Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang
sangat mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna dynamic
governance itu sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah pada umumnya
sangat jauh dari perspektif dinamis. Sebaliknya, Pemerintah – khususnya birokrasi
7
pemerintah – seringkali dipahami sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang
ketinggalam jaman, kaku dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan
dan kebutuhan individu maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini
bertolak belakang sekali dengan makna dinamis sebagaimana diuraikan pada
bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh ide-ide baru, persepsi-persepsi yang
kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus, tindakan yang cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi tindakan yang efektif, serta
perubahan yang terus-menerus.
Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa lembaga pemerintah dapat
menjadi dinamis melalui pemanfaatan landasan nilai dan keyakinan budaya yang
bersinergi dengan kapabilitas organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic
governance system yang memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi
kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan
Chen (2007, p. 3) bahwa
Institutional culture can support or hinder, facilitate of impede dynamism
in policy-making and implementation. Institutional culture involves how a
nation perceives its position in the world, how it articulates its purpose,
and how it evolves the values, beliefs and principles to guide its decision- making and policy choices. In addition, strong organizational capabilities
are needed to consider thoroughly major policy issues and take effective
action. Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen tersebut
perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin untuk menata interaksi
sosial dan ekonomi untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan. Dengan
mengutip pendapat North, Neo dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa
pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi
manakala terdapat “leadership intention, cognition and learning which involve
continual modification of perceptions, belief structures and mental models,
particularly when confronted with global development and technological
change.” Oleh karenanya, dua hambatan utama untuk terwujudnya dynamic
governance adalah ktidakmampuan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan
untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang dibutuhkan agar tetap
efektif. Bagaimana sesungguhnya interaksi berbagai elemen dalam mewujudkan
dynamic governance? Dynamic governance yang merupakan outcome yang diharapkan, terwujud
manakala kebijakan-kebijakan yang adaptif (adaptive policies) dilaksanakan.
Adaptasi atas kebijakan ini tidak dilakukan secara pasif, akan tetapi proaktif
melalui berbagai inovasi, kontekstualisasi dan implementasi. Adapun yang
menjadi dasar dari proses menghasilkan dynamic governance adalah landasan
nilai budaya (institutional culture) yang dimiliki oleh bangsa. Nilai budaya ini
pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku. Tiga kapabilitas dinamis, yakni
thinking ahead, thinking again, dan thinking across yang memfasilitasi kebijakan- kebijakan adaptif. Kapabilitas ini harus tertanam dan termanifestasi dalam strategi
dan proses kebijakan (membuat pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi)
dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mereka senantiasa terus belajar,
berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan.
Kapabilitas think ahead pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk
mengidentifikasi perkembangan lingkungan, memahami konsekuensinya di masa
datang terhadap tujuan ekonomi dan sosial, dan mengidentifikasi strategi investasi
dan pilihan yang tepat sehingga memungkinkan semua elemen masyarakat dapat mengeksplitasi berbagai kesempatan baru dan mampu mengatasi berbagai potensi
ancaman. Proses melakukan thinking ahead melibatkan:
a) mengeksplorasi dan mengantisipasi tren dan perkembangan masa depan
yang memiliki dampak signifikan terhadap sasaran kebijakan,
b) memahami bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi pencapaian
tujuan saat ini, dan menguji keefektifan strategi, kebijakan dan program
yang ada,
c) menyusun strategi opsi apa yang dapat digunakan untuk menghadapi
ancaman yang muncul dan mengeksploitasi peluang baru, dan
d) mempengaruhi pengambil keputusan utama dan pemangku kepentingan
untuk dipertimbangkan isu-isu yang muncul dan melibatkan mereka dalam
percakapan strategis tentang respon yang akan dilakukan (Neo & Chen,
2007, pp. 32–33). Kapabilitas think again menyangkut kemampuan untuk menilai kinerja
strategi, kebijakan dan program yang ada, untuk kemudian di desain kembali
untuk mencapai hasil yang lebih baik. Proses melakukan thinking again
melibatkan:
a) meninjau dan menganalisis data kinerja aktual dan memahami umpan
balik dari publik,
b) menyelidiki penyebab yang mendasari umpan balik atau fakta yang
diamati, informasi dan perilaku, baik untuk memenuhi atau mengetahui
target yang hilang, c) meninjau kembali strategi, kebijakan, dan program untuk diidentifikasi
karakter dan aktivitas yang berfungsi dengan baik maupun yang tidak,
d) mendesain ulang kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya,
sehingga kinerja mereka dapat ditingkatkan dan tujuan tercapai, dan
e) menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga warga dilayani dengan
lebih baik dan menikmati hasil yang berarti (Neo & Chen, 2007, p. 37). Kapabilitas think across adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman
pihak lain, sehingga ide-ide bagus dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi internal agar tujuan dapat tercaai lebih baik. Kapabilitas think across melibatkan
proses:
a) mencari praktik-praktik baru dan menarik yang diadopsi dan
diimplementasikan oleh orang lain dalam mendekati masalah yang serupa,
b) merefleksikan apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka
melakukannya, dan pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman,
c) mengevaluasi apa yang mungkin berlaku untuk konteks lokal,
mempertimbangkan kondisi dan keadaan unik, dan apa akan diterima oleh
penduduk setempat,
d) menemukan hubungan baru antar ide dan kombinasi baru ide-ide berbeda
yang menciptakan pendekatan inovatif untuk masalah yang muncul, dan
e) menyesuaikan kebijakan dan program agar sesuai dengan persyaratan
kebijakan local dan kebutuhan warga negara (Neo & Chen, 2007, pp. 41–
42). Untuk dapat memiliki kapabilitas dynamic governance, terdapat dua pilar
utama, yakni sumberdaya manusia yang mampu dan proses yang gesit dan
responsif. Governance system sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal
melalui ketidakpastian masa depan dan juga berbagai praktek yang dilakukan oleh
Negara lain (Neo & Chen, 2007, p. 13). Dynamic governance tercapai melalui berbagai kebijakan yang diadaptasi
secara terus-menerus terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar.
Adaptasi kebijakan (policy adaptation) bukan merupakan reaksi pasif terhadap
tekanan yang datang dari luar, tetapi merupakan tindakan proaktif melalui inovasi
dengan ide-ide baru yang diinputkan ke dalam berbagai kebijakan untuk hasil
yanglebih baik; kontekstualisasi ide-ide baru tersebut agar mendapat dukungan
dari masyarakat; dan implementasi atau eksekusi kebijakannya sebagai
manifestasi dari dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 13). Nilai-nilai kearifan lokal – nilai budaya, kepercayaan, tata k
Tidak ada komentar:
Posting Komentar