Minggu, 07 Juni 2020

Pengaruh Role Conflict terhadap Komitmen Independensi Audit Internal (skripsi dan tesis)

 Konflik peran didefinisikan oleh Leigh et al. (dalam Amilin dan Dewi, 2008) menyatakan bahwa konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Robbins (2006) menyatakan bahwa role conflict (konflik peran) merupakan suatu situasi dimana seorang individu dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan. Konflik peran tersebut akan muncul apabila individu menemukan bahwa patuh pada tuntutan satu peran menyebabkan dirinya kesulitan mematuhi tuntutan peran yang lainnya. Auditor internal juga dapat mengalami personal role conflict, ketika diminta untuk berperan dalam berbagai cara yang tidak konsisten dengan nilainilai pribadi mereka atau diharuskan bertindak melawan serta melaporkan pelanggaran rekan kerja mereka. Hal itu dikemukakan dalam penelitian Ahmad dan Taylor (2009) bahwa nilai pekerjaan utama auditor internal memiliki komitmen pribadi untuk melatih independensi, dipengaruhi oleh sifat dan sejauh mana konflik peran mereka. Dengan demikian auditor internal dapat berdampak negatif pada kemampuan mereka untuk melaksanakan fungsi termasuk kemampuan untuk menggunakan independensi. Hasil penelitian Ahmad dan Taylor (2009) konflik peran berpengaruh negatif signifikan terhadap komitmen independensi auditor internal. Dimensi yang berpengaruh paling besar terhadap komitmen independensi adalah konflik antara nilai personal auditor dengan persyaratan dan ekspektasi manajemen dan profesi audit internal (dimensi konflik peran) serta wewenang dan tekanan waktu yang diamali auditor internal (dimensi ambiguitas peran). Berdasarkan teori Higiene yang dikembangkan juga oleh Herzberg, yaitu apabila kondisi kerja memadai seperti konflik peran yang dihadapi kecil, maka dapat menentramkan pekerjaan seperti meningkatnya sikap komitmen independensi. Dengan kata lain, meningkatnya konflik peran yang dialami oleh seorang auditor internal akan berakibat pada turunnya perusahaan tersebut lebih mencurahkan tenaganya untuk mengatasi konflik peran yang dihadapi daripada menyelesaikan pekerjaan dengan baik. 

Pengaruh Role Ambiguity terhadap Komitmen Independensi Audit Internal (skripsi dan tesis)

Ambiguitas peran didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana informasi yang berkaitan dengan suatu peran tertentu kurang atau tidak jelas (Kahn etal. dalam Beauchamp et al. , 2004). Rizzo et al. (1970 dalam Michael et al. , 2009) menyatakan bahwa ambiguitas peran menunjukkan ambivalensi saat apa yang diharapakan tidak jelas karena kekurangan informasi mengenai suatu peran dan apa yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Menurut Hall (2004) dalam Rahman et al. (2007), ketidakjelasan peran atau role ambiguity dianggap sebagai titik awal dari pemberdayaan psikologis dari individu. Individu yang tidak memiliki tanggung jawab yang jelas dan tidak tahu bagaimana untuk mencapai hal tersebut, maka mereka cenderung tidak mempercayai bahwa mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan kemampuan untuk mengerjakan sebuah tugas dengan layak atau merasa kurang layak pada pekerjaannya. Agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, para auditor memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang diharapkan untuk mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka lakukan. Penelitian Angga Prasetyo (2011) bahwa konflik peran memiliki efek negatif yang signifikan pada komitmen independensi auditor internal, dan ambiguitas peran (role ambiguitas) memiliki berpengaruh negatif signifikan terhadap komitmen terhadap independensi auditor internal, karena apabila individu tidak jelas akan peran utama mereka hingga kurangnya informasi yang dibutuhkan bagi kesuksesan kinerja peran tersebut akan mengakibatkan kinerja menurun. Ambiguitas peran dapat menyebabkan rentan terhadap ketidakpuasaan kerja hingga kejenuhan yang mengakibatkan turunnya komitmen independensi. Dalam penelitian Schuller et al., Beehret al., dan Babin (dalam Koustelios, 2004), ditemukan bahwa ambiguitas peran mengakibatkan kepuasan kerja yang rendah, absenteeism, low involvement, dan tekanan kerja. Ambiguitas peran dapat menyebabkan perusahaan rentan terhadap ketidakpuasan kerja hingga kejenuhan sehingga mengakibatkan turunnya komitmen independensi audior internal. Sedangkan dalam teori ambiguitas peran berhubungan dengan kurangnya keyakinan bahwa seorang karyawan merasakan tentang tanggungjawabnya dan wewenang dalam perusahaan (Lawrence et a1,2008). Menilai peran dari profesi internal auditor itu apakah terdapat unsur ambiguitas atau tidak, internal auditor diminta untuk menyatakan tingkat kejelasan yang mereka alami dalam tentang ambiguitas peran menjelaskan bahwa ambiguitas peran dalam beberapa sub bidang tidak menyebabkan auditor internal merasakan komitmen independensi mereka melemah, akan tetapi dalarn subbidang yang lainnya memiliki pengaruh terhadap komitmen independensi. 

Dimensi atau Indikator Independensi Auditor Internal (skripsi dan tesis)

Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untukmemenuhi kewajiban profesionalismenya; memberikan opini yang objektif, tidakbias; dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa adanya; bukan melaporkansesuai keinginan eksekutif atau lembaga (Sawyer, 2009:35). Menurut Arens, Elder,dan Beasley (2008: 111) dalam independensi dibagi menjadi dua, yaitu independensidalam fakta (independence in fact) ada apabila auditor senyatanya mampumempertahankan sikap tidak bias sepanjang audit, dan independensi dalampenampilan (independence in appearance) adalah hasil dari intepretasi lain atasindependensi ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini yang menjadi indikator untukvariabel independensi auditor internal adalah independence in fact dan independencein appearance. Dimensi atau indikator dari pelaksanaan independensi auditor internal menurut Nurjannah (2008) adalah sebagai berikut: 1. Kemandirian Auditor Kemandirian para pemeriksa internal dapat memberikan penilaianpenilaianyang tidak memihak dan tanpa prasangka, yang mana sangat diperlukan ataupenting bagi pemeriksaan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat diperolehmelalui status organisasi dan sikap objektifitas dari para pemeriksa internal(auditor internal). a. Kemandirian Auditor Dilihat Dari Status Organisasi. Kemandirian auditor dilihat dari status organisasi adalah bahwa status organisasi dari bagian internal audit haruslah memberikan keleluasaan untuk memenuhi atau menyelesaikan tanggung jawab pemeriksaan yang diberikan kepadanya. Internal audit haruslah mendapat dukungan dari manajemen senior dan dewan, sehingga mereka akan mendapatkan suatu kerja sama dari pihak yang diperiksa dan dapat menyelesaikan pekerjaannya secara bebas dari berbagai campur tangan pihak lain. b. Kemandirian Auditor Dilihat Dari Sikap Objektifitas. Kemandirian auditor dilihat dari sikap objektifitas adalah sikap mental yang bebas dan yang harus dimiliki oleh pemeriksa internal (auditor internal) dalam melaksanakan pemeriksaan. Auditor internal tidak boleh menempatkan penilaian sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan secara lebih rendah dibandingkan dengan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain atau menilai sesuatu berdasarkan hasil penilaian orang lain. Bukan hanya penting bagi auditor internal untuk memelihara sikap mental independen dan tanggung jawab mereka, akan tetapi penting juga bahwa pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan terhadap independensi tersebut. 2. Independensi dalam Kenyataan (Independence In Fact) Independensi dalam kenyataan adalah apabila dalam kenyataannya auditormampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaanauditnya. 3. Independensi dalam Penampilan (Independence In Appearance) Independensi dalam penampilan adalah hasil penilaian atau interpretasi pihaklain terhadap independensi auditor dalam menjalankan tugasnya. Mautz danSharaf (Sawyer, 2009:35), dalam karya terkenal mereka,”The Philosophy ofAuditing” (Filosofi Audit), memberikan beberapa indikator independensiprofesional. Indikator tersebut memang diperuntukkan bagi akuntan publik,tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor internal yang inginbersikap objektif. Indikator- indikatornya adalah sebagai berikut: a. Independensi dalam Program Audit 1) Bebas dari intervensi manajerial atas program audit. 2) Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit. 3) Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang memang disyaratkan untuk sebuah proses audit. b. Independensi dalam Verifikasi 1) Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan. 2) Mendapatkan kerja sama yang aktif dari karyawan manajemen selama verifikasi audit. 3) Bebas dari segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas yang diperiksa atau membatasi pemerolehan bahan bukti. 4) Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit. c. Independensi dalam Pelaporan 1) Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari fakta-fakta yang dilaporkan. 2) Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan dalam laporan audit. 3) Menghindari penggunaan kata-kata yang menyesatkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan rekomendasi dalam interpretasi auditor. 4) Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor mengenai fakta atau opini dalam laporan audit internal.

  Komitmen Independensi (skripsi dan tesis)


Auditor Internal Selain komitemen yang berasal dari manajemen puncak, Menurut Roufiq (2010) mengungkapkan bahwa ada langkah awal dalam membangun independensi auditor internal adalah komitmen.Pengertian Komitmen menurut Hornby (Purba 2009:72) adalah suatu sikap kerja (job attitude) atau keyakinan yang merupakan cerminan kekuatan yang relatif dari keberpihakan, keterlibatan individu pada suatu organisasi dan kerelaan untuk bekerja keras dan memberikan energi serta waktu untuk sebuah pekerjaan (job) atau aktivitas.Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan perwujudan dan kerelaan seseorang dalam bentuk pengikatan dengan diri sendiri (individu) atau dengan organisasi yang digambarkan oleh besarnya usaha (tenaga, waktu dan pikiran) untuk mencapai tujuan pribadi dan visi bersama. Menurut Subiyanto (2013) Komitmen dari auditor internal terhadap independensi ini harus dituangkan dalam kode etik internal auditperusahaan dan dilaksanakan secara konsekwen serta tidak boleh memiliki kepentingan terhadap obyek atau aktivitas yang diauditnya, jika internal auditor memiliki keterkaitan dengan obyek audit yang mengakibatkan secara fakta auditor tidak independen. Komitmen terhadap independensi juga harus diimplementasikan oleh internal auditor dalam menetapkan metode, cara, teknik, dan pendekatan audit yang dilaksanakan. Kebebasan dan sikap mental internal auditor ini akan tercermin dari laporan internal audit yang lengkap, obyektif serta berdasarkan analisa yang cermat dan tidak memihak. Untuk mendukung independensi dan sikap mental obyektif ini, 2 hal utama yang perlu dilaksanakan adalah rotasi secara berkala penugasan pekerjaan internal audit dan review secara cermat terhadap laporan hasil internal audit serta prosesnya

Pengertian Independensi (skripsi dan tesis)

 Arens dan Loebbecke diterjemahkan oleh Jusuf (2009) tentang independen bahwa: Independensi merupakan tujuan yang harus selalu diupayakan, dan itu dapat dicapai sampai tingkat tertentu, misalnya sekalipun auditor dibayar oleh klien, ia harus tetap memiliki kebebasan yang cukup untuk melakukan audit yang andal. Sedangkan dalam Kode Etik Akuntan Publik dalam Christiawan (2002:83) disebutkan bahwa”independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas”. Adapun penjelasan tentang independensi menurut Mautz dan Sharaf (2008) menyatakan bahwa : Independensi merupakan suatu standar auditing yang penting, karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun. Dalam buku Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP, 2009) seksi 220 PSA No. 04 alinea 2, dijelaskan bahwa”Independensi berarti tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum”. Sedangkan menurut Ralph Estes menyatakan pendapat mengenai”independensi adalah sebagai kondisi keterbukaan, netral, untuk atau terhadap pihak lain”. Sawyer diterjemahkan olehDesi Adhariani (2009:35) mengungkapkan bahwa: Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untuk memenuhi kewajiban profesionalismenya; memberikan opini yang objektif, tidak bias; dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa adanya; bukan melaporkan sesuai keinginan eksekutif atau lembaga. Adapun pengertian dari independensi selalu dihubungkan dengan objektifitas dalam internal auditor seperti yang dijelaskan oleh IIA dalam Mutchler (2003:235) sebagai berikut: Objectivity ia a mental attitude which internal auditors should maintain while performing engangements. The internal auditors should have an impartial, un-biasedattitude and avoid conflict of interest situations, as that would prejudice his/her desired characteristic of the environment in which the assurance services are performed by the individual orteam, it is desirable for the individual or team to be free from material conflicts of interest that threaten objectivity. Dengan arti : Objektifitas adalah sikap mental yang harus dimiliki oleh auditor internal dalam melaksanakan pekerjaannya. Auditor internal harus bersikap tidak memihak, berperilaku yang tidak bias dan menghindari situasi konflik kepentingan yang akan membuat auditor internal dapat melaksanakan penilaian yang sesuai dengan kenyataan. Independensi merupakan karakteristik yang diperoleh dari lingkungan sekitar dalam pelaksanaan assurance service yang dilakukan oleh satuan kerja dalam tim maupun individu yang harus bebas dari konflik kepentingan yang dapat mengancam penilaian yang objektif auditor internal. Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun meskipun ia bekerja atau mengabdi pada perusahaan, sebab bilamana tidak demikian halnya, bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, maka dengan otomatis ia akan kehilangan sikap independensi yang justru paling penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya. Berbagai definisi independensi telah disampaikan oleh para ahli dapat disimpulkan, sebagai berikut: 1. Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi auditor untuk menilai kewajaran informasi yang disajikan oleh manajemen kepada pemakai laporan keuangan. 2. Independensi diperlukan oleh auditor untuk memperoleh kepercayaan dari klien maupun dari masyarakat, khususnya bagi para pemakai laporan keuangan. 3. Independensi diperlukan agar dapat kreadibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. 

Pengertian Komitmen (skripsi dan tesis)

Pengertian komitmen menurut Hornby dalam Purba (2009:72) adalah Suatu sikap kerja (job attitude) atau keyakinan yang merupakan cerminan kekuatanyang relatif dari keberpihakan, keterlibatan individu pada suatu organisasi dan kerelaan untuk bekerja keras dan memberikan energi serta waktu untuk sebuah pekerjaan (job) atau aktivitas. Adapun pengertian komitmen menurut Purba (2009 : 73) mengungkapkan bahwa”komitmen merupakan suatu keadaan di mana individu telah mengikat tindakannya terhadap keyakinan yang sangat mendukung kegiatan dan keterlibatannya sendiri”. De Porter dan Hernacki dalam Sutarno dan Salimi Nurhadi (2006:67) menyatakan bahwa komitmen adalah tekad yang kuat, yang mendorong seseorang untuk mewujudkannya, terlepas dari beberapa rintangan yang mungkin dihadapi. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan perwujudan dan kerelaan seseorang dalam bentuk pengikatan dengan diri sendiri (individu) atau dengan organisasi yang digambarkan oleh besarnya usaha (tenaga, waktu dan pikiran) untuk mencapai tujuan pribadi dan visi bersama. Apabila seseorang itu mempunyai komitmen, maka ia akan selalu bekerja dengan penuh semangat dan sungguh-sungguh, serta akan berusaha menjalin kerjasama yang lebih baik antar sesama perusahaan. Selain itu, apabila seseorang mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap pekerjaannya maka dapat diindikasikan seseorang tersebut mempunyai komitmen yang tinggi pula dan untuk mencapai tujuan pekerjaan yang telah ditetapkan suatu perusahaan, maka seseorang akan dituntut untuk memiliki komitmen yang tinggi yang merupakan wujud tanggung jawabnya terhadap pekerjaan. Secara konseptual terdapat tiga faktor yang mempengaruhi komitmen menurut Minner dalam Purba (2009: 73), yaitu: 1. Suatu keyakinan yang kuat dan menerima tujuan-tujuan serta nilai-nilai organisasi 2. Kemauan untuk melaksanakan upaya untuk kepentingan organisasi 3. Adanya suatu keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi 

Standar Profesi Audit Internal (skripsi dan tesis)

 Standar profesional audit internal yang diterbitkan oleh Konsorsium Organisasi Profesi Audit Internal dalam Pusdiklatwas BPKP (2008) membagi standar menjadi 2 kelompok, meliputi: 1. Standar Atribut a. Tujuan, kewenangan dan tanggung jawab harus dinyatakan secara formal, konsisten serta disetujui pimpinan dan dewan pengawas organisasi. b. Independen dan objektif harus dimiliki auditor internal dalam melaksanakan tugasnya. c. Keahlian dan kecermatan profesional harus dimiliki dalam melaksanakan penugasan, seperti pengetahuan, keterampilan dan kompetensi dalam menjalankan tanggung jawab. d. Program quality assurance fungsi audit internal harus dikembangkan dan dipelihara dengan terus memonitor efektivitasnya. 2. Standar Kinerja a. Pengelolaan Fungsi Audit Internal Dilakukan secara efektif dan efisien agar memberi nilai tambah bagi organisasi, dengan melakukan perencanaan, komunikasi dan persetujuan, pengelolaan sumber daya, penetapan kebijakan dan prosedur, koordinasi yang memadai dan menyampaikan laporan berkala pada pimpinan dan dewan pengawas. b. Lingkup Penugasan Fungsi audit internal melakukan evaluasi dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan proses pengelolaan risiko, pengendalian dan governance, dengan menggunakan pendekatan yang sistematis, teratur dan menyeluruh. c. Perencanaan Penugasan Auditor internal harus mengembangkan dan mendokumentasikan rencana untuk setiap penugasan yang mencakup ruang lingkup, sasaran, waktu dan alokasi sumberdaya. Di sini auditor internal harus melakukan pertimbangan perencanaan, menentukan sasaran penugasan, menetapkan ruang lingkup penugasan, menentukan sumber daya dan menyusun program kerja yang menetapkan prosedur untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi dan mendokumentasikan informasi selama penugasan. d. Pelaksanaan Penugasan Auditor internal harus mengidentifikasi informasi yang handal dan relevan, mendasarkan kesimpulan dan hasil penugasan pada analisis dan evaluasi yang tepat, mendokumentasikan informasi yang relevan, dan supervisi penugasan dengan tepat untuk memastikan tercapainya sasaran, terjaminnya kualitas serta meningkatnya kemampuan staf. e. Komunikasi Hasil Penugasan Auditor internal harus mengkomunikasikan hasil penugasan secara tepat waktu yang memenuhi: kriteria komunikasi yang tepat; kualitas komunikasi yang akurat, objektif, jelas, ringkas, konstruktif, lengkap dan tepat waktu; pengungkapan atas ketidakpatuhan terhadap standar yang dapat mempengaruhi penugasan tertentu dan menyampaikan hasil penugasan pada pihak yang berhak. f. Pemantauan Tindak Lanjut Menyusun dan menjaga sistem untuk memantau tindak lanjut hasil penugasan serta menyusun prosedur tindak lanjut untuk memantau dan memastikan pelaksanaan tindak lanjut secara efektif oleh manajemen. g. Resolusi Penerimaan Risiko oleh Manajemen Mendiskusikan masalah terkait risiko risidual yang tidak dapat diterima organisasi, jika tidak menghasilkan keputusan penanggung jawab fungsi auditor internal dan manajemen senior harus melapor pada pimpinan dan dewan pengawas organisasi untuk mendapat resolusi. 

Fungsi dan Tanggung Jawab Audit Internal (skripsi dan tesis)

 Fungsi audit internal menurut Mulyadi (2014) sebagai berikut: (1) Pemeriksaan (audit) dan penilaian terhadap efektivitas struktur pengendalian intern dan mendorong penggunaan struktur pengendalian intern yang efektif dengan biaya minimum. (2) Menentukan sampai seberapa jauh pelaksanaan kebijakan manajemen puncak dipatuhi. (3) Menentukan sampai sejauh manakekayaan perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari segala macam kerugian. (4) Menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian dalam perusahaan. (5) Memberikan rekomendasi perbaikan kegiatankegiatan perusahaan. Sedangkan menurut Hiro Tugiman (2008:11) adalah : Fungsi audit internal adalah suatu fungsi penilaian bebas dalam suatu organisasi, guna menelaah atau mempelajari dan menilai kegiatan-kegiatan perusahaan untuk memberikan saran-saran kepada manajemen, agar tanggung jawab dapat dilaksanakan secara efektif. Tanggung jawab seorang auditor internal dalam Standar Profesi Akuntan Publik yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (2012:322.1) adalah: Auditor internal bertanggung jawab menyediakan jasa analisis dan evaluasi, memberikan keyakinan dan rekomendasi dan informasi lain kepada manajemen entitas dan bagian komisaris atau pihak lain yang setara wewenang dan tanggung jawabnya. Untuk memenuhi tanggungjawabnya tersebut auditor intern mempertahankan objektivitasnya yang berkaitan dengan aktivitas yang diauditnya.

Tujuan dan Ruang Lingkup Audit Internal (skripsi dan tesis)

Ada beberapa tujuan audit internal menurut Hiro Tugiman (2008:11) adalah untuk membantu para anggota organisasi agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif, serta mencakup pengembangan pengawasan yang efektif dengan biaya yang wajar. Sedangkan tujuan audit internal menurut Guy et. al diterjemahkan Paul A. Rajoe, dkk (2007:410) tujuan audit internal adalah tujuan audit internal meliputi juga meningkatkan pengendalian yang efektif pada biaya yang wajar. Adapun menurut Sukrisno Agoes (2012:222) tujuan pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor internal adalah membantu semua pimpinan perusahaan (managemen) dalam melaksanakan tanggungjawab dengan memberikan analisa, penilaian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, audit internal harus melakukan kegiatan-kegiatan berikut: 1. Menelaah dan menilai penerapan pengendalian internal dan pengendalian operasioanal memadai atau tidak serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal. 2. Memastikan ketaatan terhadap rencana-rencana dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan manajemen. 3. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk kecurangan, pencurian, dan penyalahgunaan yang dapat merugikan perusahaan. 4. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya. 5. Menilai suatu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan manajemen. 6. Memberikan saran perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka efisiensi dan efektivitas. Ruang lingkup audit internal menurut Boynton diterjemahkan Paul A. Rajoe dan Ichsan Setyo (2006) bahwa: Ruang lingkup audit internal menilai keefektifan sistem pengendalian internal serta pengevaluasian terhadap kelengkapan dan keefektifan sistem pengendaliann internal yang dimiliki organisasi, serta kualitas pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan. Audit internal harus mengimplementasikan hal-hal berikut: 1. Mereview keandalan (reabilitas dan integritas) informasi finansial dan operasional serta cara yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, mengklasifikasi, dan melaporkan hal tersebut. 2. Mereview berbagai sistem yang telah ditetapkan untuk memastikan kesesuaiannya dengan berbagai kebijaksanaan, rencana, prosedur hukum, dan peraturan yang dapat berakibat penting terhadap kegiatan organisasi serta harus menentukan apakahorganisasi telah mencapai kesesuaian dengan hal-hal tersebut. 3. Mereview berbagai cara yang dipergunakan untuk melindungi harta dan bila dipandang perlu, memverifikasi keberadaan harta-harta tersebut. 4. Menilai keekonomisan dan keefisienan penggunaan berbagai sumber. 5. Mereview berbagai operasi atau program untuk menilai apakah hasilnya akan konsisten dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dan apakah kegiatan atau program tersebut dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. 

Pengertian Audit Internal (skripsi dan tesis)

Definisi internal audit menurut Sukrisno Agoes (2012: 204) adalah: Internal audit (pemeriksaan intern) adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuan ketentuan dari profesi yang berlaku. Peraturan pemerintah misalnya peraturan dibidang perpajakan, pasar modal, lingkungan hidup, perbankan, perindustrian, investasi, dan lain-lain. Sedangkan menurut Hiro Tugiman (2008:11) pengertian audit internal adalah”Internal audit atau pemeriksaan internal adalah suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilaksanakan”. Adapun pengertian Internal Audit menurut Sawyer diterjemahkan olehDesi Adhariani(2009: 10) adalah: Sebuah penilaian yang sistematis dan obyektif yangdilakukan auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam organisasi untuk menentukan apakah (1) informasi keuangan dan operasi telahakurat dan dapat diandalkan; (2) risiko yang dihadapi perusahaan telah diidentifikasi dan diminimalis; (3) peraturan eksternal serta kebijakan dan prosedur internal yang bisa diterima telah diikuti; (4) kriteria operasi yang memuaskan telah dipenuhi; (5) sumber daya telah digunakan secara efisien danekonomis; dan (6) tujuan organisasi telah dicapai secara efektif-semua dilakukan dengan tujuan untuk dikonsultasikan dengan manajemen dan membantu anggota organisasi dalam menjalankan tanggung jawabnya secara efektif. Menurut Institute of Internal Audit (IIA) sebagai ikatan internal auditor di Amerika yang dibentuk pada tahun 1941 dalam Boynton (2006), merumuskan definisi internal audit, yaitu: Internal Auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed to add value and improve an organization’s operations. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control, and governance processes. Dari beberapa definisi tentang Audit Internal di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting yaitu: 1. Audit internal adalah aktivitas pemeriksaan dan pemberian jasa konsultasi yang dikelola secara independen dan efektif sehingga dapat membantu memberikan nilai tambah untuk aktivitas operasional perusahaan dan membantu dalam pencapaian tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. 2. Audit Internal merupakan suatu fungsi penilaian independen dalam suatu organisasi. Hal Ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan penilaian tersebut adalah anggota dari organisasi tersebut. 3. Dalam pengukuran yang dilakukan auditor internal, independensi dan objektivitas harus dipegang. Memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasidan meningkatkan efektivitas manajemen risiko pengendalian dan proses pengelolaan organisasi. 4. Auditor internal memeriksa dan mengevaluasi seluruh kegiatan baik finansial maupun nonfinansial. Menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan dijalankan sesuai target dalam mencapai tujuan organisasi. 

Indikator-Indikator Konflik Peran (skripsi dan tesis)

 Menurut Wexley terjemahan Shobaruddin (2003:171) indikator konflik peran antara lain: 1. Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam organisasi atau kolompok. 2. Harapan Peran Harapan peran berasal dari tuntutan dari tugas atau pekerjaan itu sendiri dan uraian tugas, peratutan-peraturan dan standar. 3. Peran Sosial Kondisi situasi masyarakat yang berada di lingkungan sekitar yang memiliki dampak besar terhadap kondisi lingkungan. Sedangkan menurut Rizzo et al. Dalam Winardi (2007:198-201) mengklasifikasikan konflik peran sebagai berikut: 1. Intrasender role conflict, yang dapat terjadi jika terdapat incompatible pesanpesan dan perintah-perintah yang berbeda yang bersumber dari seorang anggota role-set. 2. Intersender role conflict, yang dapat terjadi jika pesan-pesan atau perintahperintah yang berasal dari seorang role senders bertentangan dengan pesanpesan atau perintah-perintah yang berasal dari role sender lainnya. 3. Interrole conflict, yang terjadi jika perintah-perintah yang berkaitan dengan keanggotaan seseorang pada suatu kelompok incompatible dengan perintahperintah yang berasal dari keanggotaannya pada kelompok yang lain. 4. Person-role conflict, yang dapat terjadi jika tuntutan peran tidak sesuai dengan nilai-nilai, sikap, atau pandangan-pandangan focal person.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran (skripsi dan tesis)

 Menurut Sedarmayanti (2013:255) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konflik peran sebagai berikut : 1. Masalah Komunikasi Hal ini diakibatkan salahnya pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang kurang atau sulit dimengerti atau informasi yang mendua dan tidak lengkap serta gaya individu yang tidak konsisten. 2. Masalah Struktur Organisasi Hal ini disebabkan karena adanya pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya-sumber daya yang terbatas atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka. 3. Masalah Pribadi Hal ini disebabkan, karena tidak sesuai dengan tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai-nilai persepsi. 

Upaya-upaya Menghindari Konflik Peran (skripsi dan tesis)

Menurut para ahli, individu yang mengalami konflik antara peran yang berkepanjangan akan bersaing mencari metode untuk mengurangi konflik atau mengurangi ketegangan dirasakan antara peran. Bruening and Dixon dalam Lubis (2014:17) mengemukakan bahwa metode tersebut mencakup: 1. Penyesuaian waktu atau usaha yang terlibat dalam peran sehingga mereka yang berada dalam konflik langsung kurang antara konflik satu dengan konflik lainnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin berhenti bekerja untuk mencurahkan lebih banyak waktu untuk keluarga dan dapat mengurangi ketegangan. 2. Metode lain yaitu mengubah sikap seseorang terhadap konflik dari pada mengurangi konflik itu sendiri. Misalnya, memutuskan untuk merasa kurang bersalah dengan kurangnya waktu yang dihabiskan untuk anak-anak. 3. Mencari dan mengandalkan dukungan organisasi juga merupakan metode untuk mengatasi dan mengurangi konflik peran. Misalnya, organisasi memberikan tunjangan keluarga seperti cuti keluarga. Menurut Horton dan Hunt dalam Liliweri (2011:289), resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi tejadinya konflik, kemudian membuat penyelesaian terhadap konflik. Resolusi konflik yang dapat diartikan sebagai penyelesaian konflik (Conflict Resolution) adalah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita mengetahui bahwa konfik itu ada dan diarahkan pada keterlibatan berbagai pihak dalam isu-isu mendasar sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Selain itu, agar kita memahami gaya dari resolusi konflik dan mendefinisikan kembali jalan pintas kearah pembaharuan penyelesaian konflik. Menurut Horton dan Hunt dalam Liliweri (2011:291), seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama. Ada beberapa proses yang umum untuk penyelesaian konflik peran, yaitu antara lain: 1. Rasionalisasi Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima. Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa”semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah”manusia” tetapi”benda milik.” 2. Pengkotakan (Compartmentalization) Pengkotakan (Compartmentalization) yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat. 3. Ajudikasi (Adjudication) Ajudikasi yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa. 4. Kedirian (Self) Kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan”kedirian” (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu. Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman.”Jarak peran” diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan”jarak peran” menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain,”penyatuan diri” dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari”jarak peran.” Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut

Pengertian Konflik Peran (skripsi dan tesis)

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam organisasi atau kelompok. Harapan peran berasal dari tuntutan dari tugas atau pekerjaan itu sendiri dan uraian tugas, peraturanperaturan dan standar. Jika keseluruhan harapan peran tidak dengan jelas menunjukkan tugas-tugas apa yang seharusnya dilaksanakan seseorang dan bagaimana individu seharusnya berprilaku, maka akan terjadi kekacauan peran. Kekacauan peran dapat disebabkan baik oleh harapan-harapan peran yang tidak memadai maupun harapan-harapan peran yang tidak bersesuaian. Harapanharapan peran yang tidak konsisten menciptakan konflik peran bagi seseorang. Menurut Robbins and Judge yang diterjemahkan oleh Saraswati dan Sirait (2015:183) konflik peran adalah suatu situasi yang mana individu dihadapkan oleh ekspektasi peran yang berbeda-beda. Menurut Kreitner and Kinicki yang diterjemahkan oleh Biro Bahasa Alkemis (2014:15), konflik peran terjadi ketika anggota tatanan peran yang berbeda mengharapkan hal yang berbeda dari penerima peran. Handoko (2012:349) mengatakan bahwa konflik peran dalam diri individu yaitu sesuatu yang terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.

Pengertian Konflik (skripsi dan tesis)

Menurut Setiadi dan Kolip (2011:345) istilah”konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin”con”yang berarti bersama dan”fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnyaistilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional. Gordon, Mondy, Sharplin, dan Premeaux (2004:532) mendefinisikan konflik sebagai berikut: Conflict refers to antagonism or opposition between or among persons. Conflict is the result of incongruent or incompatible relationships between members of a group or dyad. It’s a process that begins when one party perceives that the others has frustrated or is about to frustrate some concern of his (or hers) Sementara itu Greenberg dan Baron (2004:426), menyatakan bahwa konflik merupakan suatu proses:”Conflict is a process in which one party perceives that another party has taken some action that will exert negative effects on its major interest or is about to take such action”. Pendapat lain muncul dari Mangkunegara (2011:21) yang berpendapat bahwa konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya. 

Faktor-faktor Penyebab Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya ketidakjelasaan peran menurut Everly dan Giordano dalam Munandar (2010:392) antara lain : 1. Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan) 2. Kesamaran tentang tanggungjawab. 3. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja. 4. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain. 5. Kurang adanya ketidakpastian tentang unjuk kerja pekerjaan. 

Indikator Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)

Menurut Rizzo, House dan Lirtzman dalam Pratina (2013), ketidakjelasan peran diukur menggunakan indikator-indikator sebagai berikut: 1. Wewenang 2. Tanggung Jawab 3. Kejelasan Tujuan 4. Cakupan Pekerjaan Dari indikator di atas, berikut ini akan dijelaskan kembali pengertian dari masing-masing penyebab indikator ketidakjelasan peran tersebut : 1. Wewenang Merasa pasti dengan seberapa besar wewenang yang dimiliki dan mempunyai rencana yang jelas untuk pekerjaan. 2. Tanggung Jawab Mempunyai tujuan yang jelas untuk pekerjaan dan mengetahui bahwa perlunya membagi waktu dengan tepat. 3. Kejelasan Tujuan Mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan penjelasan tentang apa yang harus dikerjakan adalah jelas. 4. Cakupan Pekerjaan Mengetahui cakupan dari pekerjaan dan bagaimana kinerjanya dievaluasi.

