Permasalahan keagenan tidak hanya terjadi
antara pemegang saham dengan manajemen,
melainkan di perusahaan yang kepemilikannya
dapat juga terjadi antara pemilik saham
mayoritas dan manajemen dengan pemegang
saham minoritas (Villalonga dan Amit 2006).
Salah satu kelemahan praktik tata
kelola di Indonesia terkait dengan minimnya
pengungkapan mengenai kepemilikan tidak
langsung di dalam perusahaan, selain itu juga
masih banyak yang belum mengungkapkan
anggota dewan direksi atau komisaris yang menjabat di tempat lain, dan minimnya pengungkapan mengenai proses nominasi di jajaran
dewan komisaris atau direksi. Kelemahankelemahan tersebut dapat disebabkan dengan
struktur kepemilikan yang secara langsung
akan mempengaruhi siapa pengendali dari
perusahaan tersebut.
Secara umum struktur kepemilikan
dari perusahaan-perusahaan di Asia masih
banyak didominasi oleh unsur kekeluargaan
(Classen, Djankov, dan Lang 2000). Classen,
Djankov, dan Lang (2000) melakukan penelitian di negara-negara Asia Selatan yang
menunjukkan bahwa sulit untuk membedakan
batasan antara pemilik perusahaan dengan
pengelola perusahaan sebagai manajemen,
banyak diantaranya dijalankan oleh anggota
keluarga pemilik. Di Indonesia sendiri masih
didominasi oleh perusahaan keluarga, perusahaan yang struktur kepemilikannya sudah tersebar hanya sebesar 0,6% (Classen, Djankov,
dan Lang 2000). Carney dan Child (2013)
melakukan penelitian kembali mengenai perkembangan struktur kepemilikan di Asia
Selatan. Indonesia mengalami sedikit peningkatan di dalam perusahaan yang kepemilikannnya tersebar menjadi 3,8% dan penurunan
kepemilikan keluarga di perusahaan terbuka
sebesar 11,3% dari survey Classen, Djankov,
dan Lang (2003) yaitu dari 68,6% menjadi
57,3% (Carney dan Child 2013).
Perusahaan dengan dominasi kepemilikan keluarga dapat memiliki kinerja yang
lebih efisien dikarenakan biaya untuk melakukan pengawasan yang lebih kecil (Fama dan
Jensen, 1983). Biaya pengawasan lebih kecil
disebabkan karena kepemilikannya yang terkonsentrasi sehingga konflik yang terjadi lebih
sedikit dibandingkan dengan perusahaan
dengan kepemilikan tersebar. Di samping itu
perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang
dominan dikelola oleh anggota keluarganya
sendiri sehingga dapat lebih dipercaya, sehingga konflik keagenan menjadi berkurang
(Fama dan Jensen 1983).
Di sisi lain permasalahan keagenan
yang timbul bukan lagi antara pemilik dan
manajemen, melainkan pemegang saham
minoritas dengan pemilik keluarga, termasuk manajemen yang berasal dari keluarga. Pemegang saham mayoritas, dalam hal ini keluarga,
memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dominasinya di dalam perusahaan, melalui
manajemennya dan juga pembatasan praktik
GCG (Classen, Djankov, dan Lang 2000).
Pembatasan praktik GCG pada akhirnya
membatasi perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas, bertentangan dengan prinsip
tata kelola perusahaan untuk perlakuan yang
setara terhadap pemegang saham. Sehingga
akhirnya konflik kepentingan ini berujung pada
ekspropriasi oleh pemegang saham keluarga
terhadap pemegang saham minoritas, dengan
praktik tata kelola perusahaan yang tidak cukup
baik (Faccio, Lang, dan Young 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar