang, reformasi administrasi mencakup konteks yang lebih luas karena
bisa berarti proses modernisasi dan perubahan kemasyarakatan akibat proses
transformasi nilai-nilai sosial ekonomi masyarakat.93 Akibat luasnya arti
reformasi administrasi, untuk mengkajinya, Chau94 membatasi perspektif kajian
sistem dalam tiga dimensi, yaitu: 1) organisasi, 2) institusi, dan 3) sumberdaya
manusia (human resources).
Mengkaji reformasi administrasi dari sudut pandang organisasi95 artinya
proses perubahan administrasi pemerintahan didekati melalui perubahan
organisasi untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Instrumen reorganisasi
administrasi publik antara lain melalui desentralisasi, privatisasi, atau contracting
out. Tugas pemerintah lebih diarahkan dalam fungsi kontrol dan koordinasi
dibandingkan tugas pengelolaan sehari-hari tugas pelayanan publik. Peter dalam
Farazmand96 mengasumsikan pendekatan model lingkungan sebagai model bottom-up, jika pemerintah dan sistem administrasinya (strukturnya), harus
beradaptasi secara dinamis dengan lingkungan (ekonomi, politik, dan sosial),
sehingga dapat dijamin eksistensinya secara berkelanjutan.
Dari sudut pandang pembangunan institusi,97 reformasi administrasi
mencakup tujuan dan instrumen secara simultan. Reformasi administrasi akan
terlaksana jika ada proses institusionalisasi antar kelompok penyusun organisasi.
Model institusional, menurut Farazmand98 mencakup sejumlah kelompok berbeda
yang bersama-sama melaksanakan perubahan. Konsep ini menekankan gerakan
perubahan organisasi melalui perubahan dan modifikasi nilai-nilai internal dan
budaya organisasi selain struktur organisasi. Model institusional menekankan
pentingnya nilai kolektif, budaya dan struktur agar organisasi dapat beradaptasi
dengan kondisi yang dinamis.99
Peter dalam Farazmand menjelaskan reformasi administrasi dari perspektif
institusional memiliki bobot politis dan perlu menjalankan nilai-nilai yang lebih
significant dari yang biasa diterima. Model institusional menekankan pentingnya
institusionaliasi nilai dan budaya dari lingkungan ke organisasi sekaligus
menginstitusionalisasikan nilai-nilai dan budaya organisasi ke lingkungan.
Jelaslah bahwa hubungan antara lingkungan dan organisasi bersifat mutualisme,
sehingga budaya pemerintahan dan nilai-nilai yang melingkupinya juga mewakili
nilai-nilai sosial dan politik yang berlaku di masyarakat. Untuk melembagakan
nilai-nilai tersebut, Chau100 menekankan perlunya pembangunan instrumen,
kerangka hukum, dan peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan
pemerintahan agar dapat bekerja dengan baik.
Dimensi terakhir kajian administrasi publik menekankan pentingnya
sumberdaya manusia (human resources)101 yang memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan motivasi kerja yang tinggi. Untuk meningkatkan skill pegawai
perlu adanya serangkaian pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka. Peter dalam Farazmand102 mendekatinya melalui model purposif (top – down) yang
menekankan pentingnya peran aktor tertentu sebagai pemimpin dalam proses
reformasi administrasi sektor publik. Para elit lokal dan individu yang memiliki
kekuasaan dan otoritas inilah yang membangun ide mereformasi serta
mereorganisasi sektor publik
Pengertian Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)
Konsep reformasi administrasi memiliki pengertian yang luas sehingga
tidak dapat dijelaskan dalam satu definisi tunggal. Sebagian ahli mendekatinya
dari sisi konseptual-normatif (misalnya Montgomery dan Caiden77) dan pakar lainnya melihat dari sudut pandang strategis dan teknis (misalnya: Dror78, Lee dan
UNDP). Kebutuhan reformasi administrasi muncul sebagai akibat fungsi proses
perubahan administrasi yang tidak dapat berjalan dengan benar (malfunction).
Gerakan reformasi dimulai dari adanya keinginan untuk menghilangkan tantangan yang menghambat proses perubahan atau untuk meningkatkan hasil dari proses
perubahan yang telah diputuskan. Seperti dijelaskan Effendi, konsep reformasi
administrasi memiliki pengertian lebih luas dari konsep reformasi birokrasi publik
yang hanya mencakup aspek organisasi. Dalam berbagai konteks, reformasi
administrasi dikenal dengan istilah penyempurnaan administrasi, perubahan
administrasi dan modernisasi administrasi.80
Caiden adalah ilmuwan pertama yang mengembangkan konsep reformasi
administrasi menjadi satu konsep komprehensif, yaitu: “The artificial inducement
of administrative transformation against resistance.”81 Berdasarkan definisi
tersebut, reformasi administrasi adalah sesuatu yang disengaja, artinya adanya
mandat, kehati-hatian, dan perencanaan; bukan sesuatu yang alami dan otomatis.
Reformasi administrasi adalah sesuatu yang dibuat (to induce) karena melibatkan
persuasi, argumentasi dan sanksi. Ada tiga aspek yang dapat dijadikan petunjuk
utama sebuah reformasi administrasi, yaitu: 1) adanya tujuan pengembangan
moral, 2) adanya proses transformasi yang disengaja, dan 3) adanya resistensi
administrasi.82 Dari sudut pandang tujuan moral, reformasi administrasi bertujuan
untuk meningkatkan kondisi yang ada dengan menghilangkan praktik-praktik
administrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya akibat adanya
penyalahgunaan kewenangan.
Dalam konteks transformasi yang disengaja, reformasi administrasi
menghasilkan sejumlah strategi, kegiatan, dan program yang inovatif. Martin
dalam Caiden83 mengemukakan reformasi adalah proses yang berlangsung secara
radikal, bukan sekadar perubahan secara incremental atau proses penyesuaian
yang hanya terjadi pada periferi organisasi dan tidak menyentuh inti organisasi.
Dari aspek resistensi administrasi, maka faktor inilah yang membedakan antara
reformasi dengan perubahan. Akibat adanya resistensi, proses reformasi embutuhkan dukungan kekuasaan (power) sehingga esensi reformasi
administrasi merupakan proses politik.84 Konsep Caiden tersebut sejalan dengan
konsep reformasi administrasi yang dikemukakan oleh Montgomery, yang
menguraikan reformasi administrasi sebagai: “As a political process designed to
adjust the relationship between a bureaucracy and other element in a society, or
within the bureaucracy itself........both the purposes of reforms and the evils
addressed vary with their political circumstances.”85
Faktor penting dalam melaksanakan reformasi administrasi adalah adanya
inovasi dan kemampuan menghasilkan kemakmuran (wealth creation). Hal
tersebut tercapai melalui sejumlah ide dan aktor baru di dalam kombinasi tugas
dan hubungan dalam proses administrasi dan kebijakan. Ndue menjelaskan
reformasi administrasi terjadi melalui dua kondisi, yaitu: 1) adanya konflik nilainilai yang terjadi antara birokrasi, pegawai publik dan nilai-nilai yang
berkembang di publik, dan 2) adanya kesadaran dari para politisi dan masyarakat
umum bahwa struktur birokrasi yang ada tidak mampu atau gagal mencapai tujuan
yang telah ditetapkan bersama.86
Definisi reformasi administrasi Caiden, berguna sebagai acuan untuk
melaksanakan strategi reformasi kebijakan publik mulai dari tahapan formulasi,
implementasi dan evaluasi kebijakan. Reformasi administrasi pada dasarnya
adalah kegiatan perbaikan terus menerus yang memiliki tujuan yang jelas, bukan
sekadar upaya pada periode tertentu dan sporadis. Adapun tujuan akhir yang akan
dicapai dari reformasi administrasi adalah bagaimana meningkatkan kinerja sektor
publik.87 Chau menguraikan reformasi administrasi dilaksanakan melalui tiga
proses, yaitu: 1) menganalisis situasi dan sistem administrasi yang sedang berlaku,
2) merumuskan strategi reformasi yang akan ditempuh, dan 3) melaksanakan
reformasi administrasi. Ketiga proses reformasi administrasi tersebut diharapkan
menghasilkan peningkatan kinerja administrasi publik yang efektif dan efisien,
mengurangi kelemahan (antara lain: praktik korupsi, kolusi dan sebagainya)
Kebijakan Pariwisata (skripsi, tesis, disertasi)
Wisata dapat didefinisikan sebagai aktivitas rekreasi untuk merelaksasikan
pikiran dari pekerjaan rutin. Mengacu pada UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2009 tentang kepariwisataan, wisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat
tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. Pariwisata adalah berbagai
macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata
dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan
setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat,
sesame wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Kepariwisataan
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intlektual setiap wisatawan
dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Tujuan kepariwisataan yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi
pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan
kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh
jati diri dan kesatuan bangsa, serta mempererat persahabatan antar bangsa.
Keindahan alam baik secara fisik maupun keanekaragaman hayati merupakan hal
39
penting untuk keberlangsungan aktivitas pariwisata. Mengacu pada UU Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia, yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan.
Goeldner menemukan, arti kebijakan pariwisata sering diabaikan dalam
memastikan keberhasilan tujua pariwisata, dibandingkan kegiatan memasarkan
pariwisata, karena kebijakan pariwisata bertujuan menciptakan iklim di mana
kolaborasi diantara banyak pemangku kepentingan di bidang pariwisata didukung dan
difasilitasi. Dalam istilah Goeldner, kebijakan pariwisata memenuhi enam fungsi,
yaitu: Pertama, mendefinisikan aturan permainan, istilah-istilah dimana operator
pariwisata harus berfungsi; Kedua, menetapkan kegiatan dan perilaku yang dapat
dterima bagi pengunjung; Ketiga, memberikan arahan dan panduan umum untuk
semua pemangku kepentingan pariwisata dalam suatu tujuan; Keempat, memfasilitasi
konsensus di sekitar strategi dan tujuan khusus untuk tujuan tertentu; Kelima,
menyediakan kerangka kerja untuk diskusi publik/swata tentang peran dan kontribusi
sektor pariwisata terhadap ekonomi dan masyarakat secara umum; dan Keenam,
memungkinkan pariwisata untuk berinteraksi secara lebih efektif dengan sektor
ekonomi lainya (Nugroho,2018:74).
Sektor pariwisata terus menunjukkan peran penting dalam pertumbuhan
ekonomi dnia. Menurut Forbes (2019), sektor ini tumbuh lebih tinggi dibandingkan
dengans eua sektor lain dan menymbang 8,8 triiun dolar Amerika Serikat pada
ProdukDomestik Bruto (PDB) global tahu 2018. Selain itu, ada 319 juta pekerjaan
baru tercipta di sektor ini pada tahun yang sama. Di Indonesia, pariwisata merupakan
salah satu penghasil devisa terbesar bagi negara. Bahkan, pada akhir tahun 2019,
40
pendapatan sektor ini diperkirakan mencapai 17,6 miliar dolar Amerika Serikat.
Dengan kata lain, pariwisata akan melampaui sektor unggulan di atasnya, yaitu kelapa
sawit. Menurut Menteri Pariwisata periode 2014-2019, dulu ketika migas berjaya pada
era 1980-an, kita menyebut dua sumber devisa terbesar adalah migas dan non migas.
Sekarang, kita ubah istilahnya menjadi sumber devisa pariwisata dan non pariwisata.
The World Travel and Tourism Council (WTTC) menyatakan pertumbuhan
pariwisata Indonesia tertinggi ke-9 di dunia pada 2017. Dibandingkan dengan
Malaysia (4%), Singapura (5,8%), dan Thailand (8,7%), pertumbuhan Indonesia di
sektor ini jauh lebih tinggi, yaitu 22%. Namun, Vietnam lebih moncer lagi dengan
29% karena banyak melakukan deregulsi.
Para pelaku industri pariwisata sebenarnya menghadapi tantangan yang sangat
besar pada abad ke-21. Konsumen membutuhkan produk-produk wisata yang lebih
berkualitas. Mereka menginginkan tujuan wisata yang baru dan beda, lebih beragam,
dan lebih fleksibel. Mereka mendambakan lingkungan yang bersih, pengalaman
berwisata alam, kegiatan wisata petualangan, dan produk-produk wisata yang
mencakup budaya, pusaka, dan sejarah (Edgell, 2016). Akibatnya, semakin banyak
pihak yang tertarik untuk mengembangkan produk wisata yang berkualitas lebih tinggi
dan memberi perhatian lebih besar pada lingkungan alam dan lingkungan binaan,
termasuk situs sejarah dan budaya. Lebih jauh lagi, pengusaha dan pemerintah
semestinya memperhatikan kelestarian sumber daya yang menjadi daya tarik wisata,
bukan semata-mata mengeksploitasi untuk kepentingan sesaat. Pengelolaan
sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan dimaksudkan tidak hanya
memberikan manfaat bagi generasi saat ini, tetapi juga bagi generasi penerus.
Paradigma pariwisata berkelanjutan muncul seiring dengan perkembangan
sektor pariwisata sejak lebih dari setengah abad lalu (Weaver, 2006) dan berkembang
41
sejak tahun 1990-an (Swarbrooke, 1998). Ini merupakan salah satu sektor dalam
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks ini,
pengembangan pariwisata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan kebutuhan masa depan. Degan kata lain, semua kalangan yang terlibat
di dalamnya secara bijaksana menggunakan dan melestarikan sumber daya yang ada,
agar bisa bermanfaat dalam jangka panjang. Dampak negatif dari kegiatan wisata
ditekan sampai sekecil-kecilnya, sedangkan dampak positifnya dioptimalkan sebesarbesarnya.
Tantangan Dinamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)
Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang sangat
mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna dynamic governance itu
sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah pada umumnya sangat jauh dari
perspektif dinamis. Sebaliknya, Pemerintah – khususnya birokrasi pemerintah –
seringkali dipahami sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang ketinggalam jaman,
kaku dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan dan kebutuhan individu
maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini bertolak belakang sekali dengan
makna dinamis sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh
ide-ide baru, persepsi-persepsi yang kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus,
tindakan yang cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi
tindakan yang efektif, serta perubahan yang terus-menerus.
Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa lembaga pemerintah dapat
menjadi dinamis melalui pemanfaatan landasan nilai dan keyakinan budaya yang
bersinergi dengan kapabilitas organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic
governance system yang memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi
kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan Chen
(2007, p. 3) bahwa
Institutional culture can support or hinder, facilitate of impede dynamism in policymaking and implementation. Institutional culture involves how a nation perceives its
position in the world, how it articulates its purpose, and how it evolves the values,
beliefs and principles to guide its decision-making and policy choices. In addition,
strong organizational capabilities are needed to consider thoroughly major policy
issues and take effective action.
Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen tersebut
perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin untuk menata interaksi sosial
28
dan ekonomi untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan. Dengan mengutip
pendapat North, Neo dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa pembangunan
ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi manakala terdapat
“leadership intention, cognition and learning which involve continual modification of
perceptions, belief structures and mental models, particularly when confronted with
global development and technological change.” Oleh karenanya, dua hambatan utama
untuk terwujudnya dynamic governance adalah ktidakmampuan untuk menghadapi
perubahan lingkungan dan untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang
dibutuhkan agar tetap efektif. Bagaimana sesungguhnya interaksi berbagai elemen
dalam mewujudkan dynamic governance?
Dynamic governance yang merupakan outcome yang diharapkan, terwujud
manakala kebijakan-kebijakan yang adaptif (adaptive policies) dilaksanakan.
Adaptasi atas kebijakan ini tidak dilakukan secara pasif, akan tetapi proaktif melalui
berbagai inovasi, kontekstualisasi dan implementasi. Adapun yang menjadi dasar dari
proses menghasilkan dynamic governance adalah landasan nilai budaya (institutional
culture) yang dimiliki oleh bangsa. Nilai budaya ini pada gilirannya akan
mempengaruhi perilaku. Tiga kapabilitas dinamis, yakni thinking ahead, thinking
again, dan thinking across yang memfasilitasi kebijakan-kebijakan adaptif.
Kapabilitas ini harus tertanam dan termanifestasi dalam strategi dan proses kebijakan
(membuat pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi) dari lembaga-lembaga
pemerintah sehingga mereka senantiasa terus belajar, berinovasi dan beradaptasi
dengan perubahan.
Kapabilitas think ahead pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk
mengidentifikasi perkembangan lingkungan, memahami konsekuensinya di masa
datang terhadap tujuan ekonomi dan sosial, dan mengidentifikasi strategi investasi dan
29
pilihan yang tepat sehingga memungkinkan semua elemen masyarakat dapat
mengeksplitasi berbagai kesempatan baru dan mampu mengatasi berbagai potensi
ancaman. Proses melakukan thinking ahead melibatkan:
a) mengeksplorasi dan mengantisipasi tren dan perkembangan masa depan yang
memiliki dampak signifikan terhadap sasaran kebijakan,
b) memahami bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi pencapaian tujuan
saat ini, dan menguji keefektifan strategi, kebijakan dan program yang ada,
c) menyusun strategi opsi apa yang dapat digunakan untuk menghadapi ancaman
yang muncul dan mengeksploitasi peluang baru, dan
d) mempengaruhi pengambil keputusan utama dan pemangku kepentingan untuk
dipertimbangkan isu-isu yang muncul dan melibatkan mereka dalam percakapan
strategis tentang respon yang akan dilakukan (Neo & Chen, 2007, pp. 32–33).
Kapabilitas think again menyangkut kemampuan untuk menilai kinerja
strategi, kebijakan dan program yang ada, untuk kemudian di desain kembali untuk
mencapai hasil yang lebih baik. Proses melakukan thinking again melibatkan:
a) meninjau dan menganalisis data kinerja aktual dan memahami umpan balik dari
publik,
b) menyelidiki penyebab yang mendasari umpan balik atau fakta yang diamati,
informasi dan perilaku, baik untuk memenuhi atau mengetahui target yang hilang,
c) meninjau kembali strategi, kebijakan, dan program untuk diidentifikasi karakter
dan aktivitas yang berfungsi dengan baik maupun yang tidak,
d) mendesain ulang kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya, sehingga
kinerja mereka dapat ditingkatkan dan tujuan tercapai, dan
30
e) menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga warga dilayani dengan lebih dan
menikmati hasil yang berarti (Neo & Chen, 2007, p. 37).
Kapabilitas think across adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman
pihak lain, sehingga ide-ide bagus dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi
internal agar tujuan dapat tercaai lebih baik. Kapabilitas think across melibatkan
proses:
a) mencari praktik-praktik baru dan menarik yang diadopsi dan diimplementasikan
oleh orang lain dalam mendekati masalah yang serupa,
b) merefleksikan apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka
melakukannya, dan pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman,
c) mengevaluasi apa yang mungkin berlaku untuk konteks lokal,
mempertimbangkan kondisi dan keadaan unik, dan apa akan diterima oleh
penduduk setempat;
d) menemukan hubungan baru antar ide dan kombinasi baru ide-ide berbeda yang
menciptakan pendekatan inofatif untuk masalah yang muncul, dan
e) menyesuaikan kebijakan dan program agar sesuai dengan persyaratan kebijakan
lokal dan kebutuhan warga negara (Neo & Chen, 2007, pp.41-42).
Untuk dapat memiliki kapabilitas dynamic governance, terdapat dua pilar
utama, yakni sumberdaya manusia yang mampu dan proses yang gesit dan responsif.
Governance system sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal melalui
ketidakpastian masa depan dan juga berbagai praktek yang dilakukan oleh Negara lain
(Neo & Chen, 2007, p. 13).
Dynamic governance tercapai melalui berbagai kebijakan yang diadaptasi
secara terus-menerus terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Adaptasi
kebijakan (policy adaptation) bukan merupakan reaksi pasif terhadap tekanan yang
31
datang dari luar, tetapi merupakan tindakan proaktif melalui inovasi dengan ide-ide
baru yang diinputkan ke dalam berbagai kebijakan untuk hasil yanglebih baik;
kontekstualisasi ide-ide baru tersebut agar mendapat dukungan dari masyarakat; dan
implementasi atau eksekusi kebijakannya sebagai manifestasi dari dynamic
governance (Neo & Chen, 2007, p. 13).
Nilai-nilai kearifan lokal – nilai budaya, kepercayaan, tata kelembagaan dan
kebiasaan – akan mempengaruhi perilaku. Kearifan lokal ini termanifestasi dalam
norma-norma dan konvensi informal. Pada gilirannya, akan memainkan peran penting
dalam proses perubahan dan adaptasi berbagai kebijakan. Pengalaman Singapura
menunjukkan bahwa asumsi mengenai keutamaan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan
terhadap pertingnya relevansi global dan peran penting Negara dalam menciptakan
kondisi untuk pertumbuhan, mempengaruhi pemikiran dan pendekatan terhadap
pemerintahan. Pilihan kebijakan yang dibuat dibentuk oleh nilai-nilai budaya tentang
integritas, meritokrasi, kemandirian, pragmatism, dan kehati-hatian pengelolaan
keuangan (Neo & Chen, 2007, p. 14).
Dalam mewujudkan dynamic governance, peran pemimpin menjadi sangat
penting. Dalam melakukannya, tidak hanya sekedar mengandalkan charisma dan
upayanya sendiri saja, akan tetapi dengan membangun kapabilitas organisasi sehingga
pengetahuan dan sumberdaya dapat secara sistematis dimanfaatkan untuk
memecahkan berbagai permasalahan (effective action). Yang dibutuhkan untuk
mewujudkan dynamic governance adalah proses belajar dan berpikir yang baru, desain
beragam pilihan kebijakan, pengambilan keputusan yang analitis, seleksi rasional atas
polihan kebijakan, dan efektif implementasi kebijakan. Disinilah peran pemimpin
menjadi sangat penting. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berpikir kreatif dan
32
inovatif serta bekerja keras untuk memberikan setting yang tepat untuk mewujudkan
dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 14).
Upaya memperbaiki kinerja lembaga perlu diinisiasi oleh pemimpin
organisasi. Untuk dapat mengambil keputusan dan pilihan yang tepat membutuhkan
pemimpin organisasi yang memiliki “necessary motivation, attitude, values, intellect,
knowledge and skills to envision the future, develop strategic options and select paths
that give the institution the greatest scope for survival and success.”(Neo & Chen,
2007, p. 16).
Dynamic governance merupakan hasil dari niat kuat an ambisi pemimpin
untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat. Kualitas kepemimpinan yang
dibutuhkan adalah kepemimpinan yang dinamis dengan kemampuan untuk mengelola
berbagai elemen secara terintegrasi di tengah perubahan yang terus-menerus melalui
strategi yang jelas, manajemen yang cerdas, belajar terus-menerus, dan mencari jalan
yang adaptif dan relevan, serta eksekusi kebijakan yang efektif. Secara sistematis
membangun kapabilitas semua orang yang terlibat dan juga proses untuk menjamin
bahwa ide-ide baru yang inovatif terakomodasi dalam kebijakan, proyek dan program
yang realistis, serta secara konsisten mengkoordinasikan seluruh aktivitas organisasi
untuk mengarah pada pencapaian tujuan (Neo & Chen, 2007, p. 30).
Pada intinya, dynamic governance terjadi manakala “policy-makers constantly
think ahead to perceive changes in the environment, think again to reflect on what
they are currently doing, and think across to learn from others, and continually
incorporate the new perceptions, reflections and knowledge into their beliefs, rules,
policies and structures to enable them to adapt to environmental change.”(Neo &
Chen, 2007, p. 15). Kapabilitas dinamis inilah yang menjadi kunci rahasia
keberhasilan Singapura selama lebih dari empat dekade. Dynamic governance bisa
33
terwujud secara berkelanjutan ketika: “there is a long-term commitment to and
investments in building each of the elements in the system and designing the necessary
linkages for them to work as a whole.” Perlu digarisbawahi pula bahwa “[t]he
interdependent, interacting and reinforcing flows” merupakan detak jantung dari
dynamic governance. Tanpa itu, tidak akan pernah ada dynamic governance.
Tata Kelola Pemerintahan Daerah (skripsi, tesis, disertasi)
Perubahan paradigma pemerintahan pasca era reformasi hingga terbitnya
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang mengganti Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengarahkan pemerintah yang selama ini
lebih cenderung pada adanya kekuasaan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya,
sekarang ini berubah menjadi pemenuhan kebutuhan masyarakat (baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah) melalui kegiatan pengaturan, pembangunan,
pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat guna mencapai tujuan
pemerintahan.
Pemerintahan Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang sesuai
dengan falsafah negara dan Undang-Undang Dasar, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Sehubungan dengan hal ini, dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
salah satu tujuan Negara Republik Indonesia didirikan ialah untuk kemasalahatan
rakyat. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah sebagai pelaksana roda pemerintahan
memiliki kewajiban untuk kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berbagai panduan dan konsep dalam penatakelolaan peerintahan yang baik
dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik, di pusat maupun di daerah,
termasuk dengan konsep good governance.
Maslan Rikun dkk (2018), mengemukakan bahwa Good Governance
merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang universal, karena itu
seharusnya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Upaya menjalankan prinsip-prinsip good
governance perlu dilakukan dalam penyelenggaraan Ada masalah birokrasi yang
dihadapi semua Pemerintahan Daerah sehubungan dengan pelaksanaan good
governance di dalam Pemerintahan Daerah, baik segi struktur dan kultur serta nomenklatur program yang mendukungnya. Sampai sekarang penerapan prinsip good
governance di pemerintah daerah masih bersifat sloganistik. Terjadinya krisis nasional
dan berbagai persoalan di Indonesia antara lain disebabkan dari kelemahan di bidang
manajemen pemerintahan terutama birokrasi yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip
tata pemerintahan yang baik (good governance).
Akibatnya timbul berbagai masalah seperti kualitas pelayanan kepada
masyarakat yang memburuk. Bahkan kondisi saat ini pun menunjukkan masih
berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata
pemerintahan yang baik (good governance), yang bisa menghambat terlaksananya
agenda-agenda reformasi baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan
penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi.
Namun perkembangan teori good governance mengikuti perkembangan dan
kemajuan zaman yang pesat. Berbagai pandangan para ahli mengenai tata kelola
pemerintahan seperti sound governance, dynamic governance, dan, sound
governance. Konsep-konsep tersebut ditawarkan para ahli untuk kemajuan tata kelola
pemerintahan yang memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat. Di Indonesia
konsep sound governance, dynamic governance, dan open government belum terlalu
popular didegungkan, walaupun sebenarnya elemen-elemen konsep tersebut telah
diimplementasikan ke dalam tata laksana pemerintahan di Indonesia. Bila dilihat dalam perbandingan ketiga konsep tersebut, Dynamic Governance
lebih sesuai untuk menjelaskan perubahan penyelenggaraan pemerintahan akibat
perubahan lingkungan. Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada
kondisi adanya berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-menerus,
respon yang cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-inovasi yang kreatif. Atau
Dengan kata lain bahwa, kondisi yang dinamis tersebut mendeskripsikan proses
belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan yang tiada akhir. Ketika
kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah, maka kondisi yang dinamis
menyangkut proses lembaga yang secara konstan atau konsisten melakukan perbaikan
dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial- ekonomi di mana masyarakat, swasta
dan pemerintah berinteraksi. Lembaga pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi
proses pembangunan ekonomi yang tengah berjalan dan beragam perilaku sosial
melalui kebijakan-kebijakan, aturan- aturan dan struktur-struktur yang menciptakan
insentif dan sekaligus pembatasan- pembatasan untuk beragam aktivitas yang
25
berlangsung. Pada gilirannya, kemampuan ini akan dapat menopang dan memperkuat
pembangunan dan kesejahteraan Negara (Neo & Chen, 2007:1).
Kemudian Neo dan Chen (2007:7) lebih lanjut menjelaskan bahwa governance
menjadi dinamis manakala pilihan-pilihan kebijakan dapat diadaptasikan dengan
perkembangan terbaru dalam lingkungan yang tidak pasti dan berubah sangat cepat
sehingga berbagai kebijakan dan lembaga pemerintah tetap relevan dan efektif dalam
mencapai tujuan jangka panjangnya. Adaptasi ini lebih dari sekedar membuat
perubahan sekali saja (onetime change) atau proses recovery dari sebuah kegagalan.
Lebih dari itu, dinamis lebih bermakna sebagai “on-going sustained change for longterm survival and prosperity.”
Pemerintahan yang dinamis (dynamic governance) menjadi sebuah kapabilitas
yang strategis yang perlu dimiliki oleh Pemerintah di berbagai Negara di dunia saat
ini. Perubahan berbagai sektor dan aspek kehidupan pada akhirnya melahirkan
berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk dapat meresponnya secara lebih efektif
dan efisien. Dynamic governance menjadi landasan penting dalam proses perumusan
dan implementasi kebijakan Pemerintah yang adaptif dan responsive terhadap
perubahan lingkungan. Kemampuan ini menjadi faktor esensial dalam konteks upaya
Pemerintah mewujudkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang
berkelanjutan. (Mudiyati Rahmatunnisa; 2019).
Syafri, W, (2012:184) menjelaskan kerangka dasar Dynamic Governance dan
elemen-elemennya adalah sebagai berikut:
1) Thinking Ahead
Thinking ahead berarti kemampuan mengidentifikasikan faktor lingkungan
berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan masa mendatang, memahami
dapaknya terhadap sosio ekonomi masyarakat. Proses berfikir kedepan meliputi:
26
1. Menggali berbagai kemungkinan dan antisipasi terhadap berbagai
kecenderungan masa depan yang meiliki dampak signifikan terhadap tujuan
kebijakan
2. Merasakan dampak pembangunan trehadap pencapaian tujuan pembanunan
sedang berjalan dan menguji efektivitas kebijakan, strategi, dan program
sedang berjalan
3. Menentukan pilihan-pilihan yangakan digunakan sebagai persiapan
menghadapi timbulnya ancaman terhadap peluang yang baru
4. Mempengaruhi para pembuat kebijakan kunci dan para pemangku
kepentingan untuk memperhatikan isu-isu yang muncul secara serius dan
mengajak mereka untuk membicarakan kemungkinan respon/tanggapan yang
akan diambil.
2) Thinking Again Thinking again merupakan kemampuan meninjau kembali
berbagai kebijakan, strategi dan program yang sedang berjalan. Kaji ulang
dimaksudkan untuk melihat kelaikan dan kecocokan kebijakan, strategi dan
program yang sedang berjalan dengan kondisi yangsedang dihadapi dan masa
mendatang akibat perubahan lingkungan global yang cepat.
3) Thinking Across Proses berfikir thinking across atau melewati batas ini meliputi:
1. Mencari praktek-praktek implementasi suatu kegiatan yang kurang lebih
sama
2. Menggambarkan tentang apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana
mereka melakukannya, serta mengambil pelajaran dari pengalaman yang
mereka lakukan
3. Mengevaluasi apa yang diterapkan pada local value yang ada
4. Mengungkapkan ide-ide baru
27
5. Menyesuaikan kebijakan dan program dengan kebutuhan setempat.
Pemerintahan Daerah (skripsi, tesis, disertasi)
Lahirnya pemerintahan tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan yang
awalnya untuk mengawal eksistensi kekuasaan dalam masyarakat, sehingga
masyarakat tersebut tunduk pada kekuasaan yang ada. Seiring dengan perkembangan
sistem pemerintahan negara yang semakin mengikuti perkembangan global sehingga
kebutuhan masyarakat juga semakin meningkat, maka peran pemerintah yang
menganut demokrasi, mengalami perubahan paradigma menjadi pelayanan kebutuhan
masyarakat. Paradigma pemerintahan yang demokratis dan modern, lebih
menekankan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga
masyarakat dapat mendukung kekuasaan pemerintahan. Pemerintah tidaklah diadakan
untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi
19
yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya
demi mencapai kemajuan bersama.
Semakin banyaknya kebutuhan dan semakin luasnya wilayah kekuasaan
membuat negara membagi kekuasaan dengan pemerintahan yang lebih kecil.
Penyelenggaraan pemerintahan di wilayah yang lebih kecil diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya pelayanan dan mendekatkan jangkauan pemerintahan
negara.
Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat bahwa negara-negara, baik yang
berbentuk kerajaan, federasi maupun republik membagi wilayahnya berdasarkan
tujuan kondisi sosial politik dan letak geografi suatu negara. Pembagian negara
merupakan pembagian wilayah suatu negara berdasarkan sistem tertentu dengan
maksud untuk mempermudah administrasi, pemerintahan, dan hal-hal yang
sehubungan dengan itu. Hasil dari pembagian tersebut dikenal dengan sebutan umum
"subdivisi negara" atau pembagian negara. (Setiawan, 2018, 51)
Dalam penyelenggaraan pemerintahan pada wilayah daerah di Indonesia
dilaksanakan berdasarkan asas-asas pemerintahan daerah. Syafiie (2011: 178-179)
menguraikan asas-asas pemerintahan daerah tersebur sebagai berikut:
a) Asas Desentralisasi
Asas Desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri. Yang
dimaksud dengan sebagian urusan adalah karena tidak semua urusan dapat diserahkan
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, misalnya penyerahan urusan pertahanan
dan keamanan, karena akan menimbulkan keberanian daerah untuk melawan
Pemerintah Pusat secara separatis, penyerahan urusan moneter akan membuat
perbedaan dan kesenjangan pada mata uang, penyerahan urusan peradilan akan
20
membuat pemberontak yang dijatuhi hukuman oleh Pemerintah Pusat malahan
menjadi pahlawan dalam peradilan di daerahnya.
Mengurus adalah penyerahan urusan pemerintahan kepada pihak eksekutif
sehingga Pemerintah Daerah lalu membangun dinas-dinas sesuai urusan yang
diserahkan. Sedangkan pengaturan adalah agar peraturan daerah dapat dibuat sendiri
oleh Pemerintah Daerah dengan berdirinya lembaga legislatif daerah atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Keberadaan legislative daerah dan eksekutif daerah inilah
yang kemudian mereka mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
b) Asas Dekonsentrasi
Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari aparat Pemerintah
Pusat atau pejabat di atasnya (misalnya pada wilayah provinsi) jadi begitu suatu
departemen di tingkat pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat kepala kantor
wilayah provinsi, atau pejabat kepala wilayah provinsi tersebut melimpahkan
wewenang kepada kepala kantor departemen di tingkat kabupaten/kota, maka
terkadang muncul egoisme sektoral karena Pemerintah Daerah tidak mengetahui
pelaksanaan dan sulit untuk ikut mengawasinya. Misalnya dalam hal kemungkinan
munculnya tumpang tindih pekerjaan, baik waktunya, biayanya misalnya antara
pembangunan bongkar pasang jalan karena pemasangan pipa air minum, kabel telepon
dan jaringan listrik.
c) Asas Tugas Pembantuan
Di satu pihak Pemerintah Pusat khawatir penyerahan semua urusan kepada
daerah akan membuat daerah menjadi separatis, tetapi di pihak lain Pemerintah Daerah
curiga karena Pemerintah Pusat akan merongrong kekayaan daerah maka tarikulur
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak pernah selesai dari dulu. Seperti
diketahui desentralisasi pemerintahan pada zaman penjajahan sangat dibatasi,
21
sehingga aparat dekonsentrasi sangat kewalahan, misalnya dalam keuangan sangat
kecil, yaitu sekedar membiayai tugas yang tidak penting, oleh karena itu dalam urusan
pemerintahan tertentu Pemerintah Daerah diikutsertakan. Kata lain dari tugas
pembantuan ini adalah Medebewind. Mede, dalam bahasa Belanda artinya ikut serta
atau turut serta, sedangkan “bewind” juga dalam bahasa Belanda artinya berkuasa atau
memerintah. Jadi, Pemerintah Daerah ikut serta mengurus sesuatu urusan tetapi
kemudian urusan itu harus dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah Pusat.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan melalui 3 (tiga) asas,
yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Keadaan ini
didasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di
daerah itu, maka keseimbangan dari ketiga asas tersebut senantiasa menjadi perhatian
para penyelenggara pemerintahan dan pelaksana pembangunan daerah. Oleh karena
itu, masalah pemerintahan daerah akan muncul ke permukaan sebagai salah satu isu
yang banyak menarik perhatian untuk dibicarakan oleh kalangan luas, walaupun
sekarang ini pelaksanaan pemerintahan daerah (otonomi daerah) lebih menunjukkan
sebagai harapan daripada kenyataan.
Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan
kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan
kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan
sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi
pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah
melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur
dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut,
DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah
Pemerintahan (skripsi, tesis, disertasi)
Kata “pemerintahan” berasal dari kata “perintah”, kata perintah tersebut
mendapatkan awalan “pe” dan akhiran “an”. Sehingga menjadi kata benda
“pemerintah” dan pemerintahan. Pemaknaan pemerintahan oleh Sadjijono (2008:41)
menjelaskan bahwa Pemerintahan dalam arti luas yang disebut regering atau
goverment, yakni penyelenggaraan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan
petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara. Arti pemerintahan
meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisiil atau alat-alat kelengkapan negara
yang lain yang juga bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan pemerintah
dalam arti sempit (bestuurvoering), yakni mencakup organisasi fungsi-fungsi yang
menjalankan tugas pemerintahan. Titik berat pemerintahan dalam arti sempit ini hanya
berkaitan dengan kekuasaan yang menjalankan fungsi eksekutif saja.
Pemerintah merupakan organ (perlengkapan atau alat-alat) yang memerintah
atau kekuasaan untuk memerintah, sedangkan pemerintahan lebih mengacu pada
perbuatan memerintah. Pemerintah di sini juga menunjukkan arti badan atau
lembaganya dan pemerintahan menunjukkan arti fungsinya. (Wasistiono, 2009:1.5)
Sementara, Menurut Suhady (2009:197), pemerintah (government) ditinjau
dari pengertiannya adalah the authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation state, city, ect. Dalam bahasa Indonesia sebagai pengarahan
dan administrasi yang berwenang atas kegiatan masyarakat dalam sebuah Negara, kota
dan sebagainya. Pemerintahan dapat juga diartikan sebagai the governing body of a
nation, state, city, etc yaitu lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan
Negara, Negara bagian, atau kota dan sebagainya
Kemudian Ermaya Suradinata (1998) mendefinisikan pemerintahan secara
lebih sederhana sebagai berikut: government is the best defined as the organized
agency of the state, expressing and exercing its authority artinya pemerintah dalam
definisi terbaiknya adalah lembaga negara terorganisasi yang menunjukkan dan
menjalankan wewenang atau kekuasaannya. Pendapat tersebut menjelaskan tentang
kekuasaan dalam pemerintahan sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintahan tanpa
kekuasaan tidak mungkin akan dapat berjalan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa
pemerintahan mempunyai dua makna, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Makna kata “pemerintahan” dalam arti luas berarti pelaksanaan tugas orang, badan,
lembaga yang bertindak untuk dan atas nama negara dan diberikan wewenang dalam
mencapai tujuan dari negara tersebut. Sementara dalam arti sempit berarti organisasi
yang berfungsi sebagai pemerintah atau pelaksana eksekutif
Kata perintah itu sendiri paling sedikit ada 4 (empat) unsur yang terkandung
di dalamnya, yaitu sebagai berikut:
1. Ada dua pihak yang terlibat,
2. Yang pertama pihak yang memerintah disebut penguasa atau pemerintah,
3. Yang kedua adalah pihak yang diperintah yaitu rakyat,
4. Antara kedua pihak tersebut terdapat hubungan (Syafiie, 2011: 61).
15
Kemudian Setiawan (2020:4) memaknai kata pemerintahan tersebut ke dalam
dimensi-dimensi pemerintahansebagai berikut:
a. orang atau sekelompok orang yang diperintah dalam suatu negara (rakyat)
b. sekelompok orang yang memerintah dalam suatu negara (pemerintah)
c. adanya perintah yang diterima dan dipatuhi (kebijakan/peraturan dan
implementasinya)
d. kewenangan yang diberikan kepada sekelompok orang yang memerintah
(kewenangan)
e. membantu memenuhi kebutuhan (pelayanan)
S.E. Finer (Finer, 1974 dalam Sumaryadi, 2010: 18) mengklasifikasikan
pemerintah ke dalam 4 (empat) pengertian, yakni:
1. Pemerintah mengacu pada proses pemerintahan, yakni pelaksanaan kekuasaan
oleh yang berwenang.
2. Istilah ini juga bisa dipakai untuk menyebut keberadaan proses itu sendiri kepada
kondisi adanya tata aturan.
3. Pemerintah sering berarti orang-orang yang mengisi kedudukan otoritas dalam
masyarakat atau lembaga, artinya kantor atau jabatan-jabatan dalam
pemerintahan.
4. Istilah ini juga bisa mengacu pada bentuk, metode, sistem pemerintah dalam suatu
masyarakat, yakni struktur dan pengelolaan dinas pemerintah dan hubungan
antara yang memerintah dan yang diperintah.
Peranan pemerintahan dalam proses kehidupan manusia diakui oleh dunia
dalam perjalanan sejarah manusia. Pemerintah mempunyai peranan penting guna
menciptakan keamanan, pengaturan dalam urusan keagamaan dan mengontrol
perkembangan ekonomi serta menjamin terlaksananya proses kehidupan sosial. Bilamana masyarakat berkembang dan menjadi lebih kompleks, pemerintahan juga
berkembang menjadi lebih kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam konteks
kybernology, Ndraha (2008) berpendapat bahwa pemerintahan bertujuan melindungi
hak-hak eksistensi (asasi) manusia, melestarikan lingkungannya, dan memenuhi
kebutuhan dasarnya melalui proses interaksi 3 (tiga) peran, yaitu:
1) meningkatkan nilai sumber daya yang ada dan menciptakan (membentuk) sumber
daya baru sebagai peran SubKultur Ekonomi (SKE);
2) mengontrol SKE, memberdayakan, dan meredistribusikan nilai-nilai yang telah
berhasil ditingkatkan atau dibentuk oleh SKE, melalui pelayanan kepada pelanggan
oleh Sub Kultur Kekuasaan (SKK);
3) Mengontrol SKK oleh peran Sub Kultur Pelanggan (SKP)
Pemerintah merupakan suatu bentuk organisasi dasar dalam suatu negara.
Tujuan dari pemerintah dikatakan oleh Ateng Syafrudin sebagaimana dikutip oleh
Tarsito (1978: 10): “Pemerintah harus bersikap mendidik dan memimpin yang
diperintah, ia harus serempak dijiwai oleh semangat yang diperintah, menjadi
pendukung dari segala sesuatu yang hidup diantara mereka bersama, menciptakan
perwujudan segala sesuatu yang diingini secara samar-samar oleh semua orang, yang
dilukiskan secara nyata dan dituangkan dalam kata-kata oleh orang-orang yang terbaik
dan terbesar”.
Berdasarkan tujuan pemerintahan sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
terlihat jelas beberapa fungsi-fungsi dalam proses tersebut. Melihat gejala dan
peristiwa pemerintahan sebagaimana yang diutarakan para ahli pemerintahan, maka
Istianto (2011:22) mengemukakan fungsi pemerintah antara lain:
17
1. Bersikap mendidik dan memimpin yang diperintah artinya Pemerintah yang
berfungsi sebagai leader (pemimpin) dan educator (pendidik). Para pamong,
diharapkan dapat memimpin dan menjadi panutan masyarakat;
2. Serempak dijiwai oleh semangat yang diperintah artinya pemerintah dapat
memahami aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pemerintah yang baik
adalah mengerti apa yang diinginkan dan menjadi kebutuhan masyarakatnya;
3. Menjadi pendukung dari segala sesuatu yang hidup diantara mereka bersama
artinya pemerintah sebagai katalisator dan dinamisator masyarakat. Sebagai
katalisator artinya sebagai penghubung bagi setiap kelompok kepentingan di
masyarakat. Sedangkan sebagai dinamisator artinya penggerak segala bentuk
kegiatan bermasyarakat;
4. Menciptakan perwujudan segala sesuatu yang diingini secara samar-samar
oleh semua orang artinya pemerintah harus peka terhadap perubahan yang
terjadi di masyarakat, jangan sampai lengah terhadap keinginan yang terjadi di
kalangan masyarakat. Banyak pemerintah yang jatuh atau hancur akibat tidak
peka terhadap perubahan;
5. Melukiskan semua secara nyata dan dituangkan dalam kata-kata oleh orangorang yang terbaik dan terbesar. Artinya pemerintah bertugas merancang dan
atau membuat berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan-peraturan.
Tidak kalah pentingnya, pemerintah harus mengimplementasikannya dengan
benar mempersiapkan perangkat dan sumber daya yang terbaik.
Fungsi pemerintah dalam pelayanan publik tidak lepas dari hakikat tujuan
negara pada mulanya, yaitu mengatur berbagai kepentingan masyarakat agar tidak
terjadi benturan antara masyarakat itu sendiri. Kemudian seiring semakin
kompleksnya kebutuhan masyarakat maka negara memerlukan suatu institusi yang
18
mengatur kepentingan itu. Hal ini diungkapkan oleh Ryaas Rasyid (1996) bahwa
pemerintah merupakan personifikasi negara, sedangkan birokrasi dan aparaturnya
merupakan personifikasi pemerintah. Ungkapan tersebut mungkin terlalu sederhana
dan tidak dapat dipungkiri bahwa pihak yang paling aktif dalam kegiatan pengelolaan
kekuasaan negara sehari-hari adalah birokrasi yang berperan sebagai pelaksana
keputusan-keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin politik. (Wasistiono, 2009:
1.13)
Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)
Gambhir Bhatta mengemukakan bahwa konsep Governance adalah hubungan
antara pemerintah dan warga negara yang memungkinkan kebijakan publik dan
program akan dirumuskan, dilaksanakan dan dievaluasi mengacu pada aturan,
lembaga, dan jaringan yang menentukan bagaimana sebuah negara atau fungsi organisasi. Oleh karena itu penyelenggara negara yang kredibel, akuntabel, dan
transparan mutlak diperlukan dalam upaya pengembangann suatu negara.
Sebagaimana dipaparkan oleh World Bank bahwa kurang berfungsinya lembagalembaga sektor publik dan lemahnya pemerintahan adalah kendala utama bagi
pertumbuhan dan pembangunan yang adil di banyak negara berkembang. Begitu pula
dengan yang terjadi di Indonesia, pengembangan profesionalisme manajemen
penyelenggaraan haji seringkali terhambat oleh kurang berfungsinya lembaga-lembaga
publik khususnya pemerintahan.
Dynamic Governance adalah kemampuan pemerintah untuk terus menyesuaikan
kebijakan dan program publik, serta mengubah cara kebijakan publik tersebut
dirumuskan dan dilaksanakan, sehingga kepentingan jangka panjang bangsa dicapai.
Kedinamisan dalam pemerintahan sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan
sosial yang berkelanjutan terutama pada lingkungan yang mengalami ketidakpastian
dan perubahan yang cepat dimana masyarakat yang semakin menuntut kecanggihan,
lebih berpendidikan, dan lebih terdampak globalisasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan (skripsi, tesis, disertasi)
Menurut Hogwood dan Gunn dalam Nugroho (2003), untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa
persyaratan, antara lain:
a. kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana;
b. tersedia waktu dan sumber daya;
c. keterpaduan sumber daya yang diperlukan;
d. implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang handal;
e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubung;
f. hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan;
g. kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan;
h. tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis;
i. komunikasi dan koordinasi yang baik;
Menurut Grindle dalam Wibawa (1994 : 64) implementasi kebijakan
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan
berkaian dengan kepentingan yang dipengaruhui oleh kebijakan, jenis
manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan
pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang
dikerahkan. Sementara konteks implementasi berkaitan dengan kekuasaan,
kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan
penguasan dan kepatuhan serta daya tanggap pelaksana.
Mazmanian dan Sebatier mengklafikasikan proses implementasi
kebijakan kedalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah
tidaknya masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu
variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses
implementasidengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,
dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan
hierarkis diantara lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan
keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan yang
mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi
sosial dan ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis
konstituen, dukuangan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan
pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari
pejabat pelaksana.
Ketiga, variable dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi
dengan lima tahapan-pemahaman dari lembaga/ badan pelaksana dalam
bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata,
penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas
kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan
kebijakan yang bersifat mendasar.
Menurut Hogwood dan Gunn, dalam wahab (1997 : 70-81) untuk
dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan
beberapa persyaratan, antara lain:
1. kondisi eksternal yang dihadapi oleh Lembaga/badan pelaksana ;
2. tersedia sumber daya yang memadai, termaksud sumber daya waktu;
3. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan;
4. implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang andal;
5. Hubungan sebab akibat yang terjadi satu dengan yang lain;
6. hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan;
7. kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan;
8. tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis;
9. komunikasi dan koordinasi yang sempurna;
10. pihak-pihak yang berwenang dapat menuntut kepatuhan pihak lain.
Menurut teori George C. Edwards III dalam Subarsono (2005 : 90-
92), Implementasi Kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni:
1. Komunikasi
Keberhasilan Implementasi Kebijakan mensyaratkan agar
implementator mengetahui apa yang harus dilakukan, apa yang menjadi
tujuan dan sasaran kebijakan harus ditranmisikan kepada kelompok
sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
2. Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumber dayauntuk
melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya
tersebut akan berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi
implementator, dan sumber daya finansial
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokrasi. Apabila
implementator memiliki disposisisi yang baik, maka dia akan dapat
menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan.
4. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Struktur organisasi yang telah panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks.
Pengertian Implementasi Kebijakan (skripsi, tesis, disertasi)
Implementasi merupakan terjemahan dari kata “implementation”,
berasal dari kata kerja “to implement”. Menurut Webter’s yang berasal dari
bahasa Latin “implementum” dari kata “impere” dan “plere”. Kata
“implere” dimaksudkan “to fill up”, to fill in”, yang artinya mengisi
penuh;melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “to full” yaitu mengisi.
Selanjutnya kata “to implement” mengandung tiga arti sebagai : (1).
Membawa ke sesuatu hasil (akibat); melengkapi dan menyelesaikan; (2).
Menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan sesuatu; memberikan yang
bersifat praktis terhadap sesuatu; (3) menyediakan atau melengkapi dengan
alat. Kemudian, Tachjan(2003 : 64) mengatakan implementasi kebijakan
publik “merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah
kebijakan ditetapkan/disetujui”. Kegiatan ini terletak di antara perumusan
kebijakan dan evaluasi.
Metter dan Horn dalam Nugroho(2003 : 169-170) mendefinisikan
implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh publik maupun
swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Metter
dan Horn mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier
dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik
Pemerintahan Dinamis (Dynamic Governance) (skripsi, tesis, disertasi)
Konsep Dynamic Governance
yang dikenal saat ini merupakan satu
kemampuan pemerintah untuk terus
menyesuaikan kebijakan dan program
publik, serta pola mengubah cara
kebijakan publik tersebut dirumuskan
dan dilaksanakan, sehingga berdampak
pada kepentingan jangka panjang
dicapai. Kondisi kedinamisan dalam
pemerintahan sangat penting bagi
pembangunan ekonomi dan sosial yang
berkelanjutan terutama pada
lingkungan yang mengalami
ketidakpastian dan perubahan yang
cepat dimana masyarakat yang semakin
menuntut kecanggihan, lebih
berpendidikan, dan lebih terdampak
globalisasi serta lahirnya berbagai
konsep baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan persaingan global Konsep teori Dynamic
Governance mencerminkan upaya
pemimpin yang dengan sengaja untuk
membentuk masa depan mereka.
Adapun konsep dasar Dynamic
Governance adalah mengkombinasikan
budaya dengan kapabilitas sehingga
dapat menghasilkan perubahan ke arah
yang lebih baik.
Sebagaimana telah disebutkan di
atas bahwa satu konsep Dynamic
Governance merupakan kombinasi
antara budaya dengan kapabilitas yang
menghasilkan perubahan dimana
diadasarkan pada Budaya yang
menunjukkan keyakinan dan nilai-nilai
kelompok tertentu yang dibagi atau
dimiliki bersama, sehingga dapat dianggap sebagai akumulasi pelajaran
bersama dari masyarakat tertentu
berdasarkan sejarah pengalaman
bersama yang berwujud menjadi satu
tataran nilai kehidupan
Peraturan dan struktur
pemerintahan adalah pilihan yang
dibuat oleh masyarakat dan
mencerminkan nilai-nilai dan
kepercayaan dari para pemimpinnya,
hal ini lah yang menempatkan bahwa
dasar kepercayaan (Trust) menjadi
tujuan dan harapan tertinggi dari
pemerintah yang didapat dari
masyarakatnya
Kepercayaan kepada pemimpin
dalam membentuk aturan, normanorma informal dan mekanisme
penegakan yang dilembagakan
kemudian menjadi satu kebijakan.
Dalam konsep Dynamic Governance,
seorang pemimpin harus berpikir
secara cerdas dan taktis dengan cara
mengartikulasikan ide-idenya dalam
pola penyelenggaran orgnasisasi dalam
hal ini penyelenggaraan orgnasasi
pemerintahan.yang diawali dari
berpikir ke depan (think ahead) yang
diartikan kemampuan untuk
mengidentifikasi perkembangan
lingkungan di masa depan, memahami
implikasinya, dan mengidentifikasi
strategi yang diperlukan untuk
memanfaatkan peluang-peluang baru
dan mencegah potensi ancaman.
Dapat diartikan bahwa maksud
berpikir ke depan adalah untuk
mendorong satu lembaga dalam
menilai risiko strategi dan kebijakan
saat ini, me-refresh tujuan, dan konsep
inisiatif kebijakan baru untuk
mempersiapkan masa depan. Adapun
dalam kerangka konseptual Dynamic
Governance terdiri dari Budaya,
Kemampuan dan perubahan, dimana
ketiganya dapat dimaksimalkan ketika
mampu bekerja secara interaktif dan
sinergis sebagai bagian dari sistem
dinamis. Kemampuan berpikir ke
depan, berpikir lagi dan berpikir lintas
batas juga seharusnya tidak hanya
sekadar menjadi satu keterampilan
yang berdiri sendiri dan tidak boleh
beroperasi sebagai proses independen
namun kemampuan ini terdapat
hubungan yang saling berkaitan dan
jika mereka terhubung secara
interdependen bekerja sebagai sebuah
sistem, efek potensi mereka dapat
diperkuat dan dampak keseluruhan
diperkuat.
Konsep ini menyangkut
penentuan cara mengupayakan
kesejahteraan masyarakat dan
pencapaian tujuan jangka panjang dari
suatu bangsa, maka pada negara
demokratis cara yang ditempuh adalah
dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan (stakeholders) yaitu
pemerintah, swasta dan masyarakat
dalam merumuskan kebijakan,
penetapan institusi dan pola hubungan
antar pemangku kepentingan. Terkait
dengan pemahaman tersebut, Wirman
Syafri mengutip Boon, dan Geraldine
(2007) menjelaskan governance
sebagai penentuan berbagai kebijakan,
institusi, dan struktur yang dipilih,
yang secara bersama mendorong untuk
memudahkan interaksi kearah
kemajuan ekonomi dan kehidupan
sosial yang lebih baik
Strategi Pemerintahan (skripsi, tesis, disertasi)
Terdapat beberapa definisi terkait
pengertian strategi sebagaimana
dikemukakan oleh para ahli dalam
bidang strategi dalam buku karya
mereka masing-masing. Adapun
menurut Marrus (2002:31) strategi
dapat didefinisikan sebagai suatu
proses penentuan rencana dari para
pemimpin puncak yang berfokus pada
tujuan jangka panjang suatu organisasi,
serta dengan disertai penyusunan suatu
cara atau upaya bagaimana agar tujuan
tersebut dapat dicapai dan terlaskana
sesuai dengan rencana, disamping itu
terdapat pula definisi dari Quinn
(1999:10) yang mengartikan konsep
strategi adalah suatu bentuk atau
rencana yang mengintegrasikan tujuantujuan utama, dari kebijakan-kebijakan
dan rangkaian tindakan dalam suatu
organisasi menjadi suatu kesatuan yang
utuh.
Dalam hal ini strategi yang
diformulasikan dengan baik akan
membantu penyusunan dan
pengalokasian sumber daya yang
dimiliki oleh perusahaan serta menjadi
suatu bentuk yang unik dan dapat
bertahan. Strategi yang baik disusun
berdasarkan kemampuan internal dan
kelemahan perusahaan, antisipasi
perubahan dalam lingkungan, serta
adanya satu kesatuan pergerakan yang
dilakukan oleh mata-mata musuh.
Dari kedua pendapat di atas,
maka strategi dapat diartikan sebagai
suatu rencana yang disusun oleh
manajemen puncak atau tataran inti
untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Rencana ini meliputi :
tujuan, kebijakan, dan tindakan yang
harus dilakukan oleh suatu organisasi
dalam mempertahankan eksistensi dan memenangkan persaingan, terutama
perusahaan atau organisasi harus
memilki keunggulan kompetitif, atau
dalam lingkup organisasi pemerintahan
lebih kepada pemberian layanan terbaik
bagi masyarakat.
Menjadi satu kewajiban
diperlukanya satu kepastian untuk bisa
menjamin agar supaya strategi dapat
berhasil baik dengan cara meyakinkan
bukan saja dipercaya oleh orang lain,
tetapi memang dapat dilaksanakan,
sebagaimana Hatten dan hatten (1996:
108-109) memberikan beberapa
petunjuknya bahwa satu strategi harus
konsiten dengan lingkungan pada
dasaranya, strategi dibuat mengikuti
arus perkembangan masyarakat yang
ada terlebih perubahan konsep dan
dinamika pemerintahan yang terjadi
dalam lingkungan yang memberi
peluang untuk bergerak maju.
Tantangan Dalam Praktek Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)
Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang
sangat mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna dynamic
governance itu sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah pada umumnya
sangat jauh dari perspektif dinamis. Sebaliknya, Pemerintah – khususnya birokrasi
7
pemerintah – seringkali dipahami sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang
ketinggalam jaman, kaku dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan
dan kebutuhan individu maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini
bertolak belakang sekali dengan makna dinamis sebagaimana diuraikan pada
bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh ide-ide baru, persepsi-persepsi yang
kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus, tindakan yang cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi tindakan yang efektif, serta
perubahan yang terus-menerus.
Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa lembaga pemerintah dapat
menjadi dinamis melalui pemanfaatan landasan nilai dan keyakinan budaya yang
bersinergi dengan kapabilitas organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic
governance system yang memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi
kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan
Chen (2007, p. 3) bahwa
Institutional culture can support or hinder, facilitate of impede dynamism
in policy-making and implementation. Institutional culture involves how a
nation perceives its position in the world, how it articulates its purpose,
and how it evolves the values, beliefs and principles to guide its decision- making and policy choices. In addition, strong organizational capabilities
are needed to consider thoroughly major policy issues and take effective
action. Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen tersebut
perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin untuk menata interaksi
sosial dan ekonomi untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan. Dengan
mengutip pendapat North, Neo dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa
pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi
manakala terdapat “leadership intention, cognition and learning which involve
continual modification of perceptions, belief structures and mental models,
particularly when confronted with global development and technological
change.” Oleh karenanya, dua hambatan utama untuk terwujudnya dynamic
governance adalah ktidakmampuan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan
untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang dibutuhkan agar tetap
efektif. Bagaimana sesungguhnya interaksi berbagai elemen dalam mewujudkan
dynamic governance? Dynamic governance yang merupakan outcome yang diharapkan, terwujud
manakala kebijakan-kebijakan yang adaptif (adaptive policies) dilaksanakan.
Adaptasi atas kebijakan ini tidak dilakukan secara pasif, akan tetapi proaktif
melalui berbagai inovasi, kontekstualisasi dan implementasi. Adapun yang
menjadi dasar dari proses menghasilkan dynamic governance adalah landasan
nilai budaya (institutional culture) yang dimiliki oleh bangsa. Nilai budaya ini
pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku. Tiga kapabilitas dinamis, yakni
thinking ahead, thinking again, dan thinking across yang memfasilitasi kebijakan- kebijakan adaptif. Kapabilitas ini harus tertanam dan termanifestasi dalam strategi
dan proses kebijakan (membuat pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi)
dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mereka senantiasa terus belajar,
berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan.
Kapabilitas think ahead pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk
mengidentifikasi perkembangan lingkungan, memahami konsekuensinya di masa
datang terhadap tujuan ekonomi dan sosial, dan mengidentifikasi strategi investasi
dan pilihan yang tepat sehingga memungkinkan semua elemen masyarakat dapat mengeksplitasi berbagai kesempatan baru dan mampu mengatasi berbagai potensi
ancaman. Proses melakukan thinking ahead melibatkan:
a) mengeksplorasi dan mengantisipasi tren dan perkembangan masa depan
yang memiliki dampak signifikan terhadap sasaran kebijakan,
b) memahami bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi pencapaian
tujuan saat ini, dan menguji keefektifan strategi, kebijakan dan program
yang ada,
c) menyusun strategi opsi apa yang dapat digunakan untuk menghadapi
ancaman yang muncul dan mengeksploitasi peluang baru, dan
d) mempengaruhi pengambil keputusan utama dan pemangku kepentingan
untuk dipertimbangkan isu-isu yang muncul dan melibatkan mereka dalam
percakapan strategis tentang respon yang akan dilakukan (Neo & Chen,
2007, pp. 32–33). Kapabilitas think again menyangkut kemampuan untuk menilai kinerja
strategi, kebijakan dan program yang ada, untuk kemudian di desain kembali
untuk mencapai hasil yang lebih baik. Proses melakukan thinking again
melibatkan:
a) meninjau dan menganalisis data kinerja aktual dan memahami umpan
balik dari publik,
b) menyelidiki penyebab yang mendasari umpan balik atau fakta yang
diamati, informasi dan perilaku, baik untuk memenuhi atau mengetahui
target yang hilang, c) meninjau kembali strategi, kebijakan, dan program untuk diidentifikasi
karakter dan aktivitas yang berfungsi dengan baik maupun yang tidak,
d) mendesain ulang kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya,
sehingga kinerja mereka dapat ditingkatkan dan tujuan tercapai, dan
e) menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga warga dilayani dengan
lebih baik dan menikmati hasil yang berarti (Neo & Chen, 2007, p. 37). Kapabilitas think across adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman
pihak lain, sehingga ide-ide bagus dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi internal agar tujuan dapat tercaai lebih baik. Kapabilitas think across melibatkan
proses:
a) mencari praktik-praktik baru dan menarik yang diadopsi dan
diimplementasikan oleh orang lain dalam mendekati masalah yang serupa,
b) merefleksikan apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka
melakukannya, dan pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman,
c) mengevaluasi apa yang mungkin berlaku untuk konteks lokal,
mempertimbangkan kondisi dan keadaan unik, dan apa akan diterima oleh
penduduk setempat,
d) menemukan hubungan baru antar ide dan kombinasi baru ide-ide berbeda
yang menciptakan pendekatan inovatif untuk masalah yang muncul, dan
e) menyesuaikan kebijakan dan program agar sesuai dengan persyaratan
kebijakan local dan kebutuhan warga negara (Neo & Chen, 2007, pp. 41–
42). Untuk dapat memiliki kapabilitas dynamic governance, terdapat dua pilar
utama, yakni sumberdaya manusia yang mampu dan proses yang gesit dan
responsif. Governance system sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal
melalui ketidakpastian masa depan dan juga berbagai praktek yang dilakukan oleh
Negara lain (Neo & Chen, 2007, p. 13). Dynamic governance tercapai melalui berbagai kebijakan yang diadaptasi
secara terus-menerus terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar.
Adaptasi kebijakan (policy adaptation) bukan merupakan reaksi pasif terhadap
tekanan yang datang dari luar, tetapi merupakan tindakan proaktif melalui inovasi
dengan ide-ide baru yang diinputkan ke dalam berbagai kebijakan untuk hasil
yanglebih baik; kontekstualisasi ide-ide baru tersebut agar mendapat dukungan
dari masyarakat; dan implementasi atau eksekusi kebijakannya sebagai
manifestasi dari dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 13). Nilai-nilai kearifan lokal – nilai budaya, kepercayaan, tata k
Manfaat Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)
Saat ini, semua Negara di dunia menghadapi lingkungan yang penuh
dengan ketidakpastian dan perubahan yang begitu cepat dan sulit diprediksi.
Kemajuan yang diraih sekarang, tidak menjamin keberlangsungan hidup di masa
depan. Bisa jadi, seperangkat prinsip, kebijakan dan praktek-praktek yang pada
awalnya baik, governance yang statis dan mempertahankan status quo pada
akhirnya akan membawa keadaan yang stagnan dan tidak berkembang. Tidak ada
perencanaan yang hati-hati akan menjamin relevansi dan efektivitas governance, jika lembaga-lembaga pemerintahan tidak memiliki kapasitas untuk belajar,
berinovasi dan berubah di tengah lingkungan global yang terus berubah dan sulit
diprediksi (Neo & Chen, 2007, p. 1). Tantangan lain yang dihadapi dunia saat ini adalah inovasi teknologi yang
berjalan begitu cepat, telah mengakibatkan banyak kebijakan menjadi cepat usang
(obsolescence) dan terbukanya peluang-peluang baru. Demikian halnya dengan
kondisi perubahan di masyarakat itu sendiri, di mana semakin banyak dari mereka
yang mengenyam pendidikan yang lebih baik (well-educated) dan berinteraksi
secara intensif dengan perkembangan global, yang pada akhirnya menuntut untuk
6
terlibat di dalam proses perumusan dan implementasi berbagai kebijakan Negara.
Tidak kalah penting adalah berbagai permasalahan di masyarakat yang semakin
kompleks, dengan dampaknya yang semakin tidak terduga serta hubungan kausal
yang semakin rumit, membutuhkan penyelesaian yang multi-perspektif dan
koordinasi dari multi-agency (Neo, 2019; Neo & Chen, 2007, pp. 6–8). Dengan merujuk pengalaman Negara Singapura, Neo dan Chen meyakini
bahwa untuk menghadapi beragam tantangan tersebut, Pemerintah menjadi
elemen sentral. Pemerintah lewat lembaga-lembaganya memainkan peran dalam
menciptakan kerangka hubungan antara pemerintah, masyarakat dan dunia bisnis,
serta kondisi untuk dapat memfasilitasi atau sebaliknya, menghambat
keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Meski Pemerintah tidak
secara langsung menciptakan persaingan industri, namun dapat berperan sebagai “a catalyst and a challenger in shaping the context and institutional structure that
stimulates business to gain competitive advantages.”(Neo & Chen, 2007, pp. 2–
3). Di sinilah perlunya dinamisme Pemerintah. Pemerintah melalui lembagalembaganya yang dinamis menurut Neo dan Chen (2007, p. 1), “can enhance the
development and prosperity of a country by constantly improving and adapting
the socio-economic environment in which people, business and government
interact.” Pemerintah dapat mempengaruhi dan mengendalikan pembangunan
ekonomi melalui beragam kebijakan, peraturan dan struktur-struktur kelembagaan
yang memberikan insentif atau pembatasan atas beragam aktivitas yang beejalan.
Dengan kata lain, kemampuan untuk memperbaiki dan beradaptasi secara terus- menerus merupakan kapasitas mendasar yang perlu dimiliki oleh Pemerintah
(baca: lembaga-lembaga Pemerintah) jika ingin memiliki sustained economic
development and prosperity.
Makna Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)
Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada kondisi adanya
berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-menerus, respon yang
cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-inovasi yang kreatif (Neo & Chen,
2007, p. 1). Dengan kata lain, dinamisme atau kondisi yang dinamis itu
menggambarkan proses belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan
yang tiada akhir. Ketika kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah,
3
maka kondisi yang dinamis menyangkut proses lembaga yang secara konstan atau
konsisten melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial- ekonomi di mana masyarakat, swasta dan pemerintah berinteraksi. Lembaga
pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi proses pembangunan ekonomi yang
tengah berjalan dan beragam perilaku sosial melalui kebijakan-kebijakan, aturan- aturan dan struktur-struktur yang menciptakan insentif dan sekaligus pembatasan- pembatasan untuk beragam aktivitas yang berlangsung. Pada gilirannya,
kemampuan ini akan dapat menopang dan memperkuat pembangunan dan
kesejahteraan Negara (Neo & Chen, 2007, p. 1). Sementara itu, konsep governance telah diartikan sangat beragam oleh
para ahli. Bahkan keberagaman pemaknaan konsep tersebut telah mengakibatkan
konsep governance termasuk ke dalam kelompok konsep yang tidak terdefinisi
secara jelas, seperti dikemukakan oleh Pierre dan Peters (2000: 7, dalam Chhotray
& Stoker, 2009) bahwa konsep governance merupakam konsep yang “notoriously
slippery”. Namun demikian, Schneider mengatakan bahwa ketidakjelasan tersebut
justru menjadi “[the] secret of its success” sehingga menjadi sebuah konsep yang
mengglobal. Dalam pengertiannya yang paling sederhana, Crook dan Manor
(1995, dalam Rahmatunnisa, 2010, p. 1) mengatakan bahwa governance dimaknai
sebagai “ways of governing”. Secara substantif, Chhotray dan Stokker (2009, p.
3) memaknai governance sebagai “the rules of collective decision-making in
settings where there are a plurality of actors or organizations and where no
formal control system can dictate the terms of the relationship between these
actors and organizations”. Definisi ini memberikan catatan penting terkait empat
hal yang menjadi prinsip atau elemen dasar dari konsep governance. Yang
pertama terkait “the rules”, di mana yang dimaksud adalah beragam aturan baik
formal maupun informal seperti konvensi dan kebiasaan lainnya (customs) dalam
proses pengambilan keputusan (what to decide, how to decide, and who shall
decide). Elemen yang kedua terkait makna “collective”, dimana beragam
keputusan dibuat oleh “a collection of individuals”, yang melibatkan “issues of
mutual influence and control”. Ketiga, menyangkut makna “decision-making”,
dimana dalam konsep governance proses memutuskan sesuatu secara koletif
4
dapat dilakukan baik untuk skala yang besar menyangkut masyarakat luata, atau
berskala kecil menyangkut proses internal organisasi. Keempat, menyangkut
makna “no formal control system can dictate” yang merujuk pada kondisi dimana
governance menekankan pada collective governing, bukan monocratic
government. Pemaknaan serupa juga dikemukakan oleh Bhatta (2005, p. 252), yang
menyatakan bahwa governance merupakan “the relationship between
governments and citizens that enable public policies and programs to be
formulated, implemented and evaluated. In the broader context, it refers to the
rules, institutions, and networks that determine how a country or an organization
functions.” Pemaknaan Bhatta tersebut secara substantif juga mengandung
elemen-elemen kunci sebagaimana dimaksudkan oleh Chhotray dan Stokker.
Dari kedua konsep tersebut – dinamis dan governance – Neo dan Chen
(2007, p. 7) mengatakan bahwa governance menjadi dinamis manakala pilihan- pilihan kebijakan dapat diadaptasikan dengan perkembangan terkini dalam
lingkungan yang tidak pasti dan berubah sangat cepat sehingga berbagai kebijakan
dan lembaga pemerintah tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuan jangka
panjangnya. Adaptasi ini lebih dari sekedar membuat perubahan sekali saja (onetime change) atau proses recovery dari sebuah kegagalan. Lebih dari itu, dinamis
lebih bermakna sebagai “on-going sustained change for long-term survival and
prosperity.”
Dalam konteks tersebut, konsep good governance menjadi elemen
strategis lainnya yang tidak terpisahkan. Pentingnya memiliki dan mempraktekkan
good governance dan lembaga-lembaga pemerintah yang jujur dan kompeten
menjadi syarat penting untuk kemajuan ekonomi dan penguatan kesejahteraan
masyarakat. Argumentasi ini dikemukakan secara tegas oleh Daniel Kaufmann,
Direktur Global Governance dari Bank Dunia, bahwa “Poorly functioning public
sector institutions and week governance are major constraints to growth and
equitable development in many developing countries.” (dikutip dalam Neo &
Chen, 2007, p. 7). Namun demikian, Neo dan Chen (2007, pp. 7–8) berpendapat
bahwa sekedar mempraktekkan good governance saja tidaklah cukup untuk
5
mencapai proses pembangunan yang berkelanjutan dan memperbaiki
kesejahteraan masyarakat. Bangunan governance yng dibuat pada kurun waktu
tertentu, dapat menjadi tidak berfungsi ketika lingkungan berubah. Untuk bisa
relevan dan efektif, praktek good governance perlu dinamis.
Governance yang dinamis memerlukan proses pembelajaran yang terus- menerus, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang masa depan
yang dapat mempengaruhi Negara, kesediaan untuk meninjau beragam kebijakan
yang kadaluarsa karena perubahan keadaan, dan keterbukaan untuk beradaptasi
dengan pengetahuan global yang disesuaikan dengan konteks unik Negara. Oleh
karena itu, dynamic governance dapat dimaknai sebagai “the ability of
government to continually adjust its public policies and programs, as well as
change the way they are formulated and implemented, so that the long-term
interests of the nations are achieved.”
Kamis, 01 Juli 2021
Desentralisasi (skripsi dan tesis)
Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin,
yaitu ”de” berarti lepas dan centrum berani pusat. Jadi menurut perkataan
berasal dari desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Desentralisasi dalam arti self government menurut Smith dalam
Khairul Muluk berkaitan dengan adanya subsidi teritori yang memiliki
self government melalui lembaga politik yang akan direkrut secara
demokratis sesuai dengan batas yuridiksinya. Hal ini dimaksudkan bahwa
dalam pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat daerah baik provinsi
dan kabupaten/kota berdasarkan atas daerah pemilihan yang
mencerminkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan tenentu. Karena dewan
perwakilan rakyat daerah merupakan elemen dalam penyelenggraaan
pemerintahan di daerah.
Menurut Henry Maddick dalam Juanda, desentralisasi merupakan
pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Amrah Muslimin menyebutkan, sistem desentralisasi, yaitu pelimpahan
kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat
dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri. Berdasarkan pendapat Bachrul Elmi menyebutkan, bahwa
desentralisasi berarti memberikan sebagian dari wewenang pemerintahan
pusat kepada daerah, untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang
menjadi tanggung jawab dan menyangkut kepentingan daerah yang
bersangkutan (otonomi). Urusan yang menyangkut kepentingan dan
tanggung jawab daerah meliputi : urusan umum dan pemerintahan,
penyelesaian fasilitas pelayanan dan urusan sosial, budaya, agama dan
kemasyarakatan. Penyerahan urusan pemerintahan lebih lanjut menurut Siswanto
Sunarno menjelaskan bahwa desentralisasi berarti pelepasan tanggung
jawab yang berada dalam lingkup pemerintahan pusat ke pemerintahan
daerah, Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi. Dengan kata
lain, bahwa desentralisasi merupakan penotonomian menyangkut proses
memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu.
Pada hakekatnya pemerintahan daerah melaksanakan asas
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
penyelenggaraan pemerintahan wajib dan pilihan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan otonomi daerah adalah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah dalam fungsi mengatur bersifat menetapkan peraturanperaturan terhadap kepentingan daerah yang bersifat abstrak berisi norma
perintah dan larangan, sedangkan tindakan mengurus bersifat peristiwa
konkrit serta tindakan mengadili yaitu mengambil tindakan dalam bentuk
keputusan untuk menyelesaikan sengketa dalam hukum publik, privat dan
hukum adat.
Sistem daerah otonom berdasarkan asas desentralisasi,
pemerintahan daerah melakukan urusan penyelenggaraan rumah tangga
sendiri telah didelegasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, oleh Jimly Asshiddiqie27, dinyatakan memiliki kewenangan untuk
mengurus, sebagai urusan rumah tangga daerahnya sendiri, sehingga
dikenal tiga ajaran dalam pembagian penyelenggaraan pemerintah
negara,yakni: (1) ajaran rumah tangga materiil; (2) ajaran rumah tangga
formil; dan (3) ajaran rumah tangga riil. Lebih lanjut ketiga ajaran rumah
tangga ini dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut : 1. Ajaran rumah tangga materiil, untuk mengetahui yang manakah
urusan yang termasuk rumah tangga daerah atau pusat. Urusan
rumah tangga ini melihat materi yang ditentukan akan diurus oleh
pemerintahan pusat atau daerah masing-masing. Dengan demikian
pemerintah pusat dinilai tidak akan mampu menyelenggarakan
sesuatu urusan dengan baik karena urusan itu termasuk materi yang
dianggap hanya dapat dilakukan oleh daerah, atau sebaliknya
pemerintah daerah tidak akan mampu menyelenggarakan suatu
urusan karena urusan itu termasuk materi yang harus
diselenggarakan oleh pusat.
2. Ajaran rumah tangga formil, merupakan urusan rumah tangga
daerah dengan penyerahannya didasarkan atas peraturan perundangundangan, sehingga hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga
daerah dipertegas rinciannya dalam undang-undang.
3. Ajaran rumah tangga riil, yaitu urusan rumah tangga yang
didasarkan kepada kebutuhan riil atau keadaan yang nyata, dengan
didasarkan pertimbangan untuk mencapai manfaat yang sebesarbesarnya, sesuatu urusan yang merupakan wewenang pemerintah
daerah dikurangi, karena urusan itu menurut keadaan riil sekarang
berdasarkan kebutuhan yang bersifat nasional. Akan tetapi
sebaliknya suatu urusan dapat pula dilimpahkan kepada daerah
untuk menjadi suatu urusan rumah tangga daerah, mengingat
manfaat dan hasil yang akan dicapai jika urusan itu tetap
23
diselenggarakan oleh pusat akan menjadi berkurang dan
penambahan atau pengurangan suatu wewenang harus diatur dengan
undang-undang atau peraturan peraturan lainnya.
Pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi seluas-luasnya,
berdasarkan pendapat Sudono Syueb menyebutkan pada intinya, bahwa
daerah diberikan kebebasan dan kehadirian untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, termasuk menentukan sendiri kepala daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah dalam pemilihan langsung kepada masyarakat.
Melalui pemilihan langsung, maka dihasilkan kepala daerah otonom
adalah pemimpin rakyat di daerah bersangkutan yang mempunyai
kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah guna
mewujudkan kesejahteraaan rakyat di daerah. Sebagai kepala daerah
otonom, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
prinsip demokrasi, karena melibatkan sebesar-besarnya peran rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta menciptakan kesejahteraan
rakyat. Pemerintahan yang demokratis akan dapat menyelenggarakan roda
pemerintahan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi,
partisipatif efektif dan efisien serta bermoral yaitu pemerintahan daerah
melaksanakan tindakan pemerintahan dengan baik dan mempertanggungjawabkan kepada pemerintah dan rakyat sesuai dengan prinsip
akuntabilitas, serta dapat berlangsung secara terbuka dan siap dikoreksi
oleh rakyat sesuai esensi prinsip transparansi.
24
Menurut pendapat peneliti desentralisasi dalam asas otonomi dan
tugas pembantuan sesuai dengan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan daerah dilaksanakan dalam ruang lingkup Negara Kesatuan
Republik Indonesia merupakan kebebasan dan kemadirian yang seluasluasnya dilakukan oleh pemerintahan daerah. Oleh karena itu, dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh kepala
daerah yang memiliki fungsi atau bidang pekerjaan sebagai penyelenggara
pemerintahan daerah melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi
sesuai dengan demokrasi.
Kamis, 13 Februari 2020
Asas dan Sistem Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)
Pelaksanan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan secara efektif
dan efisien berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, jujur
dan adil (Luberjurdil). Adapun yang dimaksud dengan asas
“Luberjurdil” dalam pemilu menurut Undang-Undang Nomor 08
tahun 2012, tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
Dalam UU No. 08 Tahun 2012 asas pemilihan umum meliputi:
a. Langsung, rakyat mempunyai hak untuk memilih secara langsung
sesui dengan pilihan hatinya.
b. Umum, artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun
atau telah menikah berhak untuk ikut memilih dan telah berusia 21
tahun berhak di pilih dengan tanpa ada diskriminasi
(pengecualian).
c. Bebas, artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati
nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari
siapapun/dengan apapun.
d. Rahasia, artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan
diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang
dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot). e. Jujur, pada saat pelsanaan pemilihan umum dengan mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Adil, pada setiap pemilu, partai politik diberikan kesempatan yang
sama.
Sedangkan berdasarkan yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 07 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,
asas dalam pemilihan umum terdapat dalam Pasal 3 yaitu:
a. Mandiri;
b. Jujur;
c. Adil;
d. Berkepastian hukum;
e. Tertib;
f. Terbuka;
g. Proporsional;
h. Profesional;
i. Akuntabel;
j. Efektif; dan
k. Efisien.
Demikain asas dan sistem yang seharusnya dilakukan dalam
pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Melalui penerapan sistem dan
asas tersebut diharapkan sistem demokrasi Indonesia menjadi demokrasi
yang bermartabat dan menjadi contoh pelaksanaan sistem demokrasi yang
berhasil di negara yang sangat majemuk.
Langganan:
Postingan (Atom)