Upaya-upaya Menghindari Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)

Menurut Zeithaml, V. A. , Parasuraman, A. and Berry, L. L. , dalam Idris (2012) manajemen dapat menggunakan empat alat kunci untuk memberikan kejelasan peran untuk karyawan: komunikasi, umpan balik, kepercayaan diri, dan kompetensi. Pertama, karyawan memerlukan informasi yang akurat tentang peran mereka dalam organisasi. Mereka membutuhkan komunikasi tertentu dan sering dari supervisor dan manajer tentang apa yang mereka diharapkan untuk melakukan. Mereka juga perlu mengetahui tujuan, strategi, tujuan, dan filosofi perusahaan dan departemen mereka sendiri. Mereka membutuhkan informasi terkini dan lengkap tentang produk dan jasa perusahaan menawarkan, dan mereka perlu tahu pelanggan perusahaan, siapa mereka, apa yang mereka harapkan, dan jenis masalah yang mereka hadapi dalam menggunakan layanan. Selanjutnya, karyawan perlu mengetahui seberapa baik mereka melayani dibandingkan dengan standar pelayanan yang ditetapkan untuk mereka. Harus ada umpan balik ketika karyawan melakukan pekerjaan dengan baik agar memberi spirit kepada mereka dan memberi kesempatan untuk koreksi diri ketika mereka berkinerja buruk. Akhirnya, karyawan perlu merasa percaya diri dan kompeten dalam pekerjaan mereka. Perusahaan dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan pelatihan yang dibutuhkan untuk memuaskan pelanggan. 
Pelatihan yang berhubungan dengan jasa yang diberikan oleh perusahaan membuat contact person menjadi dan merasa mampu ketika berhadapan dengan pelanggan, pelatihan keterampilan komunikasi terutama dalam mendengarkan pelanggan dan memahami apa yang pelanggan harapkan, dan memberikan karyawan rasa penguasaan atas masalah yang tak terelakkan yang muncul dalam pertemuan layanan. Program pelatihan harus dirancang untuk meningkatkan kepercayaan dan kompetensi karyawan yang menghasilkan kejelasan peran yang lebih besar dan membantu dekat Hal di atas dapat diterapkan pada karyawan melalui program pendidikan dan pelatihan seperti yang dilakukan oleh British Airways memberikan pelatihan yang intensif kepada costumer servicenya sebelum menghadapi pelanggan. Perusahaan melatih tak kurang 3.700 orang costumer service dalam Program Menempatkan Orang Pertama yang membantu karyawan belajar bagaimana berkomunikasi secara efektif di bawah tekanan. Atau seperti yang dilakukan oleh Perusahaan Stew Leonard dairy store yang mengikutkan setengah dari 450 karyawannya dalam the Dale Carnigie Program berupa latihan kepemimpinan bagi karyawan. 

Ciri-ciri Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)

Nimran (2009:89) menggambarkan ciri-ciri mereka yang berada dalam ketidakjelasan peransebagai berikut : 1. Tidak mengetahui dengan jelas apa tujuan peran yang dimainkannya. 2. Tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab dan siapa yang melapor kepadanya. 3. Tidak cukup wewenang untuk melaksanakan tanggung jawabnya. 4. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan darinya. 5. Tidak memahami dengan benar peranan pekerjaannya dalam rangka mencapai tujuan secara keseluruhan. Menurut Agung Budilaksono (2004:9), seseorang dapat dikatakan berada dalam ketidakjelasan peran apabila ia menunjukkan ciri-ciri antara lain sebagai berikut: 1. Tidak jelas benar apa tujuan peran yang diinginkannya 2. Tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab dan siapa yang melapor kepadanya 3. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan dari padanya 4. Tidak memahami benar peranan daripada pekerjaannya dalam rangka pencapaian tujuan secara keseluruhan. Sementara itu Keitner and Kinicki yang diterjemahkan oleh Biro Bahasa Alkemis (2014:17) mengatakan bahwa orang yang mengalami ambiguitas peran ketika mereka tidak mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. 

Pengertian Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)

Menurut teori peran, ketidakjelasan peran yang dialami dalam waktu yang lama dapat mengikis kepercayaan diri, memupuk ketidakpuasan kerja, dan menghambat kinerja.Ketidakjelasan peran menurut Kreitner and Kinicki yang diterjemahkan oleh Biro Bahasa Alkemis (2014:16) terjadi ketika anggota tatanan peran gagal menyampaikan kepada penerima peran ekspektasi yang mereka miliki atau informasi yang dibutuhkan untuk melakukan peran tersebut, entah itu karena mereka tidak memiliki informasinya atau karena mereka sengaja menyembunyikanya. Sedangkan Robbins and Judge yang diterjemahkan oleh Saraswati dan Sirait (2015:306) menyatakan bahwa ketidakjelasan peranterciptamanakala ekspektasi peran tidak dipahami secara jelas dan karyawan tidak yakin apa yang harus ia lakukan. Ketidakjelasan perandirasakan seseorang jika ia tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidakmengerti atau merealisasikan harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Singkatnya, orang-orang yang mengalami ketidakjelasan peranyaitu ketika mereka tidak mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. Para pendatang baru di perusahaan sering kali mengeluh mengenai deskripsi pekerjaan dan kriteria promosi yang kurang jelek. Menurut Kreitner and Kinicki yang diterjemahkan oleh Biro Bahasa Alkemis (2014:17), ketidakjelasan peranyang berkepanjangan bisa menyebabkan hal-hal berikut: 1. Ketidakpuasan akan pekerjaan 2. Mengikis kepercayaan diri 3. Menghambat kinerja pekerjaan

Role Stress (skripsi dan tesis)

Stres adalah kekuatan yang mendorong faktor fisik dan kejiwaan seseorang menjadi tidak stabil kemudian menghasilkan tekanan di dalam diri seseorang (Arnold et al., 1995). Robbins dan Judge (2008:368) menyatakan stres adalah suatu kondisi dinamik yang dialami seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, tuntutan, atau sumber daya yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Selye (1956) menyatakan bahwa terdapat dua jenis stres yaitu eustress dan distress. Eustress adalah stres yang memberikan dampak positif sedangkan distress adalah stres yang memberikan dampak negatif. Penyebab stres (stressor) dapat dibagi ke dalam tiga kategori besar, yakni stressor yang berasal dari faktor lingkungan (environmental factors), faktor organisasi (organizational factors), dan faktor individu (personal factors). Salah satu komponen dalam faktor organisasi adalah tuntutan peran (role demand) yang merupakan tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi. 
 Tekanan peran dalam pekerjaan (role stress) menunjukkan seberapa luas ekspektasi serangkaian peran anggota organisasi menghadapi situasi yang mengandung tiga dimensi, yaitu ketidakjelasan peran, ketidaksesuaian peran sehingga antar peran bertentangan satu dengan lainnya dan beratnya tekanan dalam pekerjaan (Woelf & Snoek, 1962). Role stress adalah tekanan yang dialami seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi (Robbins dan Judge, 2008:372). Terdapat tiga sumber dari role stress, yaitu role conflict (konflik peran), role ambiguity (ambiguitas peran), dan role overload (banyaknya tuntutan peran) (Peterson,1995; Robbins dan Judge, 2008:372). 1) Role conflict Role conflict (konflik peran) dapat didefinisikan sebagai tingkat dimana performa peran dianggap dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang dapat mengakibatkan munculnya konflik atau tingkah laku yang saling bertentangan (Seniati, 2002). Konflik peran bisa terjadi ketika terdapat dua perintah berbeda dalam waktu bersamaan dan diantara dua perintah tersebut bertolak belakang (Fanani et al., 2008). Menurut Kahn et al. (1964), konflik peran terjadi ketika seorang karyawan menghadapi harapan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga apa yang diharapkan tidak tercipta secara efektif. Konflik peran terjadi sebagai kejadian simultan dari dua atau lebih bentuk tekanan pada tempat kerja, dimana pemenuhan dari satu peran membuat pemenuhan terhadap peran lain lebih sulit. Konflik peran ada jika seseorang menemui keadaan dimana patuh pada persyaratan satu peran menyebabkan kesulitan untuk mematuhi persyaratan dari suatu peran lain. Pada keadaan ekstrem, dapat mencakup situasi dimana dua atau lebih pengharapan peran saling berlawanan (kontradiksi). 
2) Role ambiguity (ambiguitas peran) Role ambiguity dapat didefinisikan sebagai tidak adanya informasi yang memadai yang diperlukan seseorang untuk memenuhi peran mereka secara memuaskan (Senatra, 1980). Ketidakjelasan peran muncul dalam lingkungan kerja saat seorang karyawan tidak memiliki informasi yang memadai untuk menghasilkan kinerja yang efektif dari peran yang diberikan. Fanani et al. (2008) menyatakan role ambiguity adalah tidak cukupnya informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, serta tidak adanya arah dan kebijakan yang jelas, ketidakpastian sanksi dan ganjaran terhadap perilaku yang dilakukan. Ambiguitas peran merupakan sebuah konsep yang menjelaskan ketersediaan informasi yang berkaitan dengan peran. Pemegang peran harus mengetahui apakah harapan tersebut benar dan sesuai dengan aktivitas dan tanggung jawab dari posisi mereka. Individu juga harus memahami apakah aktivitas tersebut telah dapat memenuhi tanggung jawab dari suatu posisi dan bagaimana aktivitas tersebut dilakukan (Ahmad dan Taylor, 2009). Kahn et al. (1964) mengemukakan bahwa ambiguitas peran juga dapat meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi merasa tidak puas dengan perannya, mengalami kecemasan, memutarbalikkan fakta, dan kinerjanya menurun. 
3) Role overload Role overload adalah kurangnya sumber daya yang dimiliki oleh individu untuk memenuhi komitmen, kewajiban, atau persyaratan (Peterson, 1995). Role overload dapat diartikan terlalu banyak memiliki pekerjaan yang harus dilakukan dalam satu waktu (Beehr et al., 1976). Rapoport dan Rapoport (dalam Coverman, 1989) mendefinisikan role overload sebagai suatu kondisi dimana seseorang memiliki terlalu banyak tuntutan peran dan terlalu sedikit waktu untuk menyelesaikannya. Beban kerja berlebih merupakan pembangkit stres. Banyaknya tugas yang diberikan pada jangka waktu yang terbatas atau pekerjaan yang diberikan terlalu sulit dan melebihi kemampuan dapat menyebabkan seseorang menjadi lelah, baik secara fisik maupun pikiran (Wiryathi, 2014).

Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN) (skripsi dan tesis)

Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN) merupakan subsistem dari Sistem Akuntansi Instansi (SAI). SAI merupakan serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian/Lembaga. SIMAK BMN disajikan untuk meningkatkan pemahaman serta kontrol yang sistematis bagi mereka yang pernah atau yang memang berada dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari satuan kerja pada bagian atau seksi 28 perlengkapan/rumah tangga atau yang semacamnya sehingga sesuai struktur Unit Akuntansi Barang melekat kewajiban untuk penyusunan laporan barang milik negara dalam rangka penyusunan laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga. SIMAK BMN diselenggarakan dengan tujuan untuk menghasilkan informasi yang diperlukan sebagai alat pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN dan pelaporan manajerial (managerial report). SIMAK BMN menghasilkan informasi sebagai dasar penyusunan neraca Kementerian Negara/Lembaga dan informasiinformasi untuk perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Dokumen/laporan yang dihasilkan dari SIMAK BMN terdiri dari: a) Daftar BMN; b) Kartu Identitas Barang (KIB) Tanah; c) Kartu Identitas Barang (KIB) Bangunan Gedung; d) Kartu Identitas Barang (KIB) Alat Angkutan Bermotor; e) Kartu Identitas Barang (KIB) Alat Persenjataan; f) Daftar Inventaris Lainnya (DIL); g) Daftar Barang Ruangan (DBR); h) Laporan Barang Kuasa Pengguna (LBKP); i) Laporan Kondisi Barang (LKB). Daftar BMN meliputi: Daftar Barang Intrakomptabel, Daftar Barang Ekstrakomptabel, Daftar Barang Bersejarah, Daftar Barang Persediaan, dan Daftar 29 Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP). LBKP meliputi: LBKP Intrakomptabel, LBKP Ekstrakomptabel, LBKP Gabungan, LBKP Persediaan, LBKP Barang Bersejarah, dan LBKP KDP. LBKP Gabungan merupakan hasil penggabungan LBKP Intrakomptabel dan LBKP Ekstrakomptabel. LBKP Barang Bersejarah hanya menyajikan kuantitas tanpa nilai.

Kompetensi Sumber Daya Manusia (skripsi dan tesis)

Kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia (Spencer dan Spencer, 1993:41). Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai standar yang ditetapkan. Dalam kaitan organisasi pemerintahan, kompetensi menurut Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 46 A 26 Tahun 2003 tentang Kompetensi Pegawai adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) berupa pengetahuan keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya sehingga PNS tersebut dapat melaksanakan tugas jabatannya secara profesional, efektif, dan efisen. Wyatt (dalam Ruky, 2003:106) menyatakan kompetensi adalah kombinasi keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude) yang dapat diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan (Sudarmanto, 2009). Kompetensi dapat disimpulkan sebagai sebuah pernyataan terhadap apa yang seseorang harus lakukan ditempat kerja untuk menunjukan pengetahuannya, keterampilannya dan sikap sesuai standar yang dipersyaratkan. Spencer dan Spencer (1993:73) menyatakan lima karakteristik yang membentuk kompetensi, sebagai berikut: 1) Motif (motive) Motive adalah apa yang secara konsisten dipikirkan atau keinginan yang menyebabkan melakukan tindakan. Apa yang mendorong, perilaku yang mengarah dan dipilih terhadap kegiatan atau tujuan tertentu. 27 2) Sifat/ciri bawaan (trait) Trait adalah ciri fisik dan reaksi-reaksi yang bersifat konsisten terhadap situasi atau informasi. 3) Konsep diri (self concept) Self concept merupakan sikap, nilai atau self image dari orang-orang. Seperti percaya diri (self confidence), keyakinan bahwa ia akan efektif dalam berbagai situasi, merupakan bagian dari konsep dirinya. 4) Pengetahuan (knowledge) Knowledge yaitu suatu informasi yang dimiliki seseorang khususnya pada bidang spesifik. Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks. 5) Keterampilan (skill) Skill adalah kemampuan untuk mampu melaksanakan tugas-tugas fisik dan mental tertentu

Kualitas Laporan Barang Milik Negara (skripsi dan tesis)

Barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (PP No. 27, 2014). Yang dimaksud dengan berasal dari perolehan lainnya yang sah, meliputi: 1) barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; 2) barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; 3) barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; atau  4) barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur setiap Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/Lembaga untuk mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya serta menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah mewajibkan setiap Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untuk menyusun dan menyampaikan laporan barang pengguna semesteran dan laporan barang pengguna tahunan yang berada dalam penguasaannya kepada Pengelola Barang. Laporan barang milik negara merupakan bagian dari laporan keuangan. Laporan barang milik negara mencatat transaksi yang berkaitan dengan berkaitan dengan pos-pos persediaan, aset tetap, maupun aset lainnya. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.05/2009 tentang Tata Cara Rekonsiliasi Barang Milik Negara Dalam Rangka Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, laporan barang milik negara adalah laporan yang menyajikan posisi BMN pada awal dan akhir suatu periode serta mutasi BMN yang terjadi selama periode tersebut. Laporan BMN disusun setiap semester sehingga dalam satu tahun anggaran, disusun tiga macam Laporan BMN yaitu Laporan Semester I, Laporan Semester II, dan Laporan Tahunan. 23 Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 Standar Akuntansi Pemerintahan menyatakan bahwa karakteristik kualitatif laporan barang milik negara adalah ukuran-ukuran normatif yang perlu diwujudkan dalam informasi akuntansi sehingga dapat memenuhi tujuannya. Keempat karakteristik berikut merupakan prasyarat normatif yang diperlukan agar laporan barang milik negara dapat memenuhi kualitas yang dikehendaki yaitu: 1) Relevan Laporan barang milik negara bisa dikatakan relevan jika informasi yang termuat di dalamnya dapat memengaruhi keputusan pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa kini, dan memprediksi masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu. Informasi yang relevan dapat dihubungkan dengan maksud penggunaannya. Informasi yang relevan antara lain memiliki karakteristik: a) memiliki manfaat umpan balik (feedback value), yaitu informasi memungkinkan pengguna untuk menegaskan atau mengoreksi ekspektasi di masa lalu. b) memiliki manfaat prediktif (predictive value), yaitu informasi dapat membantu pengguna untuk memprediksi masa yang akan datang berdasarkan hasil masa lalu dan kejadian masa kini. c) tepat waktu, yakni informasi disajikan tepat waktu sehingga dapat berpengaruh dan berguna dalam pengambilan keputusan. 24 d) lengkap, yakni informasi akuntansi keuangan pemerintah disajikan selengkap mungkin, yaitu mencakup semua informasi akuntansi yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan. Informasi yang melatarbelakangi setiap butir informasi utama yang termuat dalam laporan keuangan diungkapkan dengan jelas agar kekeliruan dalam penggunaan informasi dapat dicegah. 2) Andal Informasi dalam laporan barang milik negara bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan yang material, menyajikan setiap fakta secara jujur, serta dapat diverifikasi. Informasi yang andal memenuhi karakteristik: a) penyajian jujur, yaitu informasi menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan. b) dapat diverifikasi (veriability), yaitu informasi yang disajikan dalam laporan barang milik negara dapat diuji, dan apabila pengujian dilakukan lebih dari sekali oleh pihak yang berbeda, hasilnya tetap menunjukkan simpulan yang tidak berbeda jauh. c) netralitas, yaitu informasi diarahkan pada kebutuhan umum dan tidak berpihak pada kebutuhan pihak tertentu. 3) Dapat dibandingkan yaitu informasi yang termuat dalam laporan barang milik negara akan lebih berguna jika dapat dibandingkan dengan laporan barang milik negara periode sebelumnya atau laporan barang milik negara entitas pelaporan lain pada  umumnya. Perbandingan dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Perbandingan secara internal dapat dilakukan bila suatu entitas menerapkan kebijakan akuntansi yang sama dari tahun ke tahun. Perbandingan secara eksternal dapat dilakukan bila entitas yang diperbandingkan menerapkan kebijakan akuntansi yang sama. Apabila entitas pemerintah akan menerapkan kebijakan akuntansi yang lebih baik daripada kebijakan akuntansi yang sekarang diterapkan, perubahan tersebut diungkapkan pada periode terjadinya perubahan. 4) Dapat dipahami yaitu informasi yang disajikan dalam laporan barang milik negara dapat dipahami oleh pengguna dan dinyatakan dalam bentuk serta istilah yang disesuaikan dengan batas pemahaman para pengguna untuk mempelajari informasi yang dimaksud.

Pendekatan Kontijensi (skripsi dan tesis)

Dasar dari pendekatan kontijensi adalah tidak adanya jawaban terbaik yang berlaku terhadap semua masalah yang muncul. Pendekatan kontijensi menyatakan tidak adanya rancangan dan penggunaan sistem pengendalian manajemen yang dapat diterapkan efektif untuk semua kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tertentu hanya efektif untuk situasi atau organisasi/perusahaan/pemerintahan tertentu. Pendekatan kontijensi yang digunakan menarik minat banyak peneliti karena ingin mengetahui apakah tingkat keterandalan variabel independen selalu berpengaruh sama pada setiap kondisi atau tidak terhadap variabel dependennya. Dengan pendekatan kontijensi diduga terdapat faktor situasional lain yang mungkin akan saling berinteraksi dalam memengaruhi situasi tertentu.  Tujuan penggunaan pendekatan kontijensi dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi variabel kontijensi yang memengaruhi kualitas laporan BMN. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan antara satu peneliti dengan peneliti lainnya, sehingga disimpulkan bahwa terdapat variabel lain yang memengaruhinya. Perbedaan hasil temuan tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan kontijensi (Govindarajan, 1988). Pendekatan kontijensi memungkinkan adanya variabel-variabel yang dapat bertindak sebagai moderating maupun intervening. Pendekatan kontijensi dalam penelitian ini akan digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara kompetensi SDM dan penggunaan SIMAK BMN dengan kualitas laporan barang milik negara. Berdasarkan pendekatan di atas, ada dugaan bahwa role stress dapat memoderasi hubungan antara kompetensi SDM dan penggunaan SIMAK BMN pada kualitas laporan barang milik negara

Pengukuran Efektivitas Sistem Informasi (skripsi dan tesis)

Sistem informasi merupakan sebuah kombinasi yang terorganisir dari orang, perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi dan sumber daya data yang mengumpulkan, mengubah dan menyajikan informasi bagi organisasi (O’Brien, 2003:13). Laudon dan Laudon (2000) menyatakan sistem informasi adalah seperangkat komponen yang saling berhubungan yang berfungsi mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan mendistribusikan informasi untuk mendukung pembuatan keputusan dan pengawasan organisasi. Penggunaan sistem informasi merupakan perilaku yang muncul akibat adanya keuntungan atas pemakaian sistem informasi tersebut (Seddon, 1997). Perilaku yang ditimbulkan dari pemakaian sistem informasi ini dalam proses selanjutnya diharapkan akan memberi dampak terhadap kinerja individu. Keberhasilan sistem informasi merupakan suatu model yang digunakan dalam berbagai penelitian sebagai kriteria dasar untuk mengevaluasi sistem informasi (DeLone dan McLean, 1992). Model kesuksesan sistem informasi telah banyak dikembangkan oleh para peneliti. Zmud et al. (1978) menyatakan keefektifan  sistem informasi ditentukan oleh kinerja pemakai, penggunaan sistem informasi dan kepuasan pemakai. Kepuasan pengguna sistem informasi merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan sistem informasi. Hal ini cukup beralasan karena jika pengguna sistem informasi merasa puas maka dianggap sebagai keberhasilan sistem informasi tersebut (Jogiyanto, 2007:205). 
Dalam beberapa literatur penelitian, kepuasan pengguna seringkali digunakan sebagai ukuran pengganti dari efektifitas sistem informasi (Melone, 1990). Doll dan Torkzadeh (1988) mendefinisikan kepuasan akhir pengguna sebagai sikap afektif terhadap aplikasi tertentu oleh seseorang yang berinteraksi dengan aplikasi langsung. Kepuasan pengguna secara luas telah diakui sebagai matriks kunci indikator kesuksesan sistem informasi (DeLone dan Mclean, 1992). Gupta et al. (2007) menyatakan bahwa untuk mengetahui efektivitas sistem informasi maka yang dapat digunakan sebagai ukuran adalah kepuasan pengguna. Kepuasan pengguna lebih tepat digunakan untuk mengukur kesuksesan sistem informasi bila sistem informasi dimaksudkan dalam skala besar dan terintegrasi serta penggunaannya diamanatkan/diwajibkan (Brown et al., 2002; 2008). Kepuasan pemakai mengungkapkan adanya kesesuaian antara harapan seseorang dengan hasil yang diperoleh. Suatu sistem yang baik bukan hanya dilihat dari kecanggihannya tetapi juga dilihat dari penerimaan dan pemahaman pengguna yang merasa puas dengan sistem informasi yang dihasilkan (Kustono, 2000). McGill et al. (2003) melakukan pengujian empiris pada seluruh dimensi dalam model keberhasilan sistem informasi dari DeLone dan McLean (1992). Hasil pengujian menunjukkan bahwa kepuasan pengguna akhir suatu sistem informasi memainkan peranan signifikan dalam menentukan penggunaan sistem aplikasi. Hasil penelitian DeLone dan McLean (1992), Rai et al. (2002), McGill et al. (2003) serta Livari (2005) menunjukkan bahwa kualitas sistem informasi berpengaruh positif terhadap kepuasan pemakainya. Supriyatna dan Jin (2006) menyebutkan bahwa kepuasan pengguna sistem informasi dapat diukur dengan menggunakan enam variabel, yaitu kelengkapan fungsi/fitur, stabilitas/keandalan, kemudahan penggunaan, inovasi, keamanan, dan fleksibilitas, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Kelengkapan fungsi/fitur, yaitu keberadaan fungsi/fitur yang lengkap seperti data atau informasi yang ditampilkan pada sistem informasi yang bertujuan mempermudah dan menunjang pemanfaatan bagi penggunanya. 2) Stabilitas/keandalan merupakan ketangguhan atau kemampuan aplikasi yang digunakan dalam sistem informasi untuk dapat beroperasi tanpa mengalami gangguan (error) yang berarti dalam jangka waktu lama serta handal dalam proses pengambilan, pengolahan, dan penyajian informasi dan data dengan tingkat kebenaran/keyakinan yang baik. Disamping itu, sistem juga dapat menampilkan data dan informasi yang dibutuhkan secara tepat waktu dan selalu baru. 3) Kemudahan penggunaan digunakan untuk menyatakan kemudahan yang dimiliki oleh sistem informasi terutama dalam penampilan informasi, navigasi dan interaksi antara pengguna dengan sistem dimana fitur-fitur dalam sistem user friendly. 4) Inovasi berkaitan dengan reputasi, kreasi, pembaruan, dan terobosan yang dimiliki dari sistem informasi menyangkut perbandingan dengan organisasi lain dalam hal penyediaan informasi serupa. 5) Keamanan menunjukkan kemampuan security sistem informasi dalam menghadapi kemungkinan masuknya virus maupun perusakan atau penghapusan data. 6) Fleksibilitas menggambarkan kemampuan sistem informasi untuk dapat di implementasikan pada segala jenis dan spesifikasi sistem komputer yang tersedia di pasaran termasuk kemampuannya untuk digabungkan dengan penggunaan database yang tersedia lainnya.

Teori Peran (skripsi dan tesis)

Teori peran menekankan sifat individual sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku sesuai dengan posisi yang ditempatinya di lingkungan kerja dan masyarakat (Kahn et al., 1964). Teori peran mencoba menjelaskan interaksi antar individu dalam organisasi, berfokus pada peran yang mereka mainkan. Setiap peran sosial adalah seperangkat hak, kewajiban, harapan, norma dan perilaku seseorang untuk menghadapi dan memenuhi perannya. Kahn et al. (1964) mengenalkan teori peran pada literatur perilaku organisasi. Mereka menyatakan bahwa sebuah lingkungan organisasi dapat memengaruhi harapan setiap individu mengenai perilaku peran mereka. Harapan tersebut berupa norma-norma atau tekanan untuk bertindak dalam cara tertentu. Individu akan menerima pesan tersebut, menginterpretasikannya, dan merespon dalam berbagai cara. Masalah akan muncul ketika pesan yang dikirim tersebut tidak jelas, tidak  secara langsung, tidak dapat diinterpretasikan dengan mudah, dan tidak sesuai dengan daya tangkap si penerima pesan. Akibatnya, pesan tersebut dinilai ambigu atau mengandung unsur konflik. Individu akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada diri individu tersebut (Katz dan Kahn, 1978). Rizzo et al. (1970) menyatakan salah satu bentuk konflik peran adalah ketika perilaku-perilaku yang diharapkan seseorang tidak konsisten, yang dapat menimbulkan stres, ketidakpuasan, dan memiliki kinerja yang kurang efektif dibandingkan jika harapan yang diinginkan dari perilakunya tersebut tidak mengalami konflik.
 Keliat (1992) menyatakan stres peran terdiri dari: 1) Konflik peran, dialami jika peran yang diminta konflik dengan sistem individu atau dua peran yang konflik satu sama yang lain. 2) Peran yang tidak jelas, terjadi jika individu yang diberi peran yang tidak jelas dalam hal perilaku dan penampilan yang diharapkan. 3) Peran yang tidak sesuai, terjadi jika individu dalam proses transisi merubah nilai dan sikap. Misalnya, seseorang yang masuk dalam satu profesi, dimana terdapat konflik antara nilai individu dan profesi. 4) Peran berlebih, terjadi jika individu menerima banyak peran misalnya, sebagai istri, mahasiswa, perawat, ibu. Individu dituntut melakukan banyak hal tetapi tidak tersedia waktu untuk menyelesaikannya. Implikasi dari teori peran dalam penelitian ini adalah penyusun laporan BMN mempunyai peran ganda/berlebih karena merangkap banyak pekerjaan dalam  waktu bersamaan. Harapan bagi penyusun laporan BMN dapat dibentuk pimpinan organisasi atau masyarakat. Individu atau pihak yang berbeda dapat membentuk harapan yang mengandung konflik bagi pemegang peran itu sendiri. Oleh karena setiap individu dapat menduduki peran ganda, maka dimungkinkan bahwa dari beragam peran tersebut akan menimbulkan persyaratan/harapan peran yang saling bertentangan (Ahmad dan Taylor, 2009).

Teori Stewardship (skripsi dan tesis)

Teori stewardship menggambarkan situasi dimana manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi (Donaldson dan Davis, 1991). Filosofi mengenai teori stewardship dibangun berdasarkan sifat manusia yaitu dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas, serta dapat berlaku jujur untuk pihak lainnya. Dengan kata lain, teori stewardship memandang bahwa manajemen dapat berperilaku baik untuk kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. Teori 14 stewardship menggambarkan hubungan yang kuat antara kepuasan dan kesuksesan organisasi. Tercapainya kesuksesan dalam sebuah organisasi dapat dicapai dengan cara maksimalisasi utilitas principals dan manajemen. Maksimalisasi utilitas kelompok pada akhirnya akan memaksimumkan kepentingan individu yang ada dalam kelompok organisasi tersebut. Teori stewardship dapat diterapkan pada penelitian akuntansi organisasi sektor publik seperti organisasi pemerintahan (Morgan et al., 1996). Pemerintah berperan sebagai steward dengan fungsi pengelola sumber daya dan rakyat sebagai principals selaku pemilik sumber daya. Pemilik sumber daya (principals) mempercayakan pengelolaan sumber daya tersebut kepada pihak lain (steward) yang lebih capable. Kesepakatan yang terjalin antara pemerintah (steward) dan rakyat (principals) berdasarkan kepercayaan, kolektif sesuai tujuan organisasi. Pemerintah akan berusaha maksimal dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuan pemerintah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penelitian ini menggunakan teori stewardship karena dalam organisasi sektor publik, akuntabilitas merupakan kewajiban pemegang amanah (steward) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principals) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo, 2009:20). 
Dalam konteks pelaporan BMN, pemerintah yang bertindak sebagai steward mempunyai kewajiban menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna informasi keuangan pemerintah (principals).  Implementasi teori stewardship pada struktur organisasi pemerintahan pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali, dapat terjadi antara pimpinan dan staf penyusun laporan BMN. Pimpinan dapat berlaku sebagai principals yang mempercayakan pengelolaan BMN kepada staf penyusun laporan BMN selaku steward. Staf pengelola barang sebagai steward wajib menyampaikan laporan mengenai pengelolaan BMN kepada pimpinan secara periodik. Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut maka steward mengarahkan semua kemampuan dan keahliannya untuk dapat menghasilkan laporan BMN yang berkualitas.

Teori Atribusi (skripsi dan tesis)

 Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya (Ikhsan dan Ishak, 2008:55). Teori atribusi dikembangkan oleh Fritz Heider pada tahun 1958. Heider menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces) dan kekuatan eksternal (external forces). Kekuatan internal (internal forces) yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang/individu akan kemampuannya secara personal mampu memengaruhi kinerja serta perilakunya misalnya seperti sifat, karakter, sikap, kemampuan, keahlian maupun usaha. Kekuatan eksternal (external forces) yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar kendali individu misalnya seperti tekanan situasi, kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan. Penyebab perilaku dalam persepsi sosial dikenal sebagai dispositional attribution dan situational attribution (Gordon dan Graham, 2006). Disposition attribution atau penyebab internal mengacu pada aspek perilaku individu, sesuatu yang ada dalam diri seseorang seperti sifat pribadi, persepsi diri, kemampuan dan motivasi. Situational attribution atau penyebab eksternal mengacu pada lingkungan yang memengaruhi perilaku, seperti kondisi sosial, nilai sosial, pandangan masyarakat. Teori atribusi mengembangkan konsep cara-cara penilaian  manusia yang berbeda, bergantung pada makna yang dihubungkan dengan perilaku tertentu. Peneliti menggunakan teori atribusi karena ingin mengetahui dampak dari karakteristik personal maupun di luar personal penyusun laporan BMN terhadap kualitas laporan BMN. Karakteristik personal meliputi kompetensi yang dimiliki penyusun laporan BMN. Kompetensi SDM mencakup pengetahuan tentang regulasi dan peraturan perundang-undangan, kemampuan menggunakan sistem informasi dan perilaku dalam mengelola BMN. Selain karakteristik personal dari penyusun laporan BMN, kualitas laporan barang diduga dipengaruhi faktor-faktor yang berasal dari luar kendali penyusun laporan BMN itu sendiri. Faktor eksternal yang diduga memengaruhi kualitas laporan barang milik negara adalah penggunaan sistem informasi dan tekanan situasi pekerjaan berupa role stress yang dialami penyusun laporan BMN dalam menyelesaikan tugasnya.

Kecerdasan Emosional (skripsi dan tesis)

Kecerdasan emosional (emotional intelligence) merupakan kemampuan seseorang untuk mendeteksi serta mengelola petunjuk-petunjuk dan informasi emosional (Robbins dan Judge, 2008:335). Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Menurut Goleman (2006:318) kecerdasan emosional terdiri dari lima komponen utama yaitu kesadaran diri (self 19 awareness), pengendalian diri (self management), motivasi (motivation), empati (empathy), dan kemampuan sosial (social skill). Kesadaran diri merupakan kemampuan seseorang mengetahui apa yang dirasakan oleh diri sendiri dan menggunakannya utuk mengambil keputusan, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pengendalian diri merupakan kemampuan menangani emosinya sendiri, mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap kata hati untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari. Motivasi merupakan kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. 
Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain dan menimbulkan hubungan saling percaya serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu. Kemampuan sosial merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan menciptakan serta mempertahankan hubungan dengan orang lain, dapat mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dan bekerja sama dalam tim. Penelitian yang dilakukan oleh Dette (2008) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional jauh lebih penting dari pada keterampilan teknis dan kecerdasan intelektual (IQ) pada lingkungan kerja. Ciarrochi et al. (2002) menemukan bahwa individu dengan kecerdasan emosional tinggi cenderung beradaptasi dengan lebih baik terhadap stres yang mereka hadapi. Dette 20 (2008) juga menyatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosional tinggi akan melakukan pekerjaannya dengan tingkat stres yang lebih rendah. Ismail (2009) kemudian menyatakan bahwa jika karyawan mampu memanajemen emosi mereka dan karyawan lainnya dengan baik, maka akan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengatasi stres baik psikologis maupun fisiologis dalam mengimplementasikan pekerjaan mereka. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dan stres. Hubungan ini didasarkan pada asumsi bahwa emosi negatif dan stres yang terjadi, merupakan hasil dari hubungan disfungsional antara individu dengan lingkungan (Dette, 2008). Mayer et al. (2000) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan cara individu untuk mengintegrasikan emosi dengan pikiran dan perilakunya, untuk mengurangi pengalaman emosi negatif tersebut. 

Burnout (skripsi dan tesis)

 Burnout merupakan istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger (1974) dan telah banyak diriset dalam literatur- literatur pekerjaan di bidang kesehatan dan psikologi terapan (Almer dan Kaplan, 2002). Burnout merupakan representasi dari sindrom stres psikologis spesifik yang merupakan respon negatif yang timbul sebagai hasil dari tekanan pekerjaan atau stressor (Cordes dan Daugherty, 1993). Burnout juga didefinisikan sebagai suatu kondisi yang muncul dari waktu ke waktu dan ditandai dengan kelelahan emosional dan suatu kombinasi dari sikap-sikap negatif (Kreitner dan Kinichi, 2005:363). Maslach dan Jackson (1981) mendefinisikan burnout sebagai sindrom psikologis dari kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan prestasi kerja, yang muncul di antara individu-individu yang bekerja dengan orang lain. Maslach et al. (2001) menyatakan bahwa burnout merupakan bentuk dari stres pekerjaan, yang dihubungkan dengan kepuasan pekerjaan, komitmen organisasi, dan turnover. 
 Burnout terdiri dari tiga dimensi (Freudenberger, 1974; Cordes dan Daugherty, 1993; Maslach et al., 2001; Almer dan Kaplan, 2002; Murtiasri dan Ghozali, 2006) yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi (depersonalization), dan penurunan prestasi kerja (rreduce personal accomplishment). Kelelahan emosional merupakan sebuah dimensi dari burnout yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari tuntutan emosional dan psikologis yang berlebihan (excessive psychoemotional demands) yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan perhatian, kepercayaan, minat, dan semangat (Murtiasri dan Ghozali, 2006). Sebaliknya, tuntutan yang berlebihan yang berasal dari tugas-tugas kerja, yang membutuhkan solusi inovatif dan kreatif, dan gairah tingkat tinggi akan terjadi, ketika personil akuntansi bekerja untuk klien di bawah tekanan waktu (Fogarty et al., 2000). Fogarty et al. (2000) menyebutkan bahwa depersonalisasi merupakan kecenderungan untuk bersikap negatif dan tidak peduli dengan orang lain. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk memperlakukan seseorang sebagai objek yang tidak memiliki perasaan (Utami dan Nahartyo, 2013). Hal serupa juga dikemukakan oleh Almer dan Kaplan (2002) bahwa orang yang mengalami depersonalisasi merasa tidak ada satupun aktivitas yang dilakukannya bernilai atau berharga. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku yang tidak acuh, bersikap sinis, tidak berperasaan, dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain (Murtiasri dan Ghozali, 2006). Dette (2008) menambahkan bahwa orang yang mengalami depersonalisasi cenderung untuk memiliki sikap negatif dan sinis terhadap klien, rekan kerja, dan  organisasi. 
Hal ini dapat menyebabkan individu dapat menjauhkan diri dari lingkungan kerja dan rekan kerja, serta mempertimbangkan untuk meninggalkan profesi mereka. Penurunan prestasi kerja mengacu pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993; Yustrianthe, 2008; Utami dan Nahartyo, 2013). Dette (2008) menyatakan bahwa penurunan prestasi kerja mengacu pada individu yang mulai merasa dirinya tidak kompeten dan tidak memadai untuk melakukan pekerjaannya. Almer dan Kaplan (2002) dan Utami dan Nahartyo (2013) menyatakan bahwa penurunan prestasi kerja meliputi rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri. Kalbers et al. (2005) menyatakan bahwa ketiga dimensi burnout ini merupakan kondisi psikologis dengan pola unik tersendiri yang merupakan anteseden yang dihubungkan dengan role stressors

Role Overload (skripsi dan tesis)

Idris (2011) menyatakan bahwa role overload terjadi ketika harapan atas peran, lebih besar daripada kemampuan dan motivasi individu untuk melakukan tugas. Almer dan Kaplan (2002) mendefisinikan role overload sebagai banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan dalam jangka waktu yang tersedia. Menurut Schick et al. (1990) role overload terjadi ketika seorang karyawan memiliki terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan namun tidak sesuai dengan waktu yang tersedia dan kemampuan yang dimiliki. Role overload dialami ketika karyawan diharapkan untuk melakukan lebih banyak pekerjaan, pada waktu yang tersedia (Robbins dan Judge, 2008:372). Jones et al. (2010) menyatakan bahwa ketika karyawan harus melakukan beberapa tugas yang jika dikerjakan satu per satu, masih beralasan, namun jika   dikerjakan secara total dengan jangka waktu yang diberikan, dapat menimbulkan role overload. Banyaknya tugas yang diberikan pada jangka waktu yang terbatas atau pekerjaan yang diberikan terlalu sulit dan melebihi kemampuan, dapat menyebabkan seseorang menjadi lelah, baik secara fisik maupun pikiran. Yustrianthe (2008) menyatakan bahwa profesional yang mengalami role overload berkepanjangan dapat mengalami kecenderungan untuk mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang dicapainya

Role Ambiguity (skripsi dan tesis)

 Idris (2011) menyatakan bahwa role ambiguity muncul ketika individu tidak memiliki kewenangan yang jelas atau pengetahuan tentang cara melakukan pekerjaan yang ditugaskan. Almer dan Kaplan (2002) mendefinisikan role ambiguity sebagai tidak adanya informasi yang memadai yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi peran mereka secara memuaskan. Role ambiguity terjadi ketika ekspektasi peran tidak dipahami secara jelas dan karyawan tidak yakin dengan apa yang harus dilakukan (Robbin dan Judge, 2008:372). Maslach et al. (2001) dan Jones (2007) menyatakan role ambiguity terjadi ketika individu memiliki informasi yang tidak memadai untuk melaksanakan peran dan pekerjaannya dengan benar. Fogarty et al. (2000) menambahkan bahwa role ambiguity terjadi karena adanya harapan yang tidak jelas dari pemberi peran (yang menugaskan) untuk melaksanakan peran yang diberikan. Menurut Fanani et  al. (2008) role ambiguity adalah tidak cukupnya informasi yang dimiliki serta tidak adanya arah dan kebijakan yang jelas, ketidakpastian tentang otoritas, dan ketidakpastian sangsi dan ganjaran terhadap perilaku yang dilakukan. Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) pada Kantor Inspektorat hanya memiliki sedikit informasi yang memadai untuk melakukan pekerjaannya atau apa saja yang menjadi tanggung jawabnya dalam perannya saat itu. Selain itu, seringkali bekerja tanpa banyak arahan dari atasannya dan menghadapi situasi-situasi yang berbeda-beda setiap bulannya. Kurangnya informasi atau tujuan dan arah yang tidak jelas ini menyebabkan kelelahan mental, karena dalam kondisi role ambiguity dibutuhkan energi dan mental yang tinggi (Maslach dan Jackson, 1984).

Role conflict (skripsi dan tesis)

 Idris (2011) menyatakan bahwa role conflict mengacu pada ketidakcokan harapan dan tuntutan terkait dengan peran. Manurut Fanani dkk. (2008) role conflict merupakan suatu konflik yang timbul karena mekanisme pengendalian birokrasi organisasi yang tidak sesuai dengan norma, aturan, etika, dankemandirian profesional. Carnicer et al. (2004) menyatakan bahwa role conflict terjadi sebagai kejadian simultan dari dua atau lebih bentuk tekanan pada tempat kerja, dimana pemenuhan dari satu peran membuat pemenuhan terhadap peran lain lebih sulit. Murtiasri dan Ghozali (2006) menyatakan bahwa role conflict merupakan kejadian yang simultan dari dua tekanan atau lebih dan ketaatan pada suatu hal akan memunculkan dilema karena sulit untuk menaati yang lainnya. Viator (2001) menyatakan bahwa role conflict muncul ketika seorang individu diharapkan untuk bertindak dengan cara yang bertentangan dengan kebutuhannya, kapasitas, dan nilainilainya. Role conflict menciptakan harapan yang mungkin sulit diselesaikan atau dipenuhi (Robbins dan Judge, 2008:372). Dapat ditarik kesimpulan bahwa role conflict terjadi karena adanya ketidaksesuaian harapan atas peranperan yang dijalani individu, atau harapan atas peran yang dijalani individu  bertentangan dengan kebutuhan, kapasitas, dan nilai - nilainya, sehingga timbul dilema dan kesulitan dalam memenuhi harapan-harapan tersebut. Utami dan Nahartyo (2013) menyatakan bahwa dalam lingkungan profesi auditor, role conflict muncul dari dua perintah berturut-turut tetapi tidak konsisten. Auditor memiliki dua peran, sebagai anggota profesi harus bertindak sesuai dengan kode etik dan hukum, dan sebagai bagian dalam sebuah pemerintahan. Peran ganda tersebut menyebabkan aparat pengawas intern pemerintahan sering berada pada posisi yang bertentangan. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya dilema yang mengarah pada konsekuensi negatif atau disfungsional yaitu burnout

Role Stressors (skripsi dan tesis)

Penelitian ini berfokus pada role stressors sebagai penyebab stres di lingkungan organisasi. Stressor merupakan faktor – faktor lingkungan yangmenimbulkan stres (Kreitner dan Kinichi, 2005:353). Role stressors dapat didefinisikan sebagai tekanan-tekanan yang dialami individu sebagai akibat dari faktor-faktor organisasi atau spesifikasi pekerjaan, dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan kendala-kendala yang dibebankan pada mereka (Idris, 2011). Penelitian ini berfokus pada role stressors karena pemeriksa dalam melaksanakan tugasnya, berinteraksi dengan banyak pihak, baik dari dalam maupun dari luar organisasi untuk mendapatkan bukti-bukti audit terkait pengambilan keputusan (boundary spanning activities). Agustina (2009) menyatakan bahwa individu yang berada pada situasi boundary spanning sangat berpotensi mengalami tekanan akibat peran yang dijalaninya. Para peneliti setuju bahwa role stressors terdiri dari role conflict, role ambiguity, dan role overload (Idris, 2011)

Sumber Potensial Stres (skripsi dan tesis)

 
Stres yang dialami seseorang dapat dipicu oleh tiga sumber potensial yaitu lingkungan, organisasi, dan pribadi (Robbins dan Judge, 2008:370). Faktor lingkungan antara lain adanya ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan perubahan ekonomi. Perubahan dalam situs bisnis dapat menciptakan ketidakpastian ekonomi. Ketidakpastian ini akan mengakibatkan orang-orang merasa cemas mengenai kelangsungan pekerjaan mereka, sehingga dapat memicu stres. Ancaman dan ketidakstabilan politik yang mungkin menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak pasti sehingga dapatmemicu stress di masyarakat. Perubahan teknologi, inovasi-inovasi baru, otomatisasi, sistem robotik, dan komputer, dapat membuat keterampilan dan pengalaman seseorang menjadi usang dengan cepat. Perubahan ini merupakan ancaman bagi banyak orang dan membuat mereka stres (Robbins dan Judge, 2008). 
Faktor organisasional antara lain tekanan tugas, tekanan peran, dan tekanan antarpersonal. Tekanan tugas meliputi desain pekerjaan individual (otonomi, kegaraman tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, tata letak fisik pekerjaan. Pekerjaan yang menuntut kecepatan dan pentingnya pelayanan untuk pelanggan dapat memicu stres karena pekerjaan tersebut menuntut faktor emosional dan kesiapan untuk menghadapi pelanggan, walaupun dengan suasana hati yang sedang buruk. Pemicu tekanan akibat peran yang dijalani (role stressors) terdiri dari role conflict, role ambiguity, dan role overload dapat memicu timbulnya. Tekanan antarpersonal seperti tidak adanya dukungan dari kolega serta hubungan yang buruk antar rekan kerja dapat menimbulkan stres terutama di antara karyawan dengan kebutuhan sosial tinggi (Robbins dan Judge, 2008). Faktor personal seperti persoalan keluarga, persoalan ekonomi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang, dapat menjadi sumber potensial stres. Hubungan pernikahan, retaknya hubungan, dan pola asuh anak-anak, dapat memicu stres yang kemudian terbawa sampai ke lingkungan pekerjaan. Pola hidup dan manajemen keuangan yang kurang baik dalam kehidupan pribadi, serta karakteristik seseorang yang memiliki kecenderungan untuk cepat mengalami stres, juga disimpulkan menjadi faktor-faktor penyebab potensial dari stres (Robbins dan Judge, 2008)

Affective Event Theory (AET) (skripsi dan tesis)

 
Afective events theory (AET) merupakan sebuah model yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa di tempat kerja menyebabkan reaksireaksi emosional pada karyawan, yang kemudian mempengaruhi sikap dan perilaku di tempat kerja (Robbin dan Judge, 2008:332). Dapat disimpulkan bahwa AET menunjukkan bahwa karyawan bereaksi secara emosional pada hal-hal yang terjadi pada mereka di tempat kerja dan bahwa reaksi ini mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja mereka. Kerja emosional merupakan situasi dimana seorang karyawan mengekspresikan emosi-emosi yang diinginkan secara organisasional selama transaksi selama transaksi antarpersonal ditempat kerja. Namun, terkadang karyawan harus menunjukkan satu emosi sementara pada saat yang bersamaan mengalami emosi yang lain. Ketidaksesuaian antara emosi yang dirasakan dan emosi yang ditampilkan (disonansi emosional) dapat berakibat buruk bagi seseorang. Jika dibiarkan, perasaan seperti frustasi, kemarahan, dan kebencian, pada akhirnya dapat menyebabkan kelelahan emosional dan kejatuhan mental (Robbins dan Judge, 2008:328). Peristiwa-peristiwa di tempat kerja dapat memicu reaksi positif atau negatif. Namun, kepribadian dan suasana hati karyawan memengaruhi mereka untuk merespon peristiwa tersebut dengan intensitas yang lebih besar   atau lebih kecil. Emosi-emosi tersebut dapat memengaruhi kinerja dan kepuasan seperti komitmen organisasional, tingkat usaha, niat untuk berhenti bekerja, dan penyimpangan di tempat kerja (Robbins dan Judge, 2008:332).

Teori Peran (Role Theory) (skripsi dan tesis)

Teori peran (role theory) dikemukakan oleh Khan et al. (1964). Menurut Khan et al. (1964), teori peran merupakan penekanan sifat individual sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku yang sesuai dengan posisi yang ditempati di masyarakat. Lingkungan seseorang terdiri dari organisasi formal atau kelompok dan kehidupan dari individu dapat digambarkan oleh susunan peran yang individu mainkan dalam organisasi atau kelompok ini (Jones et al., 2010). Peran merupakan sebuah bagian yang dijalankan orang ketika berinteraksi dengan orang lain. Setiap peran memiliki identitas yang melekat padanya, yang mendefinisi pemegang peran, siapa dirinya, dan bagaimana dia harus berperilaku dalam situasi tertentu. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, dosen, walikota, dan lain sebagainya, diharapkan berperilaku sesuai dengan peran yang dijalaninya. Peran yang dimainkan oleh seseorang dapat menjadi faktor penyebab stres karena seseorang dalam kehidupannya tidak hanya memainkan satu peran. Harapan dari lingkungan di sekitar individu atas peran yang dijalankannya, akan memberikan tekanan-tekanan yang dapat memengaruhi bagaimana individu bertindak. Stres dapat terjadi jika individu sulit menginterpretasikan harapan-harapan tersebut, terdapat ketidakjelasan harapan atas peran yang dijalankannya, atau terdapat konflik antara harapan atas peran yang satu dengan peran yang lainnya. Teori peran juga 9 10 menyatakan bahwa ketika perilaku yang diharapkan oleh individu tidak konsisten, maka mereka dapat mengalami stres, depresi, merasa tidak puas, dan kinerja mereka akan kurang efektif daripada jika pada harapan tersebut tidak mengandung konflik (Hutami dan Chariri, 2011).

Pengaruh komitmen organisasi terhadap intensi turnover (skripsi dan tesis)

Turnover intention mengarah pada kenyataan akhir berupa keluarnya karyawan pada saat tertentu. Turnover intention dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit perusahaan, pemberhentian atau kematian anggota perusahaan. Oleh sebab itu, tingginya tingkat turnover iniakan menjadi masalah yang berarti bagi perusahaan, dimana proses rekrutmen yang mereka lakukan pada akhirnya akan menjadi sia-sia karena staf yang direkrut tersebut lebih memilih pekerjaan baru di perusahaan lain. Chen (2006) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada turnover intention adalah komitmen organisasi. Cohen   dan Ronit (2007) menyatakan bahwa komitmen keberlanjutan memiliki hubungan dengan turnover intention, karena terkait dengan biaya yang dikeluarkan. Dalam dunia bisnis, komitmen organisasi merupakan isu yang sangat penting, dan oleh karenanya perusahaan memasukkan unsur komitmen organisasi sebagai salah satu seseorang untuk dapat bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Hasil penelitian Jehanzeb et al. (2013) menunjukkan adanya hubungan negatif antara komitmen organisasi dengan turnover intention. Seseorang yang memperoleh kepuasan kerja dalam sebuah perusahaan, maka komitmen yang dimilikinya pun akan tinggi terhadap perusahaan tersebut (Hsiao dan Chen, 2012). Tingginya tingkat komitmen dukungan karyawan dan pengembangan komitmen karyawan pada perusahaan akan mengurangi turnover intention (Hussain dan Asif, 2012)

Pengaruh kepuasan kerja terhadap intensi turnover (skripsi dan tesis)

Kepuasan kerja pada karyawan memiliki arti yang sangat penting bagi perusahaan. Karyawan yang merasa puas pastinya akan bertahan di perusahaan itu dan mampu bekerja secara produktif. Ketidakpuasan kerja telah sering diidentifikasikan sebagai suatu alasan yang penting yang menyebabkan individu meninggalkan pekerjaannya. Kepuasan karyawan 32 dalam bekerja, akan berpengaruh terhadap berbagai faktor. Martoyo (2007 : 151) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi keinginan untuk berpindah kerja, jika karyawan tidak puas dengan pekerjaannya, maka besar keinginan mereka untuk pindah kerja. Walaupun demikian, tingkat kepuasan kerja yang tinggi tidak menjamin karyawan yang bekerja di organisasi tersebut tidak ingin pindah. Penelitian Waspodo (2013) menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover intention karyawan. Purna (2012) menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap intensi turnover 

Dampak Turnover (skripsi dan tesis)

Turnover merupakan petunjuk kestabilan karyawan. Semakin tinggi turnover, berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan. Tentu hal ini   akan merugikan perusahaan. Sebab, apabila seorang karyawan meninggalkan perusahaan akan membawa berbagai biaya seperti : a. Biaya penarikan karyawan. Menyangkut waktu dan fasilitas untuk wawancara dalam proses seleksi karyawan, penarikan dan mempelajari penggantian. b. Biaya latihan. Menyangkut waktu pengawas, departemen personalia dan karyawan yang dilatih. c. Apa yang dikeluarkan buat karyawan lebih kecil dari yang dihasilkan karyawan baru tersebut. d. Tingkat kecelakaan para karyawan baru, biasanya cenderung tinggi. e. Adanya produksi yang hilang selama masa pergantian karyawan. f. Peralatan produksi yang tidak bisa digunakan sepenuhnya. g. Banyak pemborosan karena adanya karyawan baru. h. Perlu melakukan kerja lembur, kalau tidak akan mengalami penundaan penyerahan (Ranupandojo dan Husnan, 2005: 37). Turnover yang tinggi pada suatu bidang dalam suatu organisasi, menunjukkan bahwa bidang yang bersangkutan perlu diperbaiki kondisi kerjanya atau cara pembinaannya. Tingkat turnover intentions bisa dinyatakan dengan berbagai rumusan. Umumnya laju turnover intentions dinyatakan dalam persentase yang mencakup jangka waktu tertentu. Harnoto (2005:4) mencontohkan misal suatu perusahaan memiliki rata-rata 800 tenaga kerja per bulan, di mana selama itu terjadi 16 kali karyawan keluar (accession) dan 24 kali pemecatan (separation). Maka accession  rate adalah 16/800 x 100% = 2%, sedang separation rate adalah 24/800 x 100% = 3%. Dengan demikian tingkat replacement (penggantian) atau replacement rate adalah sama dengan accession rate yakni 2%. Sebab replacement (penggantian) atau replacement rate selalu harus seimbang dengan accession rate-nya. Hal ini berarti bahwa dengan keluarnya seorang pegawai/karyawan misalnya, harus segera diganti dengan seorang pegawai/karyawan baru sebagai penggantian (replacement). Tingkat replacement tersebut sering pula disebut net labour turnover, yang menekankan pada biaya perputaran tenaga kerja untuk menarik dan melatih karyawan pengganti. Perpindahan karyawan (employee turnover) dianggap penting untuk diperhatikan karena akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi perusahaan. Seperti dikatakan oleh Bao dalam Riyanto (2008) yang menyatakan bahwa turn over dianggap penting untuk diperhatikan karena berpotensi menimbulkan biaya, terutama jika tingkat turn over yang terjadi relatif tinggi. Suwandi dan Indriantono dalam Riyanto (2008 : 32) menambahkan bahwa turn over yang terjadi pada karyawan inti (functional) yang mempunyai kinerja tinggi, dapat menyebabkan timbulnya potensi biaya seperti biaya pelatihan, biaya rekruitmen dan pelatihan kembali. Di samping itu turn over mengganggu aktivitas dan produktivitas perusahaan.

Indikasi Turn Over (skripsi dan tesis)

Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan turnover intentions karyawan dalam sebuah perusahaan. a. Absensi yang meningkat Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya.  b. Mulai malas bekerja Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan. c. Peningkatan terhadap pelanggaran tatatertib kerja Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya. d. Peningkatan protes terhadap atasan Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan atau kebutuhan karyawan. e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.