Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa selain sebagai makhluk individu,
juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia
memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam menjalankan
kehidupannya, mulai dari lahir sampai meninggal dunia. Sebagai makhluk sosial
yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka sudah semestinya kita juga secara
sukarela memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Perilaku tolong
menolong dalam psikologi dikenal dengan altruisme (Wulandari, 2017).
Myers (2012) mendefinisikan altruisme adalah motif untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri. Altruisme
adalah kebalikan dari egoisme. Orang yang altrustis peduli dan mau membantu
orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau tidak
mengharapkan imbalan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi altruisme
adalah religiusitas (Myers, 2012).
Di samping adanya teori di atas, ada banyak penelitian yang menjelaskan
tentang keterkaitan antara altruisme dengan religiusitas. Salah satunya yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Zhao, 2012)
yang mengatakan bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi altruisme. Senada dengan penelitian tersebut Zhao (2012)
menyatakan bahwa orang-orang yang religius mempunyai perilaku yang lebih altruistik daripada orang yang non religius. Selain itu, Malhotra (2010) dalam
penelitiannya juga menemukan bahwa religiusitas merupakan faktor utama yang
mempengaruhi altruisme, orang yang religius berkarakteristik lebih stabil, sehingga
spontanitas untuk memberikan bantuan lebih besar.
Religiusitas adalah sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh
kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak
dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam
hati seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi (Ancok & Suroso, 2011).
Menurut Ancok dan Suroso
(2011) dengan mengacu pada dimensi religiusitas dari Glock dan Stark, religiusitas
Islam meliputi lima dimensi, yaitu: (1) dimensi keyakinan atau akidah, (2) dimensi
peribadatan atau syari’ah, (3) dimensi pengalaman atau ihsan, (4) dimensi
pengetahuan atau ilmu, dan (5) dimensi pengamalan atau akhlak.
Dimensi Keyakinan atau akidah menunjukkan seberapa jauh tingkat
keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama
terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik (Ancok & Suroso,
2011). Kemudian Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Zhao, 2012) mengatakan
bahwa semakin kuat keyakinan agama seseorang maka semakin tinggi altruisme
yang dimilikinya. Dalam agama Islam menghendaki pemeluknya untuk meyakini
ajaran agamanya secara komprehensif dan optimal, salah satu perintah yang sangat dianjurkan di dalam Islam adalah saling tolong menolong (Gatot, 2015). Perilaku
tolong menolong dalam psikologi dikenal dengan altruisme (Wulandari, 2017).
Dimensi peribadatan atau syari’ah menunjukkan seberapa jauh seorang
muslim dalam menjalankan kewajibannya untuk mengerjakan kegiatan ritual atau
beribadah yang dianjurkan oleh agamanya (Ancok & Suroso, 2011). Dalam agama
islam menghendaki pemeluknya untuk mengerjakan apa yang diperintahkan, salah
satu ibadah yang dianjurkan di dalam Islam yaitu tolong menolong atau
meringankan beban orang lain (Gatot, 2015). Sebagaimana yang telah
diperintahkan dalam sebuah hadist Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
“Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah
akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang
yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan
di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan
menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong
hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (H.R Muslim)
Kemudian Allah SWT menegaskan kembali mengenai kewajiban tolongmenolong dalam hal kebaikan dalam firman-Nya, sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulanbulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
melampaui batas (kepada mereka). dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah : 2)
Ayat ini memberikan perintah untuk saling tolong menolong dalam
mengerjakan kebajikan dan taqwa merupaka perintah bagi seluruh manusia. Yakni,
hendaknya menolong sebagian yang lain dan berusaha untuk mengerjakan apa yang
Allah perintahkan dan mengaplikasikannya. Sebab setiap kebajikan adalah
ketaqwaan dan setiap taqwa adalah kebajikan (Gatot, 2015). Berkaitan dengan
tolong menolong salah satu contoh dari tingkah laku menolong yang paling jelas
adalah altruisme (Hermaningrum, 2017), sehingga seharusnya seorang penganut
agama yang taat memiliki perilaku altruisme (Midlarsky, 2012).
Dimensi pengamalan atau akhlak menunjukkan seberapa tingkatan seorang
muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana
individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain (Ancok &
Suroso, 2011). Bila individu tetap berpegang teguh pada ajaran Islam, maka Islam
akan mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan norma agama yang
dianutnya, keberagamaan akan mengerakkan individu untuk melaksanakan ajaran
agama. Salah satu aspek terpenting dalam ajaran agama adalah perbuatan baik
terhadap sesama misalnya yaitu saling tolong menolong (Gatot, 2015). Di dalam
dimensi pengamalan meliputi bekerjasama, berlaku jujur, memaafkan, mematuhi
norma-norma agama, berderma, suka menolong, dan sebagainya (Ancok & Suroso,
2011). Tolong menolong dalam psikologi disebut dengan altruisme (Wulandari,
2017).
Dimensi pengalaman atau ihsan menunjukkan seberapa jauh tingkat seorang
muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalamanpengalaman religius (Ancok & Suroso, 2011). Dalam agama Islam menghendaki pemeluknya menghayati ajaran agama secara kaffah (komprehensif) dan optimal,
termasuk di dalamnya sifat yang sangat di anjurkan di dalam Islam yaitu tolong
menolong sesama manusia (Gatot, 2015). Seorang muslim yang ber-taqwa
menjalani segala perintah dan semua ibadah akan merasakan ketenangan di dalam
hatinya, maka ketika seseorang berbuat baik kepada sesama dengan memberikan
bantuan kepada orang yang membutuhkan akan merasakan ketenangan di dalam
hatinya (Taslim, 2010). Membantu orang lain merupakan cakupan dari aspek
Altruisme (Myers, 2012).
Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjukkan seberapa tingkat pengetahuan
dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran agamanya, terutama mengenai
ajaran-ajaran pokok dari agamanya, yang termuat di dalam kitab sucinya (Ancok &
Suroso, 2011). Salah satu perbuatan yang diperintahkan dalam agama Islam adalah
membantu orang lain dan mengedepankan kepentingan orang lain (Gatot, 2015).
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’la, sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai
orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki
keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa
yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr : 9)
Ayat ini menunjukkan selamatnya hati mereka (orang-orang Anshar) dan
tidak ada rasa dengki dan iri dihatinya kepada kaum muhajirin. Ayat ini juga
menunjukkan sifat orang-orang Anshar yang mengutamakan orang lain daripada
diri sendiri meskipun mereka membutuhkannya. Ayat tersebut turun saat peristiwa
hijrah Nabi saw dimana kaum Anshar mendahulukan kaum muhajirin (Terjemahan
41
dan Tafsir Al-qur’an, 2013). Seorang muslim yang memiliki pengetahuan tentang
ayat tersebut maka akan mencontoh perilaku kaum Anshar yang mendahulukan
kepentingan kaum muhajirin (Gatot, 2015). Mendahulukan kepentingan orang lain
diatas kepentingan pribadi merupakan cakupan dari aspek altruisme (Myers, 2012).
Pada diri individu yang pemahaman agamanya baik tidak hanya sebatas kebenaran
yang diyakini, tetapi secara konsisten tercermin dalam perilakunya dan salah satu
bentuk dari perilaku tersebut adalah altruisme (Rain dalam Gatot, 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar