Menurut para ahli, individu yang mengalami konflik antara peran yang
berkepanjangan akan bersaing mencari metode untuk mengurangi konflik atau
mengurangi ketegangan dirasakan antara peran. Bruening and Dixon dalam Lubis
(2014:17) mengemukakan bahwa metode tersebut mencakup:
1. Penyesuaian waktu atau usaha yang terlibat dalam peran sehingga mereka
yang berada dalam konflik langsung kurang antara konflik satu dengan konflik
lainnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin berhenti bekerja untuk
mencurahkan lebih banyak waktu untuk keluarga dan dapat mengurangi
ketegangan.
2. Metode lain yaitu mengubah sikap seseorang terhadap konflik dari pada
mengurangi konflik itu sendiri. Misalnya, memutuskan untuk merasa kurang
bersalah dengan kurangnya waktu yang dihabiskan untuk anak-anak.
3. Mencari dan mengandalkan dukungan organisasi juga merupakan metode
untuk mengatasi dan mengurangi konflik peran. Misalnya, organisasi
memberikan tunjangan keluarga seperti cuti keluarga.
Menurut Horton dan Hunt dalam Liliweri (2011:289), resolusi konflik
adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam
memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi tejadinya konflik, kemudian
membuat penyelesaian terhadap konflik. Resolusi konflik yang dapat diartikan
sebagai penyelesaian konflik (Conflict Resolution) adalah usaha yang dilakukan
untuk menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak
yang terlibat di dalam konflik. Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita
mengetahui bahwa konfik itu ada dan diarahkan pada keterlibatan berbagai pihak
dalam isu-isu mendasar sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Selain itu, agar
kita memahami gaya dari resolusi konflik dan mendefinisikan kembali jalan pintas
kearah pembaharuan penyelesaian konflik.
Menurut Horton dan Hunt dalam Liliweri (2011:291), seseorang mungkin
tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain
memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu
merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa
sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan
peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua
individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar
sama. Ada beberapa proses yang umum untuk penyelesaian konflik peran, yaitu
antara lain:
1. Rasionalisasi
Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu
situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi
dapat diterima. Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang
mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya
bahwa”semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki
budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah”manusia” tetapi”benda milik.”
2. Pengkotakan (Compartmentalization)
Pengkotakan (Compartmentalization) yakni memperkecil ketegangan peran
dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang
terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran
pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar
bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya
sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.
3. Ajudikasi (Adjudication)
Ajudikasi yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik
peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari
tanggung jawab dan dosa.
4. Kedirian (Self)
Kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan
dan”kedirian” (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul
sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran yang
tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya
menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung
mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat
disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu. Konflik-konflik nyata antara
peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role
distance) yang dikembangkan Erving Goffman.”Jarak peran” diartikan
sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat
sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam
penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai
dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar
peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli
untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih
murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka
lakukan dalam suatu situasi. Penampilan”jarak peran” menunjukkan adanya
perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain,”penyatuan diri”
dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari”jarak peran.”
Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap
perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu
menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang
diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar