Konsep reformasi administrasi memiliki pengertian yang luas sehingga
tidak dapat dijelaskan dalam satu definisi tunggal. Sebagian ahli mendekatinya
dari sisi konseptual-normatif (misalnya Montgomery dan Caiden77) dan pakar lainnya melihat dari sudut pandang strategis dan teknis (misalnya: Dror78, Lee dan
UNDP). Kebutuhan reformasi administrasi muncul sebagai akibat fungsi proses
perubahan administrasi yang tidak dapat berjalan dengan benar (malfunction).
Gerakan reformasi dimulai dari adanya keinginan untuk menghilangkan tantangan yang menghambat proses perubahan atau untuk meningkatkan hasil dari proses
perubahan yang telah diputuskan. Seperti dijelaskan Effendi, konsep reformasi
administrasi memiliki pengertian lebih luas dari konsep reformasi birokrasi publik
yang hanya mencakup aspek organisasi. Dalam berbagai konteks, reformasi
administrasi dikenal dengan istilah penyempurnaan administrasi, perubahan
administrasi dan modernisasi administrasi.80
Caiden adalah ilmuwan pertama yang mengembangkan konsep reformasi
administrasi menjadi satu konsep komprehensif, yaitu: “The artificial inducement
of administrative transformation against resistance.”81 Berdasarkan definisi
tersebut, reformasi administrasi adalah sesuatu yang disengaja, artinya adanya
mandat, kehati-hatian, dan perencanaan; bukan sesuatu yang alami dan otomatis.
Reformasi administrasi adalah sesuatu yang dibuat (to induce) karena melibatkan
persuasi, argumentasi dan sanksi. Ada tiga aspek yang dapat dijadikan petunjuk
utama sebuah reformasi administrasi, yaitu: 1) adanya tujuan pengembangan
moral, 2) adanya proses transformasi yang disengaja, dan 3) adanya resistensi
administrasi.82 Dari sudut pandang tujuan moral, reformasi administrasi bertujuan
untuk meningkatkan kondisi yang ada dengan menghilangkan praktik-praktik
administrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya akibat adanya
penyalahgunaan kewenangan.
Dalam konteks transformasi yang disengaja, reformasi administrasi
menghasilkan sejumlah strategi, kegiatan, dan program yang inovatif. Martin
dalam Caiden83 mengemukakan reformasi adalah proses yang berlangsung secara
radikal, bukan sekadar perubahan secara incremental atau proses penyesuaian
yang hanya terjadi pada periferi organisasi dan tidak menyentuh inti organisasi.
Dari aspek resistensi administrasi, maka faktor inilah yang membedakan antara
reformasi dengan perubahan. Akibat adanya resistensi, proses reformasi embutuhkan dukungan kekuasaan (power) sehingga esensi reformasi
administrasi merupakan proses politik.84 Konsep Caiden tersebut sejalan dengan
konsep reformasi administrasi yang dikemukakan oleh Montgomery, yang
menguraikan reformasi administrasi sebagai: “As a political process designed to
adjust the relationship between a bureaucracy and other element in a society, or
within the bureaucracy itself........both the purposes of reforms and the evils
addressed vary with their political circumstances.”85
Faktor penting dalam melaksanakan reformasi administrasi adalah adanya
inovasi dan kemampuan menghasilkan kemakmuran (wealth creation). Hal
tersebut tercapai melalui sejumlah ide dan aktor baru di dalam kombinasi tugas
dan hubungan dalam proses administrasi dan kebijakan. Ndue menjelaskan
reformasi administrasi terjadi melalui dua kondisi, yaitu: 1) adanya konflik nilainilai yang terjadi antara birokrasi, pegawai publik dan nilai-nilai yang
berkembang di publik, dan 2) adanya kesadaran dari para politisi dan masyarakat
umum bahwa struktur birokrasi yang ada tidak mampu atau gagal mencapai tujuan
yang telah ditetapkan bersama.86
Definisi reformasi administrasi Caiden, berguna sebagai acuan untuk
melaksanakan strategi reformasi kebijakan publik mulai dari tahapan formulasi,
implementasi dan evaluasi kebijakan. Reformasi administrasi pada dasarnya
adalah kegiatan perbaikan terus menerus yang memiliki tujuan yang jelas, bukan
sekadar upaya pada periode tertentu dan sporadis. Adapun tujuan akhir yang akan
dicapai dari reformasi administrasi adalah bagaimana meningkatkan kinerja sektor
publik.87 Chau menguraikan reformasi administrasi dilaksanakan melalui tiga
proses, yaitu: 1) menganalisis situasi dan sistem administrasi yang sedang berlaku,
2) merumuskan strategi reformasi yang akan ditempuh, dan 3) melaksanakan
reformasi administrasi. Ketiga proses reformasi administrasi tersebut diharapkan
menghasilkan peningkatan kinerja administrasi publik yang efektif dan efisien,
mengurangi kelemahan (antara lain: praktik korupsi, kolusi dan sebagainya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar