Pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintahan telah menjadi fenomena global sejak
awal dekade 1970-an, ketika para ilmuwan mengangkat hal tersebut menjadi
agenda internasional penting untuk mendapatkan solusi. Ditinjau dari pendekatan
teori governance yang mengkaji secara makro proses-proses perubahan dalam
kepemerintahan, krisis disebabkan akibat kuatnya hegemoni atau pengaruh negara
atas segala aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pelayanan publik yang
berkembang semakin kompleks. Model pemerintahan tradisional yang menggambarkan pendekatan
paradigma administrasi publik lama, seperti diuraikan Wahab, dicirikan dengan struktur pemerintahan vertikal, birokrasi yang kental, dan wataknya yang
intervensionis. Kondisi ini menyebabkan pemerintahan gagal mengadaptasikan
dirinya dengan lingkungan sehingga memunculkan ketidakpuasan masyarakat.
Fenomena tersebut kemudian mendorong para ilmuwan administrasi publik
melaksanakan berbagai kajian untuk menghasilkan sejumlah model pemerintahan
baru agar dapat mengkoreksi model pemerintahan tradisional tersebut.
Melalui buku: “The Spirit of Public Administration”, Frederickson tercatat
sebagai salah seorang pelopor yang menekankan pendekatan administrasi publik
tidak boleh bebas nilai tetapi harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi
masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat. Pendekatan administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan
dan keadilan sosial (social equity), masalah kewarganegaraan (citizenship), dan
etika (ethics) sehingga mengubah pola pikir lama yang menghambat terciptanya
keadilan sosial. Sejumlah pakar ilmu administrasi sebelumnya telah mengembangkan
administrasi publik sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, antara lain dengan
membentuk Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 dengan
tujuan melaksanakan studi perbandingan administrasi publik. Anggota CAG
terdiri atas para pakar administrasi publik, antara lain: John D. Montgomery,
William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred
W. Riggs. Dari CAG inilah kemudian muncul konsep administrasi pembangunan
(development administration), sebagai bidang kajian baru, yang salah satunya
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tuntutan pembangunan administrasi di
negara-negara berkembang. Pemikiran baru administrasi publik terus berkembang akibat pengaruh
nilai-nilai demokrasi, antara lain konsep partisipasi seperti dikemukakan
Montgomery dalam Kartasasmita117, yang menempatkan administrasi tidak terisolasi melainkan tetap berada di tengah-tengah masyarakatnya. Selain
menempatkan administrasi publik sebagai instrumen demokrasi, pemikiran ini
menggunakannya sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat termasuk
masyarakat bawah dan termarginalisasi. Sistem administrasi publik sekaligus
memiliki dimensi ruang dan waktu dimana penyelenggaraannya dipengaruhi oleh
sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi.
Sejak dekade 1980-an, seperti hasil kajian Dahrendorf, World
Development Report,120 dan Wahab, ada tuntutan politik yang menghubungkan
pemberian pelayanan publik yang semakin baik kepada sebagian besar masyarakat
merupakan salah satu tolok ukur legitimasi kredibilitas sekaligus kapasitas politik
pemerintah di mana pun. Di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya
misalnya, ada kecenderungan sikap skeptis yang mempertanyakan peran
pemerintah dalam menjalankan kegiatan akivitas pelayanan publik. Upaya-upaya reformasi administrasi pemerintahan di AS terus dilaksanakan
secara luas, baik menyangkut masalah struktural maupun berkaitan dengan
masalah perubahan kinerja. Hal ini terus berlanjut memasuki dekade 1990, baik
di level nasional, negara bagian, dan pemerintah daerah. Ukuran organisasi
kepemerintahan terus mengalami pengurangan yang dilaksanakan seiring kegiatan
privatisasi. Fenomena di Amerika Serikat tersebut antara lain dijelaskan oleh
Osborne dan Gabler dalam buku: “Reinventing Government,” yang menekankan
pentingnya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan; serta Osborne dan
Plastrik melalui buku: “Banishing Bureaucracy. The Five Strategies for
Reinventing Government.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar