Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada kondisi adanya
berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-menerus, respon yang
cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-inovasi yang kreatif (Neo & Chen,
2007, p. 1). Dengan kata lain, dinamisme atau kondisi yang dinamis itu
menggambarkan proses belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan
yang tiada akhir. Ketika kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah,
3
maka kondisi yang dinamis menyangkut proses lembaga yang secara konstan atau
konsisten melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial- ekonomi di mana masyarakat, swasta dan pemerintah berinteraksi. Lembaga
pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi proses pembangunan ekonomi yang
tengah berjalan dan beragam perilaku sosial melalui kebijakan-kebijakan, aturan- aturan dan struktur-struktur yang menciptakan insentif dan sekaligus pembatasan- pembatasan untuk beragam aktivitas yang berlangsung. Pada gilirannya,
kemampuan ini akan dapat menopang dan memperkuat pembangunan dan
kesejahteraan Negara (Neo & Chen, 2007, p. 1). Sementara itu, konsep governance telah diartikan sangat beragam oleh
para ahli. Bahkan keberagaman pemaknaan konsep tersebut telah mengakibatkan
konsep governance termasuk ke dalam kelompok konsep yang tidak terdefinisi
secara jelas, seperti dikemukakan oleh Pierre dan Peters (2000: 7, dalam Chhotray
& Stoker, 2009) bahwa konsep governance merupakam konsep yang “notoriously
slippery”. Namun demikian, Schneider mengatakan bahwa ketidakjelasan tersebut
justru menjadi “[the] secret of its success” sehingga menjadi sebuah konsep yang
mengglobal. Dalam pengertiannya yang paling sederhana, Crook dan Manor
(1995, dalam Rahmatunnisa, 2010, p. 1) mengatakan bahwa governance dimaknai
sebagai “ways of governing”. Secara substantif, Chhotray dan Stokker (2009, p.
3) memaknai governance sebagai “the rules of collective decision-making in
settings where there are a plurality of actors or organizations and where no
formal control system can dictate the terms of the relationship between these
actors and organizations”. Definisi ini memberikan catatan penting terkait empat
hal yang menjadi prinsip atau elemen dasar dari konsep governance. Yang
pertama terkait “the rules”, di mana yang dimaksud adalah beragam aturan baik
formal maupun informal seperti konvensi dan kebiasaan lainnya (customs) dalam
proses pengambilan keputusan (what to decide, how to decide, and who shall
decide). Elemen yang kedua terkait makna “collective”, dimana beragam
keputusan dibuat oleh “a collection of individuals”, yang melibatkan “issues of
mutual influence and control”. Ketiga, menyangkut makna “decision-making”,
dimana dalam konsep governance proses memutuskan sesuatu secara koletif
4
dapat dilakukan baik untuk skala yang besar menyangkut masyarakat luata, atau
berskala kecil menyangkut proses internal organisasi. Keempat, menyangkut
makna “no formal control system can dictate” yang merujuk pada kondisi dimana
governance menekankan pada collective governing, bukan monocratic
government. Pemaknaan serupa juga dikemukakan oleh Bhatta (2005, p. 252), yang
menyatakan bahwa governance merupakan “the relationship between
governments and citizens that enable public policies and programs to be
formulated, implemented and evaluated. In the broader context, it refers to the
rules, institutions, and networks that determine how a country or an organization
functions.” Pemaknaan Bhatta tersebut secara substantif juga mengandung
elemen-elemen kunci sebagaimana dimaksudkan oleh Chhotray dan Stokker.
Dari kedua konsep tersebut – dinamis dan governance – Neo dan Chen
(2007, p. 7) mengatakan bahwa governance menjadi dinamis manakala pilihan- pilihan kebijakan dapat diadaptasikan dengan perkembangan terkini dalam
lingkungan yang tidak pasti dan berubah sangat cepat sehingga berbagai kebijakan
dan lembaga pemerintah tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuan jangka
panjangnya. Adaptasi ini lebih dari sekedar membuat perubahan sekali saja (onetime change) atau proses recovery dari sebuah kegagalan. Lebih dari itu, dinamis
lebih bermakna sebagai “on-going sustained change for long-term survival and
prosperity.”
Dalam konteks tersebut, konsep good governance menjadi elemen
strategis lainnya yang tidak terpisahkan. Pentingnya memiliki dan mempraktekkan
good governance dan lembaga-lembaga pemerintah yang jujur dan kompeten
menjadi syarat penting untuk kemajuan ekonomi dan penguatan kesejahteraan
masyarakat. Argumentasi ini dikemukakan secara tegas oleh Daniel Kaufmann,
Direktur Global Governance dari Bank Dunia, bahwa “Poorly functioning public
sector institutions and week governance are major constraints to growth and
equitable development in many developing countries.” (dikutip dalam Neo &
Chen, 2007, p. 7). Namun demikian, Neo dan Chen (2007, pp. 7–8) berpendapat
bahwa sekedar mempraktekkan good governance saja tidaklah cukup untuk
5
mencapai proses pembangunan yang berkelanjutan dan memperbaiki
kesejahteraan masyarakat. Bangunan governance yng dibuat pada kurun waktu
tertentu, dapat menjadi tidak berfungsi ketika lingkungan berubah. Untuk bisa
relevan dan efektif, praktek good governance perlu dinamis.
Governance yang dinamis memerlukan proses pembelajaran yang terus- menerus, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang masa depan
yang dapat mempengaruhi Negara, kesediaan untuk meninjau beragam kebijakan
yang kadaluarsa karena perubahan keadaan, dan keterbukaan untuk beradaptasi
dengan pengetahuan global yang disesuaikan dengan konteks unik Negara. Oleh
karena itu, dynamic governance dapat dimaknai sebagai “the ability of
government to continually adjust its public policies and programs, as well as
change the way they are formulated and implemented, so that the long-term
interests of the nations are achieved.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar