Rabu, 04 November 2015

Pengukuran Selling skills


Menurut Rentz et al., (2002) kategori dimensi keterampilan menjual (selling skills) dibagi menjadi tiga bagian diantaranya Interpersonal Skills, Salesmanship Skills dan Technical Skills.
a)        Interpersonal Skills
Keterampilan tenaga penjual (Sales Skills) yang pertama adalah Interpersonal Skills yang merupakan keterampilan dalam merumuskan suatu persoalan atau solusi secara tepat. Ada beberapa aspek dalam Interpersonal Skills diantaranya kemampuan untuk mengekpresikan diri, kemampuan berbicara di depan umum, kemampuan untuk mengontrol emosi dan kemampuan untuk mempengaruhi pelanggan. Beberapa aspek tersebut diperlukan ketikatenaga penjual melakukan komunikasi daninteraksi dengan pelanggan
b)        Salesmanship Skills
Salesmanship Skills meliputi tentang keterampilan mendapatkan pembeli, keterampilan dalam melakukan presentasi penjualan dan keterampilan untuk melayani pelanggan (Ahmad:2010)
 c)         Technical Skills.
Pengetahuan teknikal didefinisikan sebagai pengetahuan yang dimiliki tenaga penjualan dalam rangka mendukung penjualannya, seperti pengetahuan tentang kegunaan dan keunggulan produk (produk knowledge), pengetahuan tentang teknis dan prosedur dilapangan dan juga pengetahuan tentang nasabah (Josep, David, Armen, Pratibha dan Robert, 2002). Tenaga penjual yang menguasai pengetahuan teknikal meliputi pengetahuan produk dan fungsinya, pengetahuan prosedur di lapangan dan pengetahuan tentang produk competitor (Peterson& Smith, 1995 dalam Johlke & Mary, 2002) serta pengetahuan pasar dan industri (El-Ansary, 1993 dalam Johlke & Mary, 2002

Pengertian Selling skills


Ketrampilan menjual (selling skills) merupakan keyakinanakan adanya pengetahuan khusus yang dimiliki oleh tenaga penjualan tersebut yang mendukung hubungan bisnis (Liu & Leach,2001). Ketrampilan menjual merupakan pembelajaran seorang tenaga penjualan untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam melakukan tindakan-tindakan yang mendukung keberhasilan dalam tugas penjualannya (Weilbaker, 1990).
Ketrampilan menjual sering juga ditunjukkan dengan kemampuan tenaga penjualan untuk memberikan solusi yang dibutuhkan oleh pelanggannya, sehingga pelanggan merasakan adanya nilai tambah yang diperoleh. Kemampuan menjual yang dimiliki tenaga penjualan akan semakin meningkat, peningkatan initerjadi seiring pembelajaran seorang tenaga penjualan terhadap kondisi yang dihadapi didalam melaksanakan tugas penjualan. Ketrampilan menjual juga digambarkan sebagai sebuah orientasi dari seseorang untuk berusaha melakukan perbaikan dan meningkatkan kemampuan serta penguasaan atas pekerjaan yangmenjadi tanggung jawabnya (Sujan et al., 2004).

