Setiap agama mengajarkan bahwa manusia harus selalu menjaga keharmonisan antara
makhluk hidup maupun dengan lingkungan sekitarnya agar manusia dapat melanjutkan
kehidupan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama
lain di dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana setiap agama mengajarkan untuk
tolong-menolong terhadap sesama manusia sebagai salah satu aktivitas religiusitas.
Religiusitas adalah keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi
yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga
ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural (Ancok Dkk, 2001)
Individu dengan religiusitas yang tinggi tidak hanya meyakini mengenai perbuatan baik
dan melakukan amal baik hanya dengan membaca dari kitab, mendengarkan ceramah oleh
pemuka agama, atau sekedar menyampaikan dengan ucapan bahwa ia akan berperilaku
altruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:
menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau balas budi yang akan diterimanya,
mementingkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dan lain-lain.
Menurut Malhotra (2010), religiusitas merupakan pengaruh utama melakukan perilaku
altruisme, karena orang yang religius berkarakteristik lebih stabil sehingga spontanitas untuk
beramal lebih tinggi. Munculnya spontanitas untuk berperilaku altruisme merupakan pertanda
bahwa individu mampu menerapkan apa yang telah ia yakini sebagai religiusitas didalam
kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain individu tersebut mampu mewujudkan perilaku
altruisme karena motivasi dari religiusitas.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari kelima aspek menurut Glock (dalam Ancok dan
Suroso, 1994) yang pertama aspek ideologis dimana individu mempercayai Tuhan serta
adanya surga dan neraka, Tuhan adalah sang pencipta kehidupan yang memiliki perintah
mengenai hal yang tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh untuk dilakukan, apa yang baik
dan yang buruk. Individu dengan religiusitas tinggi akan melakukan perilaku altruisme
dengan menolong sesamanya yang sedang kesusahan dengan ikhlas dan percaya bahwa akan
mendapat pahala guna tabungan untuk menuju ke surga, karena merupakan perbuatan baik
yang telah dilakukan.
Diperkuat oleh Sappington (dalam Sarwono 1999) yang berpengaruh
pada perilaku altruisme bukanlah seberapa kuatnya kepercayaan beragama itu sendiri
melainkan bagaimana implikasi seseorang tentang pentingnya perilaku menolong telah
diajarkan oleh agama (religiusitas).
Ke dua aspek intelektual sejauh mana individu mengetahui tentang ajaran‐ajaran
agamanya seperti berbuat baik kepada orang lain maka akan mendapatkan balasan yang baik
pula, maka invidu dalam kehidupannya berusaha berperilaku altruisme dengan berbuat baik
kepada orang lain seperti memberi bantuan kepada korban bencana alam baik berupa materi
maupun jasa menjadi seorang relawan. Seperti yang diungkapkan oleh Rogers (1977) bahwa
penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan
agama, maka perilaku tersebut akan berlangsung lama. Dimana dengan pengetahuan agama
yang baik akan membentuk religiusitas yang tinggi dalam diri individu untuk melakukan
perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai norma dan melakukan tindakan postif untuk
dapat berperilaku altruisme.
Ke tiga aspek ritualitas dimana individu melaksanakan kewajiban sebagai orang
beragama mencakup ritual pemujaan, ketaatan, beramal yang dapat dicerminkan salah
satunya dengan berperilaku altruisme yakni beramal baik seperti berbagi rezeki kepada anak
yatim piatu sebagai cara untuk bersedekah. Ritualitas merupakan salah satu cara bagaimana
individu dapat mewujudkan apa yang ia percaya sesuai dengan tindakan nyata dalam
kehidupannya. Internalisasi ritualitas dalam setiap individu merupakan wujud nyata dari
kualitas keyakinan seseorang.
Ke empat aspek pengalaman yaitu seberapa jauh individu merasakan perasaan dan
pengalaman religius seperti: ketika ia mengalami kesusahan tanpa disangka-sangka ia
mendapat bantuan dari orang yang dulu telah ia bantu. Seperti yang diungkapkan oleh
(Ahyadi, 1995) individu akan mencoba menghayati, menginternalisasi dan menerapkan
religiusitas dalam dirinya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada salah satunya
perilaku altruisme.
