Selasa, 07 Juni 2022

Tantangan Dinamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna dynamic governance itu sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah pada umumnya sangat jauh dari perspektif dinamis. Sebaliknya, Pemerintah – khususnya birokrasi pemerintah – seringkali dipahami sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang ketinggalam jaman, kaku dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan dan kebutuhan individu maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini bertolak belakang sekali dengan makna dinamis sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh ide-ide baru, persepsi-persepsi yang kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus, tindakan yang cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi tindakan yang efektif, serta perubahan yang terus-menerus. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa lembaga pemerintah dapat menjadi dinamis melalui pemanfaatan landasan nilai dan keyakinan budaya yang bersinergi dengan kapabilitas organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic governance system yang memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan Chen (2007, p. 3) bahwa Institutional culture can support or hinder, facilitate of impede dynamism in policymaking and implementation. Institutional culture involves how a nation perceives its position in the world, how it articulates its purpose, and how it evolves the values, beliefs and principles to guide its decision-making and policy choices. In addition, strong organizational capabilities are needed to consider thoroughly major policy issues and take effective action. Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen tersebut perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin untuk menata interaksi sosial 28 dan ekonomi untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan. Dengan mengutip pendapat North, Neo dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi manakala terdapat “leadership intention, cognition and learning which involve continual modification of perceptions, belief structures and mental models, particularly when confronted with global development and technological change.” Oleh karenanya, dua hambatan utama untuk terwujudnya dynamic governance adalah ktidakmampuan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang dibutuhkan agar tetap efektif. Bagaimana sesungguhnya interaksi berbagai elemen dalam mewujudkan dynamic governance? Dynamic governance yang merupakan outcome yang diharapkan, terwujud manakala kebijakan-kebijakan yang adaptif (adaptive policies) dilaksanakan. Adaptasi atas kebijakan ini tidak dilakukan secara pasif, akan tetapi proaktif melalui berbagai inovasi, kontekstualisasi dan implementasi. Adapun yang menjadi dasar dari proses menghasilkan dynamic governance adalah landasan nilai budaya (institutional culture) yang dimiliki oleh bangsa. Nilai budaya ini pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku. Tiga kapabilitas dinamis, yakni thinking ahead, thinking again, dan thinking across yang memfasilitasi kebijakan-kebijakan adaptif. Kapabilitas ini harus tertanam dan termanifestasi dalam strategi dan proses kebijakan (membuat pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi) dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mereka senantiasa terus belajar, berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan. Kapabilitas think ahead pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi perkembangan lingkungan, memahami konsekuensinya di masa datang terhadap tujuan ekonomi dan sosial, dan mengidentifikasi strategi investasi dan 29 pilihan yang tepat sehingga memungkinkan semua elemen masyarakat dapat mengeksplitasi berbagai kesempatan baru dan mampu mengatasi berbagai potensi ancaman. Proses melakukan thinking ahead melibatkan: a) mengeksplorasi dan mengantisipasi tren dan perkembangan masa depan yang memiliki dampak signifikan terhadap sasaran kebijakan, b) memahami bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi pencapaian tujuan saat ini, dan menguji keefektifan strategi, kebijakan dan program yang ada, c) menyusun strategi opsi apa yang dapat digunakan untuk menghadapi ancaman yang muncul dan mengeksploitasi peluang baru, dan d) mempengaruhi pengambil keputusan utama dan pemangku kepentingan untuk dipertimbangkan isu-isu yang muncul dan melibatkan mereka dalam percakapan strategis tentang respon yang akan dilakukan (Neo & Chen, 2007, pp. 32–33). Kapabilitas think again menyangkut kemampuan untuk menilai kinerja strategi, kebijakan dan program yang ada, untuk kemudian di desain kembali untuk mencapai hasil yang lebih baik. Proses melakukan thinking again melibatkan: a) meninjau dan menganalisis data kinerja aktual dan memahami umpan balik dari publik, b) menyelidiki penyebab yang mendasari umpan balik atau fakta yang diamati, informasi dan perilaku, baik untuk memenuhi atau mengetahui target yang hilang, c) meninjau kembali strategi, kebijakan, dan program untuk diidentifikasi karakter dan aktivitas yang berfungsi dengan baik maupun yang tidak, d) mendesain ulang kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya, sehingga kinerja mereka dapat ditingkatkan dan tujuan tercapai, dan 30 e) menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga warga dilayani dengan lebih dan menikmati hasil yang berarti (Neo & Chen, 2007, p. 37). Kapabilitas think across adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman pihak lain, sehingga ide-ide bagus dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi internal agar tujuan dapat tercaai lebih baik. Kapabilitas think across melibatkan proses: a) mencari praktik-praktik baru dan menarik yang diadopsi dan diimplementasikan oleh orang lain dalam mendekati masalah yang serupa, b) merefleksikan apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka melakukannya, dan pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman, c) mengevaluasi apa yang mungkin berlaku untuk konteks lokal, mempertimbangkan kondisi dan keadaan unik, dan apa akan diterima oleh penduduk setempat; d) menemukan hubungan baru antar ide dan kombinasi baru ide-ide berbeda yang menciptakan pendekatan inofatif untuk masalah yang muncul, dan e) menyesuaikan kebijakan dan program agar sesuai dengan persyaratan kebijakan lokal dan kebutuhan warga negara (Neo & Chen, 2007, pp.41-42). Untuk dapat memiliki kapabilitas dynamic governance, terdapat dua pilar utama, yakni sumberdaya manusia yang mampu dan proses yang gesit dan responsif. Governance system sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal melalui ketidakpastian masa depan dan juga berbagai praktek yang dilakukan oleh Negara lain (Neo & Chen, 2007, p. 13). Dynamic governance tercapai melalui berbagai kebijakan yang diadaptasi secara terus-menerus terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Adaptasi kebijakan (policy adaptation) bukan merupakan reaksi pasif terhadap tekanan yang 31 datang dari luar, tetapi merupakan tindakan proaktif melalui inovasi dengan ide-ide baru yang diinputkan ke dalam berbagai kebijakan untuk hasil yanglebih baik; kontekstualisasi ide-ide baru tersebut agar mendapat dukungan dari masyarakat; dan implementasi atau eksekusi kebijakannya sebagai manifestasi dari dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 13). Nilai-nilai kearifan lokal – nilai budaya, kepercayaan, tata kelembagaan dan kebiasaan – akan mempengaruhi perilaku. Kearifan lokal ini termanifestasi dalam norma-norma dan konvensi informal. Pada gilirannya, akan memainkan peran penting dalam proses perubahan dan adaptasi berbagai kebijakan. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa asumsi mengenai keutamaan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan terhadap pertingnya relevansi global dan peran penting Negara dalam menciptakan kondisi untuk pertumbuhan, mempengaruhi pemikiran dan pendekatan terhadap pemerintahan. Pilihan kebijakan yang dibuat dibentuk oleh nilai-nilai budaya tentang integritas, meritokrasi, kemandirian, pragmatism, dan kehati-hatian pengelolaan keuangan (Neo & Chen, 2007, p. 14). Dalam mewujudkan dynamic governance, peran pemimpin menjadi sangat penting. Dalam melakukannya, tidak hanya sekedar mengandalkan charisma dan upayanya sendiri saja, akan tetapi dengan membangun kapabilitas organisasi sehingga pengetahuan dan sumberdaya dapat secara sistematis dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai permasalahan (effective action). Yang dibutuhkan untuk mewujudkan dynamic governance adalah proses belajar dan berpikir yang baru, desain beragam pilihan kebijakan, pengambilan keputusan yang analitis, seleksi rasional atas polihan kebijakan, dan efektif implementasi kebijakan. Disinilah peran pemimpin menjadi sangat penting. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berpikir kreatif dan 32 inovatif serta bekerja keras untuk memberikan setting yang tepat untuk mewujudkan dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 14). Upaya memperbaiki kinerja lembaga perlu diinisiasi oleh pemimpin organisasi. Untuk dapat mengambil keputusan dan pilihan yang tepat membutuhkan pemimpin organisasi yang memiliki “necessary motivation, attitude, values, intellect, knowledge and skills to envision the future, develop strategic options and select paths that give the institution the greatest scope for survival and success.”(Neo & Chen, 2007, p. 16). Dynamic governance merupakan hasil dari niat kuat an ambisi pemimpin untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat. Kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang dinamis dengan kemampuan untuk mengelola berbagai elemen secara terintegrasi di tengah perubahan yang terus-menerus melalui strategi yang jelas, manajemen yang cerdas, belajar terus-menerus, dan mencari jalan yang adaptif dan relevan, serta eksekusi kebijakan yang efektif. Secara sistematis membangun kapabilitas semua orang yang terlibat dan juga proses untuk menjamin bahwa ide-ide baru yang inovatif terakomodasi dalam kebijakan, proyek dan program yang realistis, serta secara konsisten mengkoordinasikan seluruh aktivitas organisasi untuk mengarah pada pencapaian tujuan (Neo & Chen, 2007, p. 30). Pada intinya, dynamic governance terjadi manakala “policy-makers constantly think ahead to perceive changes in the environment, think again to reflect on what they are currently doing, and think across to learn from others, and continually incorporate the new perceptions, reflections and knowledge into their beliefs, rules, policies and structures to enable them to adapt to environmental change.”(Neo & Chen, 2007, p. 15). Kapabilitas dinamis inilah yang menjadi kunci rahasia keberhasilan Singapura selama lebih dari empat dekade. Dynamic governance bisa 33 terwujud secara berkelanjutan ketika: “there is a long-term commitment to and investments in building each of the elements in the system and designing the necessary linkages for them to work as a whole.” Perlu digarisbawahi pula bahwa “[t]he interdependent, interacting and reinforcing flows” merupakan detak jantung dari dynamic governance. Tanpa itu, tidak akan pernah ada dynamic governance.

Tidak ada komentar: