Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Kedokteran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Kedokteran. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Februari 2020

Hubungan Kepercayaan Pasien dengan Kesetiaan Pasien (skripsi dan tesis)

 Penelitian yang dilakukan oleh Chaudhuri dalam Aulia (2010) menemukan bahwa kepercayaan merupakan penggerak yang mempengaruhi loyalitas pada benak pelanggan. Hal serupa pun dikemukakan oleh Chumpitaz et al (2005) pada studi penelitian pada bisnis on-line pun menemukan bahwa kepercayaan pelanggan berpengaruh pada loyalitas pelanggan. Morgan dan Hunt (1994) menambahkan pula, bahwa tingginya kepercayaan akan dapat berpengaruh terhadap menurunnya kemungkinan untuk melakukan perpindahan terhadap penyedia jasa lain. Berdasarkan penjabaran diatas, penelitian ini akan menganalisa hubungan kepercayaan terhadap loyalitas pasien

Hubungan Kepuasan Pasien dengan Kesetiaan (skripsi dan tesis)

 Kaitan kepuasan dan loyalitas pelanggan dikemukakan oleh Nielsen (1998) dalam Affandi (2011). Meningkatnya kepuasan akan berpengaruh terhadap peningkatan loyalitas pelanggan. Hal tersebut dapat dipahami mengingat tingginya kepuasan akan membuat pelanggan menjaga hubungan baik yang telah terjalin dengan penyedia jasa. Seperti halnya pasien, jika mereka lebih setia atau memiliki loyalitas yang tinggi maka pasien akan lebih sering memanfaatkan rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, rela membayar lebih banyak dan tetap mau datang berobat kembali meskipun rumah sakit tersebut mengalami kesulitan. Kepuasan belum tentu menyebabkan loyalitas, tetapi loyalitas biasanya diawali dengan kepuasan terlebih dahulu

Hubungan Mutu Pelayanan KEsehatan dengan Kesetiaan (skripsi dan tesis)

Kaitan antara loyalitas pelanggan dan kualitas layanan juga dikemukakan oleh Zeithaml et al (1996) dalam Affandi (2011). Dalam penelitiannya, dikemukakan bahwa kualitas layanan berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumen untuk loyal terhadap suatu layanan/produk. Dalam penelitiannya, Zeithaml menunjukkan bahwa kualitas layanan yang baik akan berdampak pada terbentuknya perilaku konsumen yang positif, seperti pembelian ulang, menurunnya sensitifitas terhadap harga, dan peningkatan nilai layanan di mata konsumen. Dari paparan tersebut dapat diajukan hipotesis bahwa semakin tinggi mutu pelayanan maka semakin tinggi kesetiaan pasien

Hubungan Mutu Pelayanan KEsehatan dengan Kepercayaan (skripsi dan tesis)

 Penelitian yang dilakukan Sharma dan Patterson (1999) dalam Hermanto (2006) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kepercayaan yang merupakan salah satu komponen relationship marketing hendaknya didorong oleh kualitas teknis dan fungsional yang memadai. Sehingga menghasilkan hipotesis bahwa semakin tinggi mutu pelayanan maka semakin tinggi kepercayaan. 

Hubungan Mutu Pelayanan Kesehatan dengan Kepuasan (skripsi dan tesis)


 Trisno (2008) dan Nuraini (2009) mengemukakan bahwa ada hubungan antara mutu pelayanan dengan kepuasan. Pelayanan yang baik adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang telah ditetapkan. Kemampuan tersebut ditunjukkan oleh sumber daya manusia dan sarana serta prasarana yang dimiliki. Untuk mencapai kecepatan dan ketepatan pelayanan yang akan diberikan, pelayanan yang baik juga perlu didukung oleh ketersediaan dan kelengkapan produk yang dibutuhkan pelanggan. Hal tersebut menghasilkan hipotesis bahwa semakin tinggi mutu pelayanan maka semakin tinggi kepuasan.

Mutu Pelayanan Kesehatan (skripsi dan tesis)


Definisi mutu berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Wyckof yang dikutip oleh Tjiptono (2002), mutu adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Baik tidaknya mutu tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. Parasuraman dkk dalam Tjiptono (2005) mengukur mutu pelayanan dalam lima dimensi dan mengembangkan model yang komprehensif dari mutu pelayanan kesehatan yang berfokus pada aspek fungsi dari pelayanan, yaitu : 1. Reliability (kehandalan) Kemampuan untuk memberikan jenis pelayanan yang tepat, terpercaya, akurat dan konsisten sesuai dengan yang telah dijanjikan kepada konsumen, misalnya penerimaan pasien yang cepat, tepat dan tidak berbelit, pelayanan pemeriksaan, pengobatan, perawatan serta perawat menjelaskan apa yang harus dipatuhi atau tidak bisa dilanggar oleh pasien.
2. Responsiveness (daya tanggap) Kesadaran atau keinginan karyawan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan dengan cepat dan bermakna serta kesediaan mendengar dan mengatasi keluhan yang diajukan konsumen misalnya penyediaan sarana yang sesuai untuk menjamin terjadinya proses yang tepat (Kotler, 2004).
3. Assurance (jaminan) Pengetahuan atau wawasan, kesopansantunan, percaya diri dari pemberi pelayanan, serta respek terhadap konsumen. Kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan terhadap pasien misalnya kepercayaan pasien terhadap jaminan kesembuhan dan keamanan.
 4. Empathy (empati) Kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pelanggan. Kesediaan karyawan untuk peduli memberikan perhatian kepada pasien, misalnya karyawan mencoba mendekatkan diri pada pasien, jika pasien mengeluh maka harus dicari solusi untuk mengatasi keluhan tersebut dengan menunjukkan rasa peduli yang tulus dan penuh kesabaran (Kotler, 2004).
. Tangibles (faktor fisik), yaitu fasilitas fisik, perlengkapan, serta penampilan personil. Yang termasuk aspek tangible adalah gedung, tarif rumah sakit, kebersihan serta penataan ruangan serta perlengkapan yang menunjang pelayanan.

Kepercayaan Pasien (skripsi dan tesis)


Menurut Moven dan Minor (2002) kepercayaan konsumen merupakan suatu perasaan percaya yang bersifat psikologis terhadap suatu produk, baik produk secara fisik maupun manfaat yang diberikan oleh produk tersebut termasuk pada janji-janji suatu merek. Kepercayaan pasien terhadap sumah sakit menggambarkan adanya perasaan yakin dan percaya bahwa rumah sakit akan mampu memenuhi harapannnya sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh rumah sakit tersebut. Adanya kepercayaan ini, akan menciptakan jalinan relasi antara rumah sakit dan pasien sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terciptanya kesetiaan/loyalitas pasien yang nantinya akan tercipta kesediaan untuk mempertimbangkan produk baru yang ditawarkan rumah sakit lain dikemudian hari. Setiap orang mempunyai standar pribadinya masing-masing, suatu standar yang tidak resmi dan tidak tertulis. Pasien akan mengukur kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya dengan menggunakan standar pribadinya, yaitu standar tidak resmi tersebut. Namun, sedikit banyak kesenjangan antara harapan pasien dengan kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya dapat dikurangi yaitu dengan adanya komunikasi yang baik antara penyelenggara layanan kesehatan dengan pasien. Menurut Moven dan Minor (2002) kepercayaan objek adalah kepercayaan konsumen terhadap produk, orang atau perusahaan. Hal tersebut digambarkan dalam :
1. Kredibilitas Kredibilitas menggambarkan tingkat keyakinan yang dimiliki oleh satu pihak lain, yang mengandung nilai-nilai kebenaran. Pada umumnya, pengukuran kredibilitas dilakukan melalui kata-kata. Semakin tinggi keyakinan pasien terhadap kata-kata yang tercermin dalam janji rumah sakit, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan tersebut. Keyakinan ini menggambarkan pula keyakinan dalam artian psikologis (believability) dan realistis (truthfilness) dimana kata-kata tersebut mengandung nilai-nilai kebenaran.
2. Reabilitas Reabilitas hampir sama dengan kredibilitas, yaitu menggambarkan tingkat keyakinan pelanggan terhadap tindakan dari perusahaan. Semakin tinggi tingkat reabilitas maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan pasien terhadap rumah sakit. Hal ini mencakup penilaian terhadap nilai-nilai rumah sakit berdasarkan harapan pelanggan dimasa yang akan datang (predictability) dan nilai-nilai yang telah disosialisasikan kepada para pasien melalui berbagai macam media massa.
3. Keamanan Keamanan menggambarkan tersedianya keamanan atau keselamatan yang telah dan akan dirasakan oleh pelanggan. Keamanan dan keselamatan ini mencakup keamanan mengenai kerahasiaan identitas pasien, keamanan financial dan keamanan dalam proses transaksi dan keamanan bahwa harapannya akan terwujud karena pasien yakin akan kemampuan rumah sakit. Semakin tinggi tingkat keamanan, maka semakin tinggi pula kepercayaan pasien rumah sakit.
4. Kepedulian Kepedulian mencakup perhatian perusahaan terhadap pelanggan. Semakin tinggi kepedulian komitmennya maka semakin tinggi pula konsumernya. Semakin tinggi tingkat kepedulian suatu rumah sakit maka semakin tinggi pula jumlah pasien rumah sakit tersebut

Kepuasan Pasien (skripsi dan tesis)


Menurut Pohan (2007), kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkan dengan apa yang diharapkannya. Kepuasan pasien merupakan aspek yang paling menonjol dalam operasional pelayanan rumah sakit yang berdampak besar terhadap keberhasilan suatu rumah sakit dalam meningkatkan jumlah kunjungan pasien. Pasien yang puas terhadap kunjungan rumah sakit cenderung akan kembali lagi ke rumah sakit tersebut. Berbagai pengalaman pengukuran kepuasan pasien menunjukkan bahwa upaya untuk mengukur tingkat kepuasan pasien tidak mudah, karena upaya untuk memperoleh informasi yang diperlukan akan berhadapan dengan suatu kendala kultural, yaitu terdapatnya suatu kecenderungan masyarakat yang enggan atau tidak mau mengemukakan kritik, apalagi terhadap fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah. Seperti kita ketahui pada saat ini, sebagian besar fasilitas layanan kesehatan yang digunakan oleh masyarakat dari golongan strata bawah adalah fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian terhadap jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas mereka akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman buruknya. Untuk menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan atau rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pasien yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pasiennya. Indikator kepuasan konsumen yaitu :
1. Karakteristik produk, produk ini merupakan kepemilikan rumah sakit yang bersifat fisik antara lain gedung dan dekorasi. Karakteristik produk rumah sakit meliputi penampilan bangunan rumah sakit, kebersihan dan tipe kelas kamar yang disediakan beserta kelengkapannya.
2. Harga, yang termasuk didalamnya adalah harga produk atau jasa. Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.
 3. Pelayanan, yaitu pelayanan keramahan petugas rumah sakit dan kecepatan dalam pelayanan. Rumah sakit dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah sakit. Kepuasan muncul dari kesan pertama masuk pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan.
4. Lokasi, meliputi letak rumah sakit, letak kamar dan lingkungannya. Merupakan salah satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam memilih rumah sakit. Akses menuju lokasi yang mudah dijangkau mempengaruhi kepuasan pasien dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan di rumah sakit maupun pusat jasa kesehatan lainnya. Umumnya semakin dekat rumah sakit dengan pusat perkotaan atau yang mudah dijangkau, mudahnya transportasi dan lingkungan yang baik akan semakin menjadi pilihan bagi pasien yang membutuhkan rumah sakit tersebut.
5. Fasilitas, kelengkapan fasilitas rumah sakit turut menentukan penilaian kepuasan pasien, misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana, tempat parkir, ruang tunggu yang nyaman dan ruang kamar rawat inap. Walaupun hal ini tidak vital menentukan penilaian kepuasan klien, namun rumah sakit perlu memberikan perhatian pada fasilitas rumah sakit dalam penyusunan strategi untuk menarik konsumen.
 6. Citra (image), yaitu reputasi dan kepedulian rumah sakit terhadap lingkungan. Image juga memegang peranan penting terhadap kepuasan pasien dimana pasien memandang rumah sakit mana yang akan dibutuhkan untuk proses penyembuhan. Pasien dalam menginterpretasikan rumah sakit berawal dari cara pandang melalui panca indera dari informasi-informasi yang didapatkan dan pengalaman baik dari orang lain maupun diri sendiri sehingga menghasilkan anggapan yang positif terhadap rumah sakit tersebut.
7. Desain visual, meliputi dekorasi ruangan, bangunan dan desain jalan yang tidak rumit. Tata ruang dan dekorasi rumah sakit ikut menentukan kenyamanan suatu rumah sakit, oleh karena itu desain dan visual harus diikutsertakan dalam penyusunan strategi terhadap kepuasan pasien atau konsumen. Aspek ini dijabarkan dalam pertanyaan tentang lokasi rumah sakit, kebersihan, kenyamanan ruangan, makanan dan minuman, peralatan ruangan, tata letak, penerangan, kebersihan WC, pembuangan sampah, kesegaran ruangan dan lainlain.
 8. Suasana, meliputi keamanan, keakraban dan tata lampu. Suasana rumah sakit yang tenang, nyaman, sejuk dan indah akan sangat mempengaruhi kepuasan pasien dalam proses penyembuhannya. Selain itu tidak hanya bagi pasien saja yang menikmati itu akan tetapi orang lain yang berkunjung ke rumah sakit akan sangat senang dan memberikan pendapat yang positif sehingga akan terkesan bagi pengunjung rumah sakit tersebut. Aspek ini tidak hanya penting untuk memberikan kepuasan semata, tetapi juga memberi perlindungan kepada pasien dari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan pasien seperti jatuh, kebakaran, dan lain-lain.
9. Komunikasi, yaitu tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan keluhan-keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan cepat diterima oleh penyedia jasa terutama perawat dalam memberikan bantuan terhadap keluhan pasien. Komunikasi dalam hal ini juga termasuk perilaku, tutur kata, keacuhan, keramahan petugas, serta kemudahan mendapatkan informasi dan komunikasi menduduki peringkat yang tinggi dalam persepsi kepuasan pasien rumah sakit. Manfaat utama dari program pengukuran adalah tersedianya umpan balik yang segera, berarti dan objektif. Dengan hasil pengukuran orang bisa melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaannya, membandingkan dengan standar kerja, dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan berdasarkan pengukuran tersebut

