Menurut Todaro and Smith, 2006, bagaimanapun masalah kesejahteraan itu
dikemas, terlihat bahwa pendapatan atau konsumsi, atau pemenuhan hasrat dan
kesenangan subjektif semata, belum secara tepat mendefinisikan kesejahteraan.
Hampir semua pendekatan tentang kesjahteraan berujung kepada pertimbangan
terhadap kesehatan dan pendidikan, selain pendapatan. Pandangan tentang indikator
kesejahteraan yang meliputi pendapatan, kesehatan, dan pendidkan di tingkat makro,
oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dinyatakan sebagai Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).
IPM oleh PBB dipandang sebagai peringkat pembangunan manusia sebagai
indikator kesehjahteraan makro bagi semua Negara dari skala 0 (tingkat yang paling
rendah) hingga
1 (tingkat yang paling tinggi), yang didasarkan pada tiga tujuan atau
produk akhir pembangunan, yaitu:
(1) masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia
harapan hidup (kesehatan),
(2) pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan
kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (2/3) dan rata-rata tahun
bersekolah (1/3) (pendidikan), dan
(3) standar kehidupan (standard of living) yang
diukur dengan pendapatan riil per kapita dan disesuaikan dengan paritas daya beli
(pendapatan).
Pengelompokan IPM adalah : tingkat pembangunan manusia rendah (0,000 hingga 0,499), tingkat pembangunan manusia menengah (0,500 hingga 0,799),
dan tingkat pembangunan manusia tinggi (0,800 hingga 1,000).
Kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna (Bade and Parkin, 2001).
1) Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk
pada istilah kesejahteraan sosial (sosial welfare) sebagai kondisi
terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera
terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan
dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan
dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari
resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.
2) Sebagai pelayanan sosial. Pelayanan sosial umumnya mencakup lima
bentuk, yakni jaminan sosial (sosial security), pelayanan kesehatan,
pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal sosial
services).
3) Sebagai tunjangan sosial. Karena sebagian besar penerima welfare adalah
orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian
menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti
kemiskinan, kemalasan, dan ketergantungan.
4) Sebagai proses atau usaha terencana, yang dilakukan oleh perorangan,
lembaga-lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian
pelayanan sosial dan tunjangan sosial. Tujuan tercapainya kesejahteraan diharapkan dapat mendukung standar hidup
dan mengurangi kesenjangan, dengan demikian harus menghindari ledakan biaya dan
mencegah perilaku yang kondusif bagi moral hazard. Semua tujuan ini harus dicapai
dan dapat meminimalkan biaya administrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh
mereka yang bertugas menjalankan itu. Tujuan kesejahteraan disusun melalui konsep
ekonomi kelembagaan dalam lingkup negara, melalui terobosan dan pengaturan berdasarkan pada tiga pilar:
a) tunjangan keluarga,
b) pelayanan kesehatan yang
komprehensif, dan
c) kebijakan pendidikan murah.
Penelitian Hagfors and Kajanoja (2007) di Finlandia menghasilkan gagasan
bahwa risiko dan kemiskinan masyarakat harus ditanggung oleh kesejahteraan negara,
dimana kesejahteraan negara meningkatkan kesetaraan pada masyarakat dengan
menutup risiko dan menyamakan peluang serta distribusi pendapatan. Inti
permasalahan yang dimunculkan adalah kesetaraan yang diciptakan oleh kesejahteraan
negara sejalan (positif) terkait dengan kepercayaan umum antara rakyat dan peran
modal sosial dalam menjembatani keterkaitan ini. Pengurangan risiko itu sangat
berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, secara umum kepercayaan dan
modal sosial yang menjembataninya semakin penting dalam perekonomian saat ini.
Perubahan historis teori ekonomi neo-klasik tidak dijadikan acuan, yang dilihat hanya
peran kebijakan sosial masa kini dan kesetaraan, serta keterkaitan hubungan antara
modal sosial dan kesejahteraan.
Analisis kesejahteraan sosial diukur melalui kegiatan ekonomi dari individuindividu yang membentuk masyarakat. Oleh karena itu, individu dengan kegiatan ekonomi yang terkait, adalah unit dasar yang akan menggabungkan kesejahteraan
sosial, baik dari kelompok, komunitas, atau masyarakat. Kesejahteraan sosial mengacu
pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan bisa dianggap sebagai
penjumlahan dari kesejahteraan semua individu dalam masyarakat (Bade and Parkin ,
2001).
Salah satu usaha meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat adalah melalui
usaha pengembangan masyarakat, perkembangan fisik lingkungan, dan perkembangan
manajemen terhadap profesinya, dalam rangka mencapai kemandirian masyarakat.
Adanya pengaruh tiga usaha tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat ditandai dengan meningkatnya pendapatan riil, tingkat pendidikan, kesehatan
serta rasa aman dan nyaman. Kemandirian masyarakat digambarkan dengan
meningkatnya kemandirian di dalam pengadaan modal usaha, kemandirian dalam
berpartisipasi dalam pembangunan desa, dan kemandirian didalam peningkatan
peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Kejahteraan sosial masyarakat sendiri pada
akhirnya mempengaruhi kemandirian masyarakat melalui ukuran kesejahteraan
ekonomi subjektif (KES).
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) menurut Hayo and Seifert dalam
Suandi (2007) banyak diteliti karena ada tiga alasan penting, yaitu :
(1) KES
merupakan kunci penting dalam kebijakan ekonomi, dimana makro ekonomi suatu
negara berko-relasi positif dengan KES,
(2) KES menjadi dasar pertimbangan dalam
politik ekonomi, karena kepuasan ekonomi individu dan masyarakat akan
mempengaruhi dukungan politik terhadap ekonomi pasar dan demokrasi, dan
(3) KES
57
menjadi dasar dalam melihat kondisi ekonomi objektif dan subjektif dalam membuat
perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan pengukuran KES menggunakan istilah subjektivitas dan relativitas,
dan kedua istilah ini menggunakan terminologi persepsi. Menurut Ravallion and
Lokshin dalam Suandi (2007), pendekatan subjektivitas dapat menggambarkan
kesejahteraan yang lebih komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan
jasa di pasar. Kesejahteraan dalam konteks subyektivitas dapat menggambarkan
berbagai aspek dalam kehidupannya, seperti : aktivitas ekonomi, semangat hidup,
tingkat independensi, dan kebahagiaan di waktu luang. Sedangkan pendekatan
relativitas memiliki beberapa konsekuensi, yaitu :
(1) kesejahteraan yang dirasakan
bukan hanya sesaat, tetapi mampu membandingkan kesejahteraan sekarang dengan
waktu yang lampau dan di masa yang akan datang,
(2) ada unsur penyerapan
informasi baru dari luar, dan
(3) tidak mampu menggambarkan persepsi kesejahteraan
secara keseluruhan.
Pendekatan yang sering digunakan dalam persepsi kesejahteraan subjektif
adalah kepuasan dan kebahagiaan. Secara operasional, variabel kepuasan merupakan
indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagiaan karena tingkat kepuasan
lebih mampu melihat gap antara inspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Sen dalam
Suandi (2007) menyatakan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan
kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi yang mampu menjangkau berbagi
kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan hanya dapat merasakan berbagai
peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan institusi dan masyarakat.
58
Disamping itu, kepuasan individu, keluarga, dan atau masyarakat dapat
menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan
masa depan
Kesejahteraan masyarakat merupakan jumlahan KES semua individu yang
tinggal di suatu daerah atau masyarakat. Sedangkan kesejahteraan subjektif (individu)
akan mencerminkan kualitas hidup seseorang. Banyak faktor yang mempengaruhi
kulaitas hidup seseorang, yang terpenting adalah tujuan dan dimensi subjektif dari
kualitas hidup itu sendiri. Pengukuran tujuan dan dimensi subjektif kualitas hidup
seseorang dikembangkan oleh The International Wellbeing Group (2013) melalui
Indeks Kesejahteraan Pribadi (IKP), sebagai ukuran kesejahteraan subjektif.
Kesejahteraan subjektif diukur melalui pertanyaan tentang kepuasan yang diarahkan
kepada perasaan seseorang terhadap diri mereka sendir