Hardjana (2006) menyatakan iklim organisasi adalah konsep utama dari
hubungan manusia untuk memahami perilaku manusia di bawah pengaruh
lingkungan yang berbeda. Menurut Tagiuri dan Litwin (dalam Wirawan, 2007) iklim
organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus
berlangsung, dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan
dapat dilukiskan dalam pengertian suatu set karakteristik atau sifat organisasi.
Stinger (dalam Wirawan, 2007) mendefinisikan bahwa iklim organisasi
sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta
berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai. Iklim organisasi
adalah lingkungan manusia dimana para pegawai organisasi melakukan
pekerjaannya. Iklim organisasi tidak dapat dilihat atau disentuh tetapi iklim ada seperti udara dalam suatu ruangan mengitari dan mempengaruhi segala hal yang
terjadi dalam suatu organisasi (Davis, 1996).
Sugianto dan Sutanto (2013) berpendapat iklim organisasi memiliki pengaruh
yang luas, karena juga berpengaruh terhadap efisiensi dan produktivitas organisasi,
kemampuan organisasi berinovasi, kepuasan kerja, dan suasana apa saja yang dapat
dinikmati oleh anggota organisasi. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka
dapat dinyatakan bahwa iklim organisasi adalah suatu pola lingkungan internal dalam
suatu organisasi yang mempengaruhi seluruh anggota organisasi yang berdampak
terhadap perilaku anggota organisasi dalam menjalankan kewajibannya
Jumat, 31 Januari 2020
Iklim Organisasi (skripsi dan tesis)
Perilaku Kerja Inovatif (skripsi dan tesis)
Sajiwo (2014) mengungkapkan inovasi adalah suatu proses memikirkan dan
mengimplementasikan pemikiran tersebut, sehingga menghasilkan hal baru berbentuk
produk, jasa, proses bisnis, cara baru, kebijakan, dan lain sebagainya. Purba (2009)
mengemukakan bahwa perilaku inovatif menekankan pada adanya sikap kreatif agar
terjadi proses perubahan sikap dari tradisional ke modern, atau dari sikap yang belum
maju ke sikap yang sudah maju.
Yuan dan Woodman (2010) menyatakan bahwa perilaku kerja yang inovatif
adalah keinginan anggota organisasi untuk memperkenalkan, mengajukan serta
mengaplikasikan ide-ide, produk, proses, serta prosedur baru ke dalam pekerjaannya,
unit kerja atau bahkan organisasi tempat bekerja. Jansen (2000) menyatakan bahwa
perilaku kerja inovatif biasanya terlihat untuk mencakup serangkaian luas perilaku
yang berkaitan dengan generasi ide, menciptakan dukungan bagi mereka, dan
membantu pelaksanaannya. Farr dan Ford (1990) mendefinisikan perilaku kerja
inovatif sebagai perilaku individu yang bertujuan untuk mencapai inisiasi dan
pengenalan disengaja (dalam peran kerja, kelompok atau organisasi) dan ide yang
berguna, proses, produk atau prosedur.
Kleysen dan Street (dalam Kresnandito dan Fajrianthi, 2012) mendefinisikan
perilaku inovatif sebagai keseluruhan tindakan individu yang mengarah pada
pemunculan, pengenalan, dan penerapan dari sesuatu yang baru dan menguntungkan
pada seluruh tingkat organisasi. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat
dinyatakan bahwa perilaku kerja inovatif adalah perilaku individu atau anggota
organisasi yang memperkenalkan ide-ide yang dibuatnya kepada sebuah kelompok
atau organisasi tempat mereka bekerja
Kamis, 30 Januari 2020
Aspek-aspek Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)
Janssen (2000) memaparkan tiga dimensi untuk pengukuran perilaku
inovatif di tempat kerja yaitu :
a. Menciptakan Ide (Idea Generation)
Karyawan mampu mengenali masalah yang terjadi dalam
organisasi kemudian menciptakan ide atau solusi baru yang berguna pada
bidang apapun. Ide atau solusi tersebut dapat bersifat asli maupun
dimodifikasi dari produk dan proses kerja yang sudah ada sebelumnya.
Contohnya ketika muncul masalah di dalam organisasi, karyawan mampu
untuk menemukan ide-ide sebagai pemecahan masalah.
b. Berbagi Ide (Idea Promotion)
Karyawan berbagi ide atau solusi baru yang telah diciptakan
kepada rekan-rekan kerja, sehingga ide tersebut dapat diterima. Selain
itu, terjadi pula pengumpulan dukungan agar ide tersebut memiliki
kekuatan untuk diimplementasikan dan direalisasikan dalam organisasi.
Contohnya ketika karyawan sudah menemukan ide sebagai sebuah
pemecahan masalah, maka selanjutnya karyawan berbagi ide tersebut
untuk mendapatkan dukungan yang nantinya dapat di terapkan di
organisasi.
c. Realisasi Ide (Idea Realization)
Karyawan memproduksi sebuah prototipe atau model dari ide
yang dimiliki menjadi produk dan proses kerja yang nyata agar dapat
diaplikasikan dalam lingkup pekerjaan, kelompok, atau organisasi secara
14
keseluruhan sehingga dapat meningkatkan efisiensi kerja organisasi.
Contohnya ketika karyawan sudah mendapatkan dukungan dari rekan
kerja untuk ide yang diciptakan, maka selanjutnya penerapan atau
aplikasi ide tersebut kedalam sebuah organisasi sebagai sebuah
pemecahan masalah.
Berdasarkan aspek-aspek perilaku kerja inovatif, maka dapat disimpulkan
bahwa aspek menciptakan ide (idea generation), berbagi ide (idea promotion),
dan realisasi ide (idea realization) adalah dasar dari munculnya perilaku kerja
inovatif.
Pengertian Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)
Secara etimologis inovatif adalah usaha seseorang dengan
mendayagunakan pemikiran, kemampuan imajinasi, berbagai stimulan, dan
individu yang mengelilinginya dalam menghasilkan produk baru, baik bagi
dirinya sendiri ataupun lingkungannya. Sedangkan menurut De Jong, dkk
(2008) perilaku inovatif atau Innovative Work Behaviour (IWB) adalah
perilaku individu yang bertujuan untuk mencapai tahap pengenalan atau
berusaha mengenalkan ide-ide, proses, produk atau prosedur yang baru dan
berguna di dalam pekerjaan, kelompok atau organisasi. Perilaku kerja
inovatif didefinisikan sebagai pembuatan, pengenalan, dan penerapan ide atau
gagasan baru dalam pekerjaan, kelompok, atau organisasi untuk
meningkatkan kinerja peran individu, kelompok, atau organisasi tersebut
(Janssen, 2000).
Perilaku inovatif juga didefinisikan sebagai sebuah tindakan yang
dilakukan untuk menciptakan dan mengambil ide-ide, pemikiran, atau caracara baru untuk di terapkan dalam pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan
(Gaynor, 2002). McGruirk, Lenihan dan Hart (2015) mendefinisikan perilaku
kerja inovatif sebagai penciptaan model bisnis, teknik manajemen, strategi
dan struktur organisasi diluar dari yang sudah ada. Perilaku inovatif mengacu
pada kemampuan untuk menciptakan sebuah ide yang original, menggunakan hasil kerja sebagai sebuah ide yang berpotensi dan menerapkan ide-ide baru
kedalam praktek kerja (Birdi, Leach, & Magadley, 2016)
Pendapat lain dikemukakan oleh (Klesen & Street, 2001) yang
mendefinisikan perilaku inovatif sebagai keseluruhan tindakan individu yang
mengarah pada pemunculan, pengenalan dan menguntungkan pada seluruh
organisasi. Sesuatu yang baru meliputi pengembangan ide produk baru atau
teknologi-teknologi, perubahan dalam prosedur administratif yang bertujuan
untk meningkatkan relasi kerja atau penerapan dari ide-ide baru atau
teknologi-teknologi untuk proses kerja yang secara signifikan
meningkatkanefisiensi dan efektifitas mereka (Klesen & Street, 2001).
Perilaku inovatif karyawan mengacu pada sebuah kemampuan
individu untuk menciptakan sebuah ide-ide dan sudut pandang baru, yang
diubaha menjadi inovasi (Dysvik, Kuvaas & Buch, 2014). Kualitas yang
mendasar dari sebuah inovasi yang dilakukan karyawan adalah bagaimana
seseorang dapat mencari tahu masalah dalam proses belajar, menghasilkan
ide-ide dengan kreatifitas, kemudian mencari dukungan dan pengakuan yang
sah, lalu menerapkannya kedalam prakter kerja (Zhao & Shao, 2011).
Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan
bahwa perilaku kerja inovatif adalah tindakan individu yang mampu
menciptakan ide-ide baru, produk, pemecahan masalah dan teknologiteknologi. Hal yang paling penting dari sebuah perilaku kerja inovatif adalah
bagaimana karyawan dapat mencari ide-ide kreatif, kemudian mencari
dukungan dan diakhiri dengan penerapan pada praktek kerja
Manfaat Team Building (skripsi dan tesis)
Ada kecenderungan setiap individu lebih menyukai tim yang efektif dalam
bekerja karena lebih banyak manfaatnya. Mengutip pendapat dari Robert B.
Maddux (2001), dalam bukunya Team building yang mengatakan bahwa Tim yang
efektif memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Dengan adanya tim, maka sasaran yang realistis ditentukan dan dapat
dicapai secara optimal.
2. Anggota tim dan impinan Tim memiliki komitmen untuk saling mendukung
satu sama lain agar berhasil.
3. Anggota tim memahami prioritas anggota lainnya, dan dapat saling
membantu satu-sama lain.
41
4. Komunikasi bersifat terbuka, diskusi cara kerja baru atau memperbaiki
kinerja lebih berjalan dengan baik, karena anggota tim terdorong untuk lebih
memikirkan permasalahannya.
5. Pemecahan masalah lebih efektif karena kemampuan tim lebih memadai.
6. Umpan balik kinerja lebih memadai karena anggota tim mengetahui apa
yang diharapkan dan dapat membandingkan kinerja mereka terhadap
sasaran tim.
7. Konflik diterima sebagai hal yang wajar dan dianggap sebagai kesempatan
untuk menyelesaikan masalah. Melalui diskusi bersama anggota tim
lainnya, konflik bisa diselesaikan secara maksimal.
8. Keseimbangan tercapainya produktifitas tim dengan pemenuhan kebutuhan
pribadi.
9. Tim dihargai atas hasil yang sangat baik dan setiap anggota dipuji atas
kontribusi pribadinya.
10. Anggota kelompok termotifasi untuk mengeluarkan ide-idenya dan
mengujinya serta menularkan dan mengembangkan potensi dirinya secara
maksimal.
11. Anggota kelompok menyadari pentingnya disiplin sebagai kebiasaan kerja
dan menyesuaikan perilakunya untuk mencapai standar kelompok.
12. Anggota kelompok lebih berprestasi dalam bekerja sama dengan tim dan
tim lainnya.
Beberapa pernyataan tersebut di atas menunjukan bahwa bekerja dengan tim
akan lebih banyak mendatangkan keuntungan dan hasil maksimal dibandingkan
bekerja secara individu
Aspek- Aspek Team Building (skripsi dan tesis)
Kazemak (dalam Stott dan Walker, 1995),menyatakan bahwa ada beberapa
aspek yang digunakan untuk membangun tim yang efektif yaitu, sebagai berikut:
a. Memiliki tujuan yang sama; teamwork yang efektif memiliki tujuan dan
semua anggota tim tahu benar tujuan yang hendak dicapai organisasi.
b. Antusiasme yang tinggi; antusiasme tinggi bisa dibangkitkan jika kondisi
kerja juga menyenangkan. Anggota tim tidak merasa takut menyatakan
pendapat, mereka juga diberi kesempatan untuk menunjukkan keahlian
mereka dengan menjadi diri sendiri sehingga kontribusi yang mereka
berikan juga bisa optimal.
c. Peran dan tanggung jawab yang jelas; setiap anggota tim harus mempunyai
peran dan tanggung jawab masing-masing yang jelas.
d. Komunikasi yang efektif; dalam proses meraih tujuan harus ada komunikasi
yang efektif antar anggota tim.
e. Resolusi konflik; dalam mencapai tujuan mungkin saja ada konflik, jangan
didiamkan ataupun dihindari tapi perlu segera dikendalikan.
f. Shared Power; tiap anggota tim perlu diberikan kesempatan untuk menjadi
“pemimpin”, menunjukkan kekuasaannya di bidang yang menjadi keahlian
dan tanggung jawab mereka masing-masing sehingga mereka merasa ikut
bertanggung jawab untuk kesuksesan tercapainya tujuan bersama.
37
g. Keahlian; tim yang terdiri dari anggota-anggota dengan berbagai keahlian
yang saling menunjang akan lebih mudah bekerjasama mencapai tujuan.
Berbagai keahlian yang berbeda tersebut dapat saling menunjang sehingga
pekerjaan menjadi lebih mudah dan lebih cepat diselesaikan.
h. Evaluasi; bagaimana sebuah tim bias mengetahui sudah sedekat apa mereka
dari tujuan, jika mereka tidak menyediakan waktu sejenak untuk melakukan
evaluasi? Evaluasi yang dilakukan secara periodic selama proses pencapaian
tujuan masih berlangsung bias membantu mendeteksi lebih dini
penyimpangan yang terjadi, sehingga bias segera diperbaiki. Evaluasi juga
bisa dilakukan tidak sekadar untuk koreksi, tetapi untuk mencari cara yang
lebih baik. Evaluasi bisa dilakukan dalam berbagai cara: observasi, riset
pelanggan, riset karyawan, interview, evaluasi diri, evaluasi keluhan
pelanggan yang masuk, atau sekedar polling pendapat pada saat meeting.
Menurut Johnson dan Johnson (2000) dan Robbins (2003), untuk
menyesuaikan tujuan dan masalah spesifik yang dihadapi tim, aktivitas-aktivitas
yang biasa dilakukan dalam team building adalah menekankan pada aktivitasaktivitas tertentu saja atau keseluruhan dari aktivitas berikut:
a. Penyusunan sasaran yang ditujukan untuk mengatasi perbedaan persepsi
tujuan tim, mengevaluasi efektivitas tim dalam menyusun prioritas dan
mencapai sasaran, mengidentifikasi area yang berpotensi menjadi masalah.
b. Membangun hubungan interpersonal antar anggota tim. Dalam Logan dan
Stokes (2004), kompetensi yang dibutuhkan adalah empati, komunikasi
efektif, kesadaran sosial, membangun hubungan, kepemimpinan dan
kolaborasi.
38
c. Analisis peran yang bertujuan untuk mengklarifikasi dan mengidentifikasi
peran setiap anggota tim, memikirkan kembali mengenai pekerjaan mereka
yang sesungguhnya, dan tugas spesifik yang mereka harapkan untuk
dikerjakan.
d. Analisis proses tim dilakukan dengan menganalisis proses kunci yang
terjadi dalam tim untuk mengidentifikasikan cara kerja dan bagaimana
proses ini dapat diperbaiki untuk membuat tim lebih efektif.
e. Kemampuan beradaptasi dengan kondisi dan tuntutan yang berubah.
Menurut Logan dan Stokes (2004), kompetensi yang dibutuhkan antara lain
adalah fleksibilitas dan kemampuan tim dalam memecahkan masalah secara
terstruktur atau dengan mengikuti format berpikir kritis.
Walaupun memiliki tujuan dan cara yang beragam, Buller (1986, dalam
Spector, 2000) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik dari team building, yaitu:
a. Team building merupakan aktivitas terencana yang terdiri dari satu atau
lebih latihan atau pengalaman yang dirancang untuk mencapai sasaran
tertentu.
b. Team building biasanya difasilitasi oleh konsultan atau trainer yang
berkualitas, dan akan sulit bagi tim untuk melaksanakannya jika trainer
adalah bagian dari pengalaman.
c. Team building biasanya melibatkan tim dimana anggota timnya memiliki
keterlibatan dalam pekerjaan masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
dimensi tim kerja yang efektif yaitu antara lain: adanya tujuan yang sama,
antusiasme yang tinggi, peran dan tanggung jawab yang jelas, komunikasi yang
39
efektif, resolusi konflik, shared power, keahlian, dan evaluasi.Team building juga
sebagai aktifitas analisis peran yang bertujuan untuk mengklarifikasi dan
mengidentifikasi peran setiap anggota tim, memikirkan kembali mengenai
pekerjaan mereka yang sesungguhnya, dan tugas spesifik yang mereka harapkan
untuk dikerjakan.
Para ahli dibidang team building lebih memilih menggunakan metode yang
bersifat aktif yaitu pembelajaran eksperimental. Teknik ini cocok diterapkan pada
training yang memiliki tujuan untuk meningkatkan perilaku dan afeksi individu
(Kreitner dan Kinicki, 2008). Sesuai dengan tujuan intervensi dari penelitian ini
yaitu untuk meningkatkan perilaku inovatif maka peneliti memilih menerapkan
tekhnik pembelajaran eksperimental.
Menurut Silberman (2006), teknik pelatihan
pembelajaran eksperimental memiliki pendekatan yaitu bermain peran, permainan
dan simulasi, observasi, mental imajeri, tugas menulis dan action learning.
Rancangan pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan
pada metode permainan dan simulasi supaya peserta dapat merasakan langsung
manfaat dari kegiatan yang dilakukan jika diterapkan di tempat kerja dan
mendapatkan pemahaman melalui pengalaman secara langsung. Suatu permainan
menurut Newstorm dan Scanell (dalam Ratnasari Deasi, 2013) merupakan salah
satu metode yang dapat mencegah kebosanan karena permainan meliputi variasi
aktifitas yang beragam, latihan yang dapat membuat team building training menjadi
lebih menyenangkan, dapat membangkitkan semangat diantara anggota tim serta
dapat menunjukkan emosi dan perasaan anggota tim.
Menurut Silberman (2006) salah satu keuntungan dari metode permainan
dan simulasi adalah partisipan didorong untuk berhadapan langsung dengan sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh dirinya. Selain itu metode permainan dapat
membantu partisipan untuk fokus pada cara-cara mereka bertindak di lingkungan
mereka sendiri dan bagaimana mereka berinteraksi dengan individu yang baru
mereka kenal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa team building
adalah aktivitas dalam proses membangun suatu tim yang handal seperti kerjasama
yang baik antara masing-masing anggota tim untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan sebelumnya yakni peningkatan operasi kerja tim. Dengan demikian,
maka yang dimaksud dengan pelatihan team building adalah suatu metode pelatihan
yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesolidan atau kohesivitas tim
dengan membentuk dan mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja secara
mandiri dalam mencapai tujuan timnya
Pengertian Pelatihan Team Building (skripsi dan tesis)
Pelatihan adalah usaha terencana dari organisasi untuk memfasilitasi
pembelajaran karyawan atas kompetensi yang terkait dengan pekerjaan, yang
meliputi pengetahuan, keterampilan atau perilaku yang penting bagi kinerja
(Noe, 2010). Pelatihan bertujuan agar karyawan menguasai pengetahuan dan
keterampilan, serta dapat menerapkan hal tersebut dalam kegiatan sehari-hari.
Pelatihan juga dapat dijadikan cara untuk mencapai keunggulan kompetitif bagi
perusahaan (Noe, 2010).
Pelaksanaan di dalam organisasi mengacu pada teori belajar orang
dewasa (andragogy) karena peserta pelatihannya adalah para karyawan. Noe
(2010) mengemukakan bahwa dalam teori pembelajaran orang dewasa yang
dikembangkan oleh Malcolm Knowles terdapat lima asumsi yang perlu
diperhatikan, antara lain : Pertama, orang dewasa memiliki kebutuhan untuk
mengetahui alasan mengapa ia harus mempelajari sesuatu hal. Kedua, orang
dewasa memiliki kebutuhan yang muncul dari dirinya sendiri. Ketiga, orang
dewasa akan lebih sering mengaitkan pengalaman yang berhubungan dengan
pekerjaan ke dalam situasi belajar. Keempat, orang dewasa merasakan
pengalaman belajar dengan menggunakan pendekatan yag fokus pada masalah.
35
Terakhir, orang dewasa termotivasi untuk belajar karena adanya motivasi
ekstrinsik dan intrinsik.
Team Building adalah aktivitas kelompok yang memiliki interaksi tinggi
untuk meningkatkan produktivitas karyawan dalam menuntaskan tugas-tugas
terutama yang memiliki interdependensi dengan orang lain melalui serangkaian
aktivitas yang dirancang secara hati-hati untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan sebelumnya (Robbins, 2003; Spector, 2000; Johnson & Johnson,
2000).
Levi (2001) menyatakan bahwa team building adalah sebuah tipe
intervensi dalam pengembangan organisasi yang memusatkan pada peningkatan
operasi kerja tim.
Reic (2010) menunjukkan team building merupakan proses
membangun suatu tim yang handal seperti kerjasama yang baik antara masingmasing anggota tim, dan juga merupakan pelatihan yang dapat membantu
menciptakan kohesivitas dan kepercayaan diantara anggota tim sehingga akan
terbentuk suatu jalinan komunikasi yang baik pula. Pelatihan tersebut dilakukan
melalui pendekatan sinergi masing-masing anggota tim secara keseluruhan yang
pada akhirnya membentuk dan mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja
secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya. Menurut Kreitner dan Kinicki
(2008), pelatihan team building adalah sebuah proses pembelajaran dengan
pendekatan eksperimental yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi internal
kelompok seperti kerjasama diantara sesama anggota tim, meningkatkan kualitas
komunikasi dan mengurangi konflik disfungsional.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa team building
merupakan suatu aktivitas kelompok yang bertujuan untuk membangun suatu
36
tim yang handal dalam hal kerjasama yang baik antara sesama anggota tim, dan
juga dapat membantu kepercayaan diantara anggota tim sehingga akan terbentuk
suatu jalinan komunikasi yang baik pula.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)
Terdapat faktor-faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan munculnya
perilaku inovatif karyawan. Nijenhuis (2015) mengemukakan beberapa faktor
eksternal maupun faktor internal yaitu :
a. Faktor Eksternal
1) Competitive pressures. Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi
mampu mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki
efek positif untuk munculnya perilaku inovatif.
2) Social – Political pressures. Organisasi yang memiliki dukungan dari
pemerintah harus terus memberi hasil kerja yang memuaskan jika tetap
ingin mendapat dukungan. Sehingga pemimpin dan karyawan harus
memuncul perilaku inovasi agar tetap memberi hasil kerja yang terus
berkembang dan lebih baik.
b. Faktor Internal
1) Interaksi dengan atasan (Kepemimpinan),karyawan yang memiliki
hubungan yang positif dengan atasan mereka lebih mungkin untuk
menunjukkan perilaku inovatif kerja dan mampu memberi keyakinan
bahwa perilaku inovatif mereka akan menghasilkan keuntungan kinerja.
Hubungan yang berkualitas sering ditandai dengan saling percaya dan
menghormati.2) Interaksi dengan grup rekan kerja (Team Work), karyawan yang
memiliki hubungan baik dengan rekan kerja lebih mungkin
memudahkan mereka mengimplementasikan ide baru mereka juga
meningkatkan idea generation di dalam sebuah grup rekan kerja
mereka. Dan hal ini memudahkan perilaku inovatif kerja untuk
berkembang.
Pendapat lain tentang faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut
pendapat Etikariena & Muluk (2014) ; yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor tersebut adalah:
a. Faktor Internal
1. Tipe Kepribadian. Menurut Janssen, Van den Ven dan West adalah
orang yang memiliki tipe kepribadian adalah orang yang mampu dan
berani mengambil resiko terhadap perilaku inovatif yang di buat.
2. Gaya individu dalam memecahkan masalah,karyawan yang memiliki
gaya pemecahan masalah yang intuitif dapat menghasilkan ide-ide
sehingga menghasilkan solusi yang baru.
b. Faktor Eksternal
1. Kepemimpinan, banyak bawahan yang kutrang dapat menjaga
hubungannya dengan pemimpinnya, dan hal tersebut dapat membuat
perilaku inovatif sesorang tidak terlihat, namun karyawan yang
memiliki hubungan yang positif dengan pemimpinnya, cenderung
memunculkan perilaku inovatif pada karyawan. Harapan yang tinggi
dari pemimpin agar karyawannya menjadi inovatif juga dapat mempengaruhi munculnya perilaku inovatif pada karyawan (Scott &
Bruce, Dalam Ratnasari Deasi, 2013).
2. Dukungan untuk berinovasi, dukungan dari orang-orang disekitar
individu sangat membantu bagi karyawan tersebut dalam menciptakan
suatu perilaku inovatif, bukan hanya itu dukungan dari orang dalam
organisasi tersebut juga bisa memunculkan perilaku inovatif bagi
karyawan tersebut . (Scott & Bruce,Dalam Ratnasari Deasi, 2013).
3. Tuntutan dalam pekerjaan, tuntutan dari perusahaan cenderung
meningkatkan semangat para karyawannya untuk berperilaku inovatif.
Tuntutan tersebut menjadi dorongan bagi karyawan tersebut. Salah satu
hal yang muncul akibat adanya tingkat tuntutan pekerjaan yang tinggi
tersebut adalah perilaku inovatif. Etikariena & Muluk,( 2014).
4. Iklim psikologis, iklim psikologis menunjukkan kepada bagaimana
lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterpretasikan oleh
karyawan. Etikariena & Muluk,( 2014).
Lebih jelas lagi West dan Farr (1989) membagi sejumlah faktor yang
mendukung dan memfasilitasi perilaku inovatif ke dalam level individu, kelompok,
dan organisasi.
Kemudian, beberapa peneliti seperti Anderson, De Dreu, & Nijstad
(2004) dan Hammond Farr, Neff, Schwall, & Zhao (2011) melakukan studi literatur
pada sejumlah faktor multilevel yang memfasilitasi inovasi. Berikut penjelasan
faktor-faktor yang memfasilitas inovasi pada ketiga level, yaitu:
27
1. Level Individu
Studi metaanalisis yang dilakukan oleh Hammond et al. (2011) dan
Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004) menunjukkan sejumlah faktor yang
memfasilitasi inovasi pada level individu. Faktor-faktor ini dibagi kedalam
lima kelompok, antara lain:
a. Kepribadian.
Diketahui bahwa kepribadian kreatif berhubungan dengan
perilaku inovatif. Selain itu, berdasarkan trait kepribadian the Big Five
Factors, keterbukaan (openness) terhadap pengalaman dikaitkan
dengan perilaku inovatif. Individu yang derajat openness yang tinggi
memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, mandiri, dan sensitivitas terhadap
karya senin (McCrae, dalam Hammond et al., 2011). Terlebih individu
dengan openness yang tinggi cenderung lebih berpikir secara divergent.
Selain itu, aspek kepribadian, seperti tolerance of ambiguity, percaya
diri, tidak konvensional, originality, authoritarianism, mandiri
(independence), dan proaktif, turut mempengaruhi inovasi pada level
individu (Anderson et al., 2004).
b. Demografis
Pada aspek demografis, seperti pendidikan dan lamanya masa
kerja, merefleksikan penguasaan pengetahuan terhadap tugas-tugas
melalu pendidikan formal, pelatihan, atau pengalaman kerja (Oldham &
Cummings, dalam Hammond et al., 2011). Individu yang memperoleh
pengetahuan dan pengalaman, lebih akan membangun dan
mengintegrasikan gagasan, fakta, dan peluangpeluang sehingga
28
menghasilkan ide yang kreatif terhadap permasalahan (Amabile, dalam
Hammond et al., 2011).
c. Kemampuan
Dari hasil kajian studi yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, &
Nijstad (2004), ditemukan beberapa faktor kemampuan yang
memfasilitasi perilaku inovasi, yaitu intelegensi di atas rata-rata, taskspecific knowledge, gaya berpikir divergent, dan ideational fluency.
d. Motivasi
Motivasi, baik yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik, memiliki
hubungan positif dengan perilaku inovasi. Motivasi intrinsik merujuk
pada motivasi yang berasal dari engagement individu terhadap tugas,
sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari faktor di luar tugas, seperti
rewards dan kompensasi. Hammond et al., (2011). Selain itu, selfefficacy, baik keyakinan diri individu terhadap kompetensi pekerjaan
maupun kompetensi kreativitas, juga mempengaruhi motivasi individu
untuk terlibat dalam inovasi. Selain itu, tekad untuk berhasil dan
personal initiative juga turut memfasilitasi inovasi (Anderson et al.,
2004).
e. Karakteristik Pekerjaan
Terdapat beberapa karakteristik pekerjaan sebagai prediktor
inovasi, di antaranya kompleksitas pekerjaan, otonomi, time pressure,
dan role requirement. Kompleksitas pekerjaan yang tidak bersifat
rutinitas dan lebih menantang dapat meningkatkan idea generation.
Terdapat hubungan yang postif antara otonomi dan idea generation,
29
pengujian gagasan, serta implementasi inovasi. Dengan memberikan
keleluasaan dan kemandirian pada karyawan dalam menyelesaikan
tugas, dapat menstimulus individu untuk berinovasi (Axtell, dalam
Hammond et al., 2011).
Selain itu, persepsi terhadap ekspektasi atau
persyaratan akan berinovasi juga memiliki korelasi yang positif dengan
perilaku individu (Scott & Bruce, dalam Hammond et al., 2011).
Anderson et al. (2004) menemukan karakteristik pekerjaan lainnya
yang turut mempengaruhi inovasi, yaitu kepuasan kerja, tuntuan
pekerjaan, dukungan untuk berinovasi, mentor guidance, dan
pemberian pelatihan yang sesuai.
2. Level Tim.
Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengklasifikasi variabel
level tim sebagai prediktor inovasi berdasarkan model perfoma tim ke
dalam input-process-output.
a. Variabel Input Tim.
Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengidentifikasi
komposisi dan struktur tim ke dalam keragaman anggota kelompok
(team member diversity), team size, dan tenure. Job-relevant diversity
memiliki kolerasi yang positif dengan inovasi. Jobrelevant diversity
merujuk pada heterogenitas anggota kelompok sesuai dengan pekerjaan
atau tugas yang terkait, seperti function, profesi, pendidikan, tenure,
pengetahuan, keterampilalan, dan kemahiran. Keragamaman semacam
ini menghasilkan inovasi tim. Selain itu, task and goal interdependence
menstimulus interaksi interpersonal, komunikasi, dan kerja sama dalam tim, sehingga mampu memfasilitasi inovasi. Task and goal
interdependence adalah sejauhmana anggota kelompok saling
bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan tugas mereka dan
meraih tujuan bersama. Lalu, team size juga memiliki hubungan positif
dengan inovasi karena dalam tim yang besar memiliki beragam sudut
pandang, keterampilan, dan perspektif. Berbeda halnya dengan team
longevity, tim yang sudah terbangun lama cenderung kurang inovatif
dari waktu ke waktu. Angggota kelompok cenderung lebih rentan
terhadap groupthink, lebih homogen, kurang kritis, dan kurang tertarik
terhadap tantangan. Oleh karena itu, semakin lama suatu tim terbangun,
semakin berkurang inovasi yang ditampilkan.
b. Variabel Proses Tim.
West dan rekan (dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado,
2009) menspesifikan tujuh variabel proses yang meningkatkan inovasi
tim.
Pertama, visi memiliki hubungan positif dengan inovasi. Visi
mengukur sejauhmana anggota kelompok memiliki pemahaman yang
sama terhadap tujuan-tujuan dan menunjukkan komitmen yang tinggi
terhadap tujuan kelompok. Dengan adanya tujuan tujuan yang jelas
membantu anggota kelompok memberikan kontribusinya, memberikan
kebermaknaan kerja, serta memotivasi individu untuk meningkatkan
performa inovasi. Kedua, participative safety juga berkorelasi secara postif dengan
inovasi. Participative safety ditandai dengan partisipasi dalam membuat
keputusan dan intragroup safety. Intragroup safety merujuk pada iklim
psikologis yang tidak mengancam dalam tim, dimana adanya trust dan
mutual support. Psychological safety memiliki tiga fungsi penting
terhadap inovasi tim, yaitu berkontribusi dalam formulasi rencana,
memfasilitasi eksekusi rencana, dan meningkatkan team learning.
Ketiga, dukungan untuk inovasi memberikan pengaruh yang
positif terhadap inovasi. Dukungan untuk inovasi dideskripsikan sebagai
ekspektasi, penerimaan, dan dukungan pelaksanaan dalam
memperkenalkan cara-cara baru dalam melakukan pekerjaan.
Keempat, task orientation berhubungan secara postif terhadap
inovasi. Task orientation, yang biasa disebut climate for excellence,
dideskripsikan sebagai fokus bersama terhadap kualitas perfoma
pekerjaan yang excellent sesuai dengan visi.
Kelima, kohesi pun turut mempengaruhi inovasi. Kohesi
merujuk pada komitmen anggota kelompok terhadap pekerjaan tim dan
hasrat mereka untuk menjaga keanggotaan kelompoknya (Lott & Lott,
dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado, 2009). Para peneliti inovasi
menganggap bahwa kohesi merupakan prasyarat penting untuk
menampilkan perilaku inovatif (West & Farr, 1989; Woodman et al.,
1993). Anggota kelompok yang memiliki belongingness yang kuat dan
32
merasa saling attach dengan sesama anggota kelompok, cenderung lebih
koperatif, saling berinteraksi, dan bertukar ide.
Keenam, komunikasi, baik bersifat internal dan eksternal
diyakini memiliki hubungan postif dengan inovasi. Komunikasi ekternal
yang dimaksud ialah menjalin relasi interpersonal dengan orang-orang
diluar tim atau organisasinya. Hal ini membantu tim dalam memperoleh
pengetahuan dan perspektif baru. Melalui komunikasi, terjadi sharing
informasi dan ide, dimana hal tersebut merupakan sumber inovasi.
Selain itu, komunikasi berperan dalam implementasi ide-ide baru,
dimana adanya mutual monitoring dan umpan balik.
Terakhir, task conflict dianggap memilki hubungan yang postif
dengan inovasi, sebaliknya relationship conflict berhubungan negatif
dengan inovasi. Task-related disagreement dapat memicu anggota
kelompok untuk bertukar informasi, melalui eksplorasi opini yang saling
bertentangan, sehingga membantu proses generation gagasan-gagasan
baru dan solusi serta membantu dalam pemecahan masalah. Sebaliknya,
konflik relasi dapat menyebabkan reaksi psikologis yang negatif, seperti
ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan frustrasi, sehingga mengalihkan
fokus anggota kelompok untuk berinovasi.
3. Level Organisasi
Hasil konten analisis yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, dan
Nijstad (2004) terhadap berbagai penelitian inovasi, menghasilkan
klasifikasi fasilitator inovasi pada level organisasi ke dalam struktur,
33
strategi, sumber daya, dan budaya organisasi. Pertama, struktur organisasi
yang cenderung specialization, dimana memiliki beragam specialist,
pembedaan functional, dan professionalism diasosiasikan secara positif
dengan inovasi organisasi. Disisi lain, organisasi yang centralization dan
formalization, cenderung kurang berinovasi. Kedua, strategi organisasi
dengan prospector type diyakini mendukung berkembangnya inovasi dalam
organisasi. Ketiga, semakin besar jumlah karyawan dalam suatu organisasi,
cenderung lebih berinovasi. Di sisi lain, semakin luasnya market share
(pangsa pasar), justru menurunkan inovasi dalam organisasi. Keempat,
sumber daya (resources), baik dari segi annual turnover dan ketersediaan
sumber daya, turut mempengaruhi inovasi dalam organisasi. Terakhir,
budaya organisasi yang mendukung karyawan untuk bereksperimen, yang
menoleransi terhadap kegagalan ide, dan yang berani mengambil risiko,
mempengaruhi tumbuhnya inovasi dalam organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan dengan rekan kerja, dukungan untuk berinovasi dari anggota tim
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif. Untuk
dapat membangun hubungan kerja yang baik dengan rekan kerja yang
berada dalam sebuah tim dapat dilakukan melalui pelatihan team building.
Team building adalah salah satu aktivitas dalam proses yang dapat
meningkatkan perilaku inovatif, kerjasama yang baik antara masing-masing
anggota tim untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya
yakni peningkatan operasi kerja tim. Dengan demikian, maka yang
dimaksud dengan pelatihan team building adalah suatu metode pelatihan yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesolidan atau
kohesivitas tim dengan membentuk dan mendukung sinergi tim untuk
mampu bekerja secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya
Aspek Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)
Perilaku inovatif merupakan proses multi tahapan, dengan aktifitas dan
perilaku individu yang berbeda-beda di setiap tahapannya (Scott & Bruce, 1994).
Lebih lanjut, Janssen (2000) menambahkan bahwa perilaku inovatif ini
merupakan perilaku kompleks yang terdiri dari tiga tahap, yaitu idea generation,
idea promotion, idea realization. Berikut akan dijelaskan setiap tahapan dari
perilaku inovatif, yaitu :
a. Idea Generation
Inovasi individu dimulai dengan adanya kesadaran dari individu
untuk melihat dan mengenali akan adanya peluang baru dari suatu
permasalahan yang muncul (Kanter, dalam Janssen 2000). Janssen (2000)
menambahkan bahwa persepsi mengenai permasalahan dalam pekerjaan,
merasakan adanya keganjilan, atau munculnya tren merupakan pencetus
atau dorongan dalam menghasilkan ide-ide baru. Kemudian dari peluang
tersebut, individu akan mulai untuk memproduksi atau membuat suatu ide
baru yang bermanfaat dalam berbagai domain pekerjaan. Pendalaman suatu
peluang dapat dilakukan dengan mencari cara untuk meningkatkan proses
pelayanan atau memikirkan langkah alternatif dalam proses kerja, produk
atau layanan (Kanter, dalam Janssen 2000). Inovasi dipacu oleh adanya
pengakuan atas suatu peluang baru. Ketika peluang tersebut dihargai,
seseorang perlu mengerahkan tenaga untuk memunculkan ide-ide tersebut. Permasalahan utama yang muncul dalam tahapan ini adalah bagaimana
membuat individu memusatkan perhatiannya dan bagaimana cara memicu tindakan individu untuk mengapresiasi dan memusatkan perhatian pada
gagasan, kebutuhan dan peluang baru.
b. Idea Promotion
Tahap selanjutnya dari proses inovasi adalah idea promotion. Dalam
tahapan ini, individu mencari dukungan untuk ide yang ia bawa serta
berusaha untuk membangun sebuah koalisi untuk mendukung ide inovasi
tersebut. Scott & Bruce, (1994). Ketika individu telah menghasilkan suatu
gagasan, ia harus terlibat dalam aktivitas sosial untuk memperoleh rekan,
penyokong dan pendukung ide di sekitarnya (Janssen, 2000). Kanter
(1988) juga menjelaskan bahwa individu harus dapat membangun
kekuasaan (power) dengan mengajukan gagasan inovasi kepada aliansi
yang berpotensi. Hal ini penting dilakukan karena sebagian besar gagasan
bersifat tidak pasti, bisa saja memerlukan biaya lebih untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan inovasi serta memunculkan
reaksi penolakan terhadap perubahan. Selain itu, keberhasilan dari suatu
inovasi sangat bergantung pada jumlah dan jenis dari kekuatan orangorang yang mendukung ide-ide tersebut. Sebaliknya, kegagalan dari
inovasi biasanya disebabkan oleh dukungan yang tidak pasti dan sumber
daya yang tidak memadai selama tahapan awal pembangunan ide. Janssen
(2000).
c. Idea Realization
Pada tahapan terakhir dari proses inovasi ini, yaitu idea realization,
individu melengkapi idenya dengan membuat suatu produk atau prototype
atau model dari ide inovasi tersebut yang dapat dialami langsung dan diterapkan dalam suatu pekerjaan, kelompok kerja, ataupun organisasi
secara keseluruhan, sehingga nantinya ide tersebut dapat disebarkan,
diproduksi secara massal, ataupun digunakan secara produktif Janssen
(2000). Tahapan ketiga pada proses inovasi ini melibatkan kerja sama
kelompok untuk menyelesaikan ide tersebut dengan mengubahnya menjadi
objek konkret dan nyata (secara fisik atau intelektual) yang dapat di
transfer kepada orang lain. Inovasi yang sederhana umumnya dapat
diimplementasikan oleh individu atau karyawan itu sendiri, sedangkan
inovasi yang lebih kompleks biasanya memerlukan kerjasama kelompok
yang memiliki anggota dengan berbagai variasi pengetahuan, kompetensi
dan peran kerja . Janssen , (2000).
Menurut Kleysen & Street (2001), mengklasifikasikan perilaku inovatif
memiliki 5 aspek, yaitu :
a. Oppurtunity Exploration ; Aspek ini mengacu pada mempelajari atau
mengetahui lebih banyak mengenai peluang untuk berinovasi.
b. Generativity ; Aspek ini mengacu pada pemunculan konsep-konsep
untuk tujuan pengembangan.
c. Formative Investigation ; Aspek ini mengacu pada pemberian perhatian
untuk menyempurnakan ide, solusi, opini, dan melakukan peninjauan
terhadap ide-ide tersebut.
d. Championing ; Aspek ini mengacu pada adanya praktek-praktek usaha
untuk merealisasikan ide-ide.
e. Application ;Aspek ini mengacu pada mencoba untuk mengembangkan,
menguji coba, dan mengkomersialisasikan ide-ide inovatif.
Sedangkan De Jong & Hartog (2007) mengemukakan dan menyederhanakan
menjadi empat dimensi perilaku inovatif sebagai berikut:
a. Oppurtunity exploration, proses inovasi ditentukan oleh kesempatan.
Kesempatan akan memicu individu untuk mencari cara untuk
meningkatkan pelayanan, proses pengiriman, atau berusaha memikirkan
sebuah alternatif baru mengenai proses kerja, produk atau pelayanan.
b. Idea generation, membangkitkan sebuah konsep untuk peningkatan. Idea
generation merupakan pengelolaan kembali informasi dan konsep yang
telah ada untuk meningkatkan performansi. Individu yang tinggi dalam
level ini akan dapat melihat solusi dari sebuah masalah dengan cara pikir
yang berbeda.
c. Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan dan
membangun koalisi, seperti mengajak dan mempengaruhi karyawan atau
manajemen, dan bernegoisasi mengenai suatu solusi.
d. Application, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif terhadap
suatu hal tapi juga mengevaluasi dan mengaplikasikan ide tersebut ke
dalam tindakan nyata
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
individu yang memiliki perilaku inovatif adalah adanya kesadaran dari individu
untuk melihat dan mengenali akan adanya peluang baru dari suatu permasalahan
yang muncul, individu mencari dukungan untuk ide yang ia bawa serta berusaha
untuk membangun sebuah koalisi untuk mendukung ide inovasi tersebut, serta
individu yang mampu melengkapi idenya dengan membuat suatu produk atau
prototype atau model dari ide inovasi tersebut yang dapat dialami langsung dan
24
diterapkan dalam suatu pekerjaan, kelompok kerja, ataupun organisasi secara
keseluruhan, sehingga nantinya ide tersebut dapat disebarkan, diproduksi secara
massal, ataupun digunakan secara produktif
Pengertian Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)
Perkembangan dari inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap
individu. Dalam perspektif psikologi organisasi, aktifitas-aktifitas tersebut
dinamakan innovative work behavioral (perilaku inovatif) (Janssen, 2000).
Janssen (2000) mendefinisikan perilaku inovatif sebagai penciptaan, pengenalan
dan pengaplikasian gagasan-gagasan baru secara sengaja dalam suatu pekerjaan,
kelompok, atau organisasi untuk memperoleh keuntungan dalam kinerja suatu
pekerjaan, kelompok atau organisasi. Definisi ini membatasi perilaku inovatif
sebagai usaha-usaha yang sengaja dilakukan untuk mendatangkan hasil
(outcome) baru yang menguntungkan.
Perkembangan dari inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap
individu. Oleh karena itu penting untuk memahami tentang aktivitas individu
yang mengarah pada inovasi. Dalam perspektif psikologi organisasi, aktivitas -
aktivitas tersebut dinamakan innovative work behavior atau perilaku inovatif
(Janssen, 2000). Anderson, De Dreu, dan Nijstad (2004) menjelaskan bahwa
Psikologi Organisasi menekankan inovasi pada perspektif individu, termasuk di
dalamnya adalah karakteristik individual dan kontekstual yang berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu inovasi. Penelitian-penelitian mengenai perilaku
inovatif ini berusaha untuk menjelaskan mengenai perilaku yang indvidu
tunjukkan di lingkungan kerjanya ketika inovasi terjadi
Menurut De Jong & Hartog (2007) menyatakan perilaku inovatif kerja
adalah perilaku yang meliputi eksplorasi peluang dan ide-ide baru, juga dapat
mencakup perilaku mengimplementasikan ide baru, menerapkan pengetahuan
baru dan untuk mencapai peningkatan kinerja pribadi atau bisnis. Perilaku
inovatif sering dikaitkan dengan kreativitas. Kedua hal tersebut memang
berkaitan tetapi memiliki konstrak yang berbeda. Perilaku kreatif adalah proses
untuk menghasilkan sebuah ide, gagasan, atau pemikiran baru yang berkaitan
dengan produk, servis, proses dan prosedur kerja. Sedangkan perilaku inovatif
kerja tidak hanya sekedar menghasilkan ide baru tetapi juga melibatkan proses
implementasi terhadap ide tersebut khususnya pada seting pekerjaan (De Jong &
Hartog, 2010).
Messman (2012) mengatakan perilaku inovatif kerja adalah jumlah dari
aktivitas kerja fisik dan kognitif yang dilakukan oleh karyawan dalam konteks
pekerjaan mereka, baik sendiri maupun berkelompok untuk mencapai satu
rangkaian tugas yang dibutuhkan untuk tujuan pengembangan inovasi. Dari
sudut pandang pekerja, efektivitas perilaku kerja inovatif berhubungan dengan
pengamatan pekerja dalam mengantisipasi permasalahan pekerjaan dan respon
rekan kerja terhadap alternatif solusi yang diajukan (De Jong & Hartog 2010).
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
inovatif kerja merupakan perilaku kerja individu yang melalui proses
pemunculan ide baru untuk menghasilkan, memperkenalkan dan menerapkan ide
baru yang bermanfaat bagi pribadi maupun perusahaan
Pengaruh Perceived Enjoyment terhadap Intention to Use (skripsi dan tesis)
Setiap konsumen dapat mengalami kesenangan secara langsung atau
kesenangan dari menggunakan sistem tertentu, dan dapat merasakan keterlibatan
secara aktif dalam menggunakan teknologi baru yang akan menjadi
menyenangkan dalam diri individu (Davis, 1989; Igbaria, Schiffman, dan
Wieckowski, 1994 dalam Liao et at.,2008 ).
Intention to Use merupakan aspek manusia yang selalu memberikan
perhatian sehingga seseorang bisa merasa senang kepada obyek tersebut yang
dapat mendorong tercapai tujuan (Kusumah, 2009). Faktor Perceived Enjoyment
ditambahkan dalam TAM menurut Liao et al., (2008) dan (Cheema et al., 2013)
penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi kesenangan mempengaruhi minat
menggunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Norazah dan Norbayah (2009)
membuktikan bahwa faktor-faktor yang ada pada perceived enjoyment
berpengaruh signifikan positif terhadap intention to use
Pengaruh Personal Innovativeness terhadap Intention to Use (skripsi dan tesis)
Innovativeness berasal dari konsep inovasi yaitu gambaran tentang
penerimaan obyek yang dianggap baru oleh konsumen (Rogers, 2010). Konsumen
dicirikan sebagai inovatif jika bisa lebih cepat mengadopsi atau menemukan suatu
inovasi baru atau ide-ide baru (Agarwal dan Prasad 1998). Personal
Innovativeness dianggap sebagai kepribadian umum sehingga banyak cara untuk
mengetahui perilaku seseorang yang berbeda-beda (Svendsen et al., 2013).
Kaasinen (2005) menyimpulkan bahwa personal innovativeness
berpengaruh signifikan positif pada intention to use.
Pengaruh Personal Innovatiness terhadap Perceived Enjoyment (skripsi dan tesis)
Rogers (1971) percaya bahwa inovasi pribadi dapat memperkirakan
perilaku konsumen terhadap penerimaan teknologi baru, pengguna dengan tingkat
personal innovativeness yang tinggi biasanya lebih mudah untuk menerima halhal yang baru. (Herrero Crespo dan RodrÃguez del Bosque, 2008) merupakan efek
inovasi pribadi pada penerimaan teknologi baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan teknologi baru ditentukan oleh perilaku terhadap sistem
inovasi pribadi dalam teknologi informasi.
Inovasi pribadi cenderung lebih mudah untuk mendapatkan kesenangan
dari penggunaan teknologi yang baru. Inovasi dalam menggunakan layanan online
dapat memberikan persepsi kesenangan. Personal innovativeness berpengaruh
signifikan positif terhadap perceived enjoyment (Lu, et al., 2003)
Pengaruh Subjective Norms terhadap Intention to Use (skripsi dan tesis)
Subjective Norm merupakan pendapat seseorang tentang kepercayaan
orang lain yang akan mempengaruhi minat melakukan atau tidak melakukan
perilaku yang dipertimbangkan (Jogiyanto, 2007). Pendapat yang akan di terima
oleh konsumen adalah orang-orang yang dekat seperti anggota keluarga, teman,
dan rekan kerja lebih mudah mempengaruhi perilaku. Persepsi juga terbentuk
karena pengaruh beberapa sumber yang ada (Merchant, 2007).
Subjective norm didefinisikan sebagai hasil dari respon konsumen
terhadap harapan yang dirasakan dari kelompok sebayanya dan keyakinannya
bahwa ia harus mematuhi harapan tersebut (Aversano, 2005; dalam Haderi dan
Aziz 2015). Subjective norm telah ditemukan sebagai faktor yang penting dari
minat untuk menggunakan. Subjective norm mempengaruhi seseorang pada awal
pengenalan (Venkatesh & Morris, 2000). Subjective norm berpengaruh signifikan
dan positif terhadap intention to use (Schepers & Wetzels, 2007).
Pengaruh Subjective Norms terhadap Perceived Enjoyment (skripsi dan tesis)
Subjective Norm adalah dimana seseorang memandang pengaruh orang
lain yang penting bagi dirinya untuk menggunakannya. Subjective norm mengacu
pada persepsi seseorang (pandangan orang lain) tentang orang-orang yang penting
15
baginya berpikir bahwa mereka harus atau tidak seharusnya melakukannya (Park
et al., 2006; dalam Haderi dan Aziz., 2015).
Yang et al (2012) berpendapat bahwa persepsi kesenangan untuk
mengetahui penerimaan pengguna terhadap teknologi baru dipengaruhi oleh
lingkungan. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa subjective
norms berpengaruh signifikan dan positif terhadap perceived enjoyment
(Venkatesh dan Davis 2000; Venkantesh dan Morris, 2000; Lucas dan Spitler,
1999; Taylor dan Todd 1995; Srite, 2006; Kim et al., 2009.
Subjective Norms (skripsi dan tesis)
Menurut Kazemi (2013) subjective norm mengacu pada pendapat seseorang
yang berada di sekitar kita yang akan mempengaruhi perilaku. Dengan kata lain,
subjective norm mengacu pada tekanan yang dirasakan untuk terlibat dalam
perilaku atau tidak. Lee (2009) menyatakan bahwa pengaruh subjective norm,
menjadi pelaku utama dalam pengambilan keputusan pembelian dimana pengaruh
subjective norm mampu untuk menyarankan, mengolah dan memperkuat suatu
tindakan atau perilaku pembelian konsumen.
Fisbein dan Ajzen (1991, p.45 dalam Anggelina & Japrianto, 2014)
mendefinisikan subjective norm sebagai persepsi konsumen yang berpikir akan
perilaku harus dilakukan atau tidak. Keyakinan ini yang mendasari norma
subyektif seseorang disebut keyakinan normatif (normative belief) yaitu seseorang
yang percaya bahwa sebagian besar sumber dengan siapa dia termotivasi untuk mematuhi cara berpikir sehingga harus melakukan perilaku dan akan menerima
untuk melakukannya.
Menurut (Schierz et al., 2010), indikator untuk mengukur subjective norm
adalah rekomendasi teman-teman yang berada disekitar kita, pengalaman orang
lain yang pernah menggunakannya, dan ingin mencoba karena rekomendasi dari
keluarga
Personal Innovativeness (skripsi dan tesis)
(Agarwaland dan Parasad, 1998 dalam Xu & Gupta, 2009) menjelaskan
bahwa personal innovativeness pendapat seseorang untuk mengambil keputusan
untuk mengadopsi teknologi informasi. Personal innovativeness adalah keinginan
dari konsumen untuk mencari hal baru yang dapat mengembangkan kekurangan
produk atau jasa (Bhatti, 2007 dalam Marwata, 2016).
Personal innovativeness merupakan ketertarikan untuk mencoba suatu hal
yang baru, konsep baru, dan produk atau jasa yang baru (Roger 1983, 1995 dalam
Lu et al., 2005). Personal innovativeness dianggap sebagai sesuatu dari proses
penerimaan teknologi baru. Innovativeness pada umumnya sudah diakui oleh
setiap konsumen sehingga konsumen yang inovatif akan mencari informasi dan
menemukan ide-ide yang baru..
Menurut (Hurt et al., 1977; Agarwal dan Prasad, 1998 dalam Zhou dan Feng
(2017)), indikator untuk mengukur personal innovativeness adalah ingin
mengetahui cara menggunakan teknologi baru, ingin menggunakan teknologi baru
untuk berbelanja, mencoba berexperimen dengan teknologi baru.
Perceived Enjoyment (skripsi dan tesis)
Enjoyment didefinisikan sebagai kejadian yang mengacu pada kesenangan
melakukan suatu kegiatan tertentu dalam penggunaan teknologi (Davis, 1992
dalam Nguyen. 2015). Perceived enjoyment mengemukakan bahwa beragamnya
jenis dan merek produk yang ditawarkan akan memberikan pengalaman
menyenangkan bagi pelanggan dan membangkitkan keinginan belanja saat
mencari produk yang diinginkan atau dibutuhkan (Irani dan Hanzaee, 2011).
Perceived enjoyment merupakan kemudahan mendapatkan informasi yang
akurat dan terpercaya akan meningkatkan kenyamanan dalam bertransaksi dan
membantu konsumen dalam mendapatkan pengalaman yang menyenangkan
(Kamis & Frank, 2012). Sudah menjadi kesukaan bagi setiap konsumen saat
mencari produk yang diinginkan, pasti ada kesenangan tersendiri dalam memilihmilih produk yang ada sebelum melakukan pembelian (Baskara dan Sukaadmadja,
2016).
Menurut (Ragheb and Beard, 1982; Van der Heijen, 2003, 2004 dalam
Zhou dan Feng, 2017), indikator untuk mengukur perceived enjoyment adalah
ingin menggunakan teknologi baru dapat menimbulkan kesenangan dalam diri
sendiri, mencoba teknologi baru dapat menjadi pengalaman yang baik, mencoba
menggunakan teknologi baru itu menyenangkan.
Intention to Use (skripsi dan tesis)
Menurut Davis et al, (1989) Intention to use merupakan keinginan
seseorang untuk melakukan perilaku tertentu yang dianggap benar. Intention to
use merupakan sikap atau perilaku yang cenderung ingin menggunakan suatu
teknologi (Widyapraba et al., 2016).
Intention to use dipengaruhi oleh budaya,sosial, pribadi dan psikologi.
Faktor-faktor psikologi yang mempengaruhi keputusan konsumen diantaranya
adalah motivasi, belajar, pendapat, keyakinan, dan sikap. Faktor utama adalah
pendapat, keyakinan dan sikap menjadi faktor yang dapat mempengaruhi
11
keputusan konsumen sehingga menimbulkan minat konsumen hingga akhirnya
ingin menggunakan.
Adapun indikator dari intention to use menurut (Davis, 1989; Gefen et al.,
2003; Venkatesh dan Davis, 2000; Schierz et al., 2010 dalam Luna et al., 2017)
adalah kemungkinan akan menggunakan, tertarik menggunakan teknologi baru
dalam waktu dekat ini, dan ingin menggunakan teknologi baru ketika ada
kesempatan.
Technology Acceptance Model (TAM) (skripsi dan tesis)
TAM (Technology Acceptance Model), Davis (1989) model penelitian
yang paling populer untuk memprediksi penggunaan dan penerimaan sistem
informasi dan teknologi oleh konsumen. TAM telah dipelajari secara luas dan
diverifikasi oleh berbagai studi yang meneliti perilaku penerimaan teknologi
konsumen dalam konstruksi sistem informasi yang berbeda. Dalam model TAM
ada dua faktor yang perceived usefulness dan perceived ease of use yang relevan
dalam perilaku menggunakan komputer. Davis mendefinisikan kegunaan yang
dirasakan sebagai probabilitas subjective pengguna baru sehingga menggunakan
sistem aplikasi tertentu akan meningkatkan pekerjaan atau kinerja hidupnya.
Perceived easy of use (EOU) dapat didefinisikan sebagai sejauh mana pengguna
10
mengharapkan suatu sistem menjadi bebas dari usahanya. Menurut TAM, ease of
use dan perceived usefulness adalah penentu terpenting dari penggunaan sistem
aktual. Kedua faktor ini dipengaruhi oleh variabel eksternal. Faktor eksternal
utama yang biasanya terlihat dari faktor sosial, faktor budaya dan faktor politik.
Faktor sosial meliputi bahasa, keterampilan serta fasilitas. Faktor-faktor politik
terutama adalah dampak dalam menggunakan teknologi ialah politik dan krisis
politik. Perilaku untuk menggunakan berkaitan dengan evaluasi pengguna
terhadap keinginan menggunakan aplikasi sistem informasi tertentu. intention to
use adalah ukuran kemungkinan seseorang menggunakannya
Theory of Reasoned Action (TRA) (skripsi dan tesis)
TRA (Theory of Reasoned Action), niat seseorang merupakan fungsi dari
dua penentu dasar, satu pribadi pada dasarnya mencerminkan pengaruh sosial.
Faktor pribadi adalah penilaian positif atau negatif konsumen dalam melakukan
perilaku. Faktor ini disebut sikap terhadap perilaku (Ajzen dan Fishbein, 1980).
Penentu niat kedua adalah persepsi orang tentang tekanan sosial yang dikenakan
kepadanya untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut. Karena
berkaitan dengan yang dirasakan oleh seseorang, faktor ini disebut norma
subyektif (Ajzen dan Fishbein, 1980). Menurut teori, sikap adalah fungsi dari
kepercayaan. Seseorang mempercayai bahwa melakukan sesuatu perilaku tertentu
akan menghasilkan sebagian besar hasil positif yang memiliki sikap
menguntungkan terhadap perilaku tersebut, sementara beberapa orang
mempercayai bahwa melakukan perilaku akan menghasilkan sebagian besar hasil
negatif yang memiliki sikap tidak adanya keuntungan yang didapatkan.
Keyakinan didasari oleh sikap konsumen terhadap perilaku yang disebut
keyakinan perilaku. Norma subyektif juga merupakan fungsi dari kepercayaan
yang menentukan individual atau kelompok untuk berpikir apakah seseorang
harus melakukan perilaku atau tidak. Keyakinan ini yang mendasari norma
subyektif seseorang disebut keyakinan normatif. Seseorang yang percaya bahwa
sebagian besar referensi dengan siapa dia termotivasi untuk mematuhi berpikir dia
harus melakukan perilaku akan menerima tekanan sosial untuk melakukannya.
Theory Reasoned Action (TRA), (Ajzen & Fishbein, 1969, 1980)
memberikan model yang memiliki manfaat potensial untuk memprediksi niat
untuk melakukan perilaku berdasarkan keyakinan sikap dan normatif konsumen.
telah divalidasi, kepercayaan perilaku mempengaruhi sikap terhadap perilaku, dan
hubungan tersebut berpindah ke dalam keyakinan terhadap sikap, yang menghasilkan sikap yang dapat memberikan keuntungan atau tidak memberikan
keuntungan terhadap sikap tersebut.
(Ajzen, 1991). Sementara model-model ini telah banyak digunakan untuk
mengevaluasi berbagai perilaku konsumen, bahwa argumen mereka tidak cocok
untuk digunakan dalam mengevaluasi keputusan dalam konteks organisasi karena
cukup rumit
Pengaruh Kewajiban Penggunaan (MU) terhadap sikap menggunakan (ATU) (skripsi dan tesis)
Kewajiban penggunaan (MU) muncul karena adanya suatu paksaan atau
tekanan dari suatu peratura oleh lembaga pemerintah yang memungkinkan suatu
organisasi atau perusahaan mendapatkan penghargaan atau sanksi negatif. Minat
akan menentukan individu untuk memakai atau menolak sistem informasi yang
ditawarkannya.
Hasil penelitian Teo et al. (2003), Chang (2007), Safaruddin (2010) dan
Usman (2012) menemukan faktor-faktor institusional yaitu tekanan normatif,
tekanan paksaan dan tekanan sosial berpengaruh positif terhadap penerimaan
teknologi informasi
Persepsi Sikap Penggunaan (ATU) terhadap Minat Perilaku Menggunakan (BI) (skripsi dan tesis)
Sikap terhadap perilaku merupakan keinginan (niat) seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan atau sikap menerima atau
menolak oleh karena kesadaran individu, kesukarelaan atau karena diwajibkan
oleh peraturan. Sikap menyukai atau tidak menyukai untuk melakukan perilaku
yang ditentukan ini digunakan untuk memprediksi niat seseorang dalam
menggunakan atau tidak menggunakan suatu sistem.
Hasil penelitian telah menunjukan adanya kondisi lingkungan yang
berbeda yaitu penggunaan yang diwajibkan (mandatory) dan kesukarelaan
(valuntariness) mempunyai pengaruh dalam penggunaan sistem informasi
(Venkatesh dan Davis : 2000, Adamson & Shine : 2003, Hartwick dan Barki :
1994, dalam Hartono : 2007 dan Syarif&Sensuse : 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Heri, dkk (2016) menunjukan bahwa sikap penggunaan (ATU) berpengaruh signifikan terhadap perilaku untuk menggunakan artinya semakin
baik sikap penggunaan maka perilaku untuk menggunakan akan semakin besar.
Persepsi kegunaan (PU) terhadap Minat Perilaku Penggunaan (BI) (skripsi dan tesis)
Davis (1989) mengungkapkan bahwa manfaat mempunyai hubungan yang
kuat dengan minat perilaku penggunaan karena seseorang dalam menggunakan
suatu sistem teknologi informasi percaya bahwa manfaat yang dihasilkan dapat meningkatkan kinerja. Menurut penelitian yang dilakukan (Lee & Wan : 2010)
pengaruh kegunaan yang dirasakan signifikan terhadap minat menggunakan juga
dibuktikan oleh (Kripanont : 2007, Syarif dan Sensuse : 2007)
Persepsi Kemudahan Penggunaan (PEU) terhadap Sikap Penggunaan (ATU) (skripsi dan tesis)
Sun (2003) melakukan penelitian untuk menganalisis TAM menemukan
hasil bahwa konstruk kemudahan penggunaan (PEU) signifikan di 15 penelitian
bahwa konstruk PEU merupakan konstruk yang paling signifikan mempengaruhi
sikap penggunaan (ATU). Pemakai akan bersikap positif atau menerima sistem
informasi jika merasa mudah dalam menggunakannya (perceived ease of use).
Jika pemakai merasakan sistem informasi mudah dalam mendukung kinerjanya
maka pemakai akan bersikap positif. Hasil penelitian tentang perceived ease of
use sebelumnya menunjukan adanya hubungan yang signifikan variabel
kemudahan penggunaan yang dirasakan terhadap penggunaan sistem informasi
(Davis : 1986, Adams et al. : 1992, Davis et al. 1993, Ndubisi dan Jantan : 2003,
Harton et al. : 2001 dalam Lu et al. 2003, Spacey et al. : 2004, Ramayah dal Lo
2007).
Persepsi Kegunaan (PU) terhadap Sikap Penggunaan (ATU) (skripsi dan tesis)
Sikap terhadap penggunaan sistem informasi ditentukan oleh kegunaan
yang dirasakan (PU). Jika pemakai merasakan ada manfaat atau kegunaan yang
besar untuk mendukung kinerja maka pemakai akan bersikap positif atau
menerima penggunaan sistem informasi. Dalam penelitian Chau dan Hu (2002)
melaporkan bahwa persepsi kegunaan (PU) merupakan penentu yang paling
utama pengguna mau menerima suatu sistem informasi dan mempunyai efek tidak
langsung ke niat lewat sikap penggunaan (ATU). Hasil penelitian (Davis : 1986,
Horton et al. : 2001 dalam Lu et al. : 2003, Spacey et al : 2004) mengungkapkan
bahwa ada hubungan yang signifikan varabel kegunaan (PU) terhadap sikap
penggunaan sistem informasi.
Persepsi Kemudahan Penggunaan (PEU) terhadap Persepsi Kegunaan (PU) (skripsi dan tesis)
Menurut Davis et al. (1989) hasil dari penggunaan sistem informasi tidak
akan maksimal atau bahkan mungkin tidak akan tercapai karena adanya restensi
atau penolakan oleh pengguna sistem informasi hal tersebut ditentukan oleh dua
variabel dasar yang secara bersama-sama berpengaruh terhadap keinginan
menggunakan dan kemudian akan mempengaruhi penggunaan sistem tersebut,
(Davis et al. : 1993 dan Harton et al. : 2001 dalam Lu et al : 2003) menunjukan
adanya hubungan yang kuat variabel kemudahan penggunaan yang dirasakan
(PEU) terhadap kegunaan yang dirasakan (PU) dalam penggunaan sistem
informasi dalam penelitian yang lain (Adams et al. 1992) menunjukkan adanya
hubungan positif antara kemudahan penggunaan (ease of use) dan kegunaan(usefulness). Iqbaria et al. (1995) dalam penelitian mereka dengan
memperlihatkan adanya pengaruh dari persepsi kemudahan penggunaan (PEU)
terhadap persepsi kegunaan (PU).
Persepsi kemampuan menggunakan komputer (CSE) terhadap Kemudahan penggunaan (PEU) (skripsi dan tesis)
Bandura (1986) mengenalkan dua bagian dari ekspektasi-ekspektasi
sebagai tekanan-tekanan kognitif utama yang mengarahkan perilaku (Jogiyanto,
2007:262). Bagian pertama dari ekspektasi-ekspektasi adalah keyakinan-sendiri
(self-efficacy). Bagian kedua dari ekspektasi berhubungan dengan hasil-hasil yang
selanjutnya disebut dengan ekspektasi-ekspektasi hasil yang kemudian banyak
diartikan sebagai perceived usefulness oleh banyak peneliti. Pertimbangan selfefficacy dalam konteks penggunaan komputer yang disebut computer self-efficacy
diyakini mempengaruhi outcomes expectation karena seseorang mengharapkan
hasil dari pertimbangan-pertimbangan seberapa baik seseorang dapat melakukan
perilaku yang dituntut.
Hasil penelitian Darsono (2005) menunjukan bahwa computer self
efficacy berpengaruh terhadap persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use). Temuan ini konsisten dengan temuan Hong et al. (2002), Lewis et al.
(2003), dan didukung oleh Hassan (2006) yang menemukan bahwa computer self
efficacy berpengaruh positif terhadap kemudahan penggunaan (perceived ease of
use). Penelitian Thomson et al. (2006), Hassan (2007), dan Srite et al. (2008) juga
menemukan bahwa computer self efficacy berpengaruh terhadap persepsi
kemudahan penggunaan (perceived ease of use).
Persepsi Kemampuan menggunakan komputer (CSE) terhadap persepsi Kegunaan (skripsi dan tesis)
Computer self efficacy merupakan determinan penting bagi seorang
individu memutuskan untuk menggunakan teknologi komputer (Hill et al, 1987).
Compeau dan Hinggins (1995) dan Chang et al. (2009) menemukan bahwa
semakin tinggi computer self efficacy individu maka semakin tinggi pula outcome expectations yang dirasakan oleh individu tersebut. Ramayah dan Aafaqi (2004).
Lopes and Manson (1997), Hong et al. (2002), Darsono (2005), dan Adiwibowo et
al. (2006) juga menemukan bahwa computer self efficacy berhubungan positif
dengan persepsi kegunaan (perceived usefulness)
Kewajiban dalam penggunaan (Mandatory Using) (skripsi dan tesis)
Penelitian oleh (Brown, Massey, Montoya-Weiss, & Burkman, 2002,
p.283) mendefinisikan bahwa kewajiban dalam penggunaan (Mandatory Using)
adalah suatu kondisi dimana lingkungan penggunaan wajib menggunakan, lebih
spesifiknya yaitu “pengguna diwajibkan untuk menggunakan teknologi tertentu atau sistem memerintahkan untuk menjaga dan melakukan pekerjaan mereka”.
Pengguna harus menggunakan sistem, terlepas dari apakah ia bermaksud untuk
menggunakannya. Penggunaan wajib dianggap sebagai kemungkinan penyebab
untuk temuan campuran dalam studi TAM (Hartwick & Barki : 1994, Mathieson :
1991, Taylor & Todd : 1995, Venkatesh & Davis : 2000)
Pemakaian sistem di organisasi dapat bersifat sukarela (valuntary) atau
bersifat wajib (mandatory) khususnya di organisasi pemerintahan. Karena
pemakaian sifatnya wajib maka semua pemakai harus menggunakan sistem
tersebut. Kewajiban dalam penggunaan (mandotory using) bersifat Tekanan
paksaan (coercive pressure) berhubungan dengan adanya tekanan dalam bentuk
formal dan informal yang berasal dari organisasi yang memiliki kekuasaan.
Tekanan tersebut mungkin saja dirasakan sebagai suatu kekuatan, atau sebagai
bujukan, atau sekedar sebagai undangan untuk turut serta bergabung dalam suatu
perkumpulan.
Terjadinya perubahan organisasi dalam beberapa situasi, merupakan
respon langsung dari mandat pemerintah melalui peraturan perundang-undangan
yang diberlakukan. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa coercive pressures
terjadi ketika organisasi menerapkan model atau struktur tertentu disebabkan oleh
adanya tekanan dari organisasi lain atau masyarakat secara umum. Coercive
pressures juga timbul manakala organisasi dipaksa untuk menerapkan praktek-praktek tertentu karena diatur oleh peraturan perundang-undangan.
25
Hartwick dan bakri 1994 (dalam hartono 2007) menunjukan bahwa pada
kondisi pemakaian wajib, sikap tentang penggunaan sistem (attitude concerning
system use) ditentukan oleh sikap terhadap sistem (attitude toward system)
Minat terhadap Perilaku Penggunaan (Behavioral Intention to Use) (skripsi dan tesis)
Niat terhadap perilaku (behavioral Intention) adalah suatu keinginan (niat)
sesorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Niat tidak selalu satis dapat
berubah dengan berjalannya waktu, seseorang akan melakukan suatu perilaku jika
mempunyai keinginan atau niat untuk melakukannya.
Tingkat penggunaan sebuah teknologi komputer pada seseorang dapat
diprediksi dari sikap perhatian pengguna terhadap teknologi tersebut, misalkan keinginan menambah peripheral yang mendukung, motivasi untuk tetap
menggunakan, keinginan untuk memotivasi pengguna lainnya. (Arief Hermawan :
2008 dalam Suseno : 2009) mendefinisikan bahwa minat perilaku menggunakan
teknologi (behavioral intention to use) sebagai minat (keinginan) seseorang untuk
melakukan perilaku tertentu.
Hubungan antara sikap dalam menggunakan teknologi dengan minat
dalam menggunakan teknologi telah banyak diteliti sebelumnya. Mathieson
(1991) menyimpulkan bahwa TAM dapat menjelaskan minat perilaku dengan
baik dan lebih sederhana. hasil penelitian TAM menunjukan bahwa minat
dipengaruhi oleh sikap (Davis 1986; Davis et al. 1993; Spacey et al. 2004);
motivasi intrinsik (Saade 2007); ekspektasi kinerja, usaha dan faktor sosial
(handayani 2007); ekspektasi kinerja, usaha dan faktor sosial (handayani 2007);
perceived ease of use tidak signifikan (Chau dalam Lu et al. 2003); self efficacy
(Kripanont 2007); proses sosial/kultur (Bandiyopadhpay 2007); tak langsung
dipengaruhi faktor sosial (Malhotra dan Galleta 1999). Minat perilaku juga
merupakan prediktor yang baik dalam penggunaan sistem informasi (seperti hasil
penelitian Davis et al. 1989; venkatesh dan Davis 2000).
Sikap Penggunaan (Attitude Toward Use) (skripsi dan tesis)
Sikap terhadap perilaku (attitude towards behavior) didefinisikan oleh
Davis et al. (1989) sebagai perasaan-perasaan positip atau negatip dari seseorang
jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan. Sikap terhadap penggunaan (attitude towards behavior) juga didefinisikan oleh Mathieson (1991) sebagai
evaluasi pemakai tentang ketertarikannya menggunakan sistem
Penelitian oleh Aaker dan Myers (1997) mendefinisikan sikap sebagai
perasaan suka atau tidak suka terhadap suatu produk sehingga dapat digunakan
untuk memprediksi niat seseorang untuk menggunakan atau tidak menggunakan
suatu produk. Penelitian (Arif Hermawan : 2008 dalam Suseno : 2009)
mengungkapkan bahwa sikap dalam penggunaan teknologi (attitude toward using
technology) adalah perilaku suka atau tidak suka ataupun ketertarikannya dalam
menggunakan teknologi.
Hasil penelitian TAM menunjukan bahwa sikap penggunaan sistem
informasi dipengaruhi perceived usefulness dan perceived ease of use (Davis
1986; Spacey et al. 2004); kultur (Straub 1994 dalam hartono (2007); pengaruh
sosial berupa kepatuhan, identifikasi dan internalisasi (Malhotra dan Galleta
1999). Sikap berpengaruh positif terhadap minat perilaku (behavioral intention),
seperti hasil penelitian (Davis 1986; Spacey et al. 2004)
Kemampuan menggunakan Komputer (Computer Self Efficacy) (skripsi dan tesis)
Self efficacy menurut Bandura (1977) merupakan penilaian seseorang
terhadap kemampuannya dalam mengorganisasi dan memutuskan tindakan yang
diperlukan dengan tujuan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Computer self-efficacy (CSE) dihubungkan dengan suatu pertimbangan
(judgment) kemampuan seseorang untuk menggunakan suatu komputer.
Kemampuan individu setiap orang berbeda sehingga cara mereka dalam
mengoperasikan suatu sistem untuk mendapatkan informasi juga berbeda. Nelson
(1990) dan Hong et al. (2002) menyatakan bahwa “kesuksesan dari inovasi suatu
teknologi terletak pada pandangan diri individu atas teknologi tersebut”.
Seseorang yang kurang memahami cara mengoperasikan sistem informasi
berbasis komputer dan kurang memahami suatu sistem akan memiliki niat yang
kecil untuk menggunakan sistem informormasi berbasis komputer.
Kajian literatur mengindikasikan bahwa self efficacy berpengaruh pada
persepsi manfaat dan persepsi kemudahan penggunaan teknologi. Menurut Rose
dan Fogarty (2006) dalam penelitiannya terhadap 208 responden mendapatkan
hasil bahwa pengguna teknologi yang memiliki kepercayaan terhadap
kemampuannya untuk menggunakan teknologi akan merasa bahwa teknologi
tersebut bermanfaat dan mudah untuk digunakan. hasil penelitian ini mendukung
penelitian Park (2009); Venkatesh (2000); Yusof et al. (2009); dan Abramson
(2015).
Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease of Use) (skripsi dan tesis)
Konstruk tambahan yang kedua di TAM adalah persepsi kemudahan
penggunaan (perceived ease of use atau PEU) didefinisikan sebagai sejauh mana
sesorang percaya bahwa menggunakan suatu teknologi akan bebas dari usaha.
Jika pemakai merasa percaya bahwa sistem informasi dapat dengan mudah
digunakan maka dia akan menggunakannya. Penelitian oleh Davis et al. (1989)
mengungkapkan bahwa kemudahan adalah tingkatan seseorang percaya bahwa
penggunaan suatu sistem tertentu dapat membuat orang tersebut bebas dari usaha
(free of effort). Bebas dari usaha yang dimaksudkan adalah bahwa dalam
menggunakan sistem seseorang hanya memerlukan sedikit waktu untuk
mempelajari, tidak rumit dan mudah dipahami.
Penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukan bahwa konstruk
persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use) mempengaruhi persepsi
kegunaan (perceived usefulness), sikap (attitude), niat (behavioral intention), dan
penggunaan sesungguhnya (behavior).
Persepsi Manfaat (Perceived Usefulness) (skripsi dan tesis)
Konstruk tambahan yang pertama di TAM adalah persepsi manfaat
(perceived usefulness atau PU) didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang
percaya bahwa menggunakan suatu teknologi akan meningkatkan kinerja
pekerjaannya. Dengan demikian jika seseorang merasa percaya bahwa sistem
informasi berguna atau bermanfaat maka dia akan menggunakannya. Sebaliknya
jika seseorang merasa percaya bahwa sistem informasi kurang berguna atau
bermanfaat maka dia tidak akan menggunakannya.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukan bahwa konstruk persepsi
manfaat (PU) mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap penggunaan
sistem informasi (Davis, 1989; Chau, 1996; Iqbaria et al., 1997; Sun, 2003)
menunjukan bahwa persepsi manfaat (PU) merupakan konstruk yang yang
mempengaruhi sikap (attitude), niat (behavioral intention) dan perilaku TAM yang dikembangkan
Perceived
Usefulness
External
Variabel
Perceived
Ease of Use
Attitude
Toward Using
Behavior
Intention of Use
Actual
Use
20
(behavior) didalam menggunakan teknologi dibandingkan dengan konstruk yang
lainnya
Technology Acceptance Model (TAM) (skripsi dan tesis)
Sistem teknologi dan komunikasi secara teknis telah berkembang dengan
pesat. Secara kualitas teknologi informasi juga sudah meningkat dengan drastis
kehadirannya telah banyak memberikan manfaat yang besar bagi manusia dan
organisasi. Namun masih terdapat banyak teknologi informasi yang gagal dalam
penerapannya. Kegagalan penerapan sistem teknologi informasi pada organisasi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal (Davis
1989). Penelitian-penelitian menunjukan bahwa penyebab kegagalan penerapan
suatu sistem informasi adalah lebih pada aspek keperilakuannya (behavioral).
Keputusan untuk mengadopsi suatu sistem teknologi informasi ada di tangan
18
manajer, tetapi keberhasilan penggunaan teknologi tersebut tergantung pada
penerimaan dan penggunaan setiap individu pemakainya (Hartono 2007).
Untuk supaya sistem teknologi informasi berhasil diterapkan, maka
perilaku menolak dari pemakai perlu dirubah atau mempersiapakn sistem terlebih
dahulu supaya pemakainya mau berperilaku menerima. Merubah perilaku tidak
dapat dilakukan secara langsung ke perilakunya, tetapi harus dilakukan lewat
anteseden-anteseden atau penyebab-penyebab perilaku tersebut. Salah satu teori
untuk menjelaskan penerimaan individual terhadap penggunaan sistem teknologi
informasi adalah model penerimaan teknologi (Technology Acceptance Model
atau TAM).
Davis et. al (1989) mengembangkan model penerimaan Technology
Acceptance Model (TAM) berdasarkan model Theory of Reasoned Action (TRA)
dengan menambahkan dua konstruk utama ke dalam model Theory of Reasoned
Action (TRA) dua konstruk utama ini adalah kegunaan persepsian (perceived
usefulness) dan kemudahan penggunaan persepsian (perceived ease of use) dua
konstruk ini menjadi penentu utama dari penerimaan pemakai (user acceptance)
atau dari berhasil atau tidaknya suatu proyek sistem informasi.
Technology Acceptance Model (skripsi dan tesis)
TAM diadaptasi dari Theory of Reasoned Action yang diperkenalkan oleh Ajzen dan
Fishbein (1980) dan diusulkan oleh Davis (1989). TAM mengasumsikan bahwa penerimaan
seseorang atas teknologi informasi dipengaruhi oleh dua variabel utama yaitu Perceived
Usefulness (Persepsi Kebermanfaatan) dan Perceived Ease of Use (Persepsi Kemudahan
Penggunaan) Hakim (2008). Perceived Usefulness (Persepsi Kebermanfaatan) dan Perceived Ease of Use (Persepsi
Kemudahan Penggunaan) mempengaruhi Attitude Toward Using individu terhadap penggunaan
teknologi. Peningkatan pada Perceived Ease of Use secara instrumental mempengaruhi kenaikan
External
Variabels
Perceived
Usefulness
(U)
Perceived
Ease of Use
(E)
Attitude
Toward
Using ( A)
Behavioral
Intention to
Use (BI)
Acctual
System
Use dari Perceived Usefulness karena sebuah sistem yang mudah digunakan tidak membutuhkan
waktu lama untuk dipelajari sehingga individu memiliki kesempatan untuk mengerjakan sesuatu
yang lain sehingga berkaitan dengan efektifitas kinerja (Davis, Bagozzi dan Warshaw, 1989:
987).
Attitude Toward Using dalam TAM dikonsepkan sebagai sikap terhadap penggunaan
sistem yang berbentuk penerimaan atau penolakan sebagai dampak bila seseorang menggunakan
suatu teknologi dalam pekerjaannya. Behavioral Intention to Use adalah kecenderungan perilaku
untuk tetap menggunakan suatu teknologi. Tingkat penggunaan sebuah teknologi dapat dilihat
dari sikap pengguna terhadap teknologi tersebut seperti motivasi untuk tetap menggunakan serta
keinginan untuk memotivasi pengguna lain. Actual System Usage adalah kondisi nyata
penggunaan sistem yang dikonsepkan dalam bentuk pengukuran terhadap frekuensi dan durasi
waktu penggunaan teknologi (Arief Wibowo, 2006).
Bila dilihat secara rinci, gambar konstruk awal TAM yang diperkenalkan oleh Davis
(1989) tidak jauh beda dengan model yang digunakan dalam penelitian ini. Tetapi dalam
penelitian ini hanya menggunakan 3 variabel independen saja, dimana variabel independen
tersebut adalah: Persepsi Kemudahan Penggunan, Persepsi Manfaat dan Minat Perilaku
Penggunaan.
Persepsi Kemudahaan Penggunaan dan Persepsi Manfaat mempengaruhi Minat perilaku Penggunaan terhadap penggunaan teknologi.
Dimana Persepsi Kemudahan Penggunaan merupakan tingkatan dimana seseorang percaya bahwa teknologi mudah untuk dipahami, Davis (1989). Persepsi Kemudahaan Penggunaan juga mempengaruhi Persepsi Manfaat yang merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan produktifitas dan efektifitas sistem dari kegunaan dalam tugas secara menyeluruh untuk meningkatkan kinerja orang yang menggunakan sistem tersebut Adamson dan Shine (2003). Minat Perilaku Penggunaan merupakan bentuk keyakinan seseorang dalam penggunaan teknologi informasi akan meningkatkan minat seseorang yang pada akhirnya akan menggunakan teknologi informasi dalam melakukan pekerjaan Venkatesh, et al (2003). Menurut Gefen dan Straub (2004) menyatakan bahwa peranan persepsi kemudahan penggunaan sebenarnya lebih kompleks karena persepsi kemudahan penggunaan mengukur penilaian kemudahan penggunaan (perceived ease of use) dan easy of learning dari pengguna teknologi informasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi kemudahan penggunaan mempengaruhi persepsi manfaat. Wijaya (2005) menyatakan bahwa TAM mendeskripsikan terdapat dua faktor yang secara dominan mempengaruhi integrasi teknologi. Faktor pertama adalah persepsi pengguna terhadap manfaat teknologi. Sedangkan faktor kedua adalah persepsi pengguna terhadap kemudahan penggunaan teknologi. Kedua faktor tersebut mempengaruhi kemauan untuk memanfaatkan teknologi. Selanjutnya kemauan untuk memanfaatkan teknologi akan mempengaruhi penggunanan teknologi yang sesungguhnya.
Pada umumnya penguna teknologi akan memiliki persepsi positive terhadap teknologi yang disediakan. Persepsi negative akan muncul sebagai dampak dari penggunaan teknologi tersebut. Artinya persepsi negative berkembang setelah pengguna pernah mencoba teknologi tersebut atau pengguna berpengalaman buruk terhadap penggunaan teknologi tersebut. Sehingga model TAM dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan upaya-upaya yang diperlukan untuk mendorong kemauan menggunakan teknologi. Tujuan utama TAM adalah untuk memberikan dasar penelusaran dari pengaruh faktor eksternal terhadap kepercayaan, sikap dan tujuan pengguna. TAM menyediakan suatu basis teoritis untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan terhadap suatu teknologi dalam suatu organisasi. TAM menjelaskan hubungan sebab akibat antara keyakinan (akan manfaat suatu sistem informasi dan kemudahan penggunaannya) dan perilaku, tujuan/keperluan, dan penggunaan aktual dari pengguna/user suatu sistem informasi (Nugroho, 2008).
Model TAM sebenarnya diadopsi dari model TRA (Theory of Reasoned Action) yaitu teori tindakan yang beralasan dengan satu premis bahwa reaksi dan persepsi seseorang terhadap sesuatu hal, akan menentukan sikap dan perilaku orang tersebut. Reaksi dan persepsi pengguna Teknologi Informasi (TI) akan mempengaruhi sikapnya dalam penerimaan terhadap teknologi tersebut. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhinya adalah persepsi pengguna terhadap kemanfaatan dan kemudahan penggunaan TI sebagai suatu tindakan yang beralasan dalam konteks pengguna teknologi, sehingga alasan seseorang dalam melihat manfaat dan kemudahan penggunaan TI menjadikan tindakan/perilaku orang tersebut sebagai tolok ukur dalam penerimaan sebuah teknologi (Ajzen dan Fishbein, 1980). Model TAM yang dikembangkan dari teori psikologis, menjelaskan perilaku pengguna komputer yaitu berlandaskan pada kepercayaan (belief), sikap (attitude), keinginan (intention), dan hubungan perilaku pengguna (user behaviour relationship). Tujuan model ini adalah untuk menjelaskan faktor‐faktor utama dari perilaku pengguna terhadap penerimaan pengguna teknologi. Secara lebih terinci menjelaskan tentang penerimaan TI dengan dimensi‐dimensi tertentu yang dapat mempengaruhi diterimanya TI oleh pengguna (user). Model ini menempatkan pengunaan (usage) sebagai dependent variabel, serta perceived usefulness (U) dan perceived ease of use (EOU) sebagai independen variabel. Kedua variabel independen ini dianggap dapat menjelaskan perilaku penggunaan (usage). Berbagai penelitian empiris pun telah banyak diajukan, seperti yang telah dinyatakan oleh Hermana (2005) bahwa sejumlah meta analisis pada TAM telah menunjukkan bahwa TAM adalah model yang valid, kuat dan sangat berkuasa. Model TAM ini sendiri dijumpai dalam penggunaan komputer serta internet. Agar pengguna dapat menggunakan aplikasi internet dengan baik dibutuhkan pelatihan dan pembelajaran (Compeau and Higgins, 1995). Dengan pembelajaran dan pelatihan mengenai aplikasi internet, pengguna dapat mengerti tentang apa yang diharapkan nantinya. Pembelajaran tersebut antara lain seperti bagaimana agar dapat berhubungan dengan internet, pencarian informasi dalam internet, pertukaran informasi melalui internet, dan sebagainya. Pengetahuan teknologi internet sangat berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan pengguna dalam bertransaksi melalui website. Penelitian Shivraj dan Vikas (2004), mempelajari niat untuk membeli menggunakan website. Responden yang dituju adalah siswa yang lulus program MBA pada universitas di Washington DC, USA. Responden secara acak diminta untuk mengunjungi website Amazon (www.amazon.com) atau GE Appliances (www.geappliances.com) dengan menggunakan 183 responden dari 300 kuesioner yang disebarkan. Pada penelitian shivarj dan Vikas (2004), yang dipengaruhi oleh variabel yaitu, perceived risk, perceived usefulness dan perceived ease of use dapat mempengaruhi intention to purchase secara langsung. Selain itu perceived risk merupakan mediator hubungan antara gender dan product category dengan intention to purchase. Perceived ease of use juga mempengaruhi perceived usefulness.
Persepsi Kemudahaan Penggunaan dan Persepsi Manfaat mempengaruhi Minat perilaku Penggunaan terhadap penggunaan teknologi.
Dimana Persepsi Kemudahan Penggunaan merupakan tingkatan dimana seseorang percaya bahwa teknologi mudah untuk dipahami, Davis (1989). Persepsi Kemudahaan Penggunaan juga mempengaruhi Persepsi Manfaat yang merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan produktifitas dan efektifitas sistem dari kegunaan dalam tugas secara menyeluruh untuk meningkatkan kinerja orang yang menggunakan sistem tersebut Adamson dan Shine (2003). Minat Perilaku Penggunaan merupakan bentuk keyakinan seseorang dalam penggunaan teknologi informasi akan meningkatkan minat seseorang yang pada akhirnya akan menggunakan teknologi informasi dalam melakukan pekerjaan Venkatesh, et al (2003). Menurut Gefen dan Straub (2004) menyatakan bahwa peranan persepsi kemudahan penggunaan sebenarnya lebih kompleks karena persepsi kemudahan penggunaan mengukur penilaian kemudahan penggunaan (perceived ease of use) dan easy of learning dari pengguna teknologi informasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi kemudahan penggunaan mempengaruhi persepsi manfaat. Wijaya (2005) menyatakan bahwa TAM mendeskripsikan terdapat dua faktor yang secara dominan mempengaruhi integrasi teknologi. Faktor pertama adalah persepsi pengguna terhadap manfaat teknologi. Sedangkan faktor kedua adalah persepsi pengguna terhadap kemudahan penggunaan teknologi. Kedua faktor tersebut mempengaruhi kemauan untuk memanfaatkan teknologi. Selanjutnya kemauan untuk memanfaatkan teknologi akan mempengaruhi penggunanan teknologi yang sesungguhnya.
Pada umumnya penguna teknologi akan memiliki persepsi positive terhadap teknologi yang disediakan. Persepsi negative akan muncul sebagai dampak dari penggunaan teknologi tersebut. Artinya persepsi negative berkembang setelah pengguna pernah mencoba teknologi tersebut atau pengguna berpengalaman buruk terhadap penggunaan teknologi tersebut. Sehingga model TAM dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan upaya-upaya yang diperlukan untuk mendorong kemauan menggunakan teknologi. Tujuan utama TAM adalah untuk memberikan dasar penelusaran dari pengaruh faktor eksternal terhadap kepercayaan, sikap dan tujuan pengguna. TAM menyediakan suatu basis teoritis untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan terhadap suatu teknologi dalam suatu organisasi. TAM menjelaskan hubungan sebab akibat antara keyakinan (akan manfaat suatu sistem informasi dan kemudahan penggunaannya) dan perilaku, tujuan/keperluan, dan penggunaan aktual dari pengguna/user suatu sistem informasi (Nugroho, 2008).
Model TAM sebenarnya diadopsi dari model TRA (Theory of Reasoned Action) yaitu teori tindakan yang beralasan dengan satu premis bahwa reaksi dan persepsi seseorang terhadap sesuatu hal, akan menentukan sikap dan perilaku orang tersebut. Reaksi dan persepsi pengguna Teknologi Informasi (TI) akan mempengaruhi sikapnya dalam penerimaan terhadap teknologi tersebut. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhinya adalah persepsi pengguna terhadap kemanfaatan dan kemudahan penggunaan TI sebagai suatu tindakan yang beralasan dalam konteks pengguna teknologi, sehingga alasan seseorang dalam melihat manfaat dan kemudahan penggunaan TI menjadikan tindakan/perilaku orang tersebut sebagai tolok ukur dalam penerimaan sebuah teknologi (Ajzen dan Fishbein, 1980). Model TAM yang dikembangkan dari teori psikologis, menjelaskan perilaku pengguna komputer yaitu berlandaskan pada kepercayaan (belief), sikap (attitude), keinginan (intention), dan hubungan perilaku pengguna (user behaviour relationship). Tujuan model ini adalah untuk menjelaskan faktor‐faktor utama dari perilaku pengguna terhadap penerimaan pengguna teknologi. Secara lebih terinci menjelaskan tentang penerimaan TI dengan dimensi‐dimensi tertentu yang dapat mempengaruhi diterimanya TI oleh pengguna (user). Model ini menempatkan pengunaan (usage) sebagai dependent variabel, serta perceived usefulness (U) dan perceived ease of use (EOU) sebagai independen variabel. Kedua variabel independen ini dianggap dapat menjelaskan perilaku penggunaan (usage). Berbagai penelitian empiris pun telah banyak diajukan, seperti yang telah dinyatakan oleh Hermana (2005) bahwa sejumlah meta analisis pada TAM telah menunjukkan bahwa TAM adalah model yang valid, kuat dan sangat berkuasa. Model TAM ini sendiri dijumpai dalam penggunaan komputer serta internet. Agar pengguna dapat menggunakan aplikasi internet dengan baik dibutuhkan pelatihan dan pembelajaran (Compeau and Higgins, 1995). Dengan pembelajaran dan pelatihan mengenai aplikasi internet, pengguna dapat mengerti tentang apa yang diharapkan nantinya. Pembelajaran tersebut antara lain seperti bagaimana agar dapat berhubungan dengan internet, pencarian informasi dalam internet, pertukaran informasi melalui internet, dan sebagainya. Pengetahuan teknologi internet sangat berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan pengguna dalam bertransaksi melalui website. Penelitian Shivraj dan Vikas (2004), mempelajari niat untuk membeli menggunakan website. Responden yang dituju adalah siswa yang lulus program MBA pada universitas di Washington DC, USA. Responden secara acak diminta untuk mengunjungi website Amazon (www.amazon.com) atau GE Appliances (www.geappliances.com) dengan menggunakan 183 responden dari 300 kuesioner yang disebarkan. Pada penelitian shivarj dan Vikas (2004), yang dipengaruhi oleh variabel yaitu, perceived risk, perceived usefulness dan perceived ease of use dapat mempengaruhi intention to purchase secara langsung. Selain itu perceived risk merupakan mediator hubungan antara gender dan product category dengan intention to purchase. Perceived ease of use juga mempengaruhi perceived usefulness.
Pengaruh Persepsi Manfaat terhadap Kepuasan Penggunaan Sistem Informasi Akuntansi (skripsi dan tesis)
Persepsi manfaat merupakan suatu tingkatan dimana seseorang
percaya bahwa penggunaan suatu sistem tertentu akan dapat meningkatkan
prestasi kerja, menambah produktifitas dan efektifitas kerja orang tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa manfaat dari
penggunaan teknologi informasi adalah dapat meningkatkan kinerja dan
prestasi kerja orang yang menggunakannya. Seseorang yang memiliki
persepsi manfaat yang tinggi maka akan termotivasi untuk menggunakan
sistem tersebut sehingga mampu meningkatkan performa kerjanya.
Dengan demikian sistem yang dikembangkan berhasil mencapai
tujuannya. Salah satu indikator keberhasilan suatu sistem informasi yang
dikembangkan adalah tingkat kepuasan pengguna saat menggunakan
sistem tersebut. Seseorang yang beranggapan bahwa sistem yang
dikembangkan bermanfaat akan merasa bahwa harapan mereka terhadap
sistem tersebut terpenuhi sehingga mereka cenderung puas ketika
menggunakan sistem tersebut. Oleh karena itu persepsi manfaat
berpengaruh terhadap kepuasan pengguaan sistem informasi akutansi.
Pengaruh Persepsi Kemudahan Penggunaan terhadap Persepsi Manfaat Sistem Informasi Akuntansi (skripsi dan tesis)
Persepsi Kemudahan Penggunaan merupakan tingkatan dimana
seseorang percaya bahwa teknologi informasi mudah dipahami.
Sedangkan Persepsi manfaat merupakan suatu tingkatan dimana seseorang
percaya bahwa penggunaan suatu sistem tertentu akan dapat meningkatkan
prestasi kerja, menambah produktifitas dan efektifitas kerja orang tersebut.
Menurut Igbaria (1995) salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi
manfaat adalah kemudahan penggunaan. Suatu sistem yang cara
mengoperasikannya tidak membutuhkan usaha keras dari penggunaanya maka akan dianggap sebagai suatu sistem yang bermanfaat. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan apabila persepsi kemudahan
penggunaan akan mempengaruhi persepsi manfaat suatu sistem informasi
Pengaruh Computer Self Efficaccy terhadap Persepsi Kemudahan Penggunaan (skripsi dan tesis)
Sistem Informasi Akuntansi
Computer Self Efficaccy menggambarkan persepsi individu tentang
kemampuannya menggunakan komputer untuk menyelesaikan tugas-tugas
seperti menggunakan paket-paket software untuk analisis data dan tugas
lainnya. Kemampuan dalam mengoperasikan program komputer dapat
mendorong karyawan memberikan pendapat mengenai kemudahan penggunaan sistem informasi yang ada. Bekerja dengan suatu sistem yang
mampu menghasilkan kinerja yang baik serta cara mengoperasikannya
tidak menimbulkan kesulitan akan membuat karyawan berpendapat bahwa
sistem tersebut mudah digunakan. Dengan kemudahan yang diberikan oleh
sistem tersebut membuat karyawan senang untuk mengoperasikannya dan
cenderung untuk tetap menggunakannya. Computer Self Efficaccy dapat
membantu pengguna untuk menilai apakah suatu sistem informasi itu lebih
fleksibel, mudah dipahami dan mudah pengoperasiannya. Seseorang yang
memiliki Computer Self Efficaccy tinggi akan mudah untuk beradaptasi
dengan teknologi yang baru dan tidak mengalami kesulitan dalam
mengoperasikannya sehingga beranggapan sistem tersebut mudah. Dengan
demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa Computer Self Efficacy
berpengaruh terhadap Persepsi Kemudahan Penggunaan.
Pengaruh Computer Self Efficaccy terhadap Persepsi Manfaat (skripsi dan tesis)
Sistem
Informasi Akuntansi
Computer Self Efficacy dipandang sebagai salah satu variabel yang
penting untuk studi perilaku individual dalam bidang teknologi informasi.
Computer Self Efficacy merupakan judgement kapabilitas dan keahlian
komputer seseorang untuk melakukan tugas-tugas yang berhubungan
dengan teknologi informasi. Kemampuan dalam mengoperasikan program
komputer dapat mendorong karyawan memberikan pendapat mengenai
manfaat sistem informasi yang ada. Dihadapkan dengan suatu sistem yang
mampu menghasilkan kinerja yang baik, maka karyawan yang memiliki
tingkatan Computer Self Efficacy yang tinggi akan memiliki persepsi
bahwa sistem tersebut bermanfaat. Dengan beranggapan bahwa sistem
tersebut bermanfaat maka performa kerja yang mereka tunjukkan juga
akan menjadi lebih baik. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan
bahwa Computer Self Efficacy berpengaruh terhadap Persepsi Manfaa
Computer Self Efficacy (skirpsi dan tesis)
Menurut Agarwal et al (2000) Computer Self Efficacy dipandang
sebagai salah satu variabel yang penting untuk studi perilaku individual
dalam bidang teknologi informasi. Computer Self Efficacy didefinisikan oleh Compeau dan Higgins (1995) sebagai penilaian kapabilitas dan
keahlian komputer seseorang untuk melakukan tugas-tugas yang
berhubungan dengan teknologi informasi. Menurut Compeau dan Higgins
studi tentang CSE ini penting dalam rangka untuk menentukan perilaku
individu dan kinerja dalam penggunaan teknologi informasi.
Didasarkan pada teori kognitif sosial yang dikembangkan oleh
Bandura (1986), self efficacy dapat didefinisikan sebagai kepercayaan
seseorang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perilaku
tertentu. Bandura menyatakan bahwa self efficacy yang dirasakan
seseorang, memainkan peranan penting dalam mempengaruhi motivasi
dan perilaku (Igbaria dan Iivari, 1995). Hal ini bukan merupakan
judgement pada masa lalu seseorang dalam menggunakan komputer, tetapi
menyangkut judgement yang akan dilakukan pada masa depan.
Compeau dan Higgins (1995) juga menjelaskan ada tiga dimensi
CSE, yaitu (1) magnitude, (2) strength dan (3) generalizability. Dimensi
magnitude mengacu pada tingkat kapabilitas yang diharapkan dalam
penggunaan komputer. Individu yang mempunyai magnitude CSE yang
tinggi diharapkan mampu menyelesaikan tugas-tugas komputasi yang
lebih komplek dibandingkan individu yang mempunyai level magnitude
CSE yang lebih rendah karena kurangnya dukungan atau bantuan. Dimensi
ini juga menjelaskan bahwa tingginya magnitude CSE seseorang dikaitkan
dengan level yang dibutuhkan untuk memahami suatu tugas. Pada individu
yang memiliki level magnitude CSE tinggi mampu menyelesaikan tugas dengan kurangnya bantuan dan dukungan orang lain dibandingkan dengan
level magnitude CSE yang lebih rendah.
Pada dimensi kedua yakni strength, ini mengacu pada level
keyakinan tentang judge atau kepercayaan individu untuk mampu
menyelesaikan tugas-tugas komputasi dengan baik. Dimensi terakhir
adalah generalizability yang mengacu pada tingkat judgement user yang
terbatas pada domain khusus aktivitas. Dalam konteks komputer, domain
ini menunjukkan perbedaan konfigurasi hardware dan software, sehingga
individu yang memiliki level generalizability CSE yang tinggi diharapkan
secara kompeten menggunakan paket-paket software dan sistem komputer
yang berbeda.
Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease of Use) (skripsi dan tesis)
Persepsi Kemudahan penggunaan merupakan tingkatan dimana
seseorang percaya bahwa teknologi informasi mudah untuk dipahami
(Davis, 1989). Intensitas penggunaan dan interaksi antara pengguna (user)
dengan sistem juga dapat menunjukkan kemudahan penggunaan. Sistem
yang sering digunakan menunjukkan bahwa sistem tersebut lebih dikenal, lebih mudah dioperasikan dan lebih mudah digunakan oleh penggunanya
(Goodwin dan Silver dalam Adam.et,al., 1992:229).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi
kemudahan penggunaan akan mengurangi usaha (baik waktu dan tenaga)
seseorang didalam mempelajari teknologi informasi. Perbandingan
kemudahan tersebut memberikan indikasi bahwa orang yang
menggunakan sistem yang baru bekerja lebih mudah dibandingkan dengan
orang yang bekerja dengan sistem lama. Pengguna mempercayai bahwa
teknologi informasi yang lebih fleksibel, mudah dipahami dan mudah
pengoperasiannya (compartible) sebagai karakteristik kemudahan
penggunaan. Indikator persepsi kemudahan penggunaan teknologi
informasi (Davis, 1989: 324) yaitu:
a. Sistem sangat mudah dipelajari.
b. Sistem dapat mengerjakan dengan mudah apa yang diinginkan
oleh pengguna.
c. Keterampilan pengguna bertambah dengan menggunakan
sistem tersebut.
d. Sistem sangat mudah dioperasikan
Persepsi Manfaat (Perceived Usefulness) (skripsi dan tesis)
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, persepsi didefinisikan sebagai
tanggapan atau penerimaan langsung dari sesuatu atau atau proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indra. Individu
bertindak berdasarkan pada persepsinya tanpa memperhatikan apakah
persepsi tersebut akurat atau tidak akurat dalam menggambarkan
kenyataan. Penjelasan mengenai kenyataan mungkin akan sangat berbeda
dari individu yang satu dengan individu yang lain. Kehadiran suatu
teknologi akan dipersepsikan secara berbeda oleh seseorang. Ada
seseorang yang menganggap teknologi tersebut akan memberikan
kemudahan dan manfaat tetapi ada pula yang berfikir sebaliknya.
Davis (1989) mendefinisikan persepsi manfaat (Perceived
Usefulness) sebagai “the degree to which a person believes that using
particular system would enhance his or her job performance ” (suatu
tingkatan dimana seseorang percaya bahwa penggunaan suatu sistem
tertentu akan dapat meningkatkan prestasi kerja orang tersebut).
Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa manfaat dari
penggunaan teknologi informasi dapat meningkatkan kinerja dan prestasi
kerja orang yang menggunakannya.
Penerimaan teknologi oleh pengguna ditentukan oleh dua tipe
motivasi, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi
intrinsik timbul karena adanya ekspektasi yang dirasakan oleh individu itu
sendiri dari hasil berinteraksi dengan sebuah aplikasi sistem teknologi informasi. Sedangkan motivasi ekstrinsik muncul karena adanya
ekspektasi atas penggunaan aplikasi sistem teknologi informasi tertentu
yang diterima dari luar yaitu penghargaan karena kinerjanya meningkat.
Menurut Thompson et.al. (1991), manfaat teknologi informasi
merupakan manfaat yang diharapkan oleh pengguna teknologi informasi
dalam melaksanakan tugasnya. Pengukuran manfaat tersebut berdasarkan
frekuensi penggunaan dan keragaman aplikasi yang dijalankan. Thompson
(1991) juga menyebutkan bahwa individu akan menggunakan teknologi
informasi jika mengetahui manfaat positif atas penggunaannya.
Menurut Chin dan Todd (1995) kemanfaatan dapat dibagi menjadi
dua kategori, yaitu manfaat dengan estimasi satu faktor dan manfaat
dengan estimasi dua faktor (kemanfaatan dan efektifitas)
Kemanfaatan dengan estimasi satu faktor meliputi dimensi:
a. Menjadikan pekerjaan lebih mudah.
b. Bermanfaat (usefull)
c. Menambah produktifitas (increase productivity)
d. Mempertinggi efektifitas (enhance efectiveness)
e. Mengembangkan kinerja pekerjaan (improve job performance)
Kemanfaatan dengan estimasi dua faktor dibagi menjadi dua
kategori lagi yaitu kemanfaatan dan efektifitas, dengan dimensi masingmasing yang dikelompokkan sebagai berikut: a. Kemanfaatan
Meliputi dimensi : menjadikan pekerjaan lebih mudah (makes
job easier), bermanfaat (usefull), dan menambah produktifitas
(increase productivity).
b. Efektifitas
Meliputi dimensi: mempertinggi efektifitas (enhance my
effectiveness), mengembangkan kinerja pekerjaan (improve my
job performance).
Aspek perilaku dalam penerapan sistem informasi mempunyai
beberapa faktor yang cukup berperan terhadap penerimaan penggunaan
sistem tersebut. Dalam aspek perceived usefulness, faktor yang
membentuknya terdiri dari faktor intern dan ekstern perusahaan.
Igbaria
(1995) mengembangkan model teoritis aspek perilaku terhadap teknologi
informasi yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
perceived usefulness meliputi:
a. Kemudahan penggunaan (Ease of Use)
Merupakan ukuran atau tingkatan dimana seseorang percaya bahwa
sistem informasi atau komputer dapat dengan mudah dipahami dan
digunakan.
b. Dukungan pengetahuan internal (internal support)
Merupakan dukungan pengetahuan teknis yang dimiliki secara
individual maupun kelompok mengenai pengetahuan teknologi
informasi. c. Pelatihan Internal (internal training)
Merupakan sejumlah pelatihan yang sudah pernah diperoleh pengguna
(user) dari pengguna lainnya (other user) atau dari spesialisasi
komputer yang ada di dalam organisasi.
d. Dukungan manajemen (management support)
Merupakan tingkat dukungan secara umum yang diberikan manajemen
puncak dalam organisasi.
e. Dukungan eksternal (external support)
Merupakan dukungan pengetahuan teknis dari pihak luar yang dimiliki
secara individual maupun kelompok mengetahui pengetahuan tentang
teknologi informasi.
f. Pelatihan eksternal (external training)
Merupakan sejumlah pelatihan yang sudah pernah diperoleh pengguna
(user) dari pengguna lainnya (other user) atau spesialisasi komputer
dari pihak luar.
Technology Acceptance Model (skripsi dan tesis)
Technology Acceptance Model (TAM) adalah model yang disusun
oleh Davis (1989) untuk menjelaskan penerimaan teknologi yang akan
digunakan oleh pengguna teknologi. Dalam memformulasikan TAM,
Davis menggunakan TRA (Theory of Reasoned Action) sebagai grand
theory-nya namun tidak mengakomodasi semua komponen dari teori TRA.
Davis hanya memanfaatkan komponen “Belief” dan “Attitude” saja,
sedangkan Normative Belief dan Subjective Norms tidak digunakannya.
Menurut Davis, perilaku menggunakan Teknologi Informasi diawali oleh
adanya persepsi mengenai manfaat (usefulness) dan persepsi mengenai
kemudahan menggunakan teknologi informasi (ease of use). Kedua
komponen ini bila dikaitkan dengan TRA adalah bagian dari Belief.
19
Menurut Gefen (2003) sampai saat ini TAM merupakan model
yang paling banyak digunakan dalam memprediksi penerimaan teknologi
informasi. Tujuan model ini untuk menjelaskan faktor-faktor utama dari
perilaku pemakai teknologi informasi terhadap penerimaan penggunaan
teknologi informasi itu sendiri. Model TAM secara lebih terperinci
menjelaskan penerimaan-penerimaan teknologi informasi dengan dimensidimensi tertentu yang dapat mempengaruhi dengan mudah diterimanya
teknologi informasi oleh pemakai.
Technology Acceptance Model (TAM)
mendefinisikan dua persepsi dari pemakai teknologi yang memiliki suatu
dampak pada penerimaan mereka.
Kronologi perkembangan penelitian Technology Acceptance Model
(TAM) dalam Younghwa et al., (2003) dijelaskan sebagai berikut:
a. Periode pengenalan model (tahun 1986-1995)
Setelah pengenalan sistem informasi (SI) ke dalam organisasi, pada
periode ini user acceptance technology (UAT) mendapatkan perhatian
yang lebih. TAM berevolusi dari Theory of Reasoned Action (TRA)
dan menyebabkan para peneliti melakukan penelitian yang berfokus
dalam dua hal, yaitu bagaimana menerapkan TAM pada teknologi atau
bidang ilmu lain dan membandingkan TAM dengan pendahulunya
(TRA) untuk mengetahui apa yang membedakan TAM dengan TRA
serta apa kelebihannya.
20
b. Periode validasi model (tahun 1992-1996)
Penelitian pada periode ini menginvestigasi apakah instrumeninstrumen TAM cukup powerful untuk dapat bertahan.
c. Periode pengembangan model (tahun 1994-2003)
Setelah proses validasi dianggap memuaskan, dilakukan
pengembangan dengan mengikutsertakan variabel-variabel luar yang
mengandung unsur individu, organisasi dan karakteristik kerja.
d. Periode elaborasi model (tahun 2000-2003)
Proses elaborasi pada periode ini terbagi menjadi dua. Pertama
bertujuan untuk membangun generasi selanjutnya dari TAM. Kedua,
bertujuan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan TAM.
Dengan demikian dapat dipahami reaksi dan persepsi pemakai TI
akan mempengaruhi sikapnya dalam penerimaan penggunaan teknologi
informasi, yaitu salah satu faktor yang dapat mempengaruhi adalah
persepsi pemakai atas manfaat dan kemudahan penggunaan teknologi
informasi sebagai suatu tindakan yang beralasan dalam konteks
penggunaan teknologi informasi. Model TAM yang sudah banyak
digunakan dalam penelitian tersebut akan peneliti pakai dalam penelitian
ini dengan mengambil dua konstruk persepsi, yaitu persepsi manfaat
(usefulness) dan kemudahan penggunaan (ease of use).
Kepuasan Penggunaan (skripsi dan tesis)
Kepuasan penggunaan informasi menurut Bayley (1983) dalam Al
Ghatani (1999) merupakan sikap multidimensional dari pengguna terhadap
aspek-aspek yang berbeda dalam sistem infomasi. Sedangkan menurut
Ives et al (1983) dalam Al Ghatani (1999) kepuasan penggunaan informasi
adalah seberapa jauh informasi yang disediakan untuk memenuhi
kebutuhan informasi yang mereka butuhkan. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kepuasan pengguna menggambarkan keselarasan
antara harapan seseorang dan hasil yang diperoleh dengan adanya suatu
sistem dimana tempat orang tersebut turut berpartisipasi dalam
pengembangannya.
Kepuasan pengguna akhir sistem informasi merupakan salah satu
tolok ukur keberhasilan sistem informasi akuntansi. Hal ini didasarkan pada teori nilai harapan yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein
(1980) dalam Chai et al (2004).
Menurut teori ini, variabel eksternal
mempengaruhi keyakinan tentang hasil yang dihubungkan dengan perilaku
yang dilakukan yang dilain pihak membentuk sikap terhadap perilaku
yang dibentuk. Di lain pihak, sikap mempengaruhi keinginan untuk
membentuk perilaku dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku itu
sendiri. Kepuasan dalam situasi yang tetap adalah perasaan seseorang atau
sikap terhadap sekelompok faktor yang mempengaruhi situasi tersebut.
Kepuasan penggunaan merupakan penilaian menyangkut apakah
kinerja suatu sistem informasi itu relatif bagus atau jelek, dan juga apakah
sistem informasi yang disajikan cocok atau tidak cocok dengan tujuan
pemakainya. Secara umum kepuasan pengguna adalah hasil yang
dirasakan pengguna mengenai kinerja suatu sistem yang dioperasikan
sesuai dengan harapan mereka. Pengguna merasa puas apabila harapan
mereka terpenuhi. Pengguna yang puas cenderung tetap loyal lebih lama
dan relatif lebih sering menggunakan.
Secara umum Doll dan Torkzadeh (1988) dalam Chai et al (2004)
mengembangkan model untuk mengukur kepuasan pemakai akhir
komputer. Mereka mengembangkan instrumen pengukuran kapuasan yang
disebut dengan End-user Computing Satisfaction (EUCS). Doll dan
Torkzadeh mengembangkan instrumen EUCS yang terdiri dari 12 item
dengan membandingkan lingkungan pemrosesan data tradisional dengan
lingkungan end user computing, yang meliputi lima komponen:
18
a. Isi (content), menyangkut komponen dan substansi sistem
informasi dalam tugasnya menginput, mengolah dan
menghasilkan output berupa informasi yang memadai.
b. Akurasi (accuracy), merupakan keakuratan data dan kesesuaian
informasi yang dihasilkan dengan harapan pengguna.
c. Bentuk (format), merupakan tampilan suatu sistem informasi.
d. Kemudahan (ease), menyangkut kemudahan operasionalisasi
sistem dan tata cara penggunaan.
e. Ketepatan waktu (timeliness), menyangkut efektifitas dan
efisiensi output yang dapat memenuhi kebutuhan pengguna.
Sistem Informasi Akuntansi (skripsi dan tesis)
Menurut Bodnar dan Hopwood (2006) sistem informasi
akuntansi merupakan kumpulan sumber daya seperti manusia dan
peralatan yang dirancang untuk mengubah data keuangan dan data
lainnya ke dalam informasi. Informasi mengenai data keuangan tersebut
dikomunikasikan kepada para pembuat keputusan baik dengan sistem
manual atau melalui sistem terkomputerisasi.
Sedangkan menurut Wing (2006) sistem informasi akuntansi
adalah sekumpulan perangkat sistem yang berfungsi untuk mencatat
data transaksi, mengolah data, dan menyajikan informasi akuntansi
kepada pihak internal (manajemen perusahaan) dan pihak eksternal
(pembeli, pemasok, pemerintah, kreditur dan sebagainya).
Karena bentuk perusahaan beragam, sasaran sistem informasi
akuntansi juga beragam, meskipun intinya tetap sama yaitu menyajikan
informasi. Menurut Nugroho (2001) tanpa memandang bentuk
perusahaan, suatu sistem informasi akuntansi selalu terbentuk dari:
1) Serangkaian formulir yang tercetak seperti faktur, nota
(voucher), cek dan laporan-laporan yang dipergunakan untuk
membangun sistem akuntansi dan administrasi perkantoran.
16
2) Serangkaian buku baik dalam bentuk fisik maupun
elektronik.
3) Serangkaian laporan atau pernyataan, seperti misalnya
neraca saldo, buku besar, laporan rugi laba dan lain-lain.
4) Serangkaian kegiatan klerikal, termasuk operasi pengolahan
data elektronik yang harus dicatat untuk mencatat berbagai
informasi akuntansi.
5) Penggunaan peralatan klerikal, khususnya komputer, mesin
ketik, sarana komunikasi untuk transfer data.
Langganan:
Postingan (Atom)