Kesetiaan Pasien (skripsi dan tesis)

Oliver (1999) menyatakan bahwa kesetiaan (loyalitas) adalah pilihan yang dilakukan konsumen untuk membeli merek tertentu dibandingkan merek yang lain dalam satu kategori produk. Konsumen akan memberikan loyalitas dan kepercayaannya pada merek selama merek tersebut sesuai dengan harapan yang dimiliki oleh konsumen, bertindak dalam cara-cara tertentu dan menawarkan nilai- nilai tertentu. Konsumen yang loyal terhadap suatu merek tertentu memilki sikap yang positif dan setia terhadap merek tersebut. Menurut Griffin (2002) menyatakan ada beberapa hal yang mempengaruhi kesetiaan/loyalitas, yaitu : 1. Pengaruh dari konsumen Karakteristik individu mempunyai kaitan dengan keputusan memakai/membeli merek tertentu. Karakteristik individu itu terdiri dari faktor demografis dan faktor psikografis. Yang termasuk faktor demografis, yaitu usia dan penghasilan. a. Usia Hubungan usia dengan loyalitas merek sangat positif. Semakin bertambah usia seseorang maka loyalitas juga semakin bertambah. Wright dan Sparks dalam Wood (2004) menyatakan bahwa loyalitas merek yang tinggi terdapat pada individu yang berusia 35 sampai 44 tahun. Hal tersebut didukung oleh Murder (2000) yang mengungkapkan bahwa individu antara 18-34 tahun memilki loyalitas rendah. Individu pada usia tersebut merupakan segmen yang mudah dibujuk oleh iklan, lebih fleksibel dalam memilih merek dan lebih suka bereksperimen dengan berbagai merek. b. Penghasilan Menurut Farley dalam Harton R (1984) menyatakan bahwa pendapatan berhubungan dengan loyalitas. Individu dengan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih sedikit mencari informasi mengenai harga-harga dari merek lain sehingga individu tersebut lebih setia terhadap merek yang digunakannya. 2. Pengaruh dari merek Dalam mengambil keputusan terhadap pembelian sebuah merek, konsumen akan mencari nilai dan harga dari merek. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karakteristik produk dapat mempengaruhi loyalitas merek. 3. Pengaruh sosial Kelompok sosial dapat mempengaruhi loyalitas merek. Yang termasuk dalam pengaruh sosial adalah : a. Social group influences (pengaruh kelompok sosial) Kelompok sosial berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap sikap dan tingkah laku seseorang. Suatu kelompok akan menjadi referensi utama seseorang dalam membeli suatu produk, ketika individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tersebut. Besar tidaknya pengaruh dari kelompok referensi tergantung dari mudah tidaknya individu untuk dipengaruhi. Dalam keluarga, orang tua yang konsisten dalam memilih merek tertentu akan menyebabkan munculnya persepsi positif terhadap merek pada diri anak. Hal ini menyebabkan anak juga akan memilih merek tersebut dan menjadi loyal. b. Peers recommendation (rekomendasi teman sebaya) Selain kelompok referensi, rekomendasi atau anjuran teman sebaya juga dapat mempengaruhi loyalitas. Pengaruh normatif teman sebaya dan identifikasi terhadap kelompok teman sebaya merupakan petunjuk bagi individu untuk mencari produk, merek atau toko. Sehingga dapat dikatakan bahwa norma kelompok berpengaruh secara langsung terhadap evaluasi, memilih dan loyal terhadap merek.

Jumat, 14 Februari 2020

Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Altruisme (skripsi dan tesis)

 Setiap agama mengajarkan bahwa manusia harus selalu menjaga keharmonisan antara makhluk hidup maupun dengan lingkungan sekitarnya agar manusia dapat melanjutkan kehidupan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain di dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana setiap agama mengajarkan untuk tolong-menolong terhadap sesama manusia sebagai salah satu aktivitas religiusitas. Religiusitas adalah keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural (Ancok Dkk, 2001) Individu dengan religiusitas yang tinggi tidak hanya meyakini mengenai perbuatan baik dan melakukan amal baik hanya dengan membaca dari kitab, mendengarkan ceramah oleh pemuka agama, atau sekedar menyampaikan dengan ucapan bahwa ia akan berperilaku altruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh: menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau balas budi yang akan diterimanya, mementingkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dan lain-lain. Menurut Malhotra (2010), religiusitas merupakan pengaruh utama melakukan perilaku altruisme, karena orang yang religius berkarakteristik lebih stabil sehingga spontanitas untuk beramal lebih tinggi. Munculnya spontanitas untuk berperilaku altruisme merupakan pertanda bahwa individu mampu menerapkan apa yang telah ia yakini sebagai religiusitas didalam kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain individu tersebut mampu mewujudkan perilaku altruisme karena motivasi dari religiusitas. Hal tersebut juga dapat dilihat dari kelima aspek menurut Glock (dalam Ancok dan Suroso, 1994) yang pertama aspek ideologis dimana individu mempercayai Tuhan serta adanya surga dan neraka, Tuhan adalah sang pencipta kehidupan yang memiliki perintah mengenai hal yang tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh untuk dilakukan, apa yang baik dan yang buruk. Individu dengan religiusitas tinggi akan melakukan perilaku altruisme dengan menolong sesamanya yang sedang kesusahan dengan ikhlas dan percaya bahwa akan mendapat pahala guna tabungan untuk menuju ke surga, karena merupakan perbuatan baik yang telah dilakukan. 
Diperkuat oleh Sappington (dalam Sarwono 1999) yang berpengaruh pada perilaku altruisme bukanlah seberapa kuatnya kepercayaan beragama itu sendiri melainkan bagaimana implikasi seseorang tentang pentingnya perilaku menolong telah diajarkan oleh agama (religiusitas). Ke dua aspek intelektual sejauh mana individu mengetahui tentang ajaran‐ajaran agamanya seperti berbuat baik kepada orang lain maka akan mendapatkan balasan yang baik pula, maka invidu dalam kehidupannya berusaha berperilaku altruisme dengan berbuat baik kepada orang lain seperti memberi bantuan kepada korban bencana alam baik berupa materi maupun jasa menjadi seorang relawan. Seperti yang diungkapkan oleh Rogers (1977) bahwa penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan agama, maka perilaku tersebut akan berlangsung lama. Dimana dengan pengetahuan agama yang baik akan membentuk religiusitas yang tinggi dalam diri individu untuk melakukan perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai norma dan melakukan tindakan postif untuk dapat berperilaku altruisme. Ke tiga aspek ritualitas dimana individu melaksanakan kewajiban sebagai orang beragama mencakup ritual pemujaan, ketaatan, beramal yang dapat dicerminkan salah satunya dengan berperilaku altruisme yakni beramal baik seperti berbagi rezeki kepada anak yatim piatu sebagai cara untuk bersedekah. Ritualitas merupakan salah satu cara bagaimana individu dapat mewujudkan apa yang ia percaya sesuai dengan tindakan nyata dalam kehidupannya. Internalisasi ritualitas dalam setiap individu merupakan wujud nyata dari kualitas keyakinan seseorang. Ke empat aspek pengalaman yaitu seberapa jauh individu merasakan perasaan dan pengalaman religius seperti: ketika ia mengalami kesusahan tanpa disangka-sangka ia mendapat bantuan dari orang yang dulu telah ia bantu. Seperti yang diungkapkan oleh (Ahyadi, 1995) individu akan mencoba menghayati, menginternalisasi dan menerapkan religiusitas dalam dirinya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada salah satunya perilaku altruisme. Ke lima aspek konsekuensi individu merasa bersemangat dalam melakukan setiap perilaku baik dihidupnya karena mengetahui jika perilaku yang dilakukannya didunia akan mendapat balasan tidak hanya didunia namun juga di akhirat, jika berbuat baik mendapat balasan yang baik pula begitupun sebaliknya, maka individu secara sadar berperilaku altruisme seperti: menolong tanpa mengharapkan balas budi atau imbalan dari orang yang telah ditolong. Individu yang mempunyai religiusitas tinggi mempunyai dasar keyakinan yang akan membuatnya lebih mudah menentukan perilakunya mengenai yang harus dilakukan yaitu perilaku altruisme dan yang harus dihindari, karena pada dasarnya religiusitas telah mencakup aturan tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak. Religiusitas tidak dapat dipisahkan dari perilaku individu didalam kehidupan bermasyarakat dan dalam prakteknya religiusitas memiliki beberapa fungsi antara lain fungsi edukatif, fungsi kontrol sosial, fungsi pemupuk rasa solidaritas. Religiusitas menjadi faktor integratif bagi individu dalam berperilaku altruisme dapat dilihat dari faktor kontrol sosial yaitu adanya keterkaitan batin antara tuntutan ajaran religius dengan perwujudan keberagamaan individu untuk melakukan perilaku altruisme dengan sesamanya. Dapat disimpulkan bahwa perwujudan keberagamaan atau dengan kata lain religiusitas adalah faktor dan pedoman individu dalam berperilaku altruisme dikehidupannya, individu meyakini bahwa perilaku altruisme adalah suatu perbuatan baik sesuai dengan nilai-nilai moral yang akan ia lakukan sebagai salah satu cara penerapan atas apa yang telah ia percaya dan yakini sebagai kepercayaan religius dan mengaplikasikan keberagamaannya (religiusitas) yang dapat menjadi motivasi untuk terus melakukan perilaku altruisme. 
Seperti yang diungkapkan oleh Coles (2000) bahwa perilaku yang sesuai dengan nilai moral diungkapkan dalam tingkat orang harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain. Perilaku tersebut muncul karena adanya pertimbangan kesejahteraan orang lain diatas kepentingan atau keuntungan pribadi (perilaku altruisme) yang berusaha diamalkan atau diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan nilai religi yang dianut (religiusitas). Dari keterkaitan diatas semakin memperjelas bahwa religiusitas mempengaruhi individu dalam berperilaku altruisme seperti yang diungkapkan Sarwono (1999) bahwa religiusitas mempengaruhi seseorang untuk menolong, karena ada nilai-nilai religi yang dianut sehingga seseorang mau menolong orang lain. Peneliti juga menyertakan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu mengenai religiusitas dan perilaku altruisme guna memperkuat penjelasan. Penelitian tentang altruisme pernah dilakukan oleh Shah dan Ali (2012) dengan judul Altruism and Belief in just world in young adults: relationship with Religiosity yang bertujuan mengeskplorasikan antara altruisme dan kepercayaan dunia dengan religiusitas pada orang dewasa dan dihasilkan bahwa religiusitas yang tinggi berhubungan positif dengan altruisme yang tinggi pula. Dengan demikian individu yang mempunyai religiusitas tinggi tidak hanya melakukan ritual-ritual keagamaan saja seperti sembahyang dan puasa tetapi hal lain yang juga harus dilakukan adalah menjalin hubungan dan berbuat baik kepada orang lain atau dapat juga dikatakan sebagai beramal baik. Amal baik salah satunya adalah melakukan perilaku altruisme seperti menolong, bekerja sama, berbagi, dan menyumbang (Ancok dan Suroso, 1994). Berdasarkan penjelasan yang sudah disampaikan dapat ditarik kesimpulan adanya hubungan yang positif antara religiusitas dengan perilaku altruisme sehingga semakin tingggi religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin tinggi, dan juga sebaliknya semakin rendah religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin rendah

Aspek - aspek Religiusitas (skripsi dan tesis)

 Menurut Glock (dalam Ancok dan Suroso, 1994) religiusitas memilki lima aspek : a. Aspek ideologis Berisi tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal‐hal yang dogmatik dalam agamanya. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganutnya diharapkan taat. Misalnya: kepercayaan terhadap Tuhan, surga, dan neraka. b. Aspek intelektual Tentang sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran‐ajaran agamanya,tradisi, terutama yang ada di dalam kitab suci. c. Aspek ritualitas Mengacu pada tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban‐ kewajiban ritual dalam agamanya dan hal-hal yang dilakukan untuk mewujudkan komitmen terhadap agama yang dianut. Misalnya sembahyang, beramal, berpuasa. d. Aspek pengalaman Mengenai perasaan‐perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan oleh individu. Misalnya perasan dekat dengan Tuhan, merasa dilindungi Tuhan, merasa diberkati dan merasa doanya dikabulkan, serta balasan dari perbuatan yang dilakukannya. e. Aspek konsekuensi Mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial. Misalnya apakah dia menjenguk temannya yang sakit, membantu orang lain yang sedang mengalami kesusahan, serta menolong tanpa mengharapkan imbalan, dan mengutamakan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi. 
 Lebih lanjut, Ancok dan Nashori (2008) mengungkapkan religiusitas memiliki lima aspek, yaitu : a. Pertama akidah, yaitu tingkat keyakinan seorang Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama Islam. b. Kedua syariah, yaitu tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatankegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan dalam agama Islam. c. Ketiga akhlak, yaitu tingkat perilaku seorang Muslim berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam, bagaimana berealisasi dengan dunia beserta isinya. d. Keempat pengetahuan agama, yaitu tingkat pemahaman Muslim terhadap ajaranajaran agama Islam, sebagaimana termuat dalam al-Qur’an. e. Kelima penghayatan, yaitu mengalami perasaan-perasaan dalam menjalankan aktivitas beragama dalam agama Islam. Konsep dimensi-dimensi religisuitas yang diungkapkan Ancok dan Nashori (2008), menggambarkan konsep religisuitas menurut agama Islam

Pengertian Religiusitas (skripsi dan tesis)

 Menurut Ancok dan Suroso (1994) religiusitas adalah keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sedangkan Nashori dan Mucharam (2002) mendefinisikan religiusitas sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut. Sedangkan Pargament (1999) mendefinisikan religiusitas “is an organizational, ritualistic, and ideological system“ adalah organisasi, ritualistik, dan sistem ideologis, senada dengan Piedmont et al. (2009) menyebutkan religiusitas “is concerned with how one’s experience of a transcendent being is shaped by, and expressed through, community or social organization.” berhubungan dengan pengalaman manusia sebagai makhluk transenden yang diekspresikan melalui komunitas/organisasi sosial. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Altruisme (skripsi dann tesis)

 Menurut Myers (2012) faktor-faktor altruisme adalah sebagai berikut : a. Faktor yang mempertimbangkan pengaruh-pengaruh internal terhadap keputusan menolong, hal ini juga termasuk menggambarkan situasi suasana hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang. b. Faktor eksternal seperti jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, daya tarik antar penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan lain, tekanan waktu, kondisi lingkungan dan antribusi. c. Faktor personal, yaitu mempertimbangkan sifat dari penolong, hal ini mencakup sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas subyek (kepercayaan religius). 
 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku altruisme menurut Sarwono (1999) adalah: a. Pengaruh situasi, merupakan pengaruh eksternal yang diperlukan sebagai motivasi yang mungkin timbul dalam diri individu pada situasi itu pengaruh ini terdiri atas : (1.) Kehadiran orang lain; (2.) Menolong jika orang lain menolong; (3.) Desakan waktu; (4.) Kemampuan yang dimiliki b. Pengaruh dari dalam diri individu, sangat berperan pada perilaku individu dalam menolong yang dapat dibagi dalam : (1.) Perasaan dari dalam diri individu dapat mempengaruhi perilaku menolong artinya baik perasaan kasihan maupun perasaan antipasti dapat berpengaruh terhadap motivasi individu dalam menolong; (2.) faktor sifat-sifat individu memiliki ciri-ciri dan kualitas yang khas, setiap individu memiliki sifat yang unik dan berbeda dengan sifat individu yang lain; (3.) Agama, ternyata juga dapat mempengaruhi perilaku menolong
. Menurut penelitian Sappington dan Baker (dalam Sarwono, 1999), yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah seberapa kuatnya ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana kepercayaan atau keyakinan orang bersangkutan tentang pentingnya menolong yang lemah seperti yang diajarkan oleh agama. c. Karakter orang yang ditolong, individu kadang-kadang dipengaruhi oleh karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan apakah orang itu menarik secara fisik atau ada hal-hal lain yang membuat individu merasa tertarik untuk memberikan pertolongan. Berdasarkan uraian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku altruisme yaitu diantaranya: situasi suasana hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang, jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, dan daya tarik antar penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan lain, tekanan waktu, kondisi lingkungan dan antribusi, sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas. Peneliti memilih faktor religiusitas, karena religiusitas merupakan keberagamaan yang dilakukan oleh individu lewat suatu tindakan salah satunya adalah dengan berbuat baik kepada sesama dengan cara memberikan bantuan tanpa mengharapkan imbalan atau disebut juga dengan perilaku altruisme.

Aspek-aspek Perilaku Altruisme (skripsi dan tesis)

 Menurut Cohen (dalam Sampson, 1976) altruisme terdiri atas aspek – aspek sebagai berikut: a. Sifat suka memberi Perilaku untuk mememnuhi keinginan orang lain, perilaku ini menguntungkan orang lain yang mendapatkan perlakuan. Contoh: berbagi rezeki dengan orang yang lebih membutuhkan. b. Empati Suatu kemampuan untuk merasakan keadaan orang lain, kepekaan perasaan yang dicerminkan dalam perhatian terhadap penderitaan orang lain dan merupakan dasar untuk melakukan tindakan pertolongan bagi orang lain. Contoh : ikut merasa sedih ketika teman mengalami musibah dan memberi pertolongan. c. Sukarela Tindakan yang dilakukan tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan apapun dengan perasaan ikhlas untuk kepentingan orang lain. Contoh : menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan dari orang yang ditolong. 
 Menurut teori Myers (2012) membagi perilaku altruisme dalam tiga aspek yaitu: a. Memberi perhatian terhadap orang lain Individu membantu orang lain karena adanya kasih sayang. Pengabdian, kesetiaan yang diberikan tanpa ada keinginan untuk memperoleh imbalan untuk dirinya sendiri. b. Membantu orang lain Individu dalam membantu orang lain disadari oleh keinginan yang tulus dan hati nurani dari orang tersebut, tanpa adanya penagruh dari orang lain. c. Mengutamakan kepentingan orang lain Dalam membantu orang lain, kepentingan yang bersifat pribadi dikesampingkan dan lebih mementingkan kepentingan orang lain. Berdasarkan uraian aspek-aspek perilaku altruisme dari kedua tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa peneliti memilih aspek-aspek sesuai dengan teori Cohen (dalam Sampson, 1976), yaitu: sifat suka memberi, empati, sukarela. Peneliti memilih ketiga aspek tersebut karena aspek tersebut lebih rinci untuk menjelaskan altruisme secara menyeluruh melalui ketiga aspek yang telah dipaparkan diatas

Pengertian Perilaku (skripsi dan tesis)

 
Altruisme Istilah altruisme (altruism) digunakan pertama kali pada abad ke-19 oleh filsuf Auguste Comte. Altruisme berasal dari kata Yunani “alteri” yang berarti orang lain. Penggunaan istilah “alteri” oleh Comte pada dasarnya untuk menjelaskan bahwa setiap orang yang hidup di muka bumi ini memiliki sebuah tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya, sehingga setiap orang harus memiliki sikap dan perilaku yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Altruisme adalah sebuah bentuk yang spesifik dari perilaku yang menguntungkan orang lain tapi tidak ada ekspektasi akan memperoleh keuntungan pribadi (Crisp dan Turner, 2007). Contoh dari altruisme adalah menyelamatkan seseorang dari tertabrak kereta api secara spontan. Usaha menolong ini memng menguntungkan bagi orang lain, namun tidak dapat dipungkiri menyisakan kemungkinan adanya resiko bagi penolong. Batson (1943) menyatakan bahwa altruisme adalah keadaan termotivasi yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan orang lain. Perilaku atau tindakan altruisme merupakan bentuk perilaku sosial yang ditujukan untuk kebaikan orang lain. 
Pernyataan ini seperti diungkap oleh Walstern dan Piliavin (Huffman dkk, 1997) perilaku altruisme adalah perilaku menolong (perilaku altruisme) yang timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan norma–norma tertentu, tindakan tersebut juga dapat merugikan penolong, karena meminta pengorbanan waktu, usaha, uang dan tidak ada imbalan atau pun reward dari semua tindakan tersebut. Menurut Cohen (Sampson, 1976) perilaku altruisme diawali adanya suatu keinginan untuk memberikan memberikan pertolongan tanpa mengharapkan imbalan. Lebih lanjut Bartal, dkk (dalam Desmita, 2010) mendefinisikan altruisme sebagai tahap dimana individu melakukan tindakan menolong secara sukarela. Perilaku altruisme yang motifnya untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan sedih atau tekanan personal, maka akan menimbulkan perilaku altruisme yang bersifat egoistik. Berdasarkan beberapa pengertian yang sudah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku altruisme adalah perilaku menolong yang sengaja ditujukan untuk menguntungkan orang lain yang dilakukan secara suka rela tanpa adanya imbalan yang dapat menyebabkan kerugian waktu, usaha, uang pada si penolong dari semua tindakan tersebut.

Hubungan Antara Religiusitas dengan Altruisme (skripsi dan tesis)

Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam menjalankan kehidupannya, mulai dari lahir sampai meninggal dunia. Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka sudah semestinya kita juga secara sukarela memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Perilaku tolong menolong dalam psikologi dikenal dengan altruisme (Wulandari, 2017). Myers (2012) mendefinisikan altruisme adalah motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri. Altruisme adalah kebalikan dari egoisme. Orang yang altrustis peduli dan mau membantu orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau tidak mengharapkan imbalan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi altruisme adalah religiusitas (Myers, 2012). Di samping adanya teori di atas, ada banyak penelitian yang menjelaskan tentang keterkaitan antara altruisme dengan religiusitas. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Zhao, 2012) yang mengatakan bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi altruisme. Senada dengan penelitian tersebut Zhao (2012) menyatakan bahwa orang-orang yang religius mempunyai perilaku yang lebih   altruistik daripada orang yang non religius. Selain itu, Malhotra (2010) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa religiusitas merupakan faktor utama yang mempengaruhi altruisme, orang yang religius berkarakteristik lebih stabil, sehingga spontanitas untuk memberikan bantuan lebih besar. Religiusitas adalah sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi (Ancok & Suroso, 2011). 
Menurut Ancok dan Suroso (2011) dengan mengacu pada dimensi religiusitas dari Glock dan Stark, religiusitas Islam meliputi lima dimensi, yaitu: (1) dimensi keyakinan atau akidah, (2) dimensi peribadatan atau syari’ah, (3) dimensi pengalaman atau ihsan, (4) dimensi pengetahuan atau ilmu, dan (5) dimensi pengamalan atau akhlak. Dimensi Keyakinan atau akidah menunjukkan seberapa jauh tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik (Ancok & Suroso, 2011). Kemudian Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Zhao, 2012) mengatakan bahwa semakin kuat keyakinan agama seseorang maka semakin tinggi altruisme yang dimilikinya. Dalam agama Islam menghendaki pemeluknya untuk meyakini ajaran agamanya secara komprehensif dan optimal, salah satu perintah yang sangat  dianjurkan di dalam Islam adalah saling tolong menolong (Gatot, 2015). Perilaku tolong menolong dalam psikologi dikenal dengan altruisme (Wulandari, 2017). Dimensi peribadatan atau syari’ah menunjukkan seberapa jauh seorang muslim dalam menjalankan kewajibannya untuk mengerjakan kegiatan ritual atau beribadah yang dianjurkan oleh agamanya (Ancok & Suroso, 2011). Dalam agama islam menghendaki pemeluknya untuk mengerjakan apa yang diperintahkan, salah satu ibadah yang dianjurkan di dalam Islam yaitu tolong menolong atau meringankan beban orang lain (Gatot, 2015). Sebagaimana yang telah diperintahkan dalam sebuah hadist Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (H.R Muslim) Kemudian Allah SWT menegaskan kembali mengenai kewajiban tolongmenolong dalam hal kebaikan dalam firman-Nya, sebagai berikut : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulanbulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah : 2) 
Ayat ini memberikan perintah untuk saling tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa merupaka perintah bagi seluruh manusia. Yakni, hendaknya menolong sebagian yang lain dan berusaha untuk mengerjakan apa yang Allah perintahkan dan mengaplikasikannya. Sebab setiap kebajikan adalah ketaqwaan dan setiap taqwa adalah kebajikan (Gatot, 2015). Berkaitan dengan tolong menolong salah satu contoh dari tingkah laku menolong yang paling jelas adalah altruisme (Hermaningrum, 2017), sehingga seharusnya seorang penganut agama yang taat memiliki perilaku altruisme (Midlarsky, 2012). Dimensi pengamalan atau akhlak menunjukkan seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain (Ancok & Suroso, 2011). Bila individu tetap berpegang teguh pada ajaran Islam, maka Islam akan mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan norma agama yang dianutnya, keberagamaan akan mengerakkan individu untuk melaksanakan ajaran agama. Salah satu aspek terpenting dalam ajaran agama adalah perbuatan baik terhadap sesama misalnya yaitu saling tolong menolong (Gatot, 2015). Di dalam dimensi pengamalan meliputi bekerjasama, berlaku jujur, memaafkan, mematuhi norma-norma agama, berderma, suka menolong, dan sebagainya (Ancok & Suroso, 2011). Tolong menolong dalam psikologi disebut dengan altruisme (Wulandari, 2017). Dimensi pengalaman atau ihsan menunjukkan seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalamanpengalaman religius (Ancok & Suroso, 2011). Dalam agama Islam menghendaki  pemeluknya menghayati ajaran agama secara kaffah (komprehensif) dan optimal, termasuk di dalamnya sifat yang sangat di anjurkan di dalam Islam yaitu tolong menolong sesama manusia (Gatot, 2015). Seorang muslim yang ber-taqwa menjalani segala perintah dan semua ibadah akan merasakan ketenangan di dalam hatinya, maka ketika seseorang berbuat baik kepada sesama dengan memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan akan merasakan ketenangan di dalam hatinya (Taslim, 2010). Membantu orang lain merupakan cakupan dari aspek Altruisme (Myers, 2012). Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjukkan seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, yang termuat di dalam kitab sucinya (Ancok & Suroso, 2011). Salah satu perbuatan yang diperintahkan dalam agama Islam adalah membantu orang lain dan mengedepankan kepentingan orang lain (Gatot, 2015). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’la, sebagai berikut: “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr : 9) Ayat ini menunjukkan selamatnya hati mereka (orang-orang Anshar) dan tidak ada rasa dengki dan iri dihatinya kepada kaum muhajirin. Ayat ini juga menunjukkan sifat orang-orang Anshar yang mengutamakan orang lain daripada diri sendiri meskipun mereka membutuhkannya. Ayat tersebut turun saat peristiwa hijrah Nabi saw dimana kaum Anshar mendahulukan kaum muhajirin (Terjemahan 41 dan Tafsir Al-qur’an, 2013). Seorang muslim yang memiliki pengetahuan tentang ayat tersebut maka akan mencontoh perilaku kaum Anshar yang mendahulukan kepentingan kaum muhajirin (Gatot, 2015). Mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi merupakan cakupan dari aspek altruisme (Myers, 2012). Pada diri individu yang pemahaman agamanya baik tidak hanya sebatas kebenaran yang diyakini, tetapi secara konsisten tercermin dalam perilakunya dan salah satu bentuk dari perilaku tersebut adalah altruisme (Rain dalam Gatot, 2015).

Dimensi-dimensi Religiusitas (skripsi dan tesis)

 Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2011) dimensi-dimensi religiusitas terdiri dari lima macam, yaitu:   a. Dimensi Keyakinan (Religious Belief/ The Ideological Dimensions) Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran ajaran-ajaran tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. b. Dimensi Ritualistik (Religious Practice/ The Ritualistic Dimensions) Dimensi ritualistik mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan halhal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting yaitu ritual dan ketaatan. c. Dimensi Pengalaman atau Eksperiensial (Religious e. Feeling/ The Experiential Dimensions) Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatas supernatural). Seperti yang telah dikemukakan bahwa dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsipersepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh  suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi walaupun kecil dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental. d. Dimensi Pengetahuan (Religious Knowledge/ The Intellectual Dimensions) Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, tata cara dalam upacara keagamaan, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan saling berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benarbenar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. e. Dimensi Pengamalan atau Konsekuensi (Religious Effect/ The Consequential Dimensions) Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya hanya sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.
 Menurut Ancok dan Suroso (2011) dengan mengacu pada dimensi religiusitas dari Glock dan Stark, religiusitas Islam meliputi lima dimensi, yaitu: a. Dimensi keyakinan atau akidah Islam Dimensi ini menunjukkan seberapa jauh tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam isi dimensi akidah menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi atau Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar. b. Dimensi peribadatan atau syari’ah (ibadah) Dimensi ini menunjukkan sejauh mana seorang muslim dalam menjalankan kewajibannya untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang dianjurkan oleh agamanya. Di dalam dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, membaca AlQur’an, berdoa, zikir, haji, ibadah kurban, iktikaf, dan sebagainya. c. Dimensi pengamalan (akhlak) Dimensi ini menunjuk seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Di dalam dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, tidak mencuri, mematuhi norma-norma agama dalam berperilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses dalam beragama, dan sebagainya.  d. Dimensi penghayatan atau pengalaman (ihsan) Dimensi ini menunjukkan seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalamanpengalaman religius. Di dalam keberislaman dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan cinta pada Allah, perasaan doa-doa yang sering terkabul, perasaan tenteram bahagia, perasaan tawakkal, perasaan khusuk ketika beribadah, dan sebagainya. e. Dimensi pengetahuan atau ilmu Dimensi ini menunjukkan seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Di dalam dimensi ini meliputi pengetahuan tentang isi AlQur’an, pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukum iman), hukum dalam Islam, sejarah tentang Islam, dan sebagainya.

Pengertian Religiusitas (Skripsi dan tesis)

Religiusitas berasal dari kata religi berasal dari bahasa Latin yaitu “religio” yang akar katanya adalah religure yang artinya adalah mengikat. Maka dari itu mengandung makna bahwa religi atau agama pada umumnya memiliki aturan dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Semua itu berfungsi untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan sekitarnya  (Gazalba dalam Ghufron & Risnawati, 2016). Adapun pengertian agama menurut Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2011) adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semua itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling bermakna (Glock & Stark dalam Ancok & Suroso, 2011). Berdasarkan istilah agama yang telah dijelaskan di atas, kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Walaupun berakar kata sama, namun dalam penggunaan istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Menurut Mangunjaya (dalam Jalaluddin, 2016) agama lebih menunjukkan kepada kelembagaan yang mengatur tata cara beribadah manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih melihat kepada aspek yang telah dihayati di dalam lubuk hati manusia.
 Ancok dan Suroso (2011) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Ghufron dan Risnawita (2016) menjelaskan bahwa religiusitas adalah tingkat penghayatan dan internalisasi ajaran agama sehingga berpengaruh dalam dalam segala tindakan dan pandangan hidup. Selain itu Jabrohim (dalam 27 Jalaluddin, 2016) menjelaskan bahwa dalam pendekatan psikologi, religiusitas merupakan konstruk psikologi dan agama yang tidak terpisahkan. Religiusitas adalah inti dari kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada dengan sesuatu yang abstrak. Religiusitas mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia dan diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia (Nashori, 2008). 
Selain itu, Norris dan Inglehart (dalam Wulandari, 2017) mendefinisikan religiusitas yaitu sebagai nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan praktik-praktik agama yang ada dalam suatu masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi

Aspek-Aspek Empati (skripsi dan tesis)

Davis (2014) mengemukakan bahwa secara global ada dua aspek dalam empati, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif terdiri dari pengambilan perspektif (perspective taking) dan Imajinasi (fantacy). Sedangkan aspek afektif terdiri dari perhatian empatik (empathic Concern) dan distress pribadi (personal distress). Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut: a. Aspek Kognitif 
1) Pengambilan Perspektif (Perspective Taking) Perspective-taking didefinisikan oleh Davis sebagai kecenderungan mengadopsi pandangan-pandangan psikologis orang lain secara spontan. Mead (dalam Davis, 1983) menekankan pentingnya kemampuan dalam pengambilan perspektif untuk perilaku non egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain. Pengambilan perspektif dalam empati meliputi proses self identification dan self positioning. Self identification yaitu mengarahkan individu untuk menyentuh kesadaran dirinya sendiri melalui perspektif yang dimiliki oleh orang lain, sementara self positioning yaitu memandu individu untuk memposisikan diri pada situasi dan kondisi orang lain untuk kemudian membantu penyelesaian masalahnya. 
 2) Imajinasi (Fantasy) Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal (membayangkan) dalam buku, film atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. b. Aspek Afektif 1) Perhatian Empatik (Empathic Concern) Perasaan yang berorientasi pada orang lain berupa simpati, kasihan, peduli dan perhatian terhadap orang lain yang mengalami kesulitan. Aspek ini berhubungan secara positif dengan reaksi emosional, perilaku menolong pada orang lain dan merupakan cerminan dari perasaan kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain. Perhatian yang muncul pada seseorang mencerminkan pula tingkat kematangan emosi dan empati dari orang tersebut. Seseorang yang telah matang tingkat emosinya memiliki kemungkinan yang lebih besar pula dalam mengendalikan empatinya dengan baik. Perhatian yang diberikan bisa dalam bentuk implisit maupun eksplisit, tergantung bentuk situasi dan kondisinya. 2) Distress Pribadi (Personal Distress) Distress pribadi atau personal distress yaitu orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri yang berupa perasaan cemas dan kegelisahan dalam menghadapi setting (situasi) interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisai seseorang menjadi rendah.
 Sears (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan personal distress sebagai pengendalian reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, dan tidak berdaya (lebih terfokus pada diri sendiri). Menurut Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa empati terdiri dari 2 aspek yaitu: 1) Kognitif Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa hal itu dapat terjadi pada orang tersebut. Kognisi yang relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain, terkadang disebut sebagai pengambilan perspektif (perspective taking), mampu untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain. Kemampuan untuk merasa empati pada karakter fiktif. Penonton yang merasa berempati akan mengalami kesedihan, ketakutan, atau kegembiraan, ketika emosi-emosi ini dialami oleh karakter dalam cerita. 2) Afektif Individu yang berempati merasakan apa yang dirasakan orang lain. Bahkan anak-anak yang berusia 2 bulan tampak jelas dapat merasakan stress sebagai respon dari stress yang dirasakan orang lain (Brothers, dalam Baron & Byrne, 2005). Aspek ini tidak hanya merasa simpati terhadap penderitaan orang lain, tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba untuk 25 melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya, individu yang memiliki empati yang tinggi akan lebih termotivasi untuk menolong orang lain daripada mereka yang memiliki empati yang rendah (Schlenker & Britt, dalam Baron & Byrne, 2005).

Pengertian Empati (skripsi dan tesis)

 Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain (Davis, 2014). Selain itu, Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Cohen (dalam Howe, 2013) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain dalam rangka untuk merespons pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang tepat. Selain itu, Allport (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Taufik (2012) berpendapat bahwa empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan (observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sikap orang lain