Burnout merupakan istilah yang pertama kali dikemukakan oleh
Freudenberger (1974) dan telah banyak diriset dalam literatur- literatur
pekerjaan di bidang kesehatan dan psikologi terapan (Almer dan Kaplan,
2002). Burnout merupakan representasi dari sindrom stres psikologis spesifik
yang merupakan respon negatif yang timbul sebagai hasil dari tekanan
pekerjaan atau stressor (Cordes dan Daugherty, 1993). Burnout juga
didefinisikan sebagai suatu kondisi yang muncul dari waktu ke waktu dan
ditandai dengan kelelahan emosional dan suatu kombinasi dari sikap-sikap
negatif (Kreitner dan Kinichi, 2005:363). Maslach dan Jackson (1981)
mendefinisikan burnout sebagai sindrom psikologis dari kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan penurunan prestasi kerja, yang muncul di antara
individu-individu yang bekerja dengan orang lain. Maslach et al. (2001)
menyatakan bahwa burnout merupakan bentuk dari stres pekerjaan, yang
dihubungkan dengan kepuasan pekerjaan, komitmen organisasi, dan turnover.
Burnout terdiri dari tiga dimensi (Freudenberger, 1974; Cordes dan
Daugherty, 1993; Maslach et al., 2001; Almer dan Kaplan, 2002; Murtiasri
dan Ghozali, 2006) yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion),
depersonalisasi (depersonalization), dan penurunan prestasi kerja (rreduce
personal accomplishment). Kelelahan emosional merupakan sebuah dimensi
dari burnout yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari
tuntutan emosional dan psikologis yang berlebihan (excessive
psychoemotional demands) yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan
perhatian, kepercayaan, minat, dan semangat (Murtiasri dan Ghozali, 2006).
Sebaliknya, tuntutan yang berlebihan yang berasal dari tugas-tugas kerja,
yang membutuhkan solusi inovatif dan kreatif, dan gairah tingkat tinggi akan
terjadi, ketika personil akuntansi bekerja untuk klien di bawah tekanan waktu
(Fogarty et al., 2000).
Fogarty et al. (2000) menyebutkan bahwa depersonalisasi merupakan
kecenderungan untuk bersikap negatif dan tidak peduli dengan orang lain. Hal
ini menunjukkan kecenderungan untuk memperlakukan seseorang sebagai
objek yang tidak memiliki perasaan (Utami dan Nahartyo, 2013). Hal serupa
juga dikemukakan oleh Almer dan Kaplan (2002) bahwa orang yang
mengalami depersonalisasi merasa tidak ada satupun aktivitas yang
dilakukannya bernilai atau berharga. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku
yang tidak acuh, bersikap sinis, tidak berperasaan, dan tidak memperhatikan
kepentingan orang lain (Murtiasri dan Ghozali, 2006). Dette (2008)
menambahkan bahwa orang yang mengalami depersonalisasi cenderung
untuk memiliki sikap negatif dan sinis terhadap klien, rekan kerja, dan organisasi.
Hal ini dapat menyebabkan individu dapat menjauhkan diri dari
lingkungan kerja dan rekan kerja, serta mempertimbangkan untuk
meninggalkan profesi mereka.
Penurunan prestasi kerja mengacu pada kecenderungan individu untuk
mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang
dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993; Yustrianthe, 2008; Utami dan
Nahartyo, 2013). Dette (2008) menyatakan bahwa penurunan prestasi kerja
mengacu pada individu yang mulai merasa dirinya tidak kompeten dan tidak
memadai untuk melakukan pekerjaannya. Almer dan Kaplan (2002) dan
Utami dan Nahartyo (2013) menyatakan bahwa penurunan prestasi kerja
meliputi rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri. Kalbers et
al. (2005) menyatakan bahwa ketiga dimensi burnout ini merupakan kondisi
psikologis dengan pola unik tersendiri yang merupakan anteseden yang
dihubungkan dengan role stressors
Tidak ada komentar:
Posting Komentar