Dimensi Burnout


Berbagai teori mengungkapkan pengukuran dimensi mengenai burnout, diantaranya berdasarkan gejala atau mengenai tahapan burnout itu sendiri. Menurut Maslach (1993) mengungkapkan bahwa gejala-gejala burnout dapat dikategorikan dalam 3 dimensi, yaitu:
a)        Kelelahan Emosional
Dimensi yang ditandai dengan berkurangnya energi secara emosi dan perasaan sumber emosi yang tidak mencukupi untuk menghadapi situasi, akibat banyaknya tuntutan atau beban kerja yang diajukan pada dirinya yang kemudian menguras sumber-sumber emosional yang ada. Juga ditandai dengan perasaan letih berkepanjangan baik secara fisik (sakit kepala, flu, insomnia), mental (merasa tidak bahagia, tidak berharga, rasa gagal) dan emosional (bosan, sedih, tertekan, marah) ketika mengalami kelelahan, mereka akan merasakan energinya seperti terkuras habis dan ada perasaan “kosong” yang tidak dapat diatasi lagi.
b)        Penarikan diri
Merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan pada saat seseorang melakukan coping terhadap situasi yang memiliki banyak tuntutan. Penarikan diri ditunjukkan dengan sikap tidak perduli dengan pekerjaan, kehilangan kepentingan dan arti sebuah pekerjaan, menjauhnya individu dari lingkungan sosial, apatis, tidak perduli terhadap lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Perilaku yang muncul adalah memperlakukan orang lain secara kasar, merawat orang lain sebagai objek, menjaga jarak dengan penerima layanan, mengurangi kontak, bersikap sinis, kurang perhatian dan kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan juga sikap yang tidak mempunyai perasaan terhadap orang lain. Perilaku tersebut ditunjukkan sebagai upaya melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderitanya menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu, maka mereka akan aman dan terhindar dari ketidak pastian dalam pekerjaan.
c)        Rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri
Rendahnya penghargaan terhadap dirinya sendiri merupakan kecenderungan untuk mengevaluasi perilaku dan prestasi secara negatif khususnya dalam bekerja dengan klien. Dicirikan dengan individu tidak pernah merasa puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain, merasa tidak efektif atau kompeten dalam pekerjaan, adanya perasaan gagal dalam bekerja dan menganggap tugas-tugas yang dibebankan terlalu berlebihan sehingga tidak mampu untuk mencapai prestasi. Kondisi tersebut akhirnya membuat individu merasa kehilangan kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri dan juga kehilangan kepercayaan dari orang lain akibat perilakunya.
Sementara itu, Baron danGreenberg (dalam Rahman,2007) juga mengemukakan empat aspek burnout, yaitu :
a. Kelelahan fisik yang ditandaidengan serangan sakit kepala, mual, susah tidur, dan kurangnya nafsu makan.
b. Kelelahan emosional, ditandai dengan depresi, perasaan tidak berdaya, merasa terperangkap dalam pekerjaannya, mudah marah serta cepat tersinggung.
c. Kelelahan mental, ditandai denganbersikan sinis terhadap orang lain,bersikap negatif terhadap orang lain, cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan, organisasi dan kehidupan pada umumnya.
d. Rendanya penghargaan terhadap diri sendiri, ditandai dengan tidak pernah puas terhadap hasil kerja sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain
Sedangkan Maslach (dalam Lailaini et al., 2005) sebagai pencetus Maslach Burnout Inventory-Human Service Survey (MBI-HSS) mengemukakan tiga dimensi burnout yaitu:
a.        Kelelahan emosional (emotional exhaustion) yaitu habisnya sumber-sumber emosional dari dalam individu yang ditandai perasaan frustasi, putus asa, sedih, perasaan jenuh, mudah tersinggung, mudah marah tanpa sebab, mudah merasa lelah, tertekan dan perasaan terjebak dalampekerjaan.
b.       Depersonalisasi (depersonalization) yaitu kecenderungan individu untuk menjauhi lingkungan sosialnya, bersikap sinis, apatis, tidak berperasaan, tidak peduli terhadap lingkungan dan orang-orang sekitarnya. Dimensi ini menggambarkan burnout secara eksklusif untuk pekerjaan di bidang pelayanan kemanusiaan (human service).
c.       Rendahnya penghargaan atas diri sendiri (low personal accomplishment) yaitu suatu tendensi individu untuk mengevaluasi kinerjanya secara negatif. Individu yang menilai rendah dirinya sering mengalami ketidakpuasan terhadap hasil kerja sendiri serta merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupunbagi orang lain.
MBI-HSS terdiri dari 25 pernyataan yang dikhususkan untuk mengukur tingkat burnout di sektor human service seperti konselor, psikolog, terapis, dan pekerja sosial (Chou, 2003). Untuk sektor pendidikan, dikembangkan Maslach Burnout Inventory-Educators Setting (MBI-ES) dengan dimensi yang masih sama dengan MBI-HSS yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan personal accomplishment (Bosley, 2004). Ketiga dimensi tersebut merefleksikan interaksi antara pekerja dengan orang lain. Untuk sektor pekerjaan yang tidak termasuk Maslach Burnout Inventory-General Survey (MBI-GS) yang juga terdiri dari tiga dimensi yaitu:
1.    Kelelahan emosional (emotional exhaustion)
Kelelahan emosional merupakan dimensi yang paling mengindikasi adanya burnout. Kelelahan ini merujuk kepada perasaan berlebihan dan terkuras secara fisik maupun emosional. Seseorang merasakan kepenatan, frustasi dan tertekan pada pekerjaannya. Kelelahan emosional muncul dalam situasi di mana terdapat banyak pekerjaan namun sumber untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut hanya sedikit.
2.    Sinisme (Cynicism)
Dimensi sinisme menggantikan dimensi depersonalisasi yang terdapat di MBI-HSS. Dimensi ini digunakan dalam lingkungan kerja dengan tekanan yang tinggi dan dukungan manajemen yang kurang. Sinisme menggambarkan ketidakpedulian atau perilaku menjauh dari pekerjaan. Karyawan menjadi tidak peduli dengan apa yang dia kerjakan dan mungkin hanya memandang pekerjaan sebagai suatu sumber keuanganuntuk bertahan hidup. Dengan demikian karyawan cenderung mudah meninggalkan organisasinya jika mereka menemukan insentif yang lebih baik di organisasi lain.
3.    Kurangnya Keberhasilan Profesional (Lack of Professional Efficacy)
Keberhasilan profesional digunakan untuk menjelaskan suatu kepuasanatas pencapaian di masa lalu dan di masa sekarang. Dimensi ini lebih berfokus pada ekspektasi kerja dan skill atau kompetensi seseorangdalam melakukan pekerjaannya. Karyawan yang menunjukkan keberhasilan profesional seringkali menjadi top performers diorganisasi mereka dan memiliki kepercayaan diri atas kemampuannya

Pengertian Burnout


Menurut Pines (dalam Gramling, 2008) burnout adalah suatu istilah yang digunakan untuk menandakan kondisi dari suatu individu sebagai hasil dari tekanan pekerjaan dengan sepenuhnya, merasa lelah dan tidak bisa lagi berfungsi secara efisien. Menurut Greenberg (2002) Burnout adalah suatu reaksi penekanan dimana reaksi tersebut lebih menekankan emosi, pikiran, fisik dan komponen tingkah laku. Suatu kelelahan pada fisik yang ditandai rasa pesimis, paranoia, kekakuan, tidak mengenal rasa kasihan, perasaan bersalah dan kesukaran dalam mengambil keputusan
Menurut Caputo (2011) Burnout merupakan titik dimana tekanan kronis menjadi suatu beban yang tidak terkendali. Tekanan tersebut menekankan perasaan lelah secara emosional, fisik, dan kelelahan mental. Burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, maupun low personal accomplishment (dalam Farber, 2011). 

Dimensi Dalam Job insecurity


Greenhalg dan Rosenblatt (1984) mengungkapkan bahwa job insecurity terdiri dari dua aspek, yaitu aspek ancaman akan kehilangan pekerjaan itu sendiri dan aspek ancaman kehilangan faset-faset penting dalam pekerjaan, seperti gaji, kesempatan untuk promosi dan lain sebagainya. Berdasarkan pada kedua aspek job insecurity di atas, Asford (1989) mengembangkan komponen-komponen job insecurity menjadi :
1.    Keparahancaman (severity of threat) Keparah ancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan adanya ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan dan ancaman terhadap pekerjaan secara keseluruhan.
a.    Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan Aspek-aspek yang berkatian dengan pekerjaan, meliputi kesempatan untuk promosi, kebebasan menentukan jadwal pekerjaan, dan lain-lain. Persepsi seseorang mengenai besarnya ancaman aspek-aspek pekerjaan dapat diketahui melalui seberapa besar aspek-aspek itu dirasakan penting dan seberapa besar kemungkinan individu akan kehilangan aspek-aspek tersebut. Semakin penting dan semakin tinggi aspek-aspek tersebut dipersepsikan mungkin hilang, maka semakin tinggi tingkat ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan yang dirasakan individu tersebut.
b.    Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan. Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsi seseorang mengenai adalanya kejadian-kejadian negatif yang dapat mempengaruhi pekerjaannya, seperti diberhentikan untuk sementara waktu. Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapa mungkin kejadian-kejadian negatif tersebut dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan.
2.    Ketidakberdayaan (powerlessness) Ketidakberdayaan menujukkan ketidakmampuan seseorang untuk mencegah munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pekerjaan dan pekerjaan secara keseluruhan. Semakin individu merasa tidak berdaya, semakin tinggi tingkat Job insecurity.
Ada 3 aspek rasa aman dalam bekerja yang saling berkaitan yakni (Sengenberger, 1995):
a.              job security: rasa aman dalam bekerja yaitu kesempatan untuk menjadi pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
b.             employer security: menjadi karyawan dengan jenis pekerjaan atau pada lokasi yang berbeda namun masih dalam perusahaan yang sama;
c.              Employment security: mencakup didalamnya kesempatan untuk berganti perusahaan.

Pengertian Job insecurity


Job insecurity merupakan ketidakberdayaan seseorang atau perasaan kehilangan kekuasaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi/situasi kerja yang terancam (Greenhalgh dan Rosenblatt, 2004).  Sedangkan menurut Ashford et al (1989) Job insecurity mencerminkan derajat kepada karyawan yang merasakan pekerjaan mereka terancam dan merasakan tidak berdaya untuk melakukan segalanya tentang itu.
 Jacobson dan Hartley (1991) dalam Kinnunen et al. (2000) menyatakan bahwa job insecurity dapat dilihat sebagai pertentangan antara tingkat keamanan yang dirasakan oleh seseorang dengan tingkat keamanan yang diharapkannya. Smithson dan Lewis (2000) dalam Kurniasari (2004) mengartikan job insecurity sebagai kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkanrasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. 

Sistem Informasi Dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia

Sistem Informasi Sumber Daya Manusia memberikan informasi kepada seluruh manajer perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya manusia perusahaan. HRIS sebagai unit organisasi yang terdiri dari personel yang mengolah data sumber daya manusia dengan menggunakan teknologi komputer dan non komputer. Tiap perusahaan memiliki sistem untuk mengumpulkan dan memelihara data yang menjelaskan sumber daya manusia, mengubah data tersebut menjadi informasi, dan melaporkan informasi itu kepada pemakai. Sistem ini dinamakan sistem manajemen sumber daya manusia (human resource information system) atau HRIS (Erlina, Cendrawati, dan Yunita. 2003).
Sistem Informasi Sumber Daya Manusia (SISDM/HRIS) merupakan sebuah bentuk interseksi/pertemuan antara bidang ilmu manajemen sumber daya manusia (MSDM) dan teknologi informasi. Sistem ini menggabungkan MSDM sebagai suatu disiplin yang utamanya mengaplikasikan bidang teknologi informasi ke dalam aktifitas-aktifitas MSDM seperti dalam hal perencanaan, dan menyusun sistem pemrosesan data dalam serangkaian langkah-langkah yang terstandarisasi dan terangkum dalam aplikasi perencanaan sumber daya perusahaan/enterprise resource planning (ERP).
Pengembangan sistem informasi manajemen dilakukan melalui beberapa tahap, dimana masing-masing langkah menghasilkan suatu yang lebih rinci dari tahap sebelumnya. Tahap awal dari pengembangan sistem umumnya dimulai dengan mendeskripsikan kebutuhan pengguna dari sisi pendekatan sistem rencana stratejik yang bersifat makro, diikuti dengan penjabaran rencana stratejik dan kebutuhan organisasi jangka menengah dan jangka panjang, lazimnya untuk periode 3 sampai 5 tahun (Murdick dan Ross. 2006)..
1.        Tahap Perencanaan
Tahap ini merupakan suatu rangkaian kegiatan sejak ide pertama yang melatarbelakangi pelaksanaan pengembangan sistem tersebut dilontarkan. Dalam tahap perencanaan pengembangan sistem harus mendapatkan perhatian yang sama besarnya dengan merencanakan proyek-proyek besar lainnya, seperti perencanaan pengadaan perangkat jaringan teknologi informasi (TI), rencana membangun gedung kantor 15 tingkat.
2.        Tahap Analisis
Ada dua aspek yang menjadi fokus tahap ini, yaitu aspek bisnis atau manajemen dan aspek teknologi. Analisis aspek bisnis mempelajari karakteristik organisasi yang bersangkutan. Tujuan dilakukannya langkah ini adalah untuk mengetahui posisi atau peranan teknologi informasi yang paling sesuai dan relevan di organisasi dan mempelajari fungsi-fungsi manajemen dan aspek-aspek bisnis terkait yang akan berpengaruh atau memiliki dampak tertentu terhadap proses desain, konstruksi, dan implementasi.
3.        Tahap Perancangan/Desain
Pada tahap ini, tim teknologi informasi bekerja sama dengan tim bisnis atau manajemen melakukan perancangan komponen-komponen sistem terkait. Tim teknologi informasi akan melakukan perancangan teknis dari teknologi informasi yang akan dibangun, seperti system basis data, jaringan komputer, teknik koversi data, metode migrasi sistem, dan sebagainya. Sementara itu, secara paralel dan bersama-sama tim bisnis atau manajemen, dan tim teknologi informasi akan melakukan perancangan terhadap komponen-komponen organisasi yang terkait, seperti: yang akan berpengaruh atau memiliki dampak tertentu terhadap proses desain, konstruksi, dan implementasi.
Keluaran dari proses analisis di kedua aspek ini adalah masalah-masalah penting yang harus segera ditangani, analisis penyebab dan dampak permasalahan bagi organisasi, beberapa kemungkinan skenario pemecahan masalah dengan kemungkinan dan dampak risiko serta potensinya, dan pilihan alternatif solusi yang direkomendasikan.
4.        Tahap Pembangunan Fisik/Konstruksi
Berdasarkan desain yang telah dibuat, konstruksi atau pengembangansistem yang sesungguhnya (secara fisik) dibangun. Tim teknis merupakan tulang punggung pelaksanaan tahap ini, mengingat semua hal yang bersifat konseptual harus diwujudkan dalam suatu konstruksi teknologi informasi dalam skala yang lebih detail.
Dari semua tahapan yang ada, tahap konstruksi inilah yang biasanya paling banyak melihatkan sumber daya terbesar, terutama dalam hal penggunaan SDM, biaya, dan waktu. Pengendalian terhadap manajemen proyek pada tahap konstruksi harus diperketat agar penggunaan sumber daya dapat efektif dan efisien. Bagaimanapun, hal ini akan berdampak terhadap keberhasilan proyek sistem informasi yang diselesaikan secara tepat waktu. Akhir dari tahap konstruksi biasanya berupa uji coba atas sistem informasi yang baru dikembangkan.
5.         Tahap Implementasi
Tahap implementasi merupakan tahap yang paling kritis karena untuk pertarna kalinya sistem informasi akan dipergunakan di dalam organisasi. Ada berbagai pendekatan untuk implementasi sistem yang baru didesain. Pekerjaan utama dalam implementasi sistem biasanya mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Merencanakan waktu yang tepat untuk implementasi
b. Mengumumkan rencana implementasi
c. Mendapatkan sumberdaya perangkat keras dan lunak
d. Menyiapkan database
e. Menyiapkan fasilitas fisik
f. Memberikan pelatihan dan workshop
g. Menyiapkan saat yang tepat untuk cutover (peralihan sistem)
h. Penggunaan sistem baru
Pemberian pelatihan (training) harus diberikan kepada semua pihak yang terlibat sebelum tahap implementasi dimulai. Selain untuk mengurangi risiko kegagalan, pemberian pelatihan juga berguna untuk menanamkan rasa memiliki terhadap sistem baru yang akan diterapkan. Dengan cara ini, seluruh jajaran pengguna akan dengan mudah menerima sistem tersebut dan memeliharanya dengan baik di masa-masa mendatang.
6.        Tahap Pasca Implementasi
Pengembangan sistem informasi biasanya diakhiri setelah tahap implementasi dilakukan. Namun, ada satu tahapan lagi yang harus dijaga dan diperhatikan oleh manajemen, yaitu tahap pasca implementasi. Kegiatan yang dilakukan di tahap pasca implementasi adalah bagaimana pemeliharaan sistem akan dikelola.
Seperti halnya sumber daya yang lain, sistem informasi akan mengalami perkembangan di kemudian hari. Hal-hal seperti modifikasi sistem, berpedoman ke sistem lain, perubahan hak akses sistem, penanganan terhadap fasilitas pada sistem yang rusak, merupakan contoh dari kasus-kasus yang biasanya timbul dalam pemeliharaan sistem. Disinilah diperlukan dokumentasi yang memadai dan pemindahan pengetahuan dari pihak penyusun sistem ke pengguna untuk menjamin terkelolanya dengan baik proses-proses pemeliharaan sistem. Dari perspektif manajemen, tahap pasca-implementasi adalah berupa suatu aktivitas di mana harus ada personil atau divisi yang dapat melakukan perubahan atau modifikasi terhadap sistem informasi sejalan dengan perubahan kebutuhan bisnis yang dinamis.
Secara keseluruhan sistem ERP bertujuan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari aplikasi-aplikasi yang berbeda ke dalam satu sistem basisdata yang bersifat universal. Secara mendetail keuntungan dari penggunaan Pengembangan Sistem Informasi adalah:
1.    Kemudahan dalam pengelompokan informasi, karena sebagian besar informasi menggunakan kode.
2.    Mempercepat pengisian dan akurasi data, sebab operator tidak perlu mengingat daftar kode yang diperlukan untuk pengisian data, semua dapat diperoleh secara cepat oleh sistem.
3.    Tampilan grafis dalam pemasukan data, sehingga membantu pemakai dalam pengoperasiannya.
4.     Jumlah data yang direkam per transaksi lebih sedikit dengan pengkodean.
5.    Setiap histori yang dimiliki oleh personel akan direkam selama atau sebanyak
6.     jumlah data yang akan disimpan (ditentukan oleh pihak manajemen kepegawaian).
7.    Memudahkan adanya pengolahan data dalam keterkaitan dengan bidang lainnya, misalkan kalkulasi finansial (Davis dan Leitch. 2003)
Di sisi lain kekurangan dari penggunaan Pengembangan Sistem Informasi adalah:
1.        penggunaan Pengembangan Sistem Informasi lebih kaku dengan aturan-aturannya.
2.        Keterbatasan jumlah dan tingkat kemampuan SDM yang menguasai teknologi informasi.
3.        Pengembangan sistem informasi membutuhkan waktu yang lama karena konsentrasi karyawan harus terbagi dengan pekerjaan rutin sehari-hari sehingga pelaksanaannya menjadi kurang efektif dan efisien.
4.        Perubahan dalam teknologi informasi terjadi secara cepat dan belum tentu perusahaan mampu melakukan adaptasi dengan cepat sehingga ada peluang teknologi yang digunakan kurang canggih (tidak up to date).
5.        Membutuhkan waktu untuk pelatihan bagi operator dan programmer sehingga ada konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan.
6.        Adanya demotivasi dari karyawan ditugaskan untuk mengembangkan sistem informasi karena bukan merupakan core competency pekerjaan mereka.
7.        Kurangnya tenaga ahli (expert) di bidang sistem informasi dapat menyebabkan kesalahan persepsi dalam pengembangan distem dan kesalahan/resiko yang terjadi menjadi tanggung jawab perusahaan (ditanggung sendiri).
Dalam pelaksanaan perencanaan sumber daya manusia melalui pengembangan sistem informasi tidak terpisah dari peran serta sistem manual dimana Proses tersebut dilibatkan dalam penginputan data. Untuk selanjutnya peran serta kemampuan intuitif pengambil kebijakan turut menjadi salah satu factor keberhasilan dalam perencanaan sumber daya manusia. 

Pengertian dan Pengukuran Kemampuan Teknis (Technical Skill)


Menurut Rentz, et al (2002) Technical Skill (keahlian teknik), adalah pengetahuan yang dimiliki tenaga penjualan dalam rangka mendukung penjualannya, seperti misalnya pengetahuan mengenai desain dan keistimewaan produk (menguasai product knowledge), pengetahuan tentang pemakaian dan fungsi produk, pengetahuan tentang teknis (keahlian engineering) dan prosedur yang diberlakukan oleh kebijakan perusahaan.
Pengetahuan teknikal didefinisikan sebagai pengetahuan yang dimiliki tenaga penjualan dalam rangka mendukung penjualannya, seperti pengetahuan tentang kegunaan dan keunggulan produk (produk knowledge), pengetahuan tentang teknis dan prosedur dilapangan dan juga pengetahuan tentang nasabah (Josep, David, Armen, Pratibha dan Robert, 2002). Tenaga penjual yang menguasai pengetahuan teknikal meliputi pengetahuan produk dan fungsinya, pengetahuan prosedur dilapangan dan pengetahuan tentang produk competitor (Peterson & Smith, 1995 dalam Johlke & Mary, 2002) serta pengetahuan pasar dan industri (El-Ansary, 1993 dalam Johlke & Mary, 2002).
Pengetahuan teknik penjualan merupakan sarana lain untuk mendukung keberhasilan seorang tenaga penjualan dalam menunaikan tugasnya (Sutojo, 2000). Sangat penting bagi seorang tenaga penjual untuk mengetahui pengetahuan tentang atribut produk, ini merupakan ketrampilan teknis yang harus dimiliki oleh seorang tenaga penjual. Pengetahuan produk diperlukan sebagai dasar suksesnya suatu produk, biasanya melalui penggunaan /keterlibatan pada suatu produk. Pengetahuan konsumen tentangsuatu produk yang diharapkan dapat mempengaruhi kepuasan secara positif, sebab suatu pengetahuan akan membuat tentang produk akan lebih realistis. Efek pengetahuan positifapabila: 1. Penggunaan pengetahuan diperlukan sebagai dasar suksesnya suatu produk,biasanya melalui penggunaan/keterlibatan pada suatu produk Betty & Smith (1987, dalam Sambandam & Lord, 2005); dan 2. Pengetahuan produk menyiratkan suatu strukturmemori di dalam benak konsumen. Pengetahuan produk mencakup: a) Kesadaran akankategori dan merek produk didalam kategori produk; b) Terminologi produk; c) Atribut/cirri produk; dan d) Kepercayaan tentang kategori produk secara umum.

Pengukuran Salesmanship Skill


Berbagai pengukuran kemampuan salesmanship oleh beberapa ahli didasarkan pada pendapat yang berbeda. Menurut Basu Swastha (2002), tugas penjualan sering digolongkan menurut jenis hubungan pembeli yang terlibat dalam penjualan. Adapun jenis tugas-tugas penjualan beserta salesmannya akan dibahas berikut ini.
a.         Trade selling
Trade selling merupakan tugas penjualan yang ditujukan kepada para penyalur, bukan kepada pembeli akhir. Tenaga penjualan yang melakukannya disebut merchandising salesman.
b.        Missionary selling
Missionary selling merupakan tugas penjualan yang dilakukan untuk mendorong pembeli agar bersedia membeli pada penyalur perusahaan. Tenaga penjualan yang melakukannya disebut detailman. Jadi, detailman tidak melakukan penjualan langsung tetapi hanya memberi contoh barang saja
c.         Technical selling
Technical selling merupakan tugas penjualan yang berusaha meningkatkan penjualan dengan pemberian saran dan nasehat kepada pembeli akhir dari barang dan jasanya (terutama menyangkut masalah keahlian). Petugas yang melakukannya disebut sales engineer.
d.        New business selling
New business selling merupakan tugas penjualan yang berusaha membuka transaksi baru dengan mengubah calon pembeli menjadi pembeli. Petugas yang melakukannya disebut pioneer product salesman.
Penelitian Cross, et al. (2001) mengukur aktivitas tenaga penjualan ke dalam tiga kategori yaitu, aktivitas tenaga penjualan dalam mengumpulkan informasi, aktivitas tenaga penjualan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian serta aktivitas mencari pelanggan-pelanggan potensial baru. Menurut Cross, et al. (2001) aktivitas pertama yang harus dilakukan oleh tenaga penjualan agar aktivitas penjualan dan kinerjanya meningkat adalah mencari informasi. Menurut Von Hipple (1989), dalam Cross, et al.(2001) memberikan gambaran yang jelas bahwa aktivitas tenaga penjualan merupakan sebuah upaya tenaga penjualan mencari dan mengelola informasi yang didapat dari pasar, salah satu informasi yang dibutuhkan tenaga penjualan adalah informasi seputar pelanggan.
Bentuk aktivitas kedua yang harus dilakukan adalah keinginan tenaga penjualan untuk dapat meningkatkan kemampuan dan keahlian, Cross, et al.(2001). Studi Sujan, et al. (1994), Kohli, et al. (1998) mengemukakan bahwa orientasi seorang tenaga penjualan kepada peningkatan kemampuan dan keahlian adalah bentuk keinginan tenaga penjualan untuk pembelajaran. Aktivitas tenaga penjualan yang baik adalah aktivitas tenaga penjualan yang di dalamnya mampu memotivasi seorang tenaga penjualan untuk meningkatkan keahlian, aktivitas tenaga penjualan berbasis pembelajaran akan menyebabkan tenaga penjualan relatif mencari situasi yang menantang dengan kepercayaan bahwa hal ini membantu mereka mengembangkan pemahaman mereka atas lingkungan penjualan dan meningkatkan pengetahuan mereka atas strategi penjualan yang sesuai.
Bentuk aktivitas ketiga yang harus dilakukan oleh tenaga penjualan agar aktivitas penjualan dan kinerjanya meningkat menurut Cross, et al.(2001), adalah mencari pelanggan baru, aktivitas yang penting yang harus dilakukan tenaga penjualan adalah aktivitas yang ditujukan untuk menemukan atau mengenali pelanggan baru yang sekiranya memiliki kesesuaian dengan produk baik barang maupun jasa yang ditawarkan oleh tenaga penjualan. Studi Cross,et al.(2001) menyatakan bahwa sebuah aktivitas diperlukan untuk membangun hubungan yang saling terpadu antara tenaga penjualan dengan perusahaan. Melalui intensitas aktivitas tenaga penjualan yang berorientasi pada hasil akhir, aktivitas dan kemampuan perusahaan mencoba untuk lebih memahami dan membangun dimensi tersebut dalam strategi obyektif yang lebih luas (Setiawan, 2003). 

Pengertian Salesmanship Skill


Salesmanship Skill adalah kemampuan dalam hal melakukan presentasi dan melakukan clossing (menutup penjualan). Seperti misalnya bagaimana seseorang didalam menyampaikan sebuah presentasi yang menarik agar  konsumen dapat memahami apa yang disampaikannya (Rentz et al, 2002,). Salesmanship ini lebih mengarah pada cara bagaimana melakukan strategi menjual, dimana masing-masing individu mempunyai kemampuan yang berbeda. Untuk meningkatkan keahlian ini tenaga penjualan dapat dilakukan misalnya dengan cara, menghubungi customer untuk membuat janji, mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang rencana-rencana customer terhadap barang/jasa yang dijualnya, menunjukkan emphaty tentang pengalaman yang kurang memuaskan terhadap produk yang dipakai, dan menyediakan informasi-informasi yang menolong customer (John, 2009).
Dalam pengertian lain menunjukkan bahwa Salesmanship Skill merupakan suatu kemampuan yang sekaligus menunjukkan loyalitas penjual, kualitas produk yang dijual, atau peranan penjual dalam pendekatan kepada seseorang atau orang lain, sehingga dapat membentuk suatu titik keputusan untuk menetapkan hak utama sebagai individu dalam menetapkan kesempatan milik atau minat (Basu Swastha, 2002).
Definisi salesman menurut Russel (1987) dalam Ventiana (2003) adalah “an expert, a person profesionally trained, competent to render a highly valuable service” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu sebagai seorang  yang ahli dibidangnya, yang ditraining secara profesional untuk secara kompeten dalam menyumbangkan pelayanan yang lebih bermutu tinggi. Dalam pengertian lain menunjukkan bahwa salesmanship skill adalah kemampuan menyajikan seni menanam benih di hati pembeli, yang membuahkan beraneka ragam motivasi, serta tindakan yang diberikan oleh pembeli yang sesuai dengan keinginan penjual. Dengan demikian Salesmanship menetapkan suatu menurut Baduara (2004) tentang bagaimana sampai ke tujuan, tanpa menimbulkan pertentangan maupun perselisihan ataupun goresan-goresan maupun benturan-benturan; melainkan atas dasar senang sama senang, sehingga tak ada orang yang merasa dirugikan, bahwa semua pihak baik penjual maupun pembeli merasa sama-sama diuntungkan.
Salesmanship Skill adalah keahlian dalam strategi penjualan adalah kemampuan dalam hal melakukan presentasi dan melakukan closing (menutup penjualan). Seperti misalnya bagaimana seseorang di dalam menyampaikan sebuah presentasi yang menarik agar konsumen dapat memahami apa yang disampaikannya (Rentz, et al, 2002). Salesmanship ini lebih mengarah pada cara bagaimana melakukan strategi menjual, dimana masing-masing individu mempunyai kemampuan yang berbeda. Untuk meningkatkan keahlian ini tenaga penjualan dapat dilakukan misalnya dengan cara, menghubungi customer untuk membuat janji, mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang rencana-rencana customer terhadap barang/jasa yang dijualnya, menunjukkan emphaty tentang pengalaman yang kurang memuaskan terhadap produk yang dipakai, dan menyediakan informasi-informasi yang menolong customer .

Pengukuran Interpersonal Skill


Keterampilan tenaga penjual (Sales Skill) yang pertama adalah Interpersonal Skill yang merupakan keterampilan dalam merumuskansuatu persoalan atau solusi secara tepat. Ada beberapa aspek dalam Interpersonal Skill diantaranya
a.    kemampuan untuk mengekpresikan diri,
b.    kemampuan berbicara di depan umum
c.    kemampuan untuk mengontrol emosi
d.   kemampuan untuk mempengaruhi pelanggan.
 Beberapa aspek tersebut diperlukan ketika tenaga penjual melakukan komunikasi dan interaksi dengan pelanggan. ketika seorang tenaga penjual memiliki keterampilan secara interpesonal yang baik maka kinerja dari tenagapenjual tersebut juga akan meningkat hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2010) yang menyatakan bahwa “Interpersonal Skill secara signifikan dapat meningkatkan kinerja tenaga penjual.
Kemudian Buhmester, dkk (1988) menemukan 5 aspek kemampuan interpersonal, yaitu:
a.    Kemampuan berinisiatif. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar dan tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk mencocokan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahami.
b.    Kemampuan bersikap terbuka (self disclosure), Adalah kemampuan seseorang untuk mengungkap informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberikan perhatian kepada orang lain. Dengan adanya keterbukaan, kebutuhan dua orang terpenuhi yaitu dari pihak pertama kebutuhan untuk bercerita dan berbagi rasa terpenuhi, sedang bagi pihak kedua dapat muncul perasaan istimewa karena dipercaya untuk mendengarkan cerita yang bersifat pribadi. Disini seorang remaja dapat mengungkapkan perasaannya sekaligus dapat mendengarkan dengan baik segala keluhan dari sahabatnya. Dan adanya self disclosure ini terkadang seseorang menurunkan pertahanan dirinya dan membiarkan orang lain mengetahui dirinya secara lebih mendalam.
c.    Kemampuan bersikap asertif. Dalam komunikasi interpersonal orang sering kali mendapat kejanggalan yang tidak sesuai dengan alam pikirannya, sehingga disaat seperti itu diperlukan sikap asertif dalam diri orang tersebut. Menurut Pearlman dan Cozby (dalam Fuad Nashori, 2000) mengartikan “asertif sebagai kemampuan dan kesedian individu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas dan dapat mempertahankan hak-hak dengan tegas. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya secara jelas, meminta orang lain untuk melakukan sesuatu dan menolak melakukan hal yang tidak diinginkan tanpa melukai perasaan orang lain, jadi seseorang itu memahami tindakan dan ucapannya sendiri. Dengan demikian sifat asertif, individu tidak akan diperlukan secara tidak pantas oleh lingkungan sosialnya dan dianggap sebagai individu yang memiliki harga diri.
d.   Kemampuan memberikan dukungan emosional. Menurut Buhmester dkk (1988) “dukungan emosional mencakup kemampuan memberikan dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan komunikasi interpersonal antara dua individu”.
e.    Kemampuan Mengatasi Konflik. Setiap hubungan antar pribadi mengandung unsur perbedaan yang dapat menyebabkan terjadinya konflik. Konflik senantiasa hadir dalam setiap hubungan antar manusia dan bisa muncul karena berbagai sebab
Sementara itu Plank, Reid dan Pullins (2009) menyatakan bahwa salah satu keandalan dari tenaga penjualan adalah kemampuannya mendapatkan informasi dari pembeli yaitu melalui bertanya kepada pembeli dan mendengarkan pembeli, kemudian menggunakan informasi yang dia miliki untuk dapat menerangkan produknya kepada pembeli, dan juga mendapatkan informasi yang penting sehubungan dengan produknya dari pembeli.