Ke lima aspek konsekuensi individu merasa bersemangat dalam melakukan setiap
perilaku baik dihidupnya karena mengetahui jika perilaku yang dilakukannya didunia akan
mendapat balasan tidak hanya didunia namun juga di akhirat, jika berbuat baik mendapat
balasan yang baik pula begitupun sebaliknya, maka individu secara sadar berperilaku
altruisme seperti: menolong tanpa mengharapkan balas budi atau imbalan dari orang yang
telah ditolong. Individu yang mempunyai religiusitas tinggi mempunyai dasar keyakinan
yang akan membuatnya lebih mudah menentukan perilakunya mengenai yang harus
dilakukan yaitu perilaku altruisme dan yang harus dihindari, karena pada dasarnya religiusitas
telah mencakup aturan tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak.
Religiusitas tidak dapat dipisahkan dari perilaku individu didalam kehidupan
bermasyarakat dan dalam prakteknya religiusitas memiliki beberapa fungsi antara lain fungsi
edukatif, fungsi kontrol sosial, fungsi pemupuk rasa solidaritas. Religiusitas menjadi faktor
integratif bagi individu dalam berperilaku altruisme dapat dilihat dari faktor kontrol sosial
yaitu adanya keterkaitan batin antara tuntutan ajaran religius dengan perwujudan
keberagamaan individu untuk melakukan perilaku altruisme dengan sesamanya.
Dapat disimpulkan bahwa perwujudan keberagamaan atau dengan kata lain religiusitas
adalah faktor dan pedoman individu dalam berperilaku altruisme dikehidupannya, individu
meyakini bahwa perilaku altruisme adalah suatu perbuatan baik sesuai dengan nilai-nilai
moral yang akan ia lakukan sebagai salah satu cara penerapan atas apa yang telah ia percaya
dan yakini sebagai kepercayaan religius dan mengaplikasikan keberagamaannya (religiusitas)
yang dapat menjadi motivasi untuk terus melakukan perilaku altruisme.
Seperti yang
diungkapkan oleh Coles (2000) bahwa perilaku yang sesuai dengan nilai moral diungkapkan
dalam tingkat orang harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain. Perilaku tersebut
muncul karena adanya pertimbangan kesejahteraan orang lain diatas kepentingan atau
keuntungan pribadi (perilaku altruisme) yang berusaha diamalkan atau diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari dengan nilai religi yang dianut (religiusitas).
Dari keterkaitan diatas semakin memperjelas bahwa religiusitas mempengaruhi individu
dalam berperilaku altruisme seperti yang diungkapkan Sarwono (1999) bahwa religiusitas
mempengaruhi seseorang untuk menolong, karena ada nilai-nilai religi yang dianut sehingga
seseorang mau menolong orang lain. Peneliti juga menyertakan penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan oleh peneliti terdahulu mengenai religiusitas dan perilaku altruisme guna
memperkuat penjelasan.
Penelitian tentang altruisme pernah dilakukan oleh Shah dan Ali (2012) dengan judul
Altruism and Belief in just world in young adults: relationship with Religiosity yang
bertujuan mengeskplorasikan antara altruisme dan kepercayaan dunia dengan religiusitas
pada orang dewasa dan dihasilkan bahwa religiusitas yang tinggi berhubungan positif dengan
altruisme yang tinggi pula.
Dengan demikian individu yang mempunyai religiusitas tinggi tidak hanya melakukan
ritual-ritual keagamaan saja seperti sembahyang dan puasa tetapi hal lain yang juga harus
dilakukan adalah menjalin hubungan dan berbuat baik kepada orang lain atau dapat juga
dikatakan sebagai beramal baik. Amal baik salah satunya adalah melakukan perilaku
altruisme seperti menolong, bekerja sama, berbagi, dan menyumbang (Ancok dan Suroso,
1994).
Berdasarkan penjelasan yang sudah disampaikan dapat ditarik kesimpulan adanya
hubungan yang positif antara religiusitas dengan perilaku altruisme sehingga semakin tingggi
religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin tinggi, dan juga sebaliknya semakin
rendah religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin rendah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar