Konflik peran didefinisikan oleh Leigh et al. (dalam Amilin dan Dewi,
2008) menyatakan bahwa konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan
harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara
tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai
akibatnya, seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana
terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Robbins (2006) menyatakan bahwa
role conflict (konflik peran) merupakan suatu situasi dimana seorang individu
dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan. Konflik peran tersebut akan
muncul apabila individu menemukan bahwa patuh pada tuntutan satu peran
menyebabkan dirinya kesulitan mematuhi tuntutan peran yang lainnya.
Auditor internal juga dapat mengalami personal role conflict, ketika
diminta untuk berperan dalam berbagai cara yang tidak konsisten dengan nilainilai pribadi mereka atau diharuskan bertindak melawan serta melaporkan
pelanggaran rekan kerja mereka. Hal itu dikemukakan dalam penelitian Ahmad
dan Taylor (2009) bahwa nilai pekerjaan utama auditor internal memiliki
komitmen pribadi untuk melatih independensi, dipengaruhi oleh sifat dan sejauh
mana konflik peran mereka. Dengan demikian auditor internal dapat berdampak
negatif pada kemampuan mereka untuk melaksanakan fungsi termasuk
kemampuan untuk menggunakan independensi. Hasil penelitian Ahmad dan
Taylor (2009) konflik peran berpengaruh negatif signifikan terhadap komitmen
independensi auditor internal. Dimensi yang berpengaruh paling besar terhadap
komitmen independensi adalah konflik antara nilai personal auditor dengan
persyaratan dan ekspektasi manajemen dan profesi audit internal (dimensi konflik
peran) serta wewenang dan tekanan waktu yang diamali auditor internal (dimensi
ambiguitas peran).
Berdasarkan teori Higiene yang dikembangkan juga oleh Herzberg, yaitu
apabila kondisi kerja memadai seperti konflik peran yang dihadapi kecil, maka
dapat menentramkan pekerjaan seperti meningkatnya sikap komitmen
independensi. Dengan kata lain, meningkatnya konflik peran yang dialami oleh
seorang auditor internal akan berakibat pada turunnya perusahaan tersebut lebih
mencurahkan tenaganya untuk mengatasi konflik peran yang dihadapi daripada
menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
Minggu, 07 Juni 2020
Pengaruh Role Conflict terhadap Komitmen Independensi Audit Internal (skripsi dan tesis)
Pengaruh Role Ambiguity terhadap Komitmen Independensi Audit Internal (skripsi dan tesis)
Ambiguitas peran didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana informasi
yang berkaitan dengan suatu peran tertentu kurang atau tidak jelas (Kahn etal.
dalam Beauchamp et al. , 2004). Rizzo et al. (1970 dalam Michael et al. , 2009)
menyatakan bahwa ambiguitas peran menunjukkan ambivalensi saat apa yang
diharapakan tidak jelas karena kekurangan informasi mengenai suatu peran dan
apa yang dibutuhkan dalam suatu tugas.
Menurut Hall (2004) dalam Rahman et al. (2007), ketidakjelasan peran
atau role ambiguity dianggap sebagai titik awal dari pemberdayaan psikologis dari
individu. Individu yang tidak memiliki tanggung jawab yang jelas dan tidak tahu
bagaimana untuk mencapai hal tersebut, maka mereka cenderung tidak
mempercayai bahwa mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan
kemampuan untuk mengerjakan sebuah tugas dengan layak atau merasa kurang
layak pada pekerjaannya. Agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, para
auditor memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang
diharapkan untuk mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka lakukan.
Penelitian Angga Prasetyo (2011) bahwa konflik peran memiliki efek
negatif yang signifikan pada komitmen independensi auditor internal, dan
ambiguitas peran (role ambiguitas) memiliki berpengaruh negatif signifikan
terhadap komitmen terhadap independensi auditor internal, karena apabila
individu tidak jelas akan peran utama mereka hingga kurangnya informasi yang
dibutuhkan bagi kesuksesan kinerja peran tersebut akan mengakibatkan kinerja
menurun. Ambiguitas peran dapat menyebabkan rentan terhadap ketidakpuasaan
kerja hingga kejenuhan yang mengakibatkan turunnya komitmen independensi.
Dalam penelitian Schuller et al., Beehret al., dan Babin (dalam Koustelios,
2004), ditemukan bahwa ambiguitas peran mengakibatkan kepuasan kerja yang
rendah, absenteeism, low involvement, dan tekanan kerja. Ambiguitas peran dapat
menyebabkan perusahaan rentan terhadap ketidakpuasan kerja hingga kejenuhan
sehingga mengakibatkan turunnya komitmen independensi audior internal.
Sedangkan dalam teori ambiguitas peran berhubungan dengan kurangnya
keyakinan bahwa seorang karyawan merasakan tentang tanggungjawabnya dan
wewenang dalam perusahaan (Lawrence et a1,2008). Menilai peran dari profesi
internal auditor itu apakah terdapat unsur ambiguitas atau tidak, internal auditor
diminta untuk menyatakan tingkat kejelasan yang mereka alami dalam tentang
ambiguitas peran menjelaskan bahwa ambiguitas peran dalam beberapa sub
bidang tidak menyebabkan auditor internal merasakan komitmen independensi
mereka melemah, akan tetapi dalarn subbidang yang lainnya memiliki pengaruh
terhadap komitmen independensi.
Dimensi atau Indikator Independensi Auditor Internal (skripsi dan tesis)
Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi
untukmemenuhi kewajiban profesionalismenya; memberikan opini yang objektif,
tidakbias; dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa adanya; bukan
melaporkansesuai keinginan eksekutif atau lembaga (Sawyer, 2009:35). Menurut
Arens, Elder,dan Beasley (2008: 111) dalam independensi dibagi menjadi dua,
yaitu independensidalam fakta (independence in fact) ada apabila auditor
senyatanya mampumempertahankan sikap tidak bias sepanjang audit, dan
independensi dalampenampilan (independence in appearance) adalah hasil dari
intepretasi lain atasindependensi ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini yang
menjadi indikator untukvariabel independensi auditor internal adalah
independence in fact dan independencein appearance.
Dimensi atau indikator dari pelaksanaan independensi auditor internal
menurut Nurjannah (2008) adalah sebagai berikut:
1. Kemandirian Auditor
Kemandirian para pemeriksa internal dapat memberikan penilaianpenilaianyang tidak memihak dan tanpa prasangka, yang mana sangat
diperlukan ataupenting bagi pemeriksaan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat
diperolehmelalui status organisasi dan sikap objektifitas dari para pemeriksa
internal(auditor internal).
a. Kemandirian Auditor Dilihat Dari Status Organisasi.
Kemandirian auditor dilihat dari status organisasi adalah bahwa status
organisasi dari bagian internal audit haruslah memberikan keleluasaan
untuk memenuhi atau menyelesaikan tanggung jawab pemeriksaan yang
diberikan kepadanya. Internal audit haruslah mendapat dukungan dari
manajemen senior dan dewan, sehingga mereka akan mendapatkan suatu
kerja sama dari pihak yang diperiksa dan dapat menyelesaikan
pekerjaannya secara bebas dari berbagai campur tangan pihak lain.
b. Kemandirian Auditor Dilihat Dari Sikap Objektifitas.
Kemandirian auditor dilihat dari sikap objektifitas adalah sikap mental
yang bebas dan yang harus dimiliki oleh pemeriksa internal (auditor
internal) dalam melaksanakan pemeriksaan. Auditor internal tidak boleh
menempatkan penilaian sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan
secara lebih rendah dibandingkan dengan penilaian yang dilakukan oleh
pihak lain atau menilai sesuatu berdasarkan hasil penilaian orang lain.
Bukan hanya penting bagi auditor internal untuk memelihara sikap mental
independen dan tanggung jawab mereka, akan tetapi penting juga bahwa
pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan terhadap independensi
tersebut.
2. Independensi dalam Kenyataan (Independence In Fact)
Independensi dalam kenyataan adalah apabila dalam kenyataannya
auditormampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang
pelaksanaanauditnya.
3. Independensi dalam Penampilan (Independence In Appearance)
Independensi dalam penampilan adalah hasil penilaian atau interpretasi
pihaklain terhadap independensi auditor dalam menjalankan tugasnya. Mautz
danSharaf (Sawyer, 2009:35), dalam karya terkenal mereka,”The Philosophy
ofAuditing” (Filosofi Audit), memberikan beberapa indikator
independensiprofesional. Indikator tersebut memang diperuntukkan bagi
akuntan publik,tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor
internal yang inginbersikap objektif. Indikator- indikatornya adalah sebagai
berikut:
a. Independensi dalam Program Audit
1) Bebas dari intervensi manajerial atas program audit.
2) Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit.
3) Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang
memang disyaratkan untuk sebuah proses audit.
b. Independensi dalam Verifikasi
1) Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan
karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan.
2) Mendapatkan kerja sama yang aktif dari karyawan manajemen selama
verifikasi audit.
3) Bebas dari segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas
yang diperiksa atau membatasi pemerolehan bahan bukti.
4) Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit.
c. Independensi dalam Pelaporan
1) Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari
fakta-fakta yang dilaporkan.
2) Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan
dalam laporan audit.
3) Menghindari penggunaan kata-kata yang menyesatkan baik secara
sengaja maupun tidak sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan
rekomendasi dalam interpretasi auditor.
4) Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor
mengenai fakta atau opini dalam laporan audit internal.
Komitmen Independensi (skripsi dan tesis)
Auditor Internal Selain komitemen yang berasal dari manajemen puncak, Menurut Roufiq (2010) mengungkapkan bahwa ada langkah awal dalam membangun independensi auditor internal adalah komitmen.Pengertian Komitmen menurut Hornby (Purba 2009:72) adalah suatu sikap kerja (job attitude) atau keyakinan yang merupakan cerminan kekuatan yang relatif dari keberpihakan, keterlibatan individu pada suatu organisasi dan kerelaan untuk bekerja keras dan memberikan energi serta waktu untuk sebuah pekerjaan (job) atau aktivitas.Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan perwujudan dan kerelaan seseorang dalam bentuk pengikatan dengan diri sendiri (individu) atau dengan organisasi yang digambarkan oleh besarnya usaha (tenaga, waktu dan pikiran) untuk mencapai tujuan pribadi dan visi bersama. Menurut Subiyanto (2013) Komitmen dari auditor internal terhadap independensi ini harus dituangkan dalam kode etik internal auditperusahaan dan dilaksanakan secara konsekwen serta tidak boleh memiliki kepentingan terhadap obyek atau aktivitas yang diauditnya, jika internal auditor memiliki keterkaitan dengan obyek audit yang mengakibatkan secara fakta auditor tidak independen. Komitmen terhadap independensi juga harus diimplementasikan oleh internal auditor dalam menetapkan metode, cara, teknik, dan pendekatan audit yang dilaksanakan. Kebebasan dan sikap mental internal auditor ini akan tercermin dari laporan internal audit yang lengkap, obyektif serta berdasarkan analisa yang cermat dan tidak memihak. Untuk mendukung independensi dan sikap mental obyektif ini, 2 hal utama yang perlu dilaksanakan adalah rotasi secara berkala penugasan pekerjaan internal audit dan review secara cermat terhadap laporan hasil internal audit serta prosesnya
Pengertian Independensi (skripsi dan tesis)
Arens dan Loebbecke diterjemahkan oleh Jusuf (2009) tentang independen
bahwa:
Independensi merupakan tujuan yang harus selalu diupayakan, dan itu
dapat dicapai sampai tingkat tertentu, misalnya sekalipun auditor dibayar
oleh klien, ia harus tetap memiliki kebebasan yang cukup untuk
melakukan audit yang andal.
Sedangkan dalam Kode Etik Akuntan Publik dalam Christiawan (2002:83)
disebutkan bahwa”independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang
akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan
tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas”.
Adapun penjelasan tentang independensi menurut Mautz dan Sharaf
(2008) menyatakan bahwa :
Independensi merupakan suatu standar auditing yang penting, karena opini
akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan
keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak
independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan
tambahan apapun.
Dalam buku Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP, 2009) seksi 220 PSA
No. 04 alinea 2, dijelaskan bahwa”Independensi berarti tidak mudah dipengaruhi,
karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum”. Sedangkan
menurut Ralph Estes menyatakan pendapat mengenai”independensi adalah
sebagai kondisi keterbukaan, netral, untuk atau terhadap pihak lain”.
Sawyer diterjemahkan olehDesi Adhariani (2009:35) mengungkapkan
bahwa:
Auditor internal yang profesional harus memiliki independensi untuk
memenuhi kewajiban profesionalismenya; memberikan opini yang
objektif, tidak bias; dan tidak dibatasi; dan melaporkan masalah apa
adanya; bukan melaporkan sesuai keinginan eksekutif atau lembaga.
Adapun pengertian dari independensi selalu dihubungkan dengan
objektifitas dalam internal auditor seperti yang dijelaskan oleh IIA dalam
Mutchler (2003:235) sebagai berikut:
Objectivity ia a mental attitude which internal auditors should maintain
while performing engangements. The internal auditors should have an
impartial, un-biasedattitude and avoid conflict of interest situations, as
that would prejudice his/her desired characteristic of the environment in
which the assurance services are performed by the individual orteam, it is
desirable for the individual or team to be free from material conflicts of
interest that threaten objectivity.
Dengan arti : Objektifitas adalah sikap mental yang harus dimiliki oleh
auditor internal dalam melaksanakan pekerjaannya. Auditor internal harus
bersikap tidak memihak, berperilaku yang tidak bias dan menghindari
situasi konflik kepentingan yang akan membuat auditor internal dapat
melaksanakan penilaian yang sesuai dengan kenyataan. Independensi
merupakan karakteristik yang diperoleh dari lingkungan sekitar dalam
pelaksanaan assurance service yang dilakukan oleh satuan kerja dalam tim
maupun individu yang harus bebas dari konflik kepentingan yang dapat
mengancam penilaian yang objektif auditor internal.
Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan
siapapun meskipun ia bekerja atau mengabdi pada perusahaan, sebab bilamana
tidak demikian halnya, bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang ia
miliki, maka dengan otomatis ia akan kehilangan sikap independensi yang justru
paling penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.
Berbagai definisi independensi telah disampaikan oleh para ahli dapat
disimpulkan, sebagai berikut:
1. Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi auditor untuk
menilai kewajaran informasi yang disajikan oleh manajemen kepada pemakai
laporan keuangan.
2. Independensi diperlukan oleh auditor untuk memperoleh kepercayaan dari
klien maupun dari masyarakat, khususnya bagi para pemakai laporan
keuangan.
3. Independensi diperlukan agar dapat kreadibilitas laporan keuangan yang
disajikan oleh pihak manajemen.
Pengertian Komitmen (skripsi dan tesis)
Pengertian komitmen menurut Hornby dalam Purba (2009:72) adalah
Suatu sikap kerja (job attitude) atau keyakinan yang merupakan cerminan
kekuatanyang relatif dari keberpihakan, keterlibatan individu pada suatu
organisasi dan kerelaan untuk bekerja keras dan memberikan energi serta
waktu untuk sebuah pekerjaan (job) atau aktivitas.
Adapun pengertian komitmen menurut Purba (2009 : 73) mengungkapkan
bahwa”komitmen merupakan suatu keadaan di mana individu telah mengikat
tindakannya terhadap keyakinan yang sangat mendukung kegiatan dan
keterlibatannya sendiri”.
De Porter dan Hernacki dalam Sutarno dan Salimi Nurhadi (2006:67)
menyatakan bahwa komitmen adalah tekad yang kuat, yang mendorong seseorang
untuk mewujudkannya, terlepas dari beberapa rintangan yang mungkin dihadapi.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen
merupakan perwujudan dan kerelaan seseorang dalam bentuk pengikatan dengan
diri sendiri (individu) atau dengan organisasi yang digambarkan oleh besarnya
usaha (tenaga, waktu dan pikiran) untuk mencapai tujuan pribadi dan visi
bersama. Apabila seseorang itu mempunyai komitmen, maka ia akan selalu
bekerja dengan penuh semangat dan sungguh-sungguh, serta akan berusaha
menjalin kerjasama yang lebih baik antar sesama perusahaan.
Selain itu, apabila seseorang mempunyai tanggung jawab yang tinggi
terhadap pekerjaannya maka dapat diindikasikan seseorang tersebut mempunyai
komitmen yang tinggi pula dan untuk mencapai tujuan pekerjaan yang telah
ditetapkan suatu perusahaan, maka seseorang akan dituntut untuk memiliki
komitmen yang tinggi yang merupakan wujud tanggung jawabnya terhadap
pekerjaan.
Secara konseptual terdapat tiga faktor yang mempengaruhi komitmen
menurut Minner dalam Purba (2009: 73), yaitu:
1. Suatu keyakinan yang kuat dan menerima tujuan-tujuan serta nilai-nilai
organisasi
2. Kemauan untuk melaksanakan upaya untuk kepentingan organisasi
3. Adanya suatu keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaan dalam
organisasi
Standar Profesi Audit Internal (skripsi dan tesis)
Standar profesional audit internal yang diterbitkan oleh Konsorsium
Organisasi Profesi Audit Internal dalam Pusdiklatwas BPKP (2008) membagi
standar menjadi 2 kelompok, meliputi:
1. Standar Atribut
a. Tujuan, kewenangan dan tanggung jawab harus dinyatakan secara formal,
konsisten serta disetujui pimpinan dan dewan pengawas organisasi.
b. Independen dan objektif harus dimiliki auditor internal dalam
melaksanakan tugasnya.
c. Keahlian dan kecermatan profesional harus dimiliki dalam melaksanakan
penugasan, seperti pengetahuan, keterampilan dan kompetensi dalam
menjalankan tanggung jawab.
d. Program quality assurance fungsi audit internal harus dikembangkan dan
dipelihara dengan terus memonitor efektivitasnya.
2. Standar Kinerja
a. Pengelolaan Fungsi Audit Internal
Dilakukan secara efektif dan efisien agar memberi nilai tambah bagi
organisasi, dengan melakukan perencanaan, komunikasi dan persetujuan,
pengelolaan sumber daya, penetapan kebijakan dan prosedur, koordinasi
yang memadai dan menyampaikan laporan berkala pada pimpinan dan
dewan pengawas.
b. Lingkup Penugasan
Fungsi audit internal melakukan evaluasi dan memberikan kontribusi
terhadap peningkatan proses pengelolaan risiko, pengendalian dan
governance, dengan menggunakan pendekatan yang sistematis, teratur dan
menyeluruh.
c. Perencanaan Penugasan
Auditor internal harus mengembangkan dan mendokumentasikan rencana
untuk setiap penugasan yang mencakup ruang lingkup, sasaran, waktu dan
alokasi sumberdaya. Di sini auditor internal harus melakukan
pertimbangan perencanaan, menentukan sasaran penugasan, menetapkan
ruang lingkup penugasan, menentukan sumber daya dan menyusun
program kerja yang menetapkan prosedur untuk mengidentifikasi,
menganalisis, mengevaluasi dan mendokumentasikan informasi selama
penugasan.
d. Pelaksanaan Penugasan
Auditor internal harus mengidentifikasi informasi yang handal dan
relevan, mendasarkan kesimpulan dan hasil penugasan pada analisis dan
evaluasi yang tepat, mendokumentasikan informasi yang relevan, dan
supervisi penugasan dengan tepat untuk memastikan tercapainya sasaran,
terjaminnya kualitas serta meningkatnya kemampuan staf.
e. Komunikasi Hasil Penugasan
Auditor internal harus mengkomunikasikan hasil penugasan secara tepat
waktu yang memenuhi: kriteria komunikasi yang tepat; kualitas
komunikasi yang akurat, objektif, jelas, ringkas, konstruktif, lengkap dan
tepat waktu; pengungkapan atas ketidakpatuhan terhadap standar yang
dapat mempengaruhi penugasan tertentu dan menyampaikan hasil
penugasan pada pihak yang berhak.
f. Pemantauan Tindak Lanjut
Menyusun dan menjaga sistem untuk memantau tindak lanjut hasil
penugasan serta menyusun prosedur tindak lanjut untuk memantau dan
memastikan pelaksanaan tindak lanjut secara efektif oleh manajemen.
g. Resolusi Penerimaan Risiko oleh Manajemen
Mendiskusikan masalah terkait risiko risidual yang tidak dapat diterima
organisasi, jika tidak menghasilkan keputusan penanggung jawab fungsi
auditor internal dan manajemen senior harus melapor pada pimpinan dan
dewan pengawas organisasi untuk mendapat resolusi.
Fungsi dan Tanggung Jawab Audit Internal (skripsi dan tesis)
Fungsi audit internal menurut Mulyadi (2014) sebagai berikut:
(1) Pemeriksaan (audit) dan penilaian terhadap efektivitas struktur
pengendalian intern dan mendorong penggunaan struktur pengendalian
intern yang efektif dengan biaya minimum. (2) Menentukan sampai
seberapa jauh pelaksanaan kebijakan manajemen puncak dipatuhi. (3)
Menentukan sampai sejauh manakekayaan perusahaan
dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari segala macam kerugian. (4)
Menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian
dalam perusahaan. (5) Memberikan rekomendasi perbaikan kegiatankegiatan perusahaan.
Sedangkan menurut Hiro Tugiman (2008:11) adalah :
Fungsi audit internal adalah suatu fungsi penilaian bebas dalam suatu
organisasi, guna menelaah atau mempelajari dan menilai kegiatan-kegiatan
perusahaan untuk memberikan saran-saran kepada manajemen, agar
tanggung jawab dapat dilaksanakan secara efektif.
Tanggung jawab seorang auditor internal dalam Standar Profesi Akuntan
Publik yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (2012:322.1) adalah:
Auditor internal bertanggung jawab menyediakan jasa analisis dan
evaluasi, memberikan keyakinan dan rekomendasi dan informasi lain
kepada manajemen entitas dan bagian komisaris atau pihak lain yang
setara wewenang dan tanggung jawabnya. Untuk memenuhi
tanggungjawabnya tersebut auditor intern mempertahankan
objektivitasnya yang berkaitan dengan aktivitas yang diauditnya.
Tujuan dan Ruang Lingkup Audit Internal (skripsi dan tesis)
Ada beberapa tujuan audit internal menurut Hiro Tugiman (2008:11)
adalah untuk membantu para anggota organisasi agar dapat melaksanakan
tanggung jawabnya secara efektif, serta mencakup pengembangan pengawasan
yang efektif dengan biaya yang wajar. Sedangkan tujuan audit internal menurut
Guy et. al diterjemahkan Paul A. Rajoe, dkk (2007:410) tujuan audit internal
adalah tujuan audit internal meliputi juga meningkatkan pengendalian yang efektif
pada biaya yang wajar.
Adapun menurut Sukrisno Agoes (2012:222) tujuan pemeriksaan yang
dilakukan oleh auditor internal adalah membantu semua pimpinan perusahaan
(managemen) dalam melaksanakan tanggungjawab dengan memberikan analisa,
penilaian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya. Untuk
mencapai tujuan tersebut, audit internal harus melakukan kegiatan-kegiatan
berikut:
1. Menelaah dan menilai penerapan pengendalian internal dan pengendalian
operasioanal memadai atau tidak serta mengembangkan pengendalian yang
efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
2. Memastikan ketaatan terhadap rencana-rencana dan prosedur-prosedur yang
telah ditetapkan manajemen.
3. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan
dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk kecurangan, pencurian,
dan penyalahgunaan yang dapat merugikan perusahaan.
4. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi
dapat dipercaya.
5. Menilai suatu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas-tugas yang
diberikan manajemen.
6. Memberikan saran perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka efisiensi
dan efektivitas.
Ruang lingkup audit internal menurut Boynton diterjemahkan Paul A.
Rajoe dan Ichsan Setyo (2006) bahwa:
Ruang lingkup audit internal menilai keefektifan sistem pengendalian
internal serta pengevaluasian terhadap kelengkapan dan keefektifan sistem
pengendaliann internal yang dimiliki organisasi, serta kualitas pelaksanaan
tanggung jawab yang diberikan.
Audit internal harus mengimplementasikan hal-hal berikut:
1. Mereview keandalan (reabilitas dan integritas) informasi finansial dan
operasional serta cara yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,
mengklasifikasi, dan melaporkan hal tersebut.
2. Mereview berbagai sistem yang telah ditetapkan untuk memastikan
kesesuaiannya dengan berbagai kebijaksanaan, rencana, prosedur hukum, dan
peraturan yang dapat berakibat penting terhadap kegiatan organisasi serta
harus menentukan apakahorganisasi telah mencapai kesesuaian dengan hal-hal
tersebut.
3. Mereview berbagai cara yang dipergunakan untuk melindungi harta dan bila
dipandang perlu, memverifikasi keberadaan harta-harta tersebut.
4. Menilai keekonomisan dan keefisienan penggunaan berbagai sumber.
5. Mereview berbagai operasi atau program untuk menilai apakah hasilnya akan
konsisten dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dan apakah
kegiatan atau program tersebut dilaksanakan sesuai dengan yang
direncanakan.
Pengertian Audit Internal (skripsi dan tesis)
Definisi internal audit menurut Sukrisno Agoes (2012: 204) adalah:
Internal audit (pemeriksaan intern) adalah pemeriksaan yang dilakukan
oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan
catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan
manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan
pemerintah dan ketentuan ketentuan dari profesi yang berlaku. Peraturan
pemerintah misalnya peraturan dibidang perpajakan, pasar modal,
lingkungan hidup, perbankan, perindustrian, investasi, dan lain-lain.
Sedangkan menurut Hiro Tugiman (2008:11) pengertian audit internal
adalah”Internal audit atau pemeriksaan internal adalah suatu fungsi penilaian
yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi
kegiatan organisasi yang dilaksanakan”.
Adapun pengertian Internal Audit menurut Sawyer diterjemahkan
olehDesi Adhariani(2009: 10) adalah:
Sebuah penilaian yang sistematis dan obyektif yangdilakukan auditor
internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam organisasi
untuk menentukan apakah (1) informasi keuangan dan operasi telahakurat
dan dapat diandalkan; (2) risiko yang dihadapi perusahaan telah
diidentifikasi dan diminimalis; (3) peraturan eksternal serta kebijakan dan
prosedur internal yang bisa diterima telah diikuti; (4) kriteria operasi yang
memuaskan telah dipenuhi; (5) sumber daya telah digunakan secara efisien
danekonomis; dan (6) tujuan organisasi telah dicapai secara efektif-semua
dilakukan dengan tujuan untuk dikonsultasikan dengan manajemen dan
membantu anggota organisasi dalam menjalankan tanggung jawabnya
secara efektif.
Menurut Institute of Internal Audit (IIA) sebagai ikatan internal auditor di
Amerika yang dibentuk pada tahun 1941 dalam Boynton (2006), merumuskan
definisi internal audit, yaitu:
Internal Auditing is an independent, objective assurance and consulting
activity designed to add value and improve an organization’s operations.
It helps an organization accomplish its objectives by bringing a
systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness
of risk management, control, and governance processes.
Dari beberapa definisi tentang Audit Internal di atas, dapat disimpulkan
beberapa poin penting yaitu:
1. Audit internal adalah aktivitas pemeriksaan dan pemberian jasa konsultasi
yang dikelola secara independen dan efektif sehingga dapat membantu
memberikan nilai tambah untuk aktivitas operasional perusahaan dan
membantu dalam pencapaian tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.
2. Audit Internal merupakan suatu fungsi penilaian independen dalam suatu
organisasi. Hal Ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan penilaian
tersebut adalah anggota dari organisasi tersebut.
3. Dalam pengukuran yang dilakukan auditor internal, independensi dan
objektivitas harus dipegang. Memberikan suatu pendekatan disiplin yang
sistematis untuk mengevaluasidan meningkatkan efektivitas manajemen risiko
pengendalian dan proses pengelolaan organisasi.
4. Auditor internal memeriksa dan mengevaluasi seluruh kegiatan baik finansial
maupun nonfinansial. Menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang telah
ditetapkan dijalankan sesuai target dalam mencapai tujuan organisasi.
Indikator-Indikator Konflik Peran (skripsi dan tesis)
Menurut Wexley terjemahan Shobaruddin (2003:171) indikator konflik
peran antara lain:
1. Peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang
menduduki posisi tertentu dalam organisasi atau kolompok.
2. Harapan Peran
Harapan peran berasal dari tuntutan dari tugas atau pekerjaan itu sendiri dan
uraian tugas, peratutan-peraturan dan standar.
3. Peran Sosial
Kondisi situasi masyarakat yang berada di lingkungan sekitar yang memiliki
dampak besar terhadap kondisi lingkungan.
Sedangkan menurut Rizzo et al. Dalam Winardi (2007:198-201)
mengklasifikasikan konflik peran sebagai berikut:
1. Intrasender role conflict, yang dapat terjadi jika terdapat incompatible pesanpesan dan perintah-perintah yang berbeda yang bersumber dari seorang
anggota role-set.
2. Intersender role conflict, yang dapat terjadi jika pesan-pesan atau perintahperintah yang berasal dari seorang role senders bertentangan dengan pesanpesan atau perintah-perintah yang berasal dari role sender lainnya.
3. Interrole conflict, yang terjadi jika perintah-perintah yang berkaitan dengan
keanggotaan seseorang pada suatu kelompok incompatible dengan perintahperintah yang berasal dari keanggotaannya pada kelompok yang lain.
4. Person-role conflict, yang dapat terjadi jika tuntutan peran tidak sesuai dengan
nilai-nilai, sikap, atau pandangan-pandangan focal person.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran (skripsi dan tesis)
Menurut Sedarmayanti (2013:255) faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi konflik peran sebagai berikut :
1. Masalah Komunikasi
Hal ini diakibatkan salahnya pengertian yang berkenaan dengan kalimat,
bahasa yang kurang atau sulit dimengerti atau informasi yang mendua dan
tidak lengkap serta gaya individu yang tidak konsisten.
2. Masalah Struktur Organisasi
Hal ini disebabkan karena adanya pertarungan kekuasaan antar departemen
dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan,
persaingan untuk memperebutkan sumber daya-sumber daya yang terbatas
atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja
untuk mencapai tujuan mereka.
3. Masalah Pribadi
Hal ini disebabkan, karena tidak sesuai dengan tujuan atau nilai-nilai sosial
pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka, dan
perbedaan dalam nilai-nilai persepsi.
Upaya-upaya Menghindari Konflik Peran (skripsi dan tesis)
Menurut para ahli, individu yang mengalami konflik antara peran yang
berkepanjangan akan bersaing mencari metode untuk mengurangi konflik atau
mengurangi ketegangan dirasakan antara peran. Bruening and Dixon dalam Lubis
(2014:17) mengemukakan bahwa metode tersebut mencakup:
1. Penyesuaian waktu atau usaha yang terlibat dalam peran sehingga mereka
yang berada dalam konflik langsung kurang antara konflik satu dengan konflik
lainnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin berhenti bekerja untuk
mencurahkan lebih banyak waktu untuk keluarga dan dapat mengurangi
ketegangan.
2. Metode lain yaitu mengubah sikap seseorang terhadap konflik dari pada
mengurangi konflik itu sendiri. Misalnya, memutuskan untuk merasa kurang
bersalah dengan kurangnya waktu yang dihabiskan untuk anak-anak.
3. Mencari dan mengandalkan dukungan organisasi juga merupakan metode
untuk mengatasi dan mengurangi konflik peran. Misalnya, organisasi
memberikan tunjangan keluarga seperti cuti keluarga.
Menurut Horton dan Hunt dalam Liliweri (2011:289), resolusi konflik
adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam
memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi tejadinya konflik, kemudian
membuat penyelesaian terhadap konflik. Resolusi konflik yang dapat diartikan
sebagai penyelesaian konflik (Conflict Resolution) adalah usaha yang dilakukan
untuk menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak
yang terlibat di dalam konflik. Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita
mengetahui bahwa konfik itu ada dan diarahkan pada keterlibatan berbagai pihak
dalam isu-isu mendasar sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Selain itu, agar
kita memahami gaya dari resolusi konflik dan mendefinisikan kembali jalan pintas
kearah pembaharuan penyelesaian konflik.
Menurut Horton dan Hunt dalam Liliweri (2011:291), seseorang mungkin
tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain
memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu
merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa
sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan
peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua
individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar
sama. Ada beberapa proses yang umum untuk penyelesaian konflik peran, yaitu
antara lain:
1. Rasionalisasi
Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu
situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi
dapat diterima. Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang
mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya
bahwa”semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki
budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah”manusia” tetapi”benda milik.”
2. Pengkotakan (Compartmentalization)
Pengkotakan (Compartmentalization) yakni memperkecil ketegangan peran
dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang
terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran
pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar
bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya
sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.
3. Ajudikasi (Adjudication)
Ajudikasi yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik
peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari
tanggung jawab dan dosa.
4. Kedirian (Self)
Kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan
dan”kedirian” (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul
sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran yang
tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya
menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung
mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat
disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu. Konflik-konflik nyata antara
peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role
distance) yang dikembangkan Erving Goffman.”Jarak peran” diartikan
sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat
sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam
penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai
dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar
peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli
untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih
murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka
lakukan dalam suatu situasi. Penampilan”jarak peran” menunjukkan adanya
perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain,”penyatuan diri”
dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari”jarak peran.”
Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap
perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu
menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang
diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut
Pengertian Konflik Peran (skripsi dan tesis)
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang
menduduki posisi tertentu dalam organisasi atau kelompok. Harapan peran berasal
dari tuntutan dari tugas atau pekerjaan itu sendiri dan uraian tugas, peraturanperaturan dan standar. Jika keseluruhan harapan peran tidak dengan jelas
menunjukkan tugas-tugas apa yang seharusnya dilaksanakan seseorang dan
bagaimana individu seharusnya berprilaku, maka akan terjadi kekacauan peran.
Kekacauan peran dapat disebabkan baik oleh harapan-harapan peran yang tidak
memadai maupun harapan-harapan peran yang tidak bersesuaian. Harapanharapan peran yang tidak konsisten menciptakan konflik peran bagi seseorang.
Menurut Robbins and Judge yang diterjemahkan oleh Saraswati dan Sirait
(2015:183) konflik peran adalah suatu situasi yang mana individu dihadapkan
oleh ekspektasi peran yang berbeda-beda. Menurut Kreitner and Kinicki yang
diterjemahkan oleh Biro Bahasa Alkemis (2014:15), konflik peran terjadi ketika
anggota tatanan peran yang berbeda mengharapkan hal yang berbeda dari
penerima peran.
Handoko (2012:349) mengatakan bahwa konflik peran dalam diri individu
yaitu sesuatu yang terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian
tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai
permintaan pekerjaan saling bertentangan atau bila individu diharapkan untuk
melakukan lebih dari kemampuannya.
Pengertian Konflik (skripsi dan tesis)
Menurut Setiadi dan Kolip (2011:345) istilah”konflik” secara etimologis
berasal dari bahasa Latin”con”yang berarti bersama dan”fligere” yang berarti
benturan atau tabrakan. Pada umumnyaistilah konflik sosial mengandung suatu
rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik
kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.
Gordon, Mondy, Sharplin, dan Premeaux (2004:532) mendefinisikan
konflik sebagai berikut:
Conflict refers to antagonism or opposition between or among persons.
Conflict is the result of incongruent or incompatible relationships between
members of a group or dyad. It’s a process that begins when one party
perceives that the others has frustrated or is about to frustrate some
concern of his (or hers)
Sementara itu Greenberg dan Baron (2004:426), menyatakan bahwa
konflik merupakan suatu proses:”Conflict is a process in which one party
perceives that another party has taken some action that will exert negative effects
on its major interest or is about to take such action”.
Pendapat lain muncul dari Mangkunegara (2011:21) yang berpendapat
bahwa konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan
oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang
diharapkannya.
Faktor-faktor Penyebab Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya ketidakjelasaan peran
menurut Everly dan Giordano dalam Munandar (2010:392) antara lain :
1. Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan)
2. Kesamaran tentang tanggungjawab.
3. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja.
4. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain.
5. Kurang adanya ketidakpastian tentang unjuk kerja pekerjaan.
Indikator Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)
Menurut Rizzo, House dan Lirtzman dalam Pratina (2013), ketidakjelasan
peran diukur menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:
1. Wewenang
2. Tanggung Jawab
3. Kejelasan Tujuan
4. Cakupan Pekerjaan
Dari indikator di atas, berikut ini akan dijelaskan kembali pengertian dari
masing-masing penyebab indikator ketidakjelasan peran tersebut :
1. Wewenang
Merasa pasti dengan seberapa besar wewenang yang dimiliki dan mempunyai
rencana yang jelas untuk pekerjaan.
2. Tanggung Jawab
Mempunyai tujuan yang jelas untuk pekerjaan dan mengetahui bahwa
perlunya membagi waktu dengan tepat.
3. Kejelasan Tujuan
Mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan penjelasan tentang apa
yang harus dikerjakan adalah jelas.
4. Cakupan Pekerjaan
Mengetahui cakupan dari pekerjaan dan bagaimana kinerjanya dievaluasi.
Upaya-upaya Menghindari Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)
Menurut Zeithaml, V. A. , Parasuraman, A. and Berry, L. L. , dalam Idris
(2012) manajemen dapat menggunakan empat alat kunci untuk memberikan
kejelasan peran untuk karyawan: komunikasi, umpan balik, kepercayaan diri, dan
kompetensi. Pertama, karyawan memerlukan informasi yang akurat tentang peran
mereka dalam organisasi. Mereka membutuhkan komunikasi tertentu dan sering
dari supervisor dan manajer tentang apa yang mereka diharapkan untuk
melakukan. Mereka juga perlu mengetahui tujuan, strategi, tujuan, dan filosofi
perusahaan dan departemen mereka sendiri. Mereka membutuhkan informasi
terkini dan lengkap tentang produk dan jasa perusahaan menawarkan, dan mereka
perlu tahu pelanggan perusahaan, siapa mereka, apa yang mereka harapkan, dan
jenis masalah yang mereka hadapi dalam menggunakan layanan.
Selanjutnya, karyawan perlu mengetahui seberapa baik mereka melayani
dibandingkan dengan standar pelayanan yang ditetapkan untuk mereka. Harus ada
umpan balik ketika karyawan melakukan pekerjaan dengan baik agar memberi
spirit kepada mereka dan memberi kesempatan untuk koreksi diri ketika mereka
berkinerja buruk.
Akhirnya, karyawan perlu merasa percaya diri dan kompeten dalam
pekerjaan mereka. Perusahaan dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan
pelatihan yang dibutuhkan untuk memuaskan pelanggan.
Pelatihan yang
berhubungan dengan jasa yang diberikan oleh perusahaan membuat contact
person menjadi dan merasa mampu ketika berhadapan dengan pelanggan,
pelatihan keterampilan komunikasi terutama dalam mendengarkan pelanggan dan
memahami apa yang pelanggan harapkan, dan memberikan karyawan rasa
penguasaan atas masalah yang tak terelakkan yang muncul dalam pertemuan
layanan. Program pelatihan harus dirancang untuk meningkatkan kepercayaan dan
kompetensi karyawan yang menghasilkan kejelasan peran yang lebih besar dan
membantu dekat
Hal di atas dapat diterapkan pada karyawan melalui program pendidikan
dan pelatihan seperti yang dilakukan oleh British Airways memberikan pelatihan
yang intensif kepada costumer servicenya sebelum menghadapi pelanggan.
Perusahaan melatih tak kurang 3.700 orang costumer service dalam Program
Menempatkan Orang Pertama yang membantu karyawan belajar bagaimana
berkomunikasi secara efektif di bawah tekanan. Atau seperti yang dilakukan oleh
Perusahaan Stew Leonard dairy store yang mengikutkan setengah dari 450
karyawannya dalam the Dale Carnigie Program berupa latihan kepemimpinan
bagi karyawan.
Ciri-ciri Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)
Nimran (2009:89) menggambarkan ciri-ciri mereka yang berada dalam
ketidakjelasan peransebagai berikut :
1. Tidak mengetahui dengan jelas apa tujuan peran yang dimainkannya.
2. Tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab dan siapa yang melapor
kepadanya.
3. Tidak cukup wewenang untuk melaksanakan tanggung jawabnya.
4. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan darinya.
5. Tidak memahami dengan benar peranan pekerjaannya dalam rangka mencapai
tujuan secara keseluruhan.
Menurut Agung Budilaksono (2004:9), seseorang dapat dikatakan berada
dalam ketidakjelasan peran apabila ia menunjukkan ciri-ciri antara lain sebagai
berikut:
1. Tidak jelas benar apa tujuan peran yang diinginkannya
2. Tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab dan siapa yang melapor
kepadanya
3. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan dari padanya
4. Tidak memahami benar peranan daripada pekerjaannya dalam rangka
pencapaian tujuan secara keseluruhan.
Sementara itu Keitner and Kinicki yang diterjemahkan oleh Biro Bahasa
Alkemis (2014:17) mengatakan bahwa orang yang mengalami ambiguitas peran
ketika mereka tidak mengetahui apa yang diharapkan dari mereka.
Pengertian Ketidakjelasan Peran (skripsi dan tesis)
Menurut teori peran, ketidakjelasan peran yang dialami dalam waktu yang
lama dapat mengikis kepercayaan diri, memupuk ketidakpuasan kerja, dan
menghambat kinerja.Ketidakjelasan peran menurut Kreitner and Kinicki yang
diterjemahkan oleh Biro Bahasa Alkemis (2014:16) terjadi ketika anggota tatanan
peran gagal menyampaikan kepada penerima peran ekspektasi yang mereka miliki
atau informasi yang dibutuhkan untuk melakukan peran tersebut, entah itu karena
mereka tidak memiliki informasinya atau karena mereka sengaja
menyembunyikanya.
Sedangkan Robbins and Judge yang diterjemahkan oleh Saraswati dan
Sirait (2015:306) menyatakan bahwa ketidakjelasan peranterciptamanakala
ekspektasi peran tidak dipahami secara jelas dan karyawan tidak yakin apa yang
harus ia lakukan. Ketidakjelasan perandirasakan seseorang jika ia tidak memiliki
cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidakmengerti atau
merealisasikan harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.
Singkatnya, orang-orang yang mengalami ketidakjelasan peranyaitu ketika
mereka tidak mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. Para pendatang baru
di perusahaan sering kali mengeluh mengenai deskripsi pekerjaan dan kriteria
promosi yang kurang jelek. Menurut Kreitner and Kinicki yang diterjemahkan
oleh Biro Bahasa Alkemis (2014:17), ketidakjelasan peranyang berkepanjangan
bisa menyebabkan hal-hal berikut:
1. Ketidakpuasan akan pekerjaan
2. Mengikis kepercayaan diri
3. Menghambat kinerja pekerjaan
Role Stress (skripsi dan tesis)
Stres adalah kekuatan yang mendorong faktor fisik dan kejiwaan seseorang
menjadi tidak stabil kemudian menghasilkan tekanan di dalam diri seseorang
(Arnold et al., 1995). Robbins dan Judge (2008:368) menyatakan stres adalah
suatu kondisi dinamik yang dialami seorang individu dikonfrontasikan dengan
suatu peluang, tuntutan, atau sumber daya yang dikaitkan dengan apa yang sangat
diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Selye (1956) menyatakan bahwa terdapat dua jenis stres yaitu eustress dan
distress. Eustress adalah stres yang memberikan dampak positif sedangkan
distress adalah stres yang memberikan dampak negatif. Penyebab stres (stressor)
dapat dibagi ke dalam tiga kategori besar, yakni stressor yang berasal dari faktor
lingkungan (environmental factors), faktor organisasi (organizational factors),
dan faktor individu (personal factors). Salah satu komponen dalam faktor
organisasi adalah tuntutan peran (role demand) yang merupakan tekanan yang
diberikan kepada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang
dimainkan dalam organisasi.
Tekanan peran dalam pekerjaan (role stress) menunjukkan seberapa luas
ekspektasi serangkaian peran anggota organisasi menghadapi situasi yang
mengandung tiga dimensi, yaitu ketidakjelasan peran, ketidaksesuaian peran
sehingga antar peran bertentangan satu dengan lainnya dan beratnya tekanan
dalam pekerjaan (Woelf & Snoek, 1962). Role stress adalah tekanan yang dialami
seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi
(Robbins dan Judge, 2008:372). Terdapat tiga sumber dari role stress, yaitu role
conflict (konflik peran), role ambiguity (ambiguitas peran), dan role overload
(banyaknya tuntutan peran) (Peterson,1995; Robbins dan Judge, 2008:372). 1) Role conflict
Role conflict (konflik peran) dapat didefinisikan sebagai tingkat dimana
performa peran dianggap dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang dapat
mengakibatkan munculnya konflik atau tingkah laku yang saling
bertentangan (Seniati, 2002). Konflik peran bisa terjadi ketika terdapat dua
perintah berbeda dalam waktu bersamaan dan diantara dua perintah tersebut
bertolak belakang (Fanani et al., 2008). Menurut Kahn et al. (1964), konflik
peran terjadi ketika seorang karyawan menghadapi harapan yang tidak sesuai
dengan yang diharapkan, sehingga apa yang diharapkan tidak tercipta secara
efektif. Konflik peran terjadi sebagai kejadian simultan dari dua atau lebih
bentuk tekanan pada tempat kerja, dimana pemenuhan dari satu peran
membuat pemenuhan terhadap peran lain lebih sulit. Konflik peran ada jika
seseorang menemui keadaan dimana patuh pada persyaratan satu peran
menyebabkan kesulitan untuk mematuhi persyaratan dari suatu peran lain. Pada keadaan ekstrem, dapat mencakup situasi dimana dua atau lebih
pengharapan peran saling berlawanan (kontradiksi).
2) Role ambiguity (ambiguitas peran)
Role ambiguity dapat didefinisikan sebagai tidak adanya informasi yang
memadai yang diperlukan seseorang untuk memenuhi peran mereka secara
memuaskan (Senatra, 1980). Ketidakjelasan peran muncul dalam lingkungan
kerja saat seorang karyawan tidak memiliki informasi yang memadai untuk
menghasilkan kinerja yang efektif dari peran yang diberikan. Fanani et al.
(2008) menyatakan role ambiguity adalah tidak cukupnya informasi yang
diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, serta tidak adanya arah dan
kebijakan yang jelas, ketidakpastian sanksi dan ganjaran terhadap perilaku
yang dilakukan. Ambiguitas peran merupakan sebuah konsep yang
menjelaskan ketersediaan informasi yang berkaitan dengan peran. Pemegang
peran harus mengetahui apakah harapan tersebut benar dan sesuai dengan
aktivitas dan tanggung jawab dari posisi mereka. Individu juga harus
memahami apakah aktivitas tersebut telah dapat memenuhi tanggung jawab
dari suatu posisi dan bagaimana aktivitas tersebut dilakukan (Ahmad dan
Taylor, 2009). Kahn et al. (1964) mengemukakan bahwa ambiguitas peran
juga dapat meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi merasa tidak puas
dengan perannya, mengalami kecemasan, memutarbalikkan fakta, dan
kinerjanya menurun.
3) Role overload
Role overload adalah kurangnya sumber daya yang dimiliki oleh individu
untuk memenuhi komitmen, kewajiban, atau persyaratan (Peterson, 1995).
Role overload dapat diartikan terlalu banyak memiliki pekerjaan yang harus
dilakukan dalam satu waktu (Beehr et al., 1976). Rapoport dan Rapoport
(dalam Coverman, 1989) mendefinisikan role overload sebagai suatu kondisi
dimana seseorang memiliki terlalu banyak tuntutan peran dan terlalu sedikit
waktu untuk menyelesaikannya. Beban kerja berlebih merupakan pembangkit
stres. Banyaknya tugas yang diberikan pada jangka waktu yang terbatas atau
pekerjaan yang diberikan terlalu sulit dan melebihi kemampuan dapat
menyebabkan seseorang menjadi lelah, baik secara fisik maupun pikiran
(Wiryathi, 2014).
Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN) (skripsi dan tesis)
Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK
BMN) merupakan subsistem dari Sistem Akuntansi Instansi (SAI). SAI
merupakan serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai
dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan
posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian/Lembaga. SIMAK
BMN disajikan untuk meningkatkan pemahaman serta kontrol yang sistematis
bagi mereka yang pernah atau yang memang berada dalam lingkup tugas dan
tanggung jawabnya sebagai bagian dari satuan kerja pada bagian atau seksi
28
perlengkapan/rumah tangga atau yang semacamnya sehingga sesuai struktur Unit
Akuntansi Barang melekat kewajiban untuk penyusunan laporan barang milik
negara dalam rangka penyusunan laporan keuangan Kementerian
Negara/Lembaga. SIMAK BMN diselenggarakan dengan tujuan untuk menghasilkan informasi
yang diperlukan sebagai alat pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN dan
pelaporan manajerial (managerial report). SIMAK BMN menghasilkan informasi
sebagai dasar penyusunan neraca Kementerian Negara/Lembaga dan informasiinformasi untuk perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian,
penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Dokumen/laporan yang dihasilkan dari SIMAK BMN terdiri dari:
a) Daftar BMN;
b) Kartu Identitas Barang (KIB) Tanah;
c) Kartu Identitas Barang (KIB) Bangunan Gedung;
d) Kartu Identitas Barang (KIB) Alat Angkutan Bermotor;
e) Kartu Identitas Barang (KIB) Alat Persenjataan;
f) Daftar Inventaris Lainnya (DIL);
g) Daftar Barang Ruangan (DBR);
h) Laporan Barang Kuasa Pengguna (LBKP);
i) Laporan Kondisi Barang (LKB).
Daftar BMN meliputi: Daftar Barang Intrakomptabel, Daftar Barang
Ekstrakomptabel, Daftar Barang Bersejarah, Daftar Barang Persediaan, dan Daftar
29
Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP). LBKP meliputi: LBKP Intrakomptabel,
LBKP Ekstrakomptabel, LBKP Gabungan, LBKP Persediaan, LBKP Barang
Bersejarah, dan LBKP KDP. LBKP Gabungan merupakan hasil penggabungan
LBKP Intrakomptabel dan LBKP Ekstrakomptabel. LBKP Barang Bersejarah
hanya menyajikan kuantitas tanpa nilai.
Kompetensi Sumber Daya Manusia (skripsi dan tesis)
Kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang memengaruhi cara
berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang
dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia (Spencer dan Spencer,
1993:41). Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan kerja
setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja
yang sesuai standar yang ditetapkan. Dalam kaitan organisasi pemerintahan,
kompetensi menurut Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 46 A
26
Tahun 2003 tentang Kompetensi Pegawai adalah kemampuan dan karakteristik
yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) berupa pengetahuan
keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas
jabatannya sehingga PNS tersebut dapat melaksanakan tugas jabatannya secara
profesional, efektif, dan efisen.
Wyatt (dalam Ruky, 2003:106) menyatakan kompetensi adalah kombinasi
keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude) yang dapat
diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan
prestasi kerja serta kontribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya
Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu
tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan,
keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan
untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada
pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan (Sudarmanto, 2009). Kompetensi
dapat disimpulkan sebagai sebuah pernyataan terhadap apa yang seseorang harus
lakukan ditempat kerja untuk menunjukan pengetahuannya, keterampilannya dan
sikap sesuai standar yang dipersyaratkan.
Spencer dan Spencer (1993:73) menyatakan lima karakteristik yang
membentuk kompetensi, sebagai berikut:
1) Motif (motive)
Motive adalah apa yang secara konsisten dipikirkan atau keinginan yang
menyebabkan melakukan tindakan. Apa yang mendorong, perilaku yang
mengarah dan dipilih terhadap kegiatan atau tujuan tertentu.
27
2) Sifat/ciri bawaan (trait)
Trait adalah ciri fisik dan reaksi-reaksi yang bersifat konsisten terhadap
situasi atau informasi.
3) Konsep diri (self concept)
Self concept merupakan sikap, nilai atau self image dari orang-orang. Seperti
percaya diri (self confidence), keyakinan bahwa ia akan efektif dalam
berbagai situasi, merupakan bagian dari konsep dirinya.
4) Pengetahuan (knowledge)
Knowledge yaitu suatu informasi yang dimiliki seseorang khususnya pada
bidang spesifik. Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks.
5) Keterampilan (skill)
Skill adalah kemampuan untuk mampu melaksanakan tugas-tugas fisik dan
mental tertentu
Kualitas Laporan Barang Milik Negara (skripsi dan tesis)
Barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah (PP No. 27, 2014). Yang dimaksud dengan berasal
dari perolehan lainnya yang sah, meliputi:
1) barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
2) barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
3) barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; atau 4) barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur setiap
Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
Kementerian Negara/Lembaga untuk mengelola barang milik/kekayaan negara
yang menjadi tanggung jawab Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya
serta menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Kementerian
Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah mewajibkan
setiap Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untuk menyusun dan
menyampaikan laporan barang pengguna semesteran dan laporan barang
pengguna tahunan yang berada dalam penguasaannya kepada Pengelola Barang.
Laporan barang milik negara merupakan bagian dari laporan keuangan.
Laporan barang milik negara mencatat transaksi yang berkaitan dengan berkaitan
dengan pos-pos persediaan, aset tetap, maupun aset lainnya. Menurut Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.05/2009 tentang Tata Cara Rekonsiliasi
Barang Milik Negara Dalam Rangka Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat, laporan barang milik negara adalah laporan yang menyajikan posisi BMN
pada awal dan akhir suatu periode serta mutasi BMN yang terjadi selama periode
tersebut. Laporan BMN disusun setiap semester sehingga dalam satu tahun
anggaran, disusun tiga macam Laporan BMN yaitu Laporan Semester I, Laporan
Semester II, dan Laporan Tahunan.
23
Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 Standar Akuntansi Pemerintahan
menyatakan bahwa karakteristik kualitatif laporan barang milik negara adalah
ukuran-ukuran normatif yang perlu diwujudkan dalam informasi akuntansi
sehingga dapat memenuhi tujuannya. Keempat karakteristik berikut merupakan
prasyarat normatif yang diperlukan agar laporan barang milik negara dapat
memenuhi kualitas yang dikehendaki yaitu:
1) Relevan
Laporan barang milik negara bisa dikatakan relevan jika informasi yang
termuat di dalamnya dapat memengaruhi keputusan pengguna dengan
membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa kini, dan
memprediksi masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi
mereka di masa lalu. Informasi yang relevan dapat dihubungkan dengan
maksud penggunaannya. Informasi yang relevan antara lain memiliki
karakteristik:
a) memiliki manfaat umpan balik (feedback value), yaitu informasi
memungkinkan pengguna untuk menegaskan atau mengoreksi ekspektasi
di masa lalu.
b) memiliki manfaat prediktif (predictive value), yaitu informasi dapat
membantu pengguna untuk memprediksi masa yang akan datang
berdasarkan hasil masa lalu dan kejadian masa kini.
c) tepat waktu, yakni informasi disajikan tepat waktu sehingga dapat
berpengaruh dan berguna dalam pengambilan keputusan.
24
d) lengkap, yakni informasi akuntansi keuangan pemerintah disajikan
selengkap mungkin, yaitu mencakup semua informasi akuntansi yang
dapat memengaruhi pengambilan keputusan. Informasi yang
melatarbelakangi setiap butir informasi utama yang termuat dalam
laporan keuangan diungkapkan dengan jelas agar kekeliruan dalam
penggunaan informasi dapat dicegah.
2) Andal
Informasi dalam laporan barang milik negara bebas dari pengertian yang
menyesatkan dan kesalahan yang material, menyajikan setiap fakta secara
jujur, serta dapat diverifikasi. Informasi yang andal memenuhi karakteristik:
a) penyajian jujur, yaitu informasi menggambarkan dengan jujur transaksi
serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar
dapat diharapkan untuk disajikan.
b) dapat diverifikasi (veriability), yaitu informasi yang disajikan dalam
laporan barang milik negara dapat diuji, dan apabila pengujian dilakukan
lebih dari sekali oleh pihak yang berbeda, hasilnya tetap menunjukkan
simpulan yang tidak berbeda jauh.
c) netralitas, yaitu informasi diarahkan pada kebutuhan umum dan tidak
berpihak pada kebutuhan pihak tertentu.
3) Dapat dibandingkan
yaitu informasi yang termuat dalam laporan barang milik negara akan lebih
berguna jika dapat dibandingkan dengan laporan barang milik negara periode
sebelumnya atau laporan barang milik negara entitas pelaporan lain pada umumnya. Perbandingan dapat dilakukan secara internal dan eksternal.
Perbandingan secara internal dapat dilakukan bila suatu entitas menerapkan
kebijakan akuntansi yang sama dari tahun ke tahun. Perbandingan secara
eksternal dapat dilakukan bila entitas yang diperbandingkan menerapkan
kebijakan akuntansi yang sama. Apabila entitas pemerintah akan menerapkan
kebijakan akuntansi yang lebih baik daripada kebijakan akuntansi yang
sekarang diterapkan, perubahan tersebut diungkapkan pada periode terjadinya
perubahan.
4) Dapat dipahami
yaitu informasi yang disajikan dalam laporan barang milik negara dapat
dipahami oleh pengguna dan dinyatakan dalam bentuk serta istilah yang
disesuaikan dengan batas pemahaman para pengguna untuk mempelajari
informasi yang dimaksud.
Pendekatan Kontijensi (skripsi dan tesis)
Dasar dari pendekatan kontijensi adalah tidak adanya jawaban terbaik yang
berlaku terhadap semua masalah yang muncul. Pendekatan kontijensi menyatakan
tidak adanya rancangan dan penggunaan sistem pengendalian manajemen yang
dapat diterapkan efektif untuk semua kondisi organisasi, namun sebuah sistem
pengendalian tertentu hanya efektif untuk situasi atau
organisasi/perusahaan/pemerintahan tertentu. Pendekatan kontijensi yang
digunakan menarik minat banyak peneliti karena ingin mengetahui apakah tingkat
keterandalan variabel independen selalu berpengaruh sama pada setiap kondisi
atau tidak terhadap variabel dependennya. Dengan pendekatan kontijensi diduga
terdapat faktor situasional lain yang mungkin akan saling berinteraksi dalam
memengaruhi situasi tertentu. Tujuan penggunaan pendekatan kontijensi dalam penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi variabel kontijensi yang memengaruhi kualitas laporan BMN. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan antara
satu peneliti dengan peneliti lainnya, sehingga disimpulkan bahwa terdapat
variabel lain yang memengaruhinya. Perbedaan hasil temuan tersebut dapat
diselesaikan dengan menggunakan pendekatan kontijensi (Govindarajan, 1988).
Pendekatan kontijensi memungkinkan adanya variabel-variabel yang dapat
bertindak sebagai moderating maupun intervening. Pendekatan kontijensi dalam
penelitian ini akan digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara kompetensi
SDM dan penggunaan SIMAK BMN dengan kualitas laporan barang milik
negara. Berdasarkan pendekatan di atas, ada dugaan bahwa role stress dapat
memoderasi hubungan antara kompetensi SDM dan penggunaan SIMAK BMN
pada kualitas laporan barang milik negara
Pengukuran Efektivitas Sistem Informasi (skripsi dan tesis)
Sistem informasi merupakan sebuah kombinasi yang terorganisir dari orang,
perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi dan sumber daya data yang
mengumpulkan, mengubah dan menyajikan informasi bagi organisasi (O’Brien,
2003:13). Laudon dan Laudon (2000) menyatakan sistem informasi adalah
seperangkat komponen yang saling berhubungan yang berfungsi mengumpulkan,
memproses, menyimpan, dan mendistribusikan informasi untuk mendukung
pembuatan keputusan dan pengawasan organisasi. Penggunaan sistem informasi
merupakan perilaku yang muncul akibat adanya keuntungan atas pemakaian
sistem informasi tersebut (Seddon, 1997). Perilaku yang ditimbulkan dari
pemakaian sistem informasi ini dalam proses selanjutnya diharapkan akan
memberi dampak terhadap kinerja individu.
Keberhasilan sistem informasi merupakan suatu model yang digunakan dalam
berbagai penelitian sebagai kriteria dasar untuk mengevaluasi sistem informasi
(DeLone dan McLean, 1992). Model kesuksesan sistem informasi telah banyak
dikembangkan oleh para peneliti. Zmud et al. (1978) menyatakan keefektifan sistem informasi ditentukan oleh kinerja pemakai, penggunaan sistem informasi
dan kepuasan pemakai. Kepuasan pengguna sistem informasi merupakan salah
satu tolak ukur keberhasilan sistem informasi. Hal ini cukup beralasan karena jika
pengguna sistem informasi merasa puas maka dianggap sebagai keberhasilan
sistem informasi tersebut (Jogiyanto, 2007:205).
Dalam beberapa literatur penelitian, kepuasan pengguna seringkali digunakan
sebagai ukuran pengganti dari efektifitas sistem informasi (Melone, 1990). Doll
dan Torkzadeh (1988) mendefinisikan kepuasan akhir pengguna sebagai sikap
afektif terhadap aplikasi tertentu oleh seseorang yang berinteraksi dengan aplikasi
langsung. Kepuasan pengguna secara luas telah diakui sebagai matriks kunci
indikator kesuksesan sistem informasi (DeLone dan Mclean, 1992). Gupta et al.
(2007) menyatakan bahwa untuk mengetahui efektivitas sistem informasi maka
yang dapat digunakan sebagai ukuran adalah kepuasan pengguna. Kepuasan
pengguna lebih tepat digunakan untuk mengukur kesuksesan sistem informasi bila
sistem informasi dimaksudkan dalam skala besar dan terintegrasi serta
penggunaannya diamanatkan/diwajibkan (Brown et al., 2002; 2008).
Kepuasan pemakai mengungkapkan adanya kesesuaian antara harapan
seseorang dengan hasil yang diperoleh. Suatu sistem yang baik bukan hanya
dilihat dari kecanggihannya tetapi juga dilihat dari penerimaan dan pemahaman
pengguna yang merasa puas dengan sistem informasi yang dihasilkan (Kustono, 2000). McGill et al. (2003) melakukan pengujian empiris pada seluruh dimensi
dalam model keberhasilan sistem informasi dari DeLone dan McLean (1992).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kepuasan pengguna akhir suatu sistem informasi memainkan peranan signifikan dalam menentukan penggunaan sistem
aplikasi. Hasil penelitian DeLone dan McLean (1992), Rai et al. (2002), McGill et
al. (2003) serta Livari (2005) menunjukkan bahwa kualitas sistem informasi
berpengaruh positif terhadap kepuasan pemakainya. Supriyatna dan Jin (2006)
menyebutkan bahwa kepuasan pengguna sistem informasi dapat diukur dengan
menggunakan enam variabel, yaitu kelengkapan fungsi/fitur, stabilitas/keandalan,
kemudahan penggunaan, inovasi, keamanan, dan fleksibilitas, dengan penjelasan
sebagai berikut:
1) Kelengkapan fungsi/fitur, yaitu keberadaan fungsi/fitur yang lengkap seperti
data atau informasi yang ditampilkan pada sistem informasi yang bertujuan
mempermudah dan menunjang pemanfaatan bagi penggunanya.
2) Stabilitas/keandalan merupakan ketangguhan atau kemampuan aplikasi yang
digunakan dalam sistem informasi untuk dapat beroperasi tanpa mengalami
gangguan (error) yang berarti dalam jangka waktu lama serta handal dalam
proses pengambilan, pengolahan, dan penyajian informasi dan data dengan
tingkat kebenaran/keyakinan yang baik. Disamping itu, sistem juga dapat
menampilkan data dan informasi yang dibutuhkan secara tepat waktu dan
selalu baru.
3) Kemudahan penggunaan digunakan untuk menyatakan kemudahan yang
dimiliki oleh sistem informasi terutama dalam penampilan informasi,
navigasi dan interaksi antara pengguna dengan sistem dimana fitur-fitur
dalam sistem user friendly. 4) Inovasi berkaitan dengan reputasi, kreasi, pembaruan, dan terobosan yang
dimiliki dari sistem informasi menyangkut perbandingan dengan organisasi
lain dalam hal penyediaan informasi serupa.
5) Keamanan menunjukkan kemampuan security sistem informasi dalam
menghadapi kemungkinan masuknya virus maupun perusakan atau
penghapusan data.
6) Fleksibilitas menggambarkan kemampuan sistem informasi untuk dapat di
implementasikan pada segala jenis dan spesifikasi sistem komputer yang
tersedia di pasaran termasuk kemampuannya untuk digabungkan dengan
penggunaan database yang tersedia lainnya.
Teori Peran (skripsi dan tesis)
Teori peran menekankan sifat individual sebagai pelaku sosial yang
mempelajari perilaku sesuai dengan posisi yang ditempatinya di lingkungan kerja
dan masyarakat (Kahn et al., 1964). Teori peran mencoba menjelaskan interaksi
antar individu dalam organisasi, berfokus pada peran yang mereka mainkan.
Setiap peran sosial adalah seperangkat hak, kewajiban, harapan, norma dan
perilaku seseorang untuk menghadapi dan memenuhi perannya.
Kahn et al. (1964) mengenalkan teori peran pada literatur perilaku organisasi.
Mereka menyatakan bahwa sebuah lingkungan organisasi dapat memengaruhi
harapan setiap individu mengenai perilaku peran mereka. Harapan tersebut berupa
norma-norma atau tekanan untuk bertindak dalam cara tertentu. Individu akan
menerima pesan tersebut, menginterpretasikannya, dan merespon dalam berbagai
cara. Masalah akan muncul ketika pesan yang dikirim tersebut tidak jelas, tidak secara langsung, tidak dapat diinterpretasikan dengan mudah, dan tidak sesuai
dengan daya tangkap si penerima pesan. Akibatnya, pesan tersebut dinilai ambigu
atau mengandung unsur konflik.
Individu akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan
atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada diri individu
tersebut (Katz dan Kahn, 1978). Rizzo et al. (1970) menyatakan salah satu bentuk
konflik peran adalah ketika perilaku-perilaku yang diharapkan seseorang tidak
konsisten, yang dapat menimbulkan stres, ketidakpuasan, dan memiliki kinerja
yang kurang efektif dibandingkan jika harapan yang diinginkan dari perilakunya
tersebut tidak mengalami konflik.
Keliat (1992) menyatakan stres peran terdiri
dari:
1) Konflik peran, dialami jika peran yang diminta konflik dengan sistem individu
atau dua peran yang konflik satu sama yang lain.
2) Peran yang tidak jelas, terjadi jika individu yang diberi peran yang tidak jelas
dalam hal perilaku dan penampilan yang diharapkan.
3) Peran yang tidak sesuai, terjadi jika individu dalam proses transisi merubah
nilai dan sikap. Misalnya, seseorang yang masuk dalam satu profesi, dimana
terdapat konflik antara nilai individu dan profesi.
4) Peran berlebih, terjadi jika individu menerima banyak peran misalnya, sebagai
istri, mahasiswa, perawat, ibu. Individu dituntut melakukan banyak hal tetapi
tidak tersedia waktu untuk menyelesaikannya.
Implikasi dari teori peran dalam penelitian ini adalah penyusun laporan BMN
mempunyai peran ganda/berlebih karena merangkap banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan. Harapan bagi penyusun laporan BMN dapat dibentuk pimpinan
organisasi atau masyarakat. Individu atau pihak yang berbeda dapat membentuk
harapan yang mengandung konflik bagi pemegang peran itu sendiri. Oleh karena
setiap individu dapat menduduki peran ganda, maka dimungkinkan bahwa dari
beragam peran tersebut akan menimbulkan persyaratan/harapan peran yang saling
bertentangan (Ahmad dan Taylor, 2009).
Teori Stewardship (skripsi dan tesis)
Teori stewardship menggambarkan situasi dimana manajemen tidaklah
termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil
utama mereka untuk kepentingan organisasi (Donaldson dan Davis, 1991).
Filosofi mengenai teori stewardship dibangun berdasarkan sifat manusia yaitu
dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki
integritas, serta dapat berlaku jujur untuk pihak lainnya. Dengan kata lain, teori
stewardship memandang bahwa manajemen dapat berperilaku baik untuk
kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. Teori
14
stewardship menggambarkan hubungan yang kuat antara kepuasan dan
kesuksesan organisasi. Tercapainya kesuksesan dalam sebuah organisasi dapat
dicapai dengan cara maksimalisasi utilitas principals dan manajemen.
Maksimalisasi utilitas kelompok pada akhirnya akan memaksimumkan
kepentingan individu yang ada dalam kelompok organisasi tersebut.
Teori stewardship dapat diterapkan pada penelitian akuntansi organisasi
sektor publik seperti organisasi pemerintahan (Morgan et al., 1996). Pemerintah
berperan sebagai steward dengan fungsi pengelola sumber daya dan rakyat
sebagai principals selaku pemilik sumber daya. Pemilik sumber daya (principals)
mempercayakan pengelolaan sumber daya tersebut kepada pihak lain (steward)
yang lebih capable. Kesepakatan yang terjalin antara pemerintah (steward) dan
rakyat (principals) berdasarkan kepercayaan, kolektif sesuai tujuan organisasi. Pemerintah akan berusaha maksimal dalam menjalankan pemerintahan untuk
mencapai tujuan pemerintah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Penelitian ini menggunakan teori stewardship karena dalam organisasi sektor
publik, akuntabilitas merupakan kewajiban pemegang amanah (steward) untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan
segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak
pemberi amanah (principals) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo, 2009:20).
Dalam konteks pelaporan
BMN, pemerintah yang bertindak sebagai steward mempunyai kewajiban
menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna informasi keuangan
pemerintah (principals). Implementasi teori stewardship pada struktur organisasi pemerintahan pada
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali, dapat terjadi antara pimpinan
dan staf penyusun laporan BMN. Pimpinan dapat berlaku sebagai principals yang
mempercayakan pengelolaan BMN kepada staf penyusun laporan BMN selaku
steward. Staf pengelola barang sebagai steward wajib menyampaikan laporan
mengenai pengelolaan BMN kepada pimpinan secara periodik. Untuk
melaksanakan tanggung jawab tersebut maka steward mengarahkan semua
kemampuan dan keahliannya untuk dapat menghasilkan laporan BMN yang
berkualitas.
Teori Atribusi (skripsi dan tesis)
Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang menginterpretasikan
suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya (Ikhsan dan Ishak, 2008:55). Teori
atribusi dikembangkan oleh Fritz Heider pada tahun 1958. Heider menyatakan
bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal
(internal forces) dan kekuatan eksternal (external forces). Kekuatan internal
(internal forces) yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
seseorang/individu akan kemampuannya secara personal mampu memengaruhi
kinerja serta perilakunya misalnya seperti sifat, karakter, sikap, kemampuan,
keahlian maupun usaha. Kekuatan eksternal (external forces) yaitu faktor-faktor
yang berasal dari luar kendali individu misalnya seperti tekanan situasi, kesulitan
dalam pekerjaan atau keberuntungan.
Penyebab perilaku dalam persepsi sosial dikenal sebagai dispositional
attribution dan situational attribution (Gordon dan Graham, 2006). Disposition
attribution atau penyebab internal mengacu pada aspek perilaku individu, sesuatu
yang ada dalam diri seseorang seperti sifat pribadi, persepsi diri, kemampuan dan
motivasi. Situational attribution atau penyebab eksternal mengacu pada
lingkungan yang memengaruhi perilaku, seperti kondisi sosial, nilai sosial,
pandangan masyarakat. Teori atribusi mengembangkan konsep cara-cara penilaian manusia yang berbeda, bergantung pada makna yang dihubungkan dengan
perilaku tertentu.
Peneliti menggunakan teori atribusi karena ingin mengetahui dampak dari
karakteristik personal maupun di luar personal penyusun laporan BMN terhadap
kualitas laporan BMN. Karakteristik personal meliputi kompetensi yang dimiliki
penyusun laporan BMN. Kompetensi SDM mencakup pengetahuan tentang
regulasi dan peraturan perundang-undangan, kemampuan menggunakan sistem
informasi dan perilaku dalam mengelola BMN. Selain karakteristik personal dari
penyusun laporan BMN, kualitas laporan barang diduga dipengaruhi faktor-faktor
yang berasal dari luar kendali penyusun laporan BMN itu sendiri. Faktor eksternal
yang diduga memengaruhi kualitas laporan barang milik negara adalah
penggunaan sistem informasi dan tekanan situasi pekerjaan berupa role stress
yang dialami penyusun laporan BMN dalam menyelesaikan tugasnya.
Kecerdasan Emosional (skripsi dan tesis)
Kecerdasan emosional (emotional intelligence) merupakan kemampuan
seseorang untuk mendeteksi serta mengelola petunjuk-petunjuk dan informasi
emosional (Robbins dan Judge, 2008:335). Goleman menjelaskan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain. Menurut Goleman (2006:318) kecerdasan
emosional terdiri dari lima komponen utama yaitu kesadaran diri (self
19
awareness), pengendalian diri (self management), motivasi (motivation),
empati (empathy), dan kemampuan sosial (social skill).
Kesadaran diri merupakan kemampuan seseorang mengetahui apa yang
dirasakan oleh diri sendiri dan menggunakannya utuk mengambil keputusan,
memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri
yang kuat. Pengendalian diri merupakan kemampuan menangani emosinya
sendiri, mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan
terhadap kata hati untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari.
Motivasi merupakan kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat
membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih
baik serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu
bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
Empati merupakan kemampuan
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif
orang lain dan menimbulkan hubungan saling percaya serta mampu
menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu. Kemampuan sosial
merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan
dengan orang lain dan menciptakan serta mempertahankan hubungan dengan
orang lain, dapat mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan
perselisihan dan bekerja sama dalam tim.
Penelitian yang dilakukan oleh Dette (2008) menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional jauh lebih penting dari pada keterampilan teknis dan
kecerdasan intelektual (IQ) pada lingkungan kerja. Ciarrochi et al. (2002)
menemukan bahwa individu dengan kecerdasan emosional tinggi cenderung
beradaptasi dengan lebih baik terhadap stres yang mereka hadapi. Dette
20
(2008) juga menyatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosional tinggi
akan melakukan pekerjaannya dengan tingkat stres yang lebih rendah. Ismail
(2009) kemudian menyatakan bahwa jika karyawan mampu memanajemen
emosi mereka dan karyawan lainnya dengan baik, maka akan meningkatkan
kemampuan mereka untuk mengatasi stres baik psikologis maupun fisiologis
dalam mengimplementasikan pekerjaan mereka. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara kecerdasan emosional dan stres. Hubungan ini
didasarkan pada asumsi bahwa emosi negatif dan stres yang terjadi,
merupakan hasil dari hubungan disfungsional antara individu dengan
lingkungan (Dette, 2008). Mayer et al. (2000) menyatakan bahwa kecerdasan
emosional merupakan cara individu untuk mengintegrasikan emosi dengan
pikiran dan perilakunya, untuk mengurangi pengalaman emosi negatif
tersebut.
Burnout (skripsi dan tesis)
Burnout merupakan istilah yang pertama kali dikemukakan oleh
Freudenberger (1974) dan telah banyak diriset dalam literatur- literatur
pekerjaan di bidang kesehatan dan psikologi terapan (Almer dan Kaplan,
2002). Burnout merupakan representasi dari sindrom stres psikologis spesifik
yang merupakan respon negatif yang timbul sebagai hasil dari tekanan
pekerjaan atau stressor (Cordes dan Daugherty, 1993). Burnout juga
didefinisikan sebagai suatu kondisi yang muncul dari waktu ke waktu dan
ditandai dengan kelelahan emosional dan suatu kombinasi dari sikap-sikap
negatif (Kreitner dan Kinichi, 2005:363). Maslach dan Jackson (1981)
mendefinisikan burnout sebagai sindrom psikologis dari kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan penurunan prestasi kerja, yang muncul di antara
individu-individu yang bekerja dengan orang lain. Maslach et al. (2001)
menyatakan bahwa burnout merupakan bentuk dari stres pekerjaan, yang
dihubungkan dengan kepuasan pekerjaan, komitmen organisasi, dan turnover.
Burnout terdiri dari tiga dimensi (Freudenberger, 1974; Cordes dan
Daugherty, 1993; Maslach et al., 2001; Almer dan Kaplan, 2002; Murtiasri
dan Ghozali, 2006) yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion),
depersonalisasi (depersonalization), dan penurunan prestasi kerja (rreduce
personal accomplishment). Kelelahan emosional merupakan sebuah dimensi
dari burnout yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari
tuntutan emosional dan psikologis yang berlebihan (excessive
psychoemotional demands) yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan
perhatian, kepercayaan, minat, dan semangat (Murtiasri dan Ghozali, 2006).
Sebaliknya, tuntutan yang berlebihan yang berasal dari tugas-tugas kerja,
yang membutuhkan solusi inovatif dan kreatif, dan gairah tingkat tinggi akan
terjadi, ketika personil akuntansi bekerja untuk klien di bawah tekanan waktu
(Fogarty et al., 2000).
Fogarty et al. (2000) menyebutkan bahwa depersonalisasi merupakan
kecenderungan untuk bersikap negatif dan tidak peduli dengan orang lain. Hal
ini menunjukkan kecenderungan untuk memperlakukan seseorang sebagai
objek yang tidak memiliki perasaan (Utami dan Nahartyo, 2013). Hal serupa
juga dikemukakan oleh Almer dan Kaplan (2002) bahwa orang yang
mengalami depersonalisasi merasa tidak ada satupun aktivitas yang
dilakukannya bernilai atau berharga. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku
yang tidak acuh, bersikap sinis, tidak berperasaan, dan tidak memperhatikan
kepentingan orang lain (Murtiasri dan Ghozali, 2006). Dette (2008)
menambahkan bahwa orang yang mengalami depersonalisasi cenderung
untuk memiliki sikap negatif dan sinis terhadap klien, rekan kerja, dan organisasi.
Hal ini dapat menyebabkan individu dapat menjauhkan diri dari
lingkungan kerja dan rekan kerja, serta mempertimbangkan untuk
meninggalkan profesi mereka.
Penurunan prestasi kerja mengacu pada kecenderungan individu untuk
mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang
dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993; Yustrianthe, 2008; Utami dan
Nahartyo, 2013). Dette (2008) menyatakan bahwa penurunan prestasi kerja
mengacu pada individu yang mulai merasa dirinya tidak kompeten dan tidak
memadai untuk melakukan pekerjaannya. Almer dan Kaplan (2002) dan
Utami dan Nahartyo (2013) menyatakan bahwa penurunan prestasi kerja
meliputi rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri. Kalbers et
al. (2005) menyatakan bahwa ketiga dimensi burnout ini merupakan kondisi
psikologis dengan pola unik tersendiri yang merupakan anteseden yang
dihubungkan dengan role stressors
Role Overload (skripsi dan tesis)
Idris (2011) menyatakan bahwa role overload terjadi ketika harapan
atas peran, lebih besar daripada kemampuan dan motivasi individu untuk
melakukan tugas. Almer dan Kaplan (2002) mendefisinikan role overload
sebagai banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan dalam jangka waktu yang
tersedia. Menurut Schick et al. (1990) role overload terjadi ketika seorang
karyawan memiliki terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan namun
tidak sesuai dengan waktu yang tersedia dan kemampuan yang dimiliki. Role
overload dialami ketika karyawan diharapkan untuk melakukan lebih banyak
pekerjaan, pada waktu yang tersedia (Robbins dan Judge, 2008:372). Jones et
al. (2010) menyatakan bahwa ketika karyawan harus melakukan beberapa
tugas yang jika dikerjakan satu per satu, masih beralasan, namun jika dikerjakan secara total dengan jangka waktu yang diberikan, dapat
menimbulkan role overload.
Banyaknya tugas yang diberikan pada jangka waktu yang terbatas atau
pekerjaan yang diberikan terlalu sulit dan melebihi kemampuan, dapat
menyebabkan seseorang menjadi lelah, baik secara fisik maupun pikiran.
Yustrianthe (2008) menyatakan bahwa profesional yang mengalami role
overload berkepanjangan dapat mengalami kecenderungan untuk
mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang
dicapainya
Role Ambiguity (skripsi dan tesis)
Idris (2011) menyatakan bahwa role ambiguity muncul ketika individu
tidak memiliki kewenangan yang jelas atau pengetahuan tentang cara
melakukan pekerjaan yang ditugaskan. Almer dan Kaplan (2002)
mendefinisikan role ambiguity sebagai tidak adanya informasi yang
memadai yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi peran mereka
secara memuaskan. Role ambiguity terjadi ketika ekspektasi peran tidak
dipahami secara jelas dan karyawan tidak yakin dengan apa yang harus
dilakukan (Robbin dan Judge, 2008:372). Maslach et al. (2001) dan Jones
(2007) menyatakan role ambiguity terjadi ketika individu memiliki informasi
yang tidak memadai untuk melaksanakan peran dan pekerjaannya dengan
benar. Fogarty et al. (2000) menambahkan bahwa role ambiguity terjadi
karena adanya harapan yang tidak jelas dari pemberi peran (yang
menugaskan) untuk melaksanakan peran yang diberikan. Menurut Fanani et al. (2008) role ambiguity adalah tidak cukupnya informasi yang dimiliki serta
tidak adanya arah dan kebijakan yang jelas, ketidakpastian tentang otoritas,
dan ketidakpastian sangsi dan ganjaran terhadap perilaku yang dilakukan.
Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) pada Kantor Inspektorat
hanya memiliki sedikit informasi yang memadai untuk melakukan
pekerjaannya atau apa saja yang menjadi tanggung jawabnya dalam perannya
saat itu. Selain itu, seringkali bekerja tanpa banyak arahan dari atasannya dan
menghadapi situasi-situasi yang berbeda-beda setiap bulannya. Kurangnya
informasi atau tujuan dan arah yang tidak jelas ini menyebabkan kelelahan
mental, karena dalam kondisi role ambiguity dibutuhkan energi dan mental
yang tinggi (Maslach dan Jackson, 1984).
Role conflict (skripsi dan tesis)
Idris (2011) menyatakan bahwa role conflict mengacu pada
ketidakcokan harapan dan tuntutan terkait dengan peran. Manurut Fanani dkk.
(2008) role conflict merupakan suatu konflik yang timbul karena mekanisme
pengendalian birokrasi organisasi yang tidak sesuai dengan norma, aturan,
etika, dankemandirian profesional. Carnicer et al. (2004) menyatakan bahwa
role conflict terjadi sebagai kejadian simultan dari dua atau lebih bentuk
tekanan pada tempat kerja, dimana pemenuhan dari satu peran membuat
pemenuhan terhadap peran lain lebih sulit. Murtiasri dan Ghozali (2006)
menyatakan bahwa role conflict merupakan kejadian yang simultan dari dua
tekanan atau lebih dan ketaatan pada suatu hal akan memunculkan dilema
karena sulit untuk menaati yang lainnya. Viator (2001) menyatakan bahwa
role conflict muncul ketika seorang individu diharapkan untuk bertindak
dengan cara yang bertentangan dengan kebutuhannya, kapasitas, dan nilainilainya. Role conflict menciptakan harapan yang mungkin sulit diselesaikan
atau dipenuhi (Robbins dan Judge, 2008:372). Dapat ditarik kesimpulan
bahwa role conflict terjadi karena adanya ketidaksesuaian harapan atas peranperan yang dijalani individu, atau harapan atas peran yang dijalani individu bertentangan dengan kebutuhan, kapasitas, dan nilai - nilainya, sehingga
timbul dilema dan kesulitan dalam memenuhi harapan-harapan tersebut.
Utami dan Nahartyo (2013) menyatakan bahwa dalam lingkungan
profesi auditor, role conflict muncul dari dua perintah berturut-turut tetapi
tidak konsisten. Auditor memiliki dua peran, sebagai anggota profesi harus
bertindak sesuai dengan kode etik dan hukum, dan sebagai bagian dalam
sebuah pemerintahan. Peran ganda tersebut menyebabkan aparat pengawas
intern pemerintahan sering berada pada posisi yang bertentangan. Hal ini
dapat mengakibatkan timbulnya dilema yang mengarah pada konsekuensi
negatif atau disfungsional yaitu burnout
Role Stressors (skripsi dan tesis)
Penelitian ini berfokus pada role stressors sebagai penyebab stres di
lingkungan organisasi. Stressor merupakan faktor – faktor lingkungan
yangmenimbulkan stres (Kreitner dan Kinichi, 2005:353). Role stressors
dapat didefinisikan sebagai tekanan-tekanan yang dialami individu sebagai
akibat dari faktor-faktor organisasi atau spesifikasi pekerjaan, dalam bentuk
tuntutan-tuntutan dan kendala-kendala yang dibebankan pada mereka (Idris,
2011). Penelitian ini berfokus pada role stressors karena pemeriksa dalam
melaksanakan tugasnya, berinteraksi dengan banyak pihak, baik dari dalam
maupun dari luar organisasi untuk mendapatkan bukti-bukti audit terkait pengambilan keputusan (boundary spanning activities). Agustina (2009)
menyatakan bahwa individu yang berada pada situasi boundary spanning
sangat berpotensi mengalami tekanan akibat peran yang dijalaninya. Para
peneliti setuju bahwa role stressors terdiri dari role conflict, role ambiguity,
dan role overload (Idris, 2011)
Sumber Potensial Stres (skripsi dan tesis)
Stres yang dialami seseorang dapat dipicu oleh tiga sumber potensial
yaitu lingkungan, organisasi, dan pribadi (Robbins dan Judge, 2008:370).
Faktor lingkungan antara lain adanya ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian
politik, dan perubahan ekonomi. Perubahan dalam situs bisnis dapat
menciptakan ketidakpastian ekonomi. Ketidakpastian ini akan mengakibatkan
orang-orang merasa cemas mengenai kelangsungan pekerjaan mereka,
sehingga dapat memicu stres.
Ancaman dan ketidakstabilan politik yang mungkin menimbulkan
perubahan-perubahan yang tidak pasti sehingga dapatmemicu stress
di masyarakat. Perubahan teknologi, inovasi-inovasi baru, otomatisasi,
sistem robotik, dan komputer, dapat membuat keterampilan dan pengalaman
seseorang menjadi usang dengan cepat.
Perubahan ini merupakan ancaman bagi banyak orang dan membuat
mereka stres (Robbins dan Judge, 2008).
Faktor organisasional antara lain
tekanan tugas, tekanan peran, dan tekanan antarpersonal. Tekanan tugas
meliputi desain pekerjaan individual (otonomi, kegaraman tugas, tingkat
otomatisasi), kondisi kerja, tata letak fisik pekerjaan. Pekerjaan yang
menuntut kecepatan dan pentingnya pelayanan untuk pelanggan dapat
memicu stres karena pekerjaan tersebut menuntut faktor emosional dan
kesiapan untuk menghadapi pelanggan, walaupun dengan suasana hati yang sedang buruk. Pemicu tekanan akibat peran yang dijalani (role stressors)
terdiri dari role conflict, role ambiguity, dan role overload dapat memicu
timbulnya. Tekanan antarpersonal seperti tidak adanya dukungan dari kolega
serta hubungan yang buruk antar rekan kerja dapat menimbulkan stres
terutama di antara karyawan dengan kebutuhan sosial tinggi (Robbins dan
Judge, 2008).
Faktor personal seperti persoalan keluarga, persoalan ekonomi, serta
kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang, dapat
menjadi sumber potensial stres. Hubungan pernikahan, retaknya hubungan,
dan pola asuh anak-anak, dapat memicu stres yang kemudian terbawa sampai
ke lingkungan pekerjaan. Pola hidup dan manajemen keuangan yang kurang
baik dalam kehidupan pribadi, serta karakteristik seseorang yang memiliki
kecenderungan untuk cepat mengalami stres, juga disimpulkan menjadi
faktor-faktor penyebab potensial dari stres (Robbins dan Judge, 2008)
Affective Event Theory (AET) (skripsi dan tesis)
Afective events theory (AET) merupakan sebuah model yang
menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa di tempat kerja menyebabkan reaksireaksi emosional pada karyawan, yang kemudian mempengaruhi sikap dan
perilaku di tempat kerja (Robbin dan Judge, 2008:332). Dapat disimpulkan
bahwa AET menunjukkan bahwa karyawan bereaksi secara emosional pada
hal-hal yang terjadi pada mereka di tempat kerja dan bahwa reaksi ini
mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja mereka.
Kerja emosional merupakan situasi dimana seorang karyawan
mengekspresikan emosi-emosi yang diinginkan secara organisasional selama
transaksi selama transaksi antarpersonal ditempat kerja. Namun, terkadang
karyawan harus menunjukkan satu emosi sementara pada saat yang
bersamaan mengalami emosi yang lain. Ketidaksesuaian antara emosi yang
dirasakan dan emosi yang ditampilkan (disonansi emosional) dapat
berakibat buruk bagi seseorang. Jika dibiarkan, perasaan seperti frustasi,
kemarahan, dan kebencian, pada akhirnya dapat menyebabkan kelelahan
emosional dan kejatuhan mental (Robbins dan Judge, 2008:328).
Peristiwa-peristiwa di tempat kerja dapat memicu reaksi positif
atau negatif. Namun, kepribadian dan suasana hati karyawan memengaruhi
mereka untuk merespon peristiwa tersebut dengan intensitas yang lebih besar atau lebih kecil. Emosi-emosi tersebut dapat memengaruhi kinerja dan
kepuasan seperti komitmen organisasional, tingkat usaha, niat untuk berhenti
bekerja, dan penyimpangan di tempat kerja (Robbins dan Judge, 2008:332).
Teori Peran (Role Theory) (skripsi dan tesis)
Teori peran (role theory) dikemukakan oleh Khan et al. (1964).
Menurut Khan et al. (1964), teori peran merupakan penekanan sifat
individual sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku yang sesuai
dengan posisi yang ditempati di masyarakat. Lingkungan seseorang terdiri
dari organisasi formal atau kelompok dan kehidupan dari individu dapat
digambarkan oleh susunan peran yang individu mainkan dalam organisasi
atau kelompok ini (Jones et al., 2010). Peran merupakan sebuah bagian yang
dijalankan orang ketika berinteraksi dengan orang lain. Setiap peran memiliki
identitas yang melekat padanya, yang mendefinisi pemegang peran, siapa
dirinya, dan bagaimana dia harus berperilaku dalam situasi tertentu. Menurut
teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter,
dosen, walikota, dan lain sebagainya, diharapkan berperilaku sesuai dengan
peran yang dijalaninya.
Peran yang dimainkan oleh seseorang dapat menjadi faktor penyebab
stres karena seseorang dalam kehidupannya tidak hanya memainkan satu
peran. Harapan dari lingkungan di sekitar individu atas peran yang
dijalankannya, akan memberikan tekanan-tekanan yang dapat memengaruhi
bagaimana individu bertindak. Stres dapat terjadi jika individu sulit
menginterpretasikan harapan-harapan tersebut, terdapat ketidakjelasan
harapan atas peran yang dijalankannya, atau terdapat konflik antara harapan
atas peran yang satu dengan peran yang lainnya. Teori peran juga
9
10
menyatakan bahwa ketika perilaku yang diharapkan oleh individu tidak
konsisten, maka mereka dapat mengalami stres, depresi, merasa tidak
puas, dan kinerja mereka akan kurang efektif daripada jika pada harapan
tersebut tidak mengandung konflik (Hutami dan Chariri, 2011).
Pengaruh komitmen organisasi terhadap intensi turnover (skripsi dan tesis)
Turnover intention mengarah pada kenyataan akhir berupa keluarnya
karyawan pada saat tertentu. Turnover intention dapat berupa pengunduran
diri, perpindahan keluar unit perusahaan, pemberhentian atau kematian
anggota perusahaan. Oleh sebab itu, tingginya tingkat turnover iniakan
menjadi masalah yang berarti bagi perusahaan, dimana proses rekrutmen
yang mereka lakukan pada akhirnya akan menjadi sia-sia karena staf yang
direkrut tersebut lebih memilih pekerjaan baru di perusahaan lain.
Chen (2006) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang sangat
berpengaruh pada turnover intention adalah komitmen organisasi. Cohen dan Ronit (2007) menyatakan bahwa komitmen keberlanjutan memiliki
hubungan dengan turnover intention, karena terkait dengan biaya yang
dikeluarkan. Dalam dunia bisnis, komitmen organisasi merupakan isu yang
sangat penting, dan oleh karenanya perusahaan memasukkan unsur
komitmen organisasi sebagai salah satu seseorang untuk dapat bekerja di
perusahaan yang bersangkutan. Hasil penelitian Jehanzeb et al. (2013)
menunjukkan adanya hubungan negatif antara komitmen organisasi
dengan turnover intention. Seseorang yang memperoleh kepuasan kerja
dalam sebuah perusahaan, maka komitmen yang dimilikinya pun akan
tinggi terhadap perusahaan tersebut (Hsiao dan Chen, 2012). Tingginya
tingkat komitmen dukungan karyawan dan pengembangan komitmen
karyawan pada perusahaan akan mengurangi turnover intention (Hussain
dan Asif, 2012)
Pengaruh kepuasan kerja terhadap intensi turnover (skripsi dan tesis)
Kepuasan kerja pada karyawan memiliki arti yang sangat penting
bagi perusahaan. Karyawan yang merasa puas pastinya akan bertahan di
perusahaan itu dan mampu bekerja secara produktif. Ketidakpuasan kerja
telah sering diidentifikasikan sebagai suatu alasan yang penting yang
menyebabkan individu meninggalkan pekerjaannya. Kepuasan karyawan
32
dalam bekerja, akan berpengaruh terhadap berbagai faktor. Martoyo (2007
: 151) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi
keinginan untuk berpindah kerja, jika karyawan tidak puas dengan
pekerjaannya, maka besar keinginan mereka untuk pindah kerja. Walaupun
demikian, tingkat kepuasan kerja yang tinggi tidak menjamin karyawan
yang bekerja di organisasi tersebut tidak ingin pindah. Penelitian Waspodo
(2013) menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap turnover intention karyawan. Purna (2012)
menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap intensi turnover
Dampak Turnover (skripsi dan tesis)
Turnover merupakan petunjuk kestabilan karyawan. Semakin tinggi
turnover, berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan. Tentu hal ini akan merugikan perusahaan. Sebab, apabila seorang karyawan
meninggalkan perusahaan akan membawa berbagai biaya seperti :
a. Biaya penarikan karyawan. Menyangkut waktu dan fasilitas untuk
wawancara dalam proses seleksi karyawan, penarikan dan mempelajari
penggantian.
b. Biaya latihan. Menyangkut waktu pengawas, departemen personalia
dan karyawan yang dilatih.
c. Apa yang dikeluarkan buat karyawan lebih kecil dari yang dihasilkan
karyawan baru tersebut.
d. Tingkat kecelakaan para karyawan baru, biasanya cenderung tinggi.
e. Adanya produksi yang hilang selama masa pergantian karyawan.
f. Peralatan produksi yang tidak bisa digunakan sepenuhnya.
g. Banyak pemborosan karena adanya karyawan baru.
h. Perlu melakukan kerja lembur, kalau tidak akan mengalami penundaan
penyerahan (Ranupandojo dan Husnan, 2005: 37).
Turnover yang tinggi pada suatu bidang dalam suatu organisasi,
menunjukkan bahwa bidang yang bersangkutan perlu diperbaiki kondisi
kerjanya atau cara pembinaannya. Tingkat turnover intentions bisa
dinyatakan dengan berbagai rumusan. Umumnya laju turnover intentions
dinyatakan dalam persentase yang mencakup jangka waktu tertentu.
Harnoto (2005:4) mencontohkan misal suatu perusahaan memiliki rata-rata
800 tenaga kerja per bulan, di mana selama itu terjadi 16 kali karyawan
keluar (accession) dan 24 kali pemecatan (separation). Maka accession rate adalah 16/800 x 100% = 2%, sedang separation rate adalah 24/800 x
100% = 3%. Dengan demikian tingkat replacement (penggantian) atau
replacement rate adalah sama dengan accession rate yakni 2%. Sebab
replacement (penggantian) atau replacement rate selalu harus seimbang
dengan accession rate-nya. Hal ini berarti bahwa dengan keluarnya
seorang pegawai/karyawan misalnya, harus segera diganti dengan seorang
pegawai/karyawan baru sebagai penggantian (replacement). Tingkat
replacement tersebut sering pula disebut net labour turnover, yang
menekankan pada biaya perputaran tenaga kerja untuk menarik dan
melatih karyawan pengganti.
Perpindahan karyawan (employee turnover) dianggap penting untuk
diperhatikan karena akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan
bagi perusahaan. Seperti dikatakan oleh Bao dalam Riyanto (2008) yang
menyatakan bahwa turn over dianggap penting untuk diperhatikan karena
berpotensi menimbulkan biaya, terutama jika tingkat turn over yang terjadi
relatif tinggi. Suwandi dan Indriantono dalam Riyanto (2008 : 32)
menambahkan bahwa turn over yang terjadi pada karyawan inti
(functional) yang mempunyai kinerja tinggi, dapat menyebabkan
timbulnya potensi biaya seperti biaya pelatihan, biaya rekruitmen dan
pelatihan kembali. Di samping itu turn over mengganggu aktivitas dan
produktivitas perusahaan.
Indikasi Turn Over (skripsi dan tesis)
Indikasi-indikasi tersebut bisa
digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan turnover intentions
karyawan dalam sebuah perusahaan.
a. Absensi yang meningkat
Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja,
biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat
tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan
dengan sebelumnya. b. Mulai malas bekerja
Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja,
akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja
di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua
keinginan karyawan bersangkutan.
c. Peningkatan terhadap pelanggaran tatatertib kerja
Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan
pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover.
Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam
kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya.
d. Peningkatan protes terhadap atasan
Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja,
lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan
perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya
berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat
dengan keinginan atau kebutuhan karyawan.
e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya
Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik
positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap
tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini
meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan
karyawan ini akan melakukan turnover.
Langganan:
Postingan (Atom)