Selasa, 07 Juni 2022

Makna Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

 Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada kondisi adanya berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-menerus, respon yang cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-inovasi yang kreatif (Neo & Chen, 2007, p. 1). Dengan kata lain, dinamisme atau kondisi yang dinamis itu menggambarkan proses belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan yang tiada akhir. Ketika kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah, 3 maka kondisi yang dinamis menyangkut proses lembaga yang secara konstan atau konsisten melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial- ekonomi di mana masyarakat, swasta dan pemerintah berinteraksi. Lembaga pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi proses pembangunan ekonomi yang tengah berjalan dan beragam perilaku sosial melalui kebijakan-kebijakan, aturan- aturan dan struktur-struktur yang menciptakan insentif dan sekaligus pembatasan- pembatasan untuk beragam aktivitas yang berlangsung. Pada gilirannya, kemampuan ini akan dapat menopang dan memperkuat pembangunan dan kesejahteraan Negara (Neo & Chen, 2007, p. 1). Sementara itu, konsep governance telah diartikan sangat beragam oleh para ahli. Bahkan keberagaman pemaknaan konsep tersebut telah mengakibatkan konsep governance termasuk ke dalam kelompok konsep yang tidak terdefinisi secara jelas, seperti dikemukakan oleh Pierre dan Peters (2000: 7, dalam Chhotray & Stoker, 2009) bahwa konsep governance merupakam konsep yang “notoriously slippery”. Namun demikian, Schneider mengatakan bahwa ketidakjelasan tersebut justru menjadi “[the] secret of its success” sehingga menjadi sebuah konsep yang mengglobal. Dalam pengertiannya yang paling sederhana, Crook dan Manor (1995, dalam Rahmatunnisa, 2010, p. 1) mengatakan bahwa governance dimaknai sebagai “ways of governing”. Secara substantif, Chhotray dan Stokker (2009, p. 3) memaknai governance sebagai “the rules of collective decision-making in settings where there are a plurality of actors or organizations and where no formal control system can dictate the terms of the relationship between these actors and organizations”. Definisi ini memberikan catatan penting terkait empat hal yang menjadi prinsip atau elemen dasar dari konsep governance. Yang pertama terkait “the rules”, di mana yang dimaksud adalah beragam aturan baik formal maupun informal seperti konvensi dan kebiasaan lainnya (customs) dalam proses pengambilan keputusan (what to decide, how to decide, and who shall decide). Elemen yang kedua terkait makna “collective”, dimana beragam keputusan dibuat oleh “a collection of individuals”, yang melibatkan “issues of mutual influence and control”. Ketiga, menyangkut makna “decision-making”, dimana dalam konsep governance proses memutuskan sesuatu secara koletif 4 dapat dilakukan baik untuk skala yang besar menyangkut masyarakat luata, atau berskala kecil menyangkut proses internal organisasi. Keempat, menyangkut makna “no formal control system can dictate” yang merujuk pada kondisi dimana governance menekankan pada collective governing, bukan monocratic government. Pemaknaan serupa juga dikemukakan oleh Bhatta (2005, p. 252), yang menyatakan bahwa governance merupakan “the relationship between governments and citizens that enable public policies and programs to be formulated, implemented and evaluated. In the broader context, it refers to the rules, institutions, and networks that determine how a country or an organization functions.” Pemaknaan Bhatta tersebut secara substantif juga mengandung elemen-elemen kunci sebagaimana dimaksudkan oleh Chhotray dan Stokker. Dari kedua konsep tersebut – dinamis dan governance – Neo dan Chen (2007, p. 7) mengatakan bahwa governance menjadi dinamis manakala pilihan- pilihan kebijakan dapat diadaptasikan dengan perkembangan terkini dalam lingkungan yang tidak pasti dan berubah sangat cepat sehingga berbagai kebijakan dan lembaga pemerintah tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuan jangka panjangnya. Adaptasi ini lebih dari sekedar membuat perubahan sekali saja (onetime change) atau proses recovery dari sebuah kegagalan. Lebih dari itu, dinamis lebih bermakna sebagai “on-going sustained change for long-term survival and prosperity.” Dalam konteks tersebut, konsep good governance menjadi elemen strategis lainnya yang tidak terpisahkan. Pentingnya memiliki dan mempraktekkan good governance dan lembaga-lembaga pemerintah yang jujur dan kompeten menjadi syarat penting untuk kemajuan ekonomi dan penguatan kesejahteraan masyarakat. Argumentasi ini dikemukakan secara tegas oleh Daniel Kaufmann, Direktur Global Governance dari Bank Dunia, bahwa “Poorly functioning public sector institutions and week governance are major constraints to growth and equitable development in many developing countries.” (dikutip dalam Neo & Chen, 2007, p. 7). Namun demikian, Neo dan Chen (2007, pp. 7–8) berpendapat bahwa sekedar mempraktekkan good governance saja tidaklah cukup untuk 5 mencapai proses pembangunan yang berkelanjutan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Bangunan governance yng dibuat pada kurun waktu tertentu, dapat menjadi tidak berfungsi ketika lingkungan berubah. Untuk bisa relevan dan efektif, praktek good governance perlu dinamis. Governance yang dinamis memerlukan proses pembelajaran yang terus- menerus, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang masa depan yang dapat mempengaruhi Negara, kesediaan untuk meninjau beragam kebijakan yang kadaluarsa karena perubahan keadaan, dan keterbukaan untuk beradaptasi dengan pengetahuan global yang disesuaikan dengan konteks unik Negara. Oleh karena itu, dynamic governance dapat dimaknai sebagai “the ability of government to continually adjust its public policies and programs, as well as change the way they are formulated and implemented, so that the long-term interests of the nations are achieved.”

Tidak ada komentar: