Vermonte (2012) menyatakan bahwa pendanaan dari partai politik di Indonesia tidak cukup
hanya dari iuran anggota partainya, partai juga
memerlukan sumber pendanaan lain dari sumbangan perusahaan atau individu yang tak
jarang turut melibatkan perjanjian transaksional. Bentuk timbal balik terhadap pemberi
dana dapat berupa lobi politik, tender proyek,
atau kebijakan yang menguntungkan bagi perusahaan atau individu terkait. Dasar pemikiran
ini juga yang membuat perusahaan berusaha
melakukan lobi politik untuk mempertahankan
status quo di dalam kebijakan terkait tata kelola
perusahaan agar tetap mendapatkan kontrol
atas pemegang saham minoritas.
Micco, Panizza, dan Yanet (2007) menyatakan bahwa perusahaan dengan hubungan
politik memiliki kemungkinan untuk melakukan penyesuaian di dalam pelaporan keuangan
untuk kepentingan pemegang saham pengendali sehingga mengorbankan pemegang saham
minoritas.
Penelitian dari Bebchuk dan
Neeman (2005) menunjukkan bahwa transaksi
insider di dalam perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi di keluarga menggunakan
aset dari perusahaan untuk kepentingan pribadi,
salah satu penggunaan aset perusahaan ialah
untuk mempengaruhi politisi dan birokrat untuk tetap menjaga perlindungan investor yang
rendah. Dengan perlindungan investor yang
tetap rendah maka pemegang saham pengendali
akan dapat terus memanfaatkan pemegang
saham minoritas melalui ekspropriasi.
Selain melalui perlindungan investor
yang lemah, penerapan tata kelola juga dipengaruhi oleh transparansi dari perusahaan
yang terkoneksi politik. Leuz dan Gee (2006)
memiliki argumen bahwa koneksi politik
dapat menjadi substitusi bagi pinjaman dari
luar negeri. Perusahaan terkoneksi politik
dapat memperoleh akses pembiayaan hutang
(Amelia 2013).
Menurut Leuz dan Gee (2006)
efek substitusi ini membuat tingkat transparansi dari perusahaan akan lebih buruk
akibat dari tidak perlunya mengikuti keperluan
pelaporan dan transparansi sesuai dengan
standar pembiayaan dari luar negeri. Perusahaan terkoneksi politik akan membiarkan
transparansi seadanya dan mendapatkan pembiayaan hutang akibat koneksi politik yang
dimilikinya.
Perusahaan yang terkoneksi politik
akan memanfaatkan kontrol yang dimilikinya
untuk melakukan lobi politik agar standar,
aturan, dan penegakan atas tata kelola perusahaan tetap di posisi status quonya, posisi
tidak maksimal (Haque, Arun, dan Kirkpatrick
2011). Selain itu perusahaan yang memiliki
koneksi politik, tingkat transparansinya akan
menjadi lebih rendah karena transparansi tidak
dinilai menjadi sebuah nilai tambah akibat telah
mendapat akses pembiayaan dari koneksi
politiknya (Leuz dan Gee 2006).