Tampilkan postingan dengan label Hukum Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Islam. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 19 September 2015
Pengertian Organisasi Pengelola Zakat (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Hukum, Hukum Islam, Judul Hukum, Judul Hukum Islam)
Organisasi
Pengelola Zakat merupakan sebuah institusi yang bergerak dibidang pengelolaan
dana zakat, infaq, dan shadaqah. Definisi menurut UUNomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan,pengorganisasian, pelaksanaan,
dan pengawasan terhadap pengumpulan,pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
Tujuan Pengelolaan Zakat (Hukum, Hukum Islam, Judul Hukum, Judul Hukum Islam, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI)
Tujuan Zakat, antara
lain[1]:
a.
Mengangkat derajat
fakir-miskin dan membantunya keluar dari kesulitanhidup serta penderitaan.
b.
Membantu pemecahan
permasalahan yang dihadapi oleh para gharimin,ibnussabil, dan mustahiq lainnya.
c.
Membentangkan dan
membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya.
d.
Menghilangkan sifat
kikir pemilik harta
e.
Membersihkan sifat
dengki dan iri(kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin.
f.
Menjembatani jurang
pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat.
g.
Mengembangkan rasa tanggung
jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta.
h.
Mendidik manusia untuk
berdisplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya
Hikmah Pelaksanaan Zakat (Hukum, Hukum Islam, Judul Hukum, Judul Hukum Islam, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI)
Hikmah
dan tujuan zakat ada beberapa macam antara lain yaitu: Pertama, zakat menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan
tangan para pendosa dan pencuri. Nabi saw. bersabda : ”Peliharalah harta-harta
kalian dengan zakat. obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah. Dan
persiapkanlah doa untuk menghadapi malapetaka”
(HR. Abū Dāwud).[1]
Kedua,
zakat merupakan pertolongan bagi
orang-orang fakir dan orang-orang yang sangat memerlukan bantuan. Zakat bisa
membantu orang-orang yang lemah dan memberikan kekuatan serta kemampuan untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah seperti ibadah, dan memperkokoh
iman serta sebagai sarana untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang lain.[2]
Ketiga, zakat bertujuan menyucikan jiwa dari penyakit
kikir dan bakhil. Ia juga melatih seorang muslim untuk bersifat pemberi dan
dermawan. Mereka dilatih untuk tidak menahan diri dari pengeluaran zakat, melainkan
mereka dilatih untuk ikut
andil dalam menunaikan kewajiban sosial, yakni kewajiban
untuk mengangkat (kemakmuran) negara
dengan cara memberikan harta kepada fakir miskin, ketika dibutuhkan atau
dengan mempersiapkan tentara membendung musuh, atau menolong fakir miskin dengan kadar yang
cukup.[3]
Berkaitan dengan pensucian jiwa dan kikir,
Ahmad al-Jūrjawy menjelaskan dengan panjang lebar. Ia mengatakan bahwa jiwa
seseorang cenderung kepada ketamakan atau punya sifat ingin memonopoli
(menguasai) sesuatu secara sendirian. Seorang anak kecil menginginkan ibunya
atau wanita penyusunya tidak menyusui anak yang lain. Apabila ia menyusui anak
lain maka anak susuannya ia akan merasa sakit hati dan berusaha dengan sekuat
tenaganya untuk menjauhkan yang lain dari ibu asuhnya walaupun dengan tangisnya
sebagai tanda akan sakit hatinya. Hal yang serupa terjadi pada golongan hayawan, seekor anak sapi akan menanduk anak
sapi yang apabila ia ikut menyusu induknya.75
Pada umumnya manusia mencintai harta benda
melebihi dari dirinya sendiri, sebagaimana firman Allah: ”Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS. AlKahfi:
46). Al-Quran juga menjelaskan bahwa harta sebagai sebab tindakan durhaka yang melampui batas: ”Sesungguhnya manusia
benar-benar melampui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup” (QS.
al-‘Alaq: 6-7).77[4]
Seseorang yang berusaha mengumpulkan harta dan
menimbunnya sebanyak-banyaknya dengan planing dan program yang akurat hendaknya
al-Quran dijadikan sebagai “azas penyimpanan” harta sebagai pedoman, sehingga
usaha yang ditempuh tidak menimbulkan kerugian pihak lain atau mematikan
usaha-usaha orang lain terutama usaha-usaha yang dikelola golongan orang kecil,
serta terhindar dari tindakan yang mengarah kepada homo homini lupus.
Oleh
karena itulah zakat diwajibkan untuk melatih dirinya berbuat kemuliaan sedikit
demi sedikit sehingga kemuliaan itu
menjadi sifat kepribadiannya. Karena penunaian zakat mensucikan pelakunya dari
dosadosa, sebagaimana dijumpai dalam al-Quran
(tuţahirūhum wa tuzakkihīm) yang
artinya mensucikan dan membersihkan maka dapat juga dikatakan bahwa penyucian
itu memiliki dimensi
ganda. Yang pertama adalah sarana
pembersihan jiwa dari sifat keserakahan bagi penunainya, karena ia dituntut
untuk berkorban demi kepentingan orang lain. Yang kedua zakat berfungsi sebagai
penebar kasih sayang pada kaum yang tak beruntung serta penghalang tumbuhnya
benih kebencian terhadap kaum kaya dari si miskin. Dengan demikian zakat dapat
menciptakan ketenangan dan ketentraman bukan hanya kepada penerimanya, tetapi
juga kepada pemberinya.[5]
Macam-Macam Zakat (Hukum, Hukum Islam, Hukum Islam, Judul Hukum, Konsultasi Skripsi, SKRIPS)
Macam
zakat dalam ketentuan hukum Islam itu ada dua, yaitu zakat fitrah dan zakat
mal. Pertama, zakat Fitrah yang dinamakan juga zakat badan.
Orang yang dibebani untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah orang yang mempunyai
lebih dalam makanan pokoknya untuk dirinya dan untuk keluarganya pada hari dan
malam hari raya, dengan pengecualian kebutuhan tempat tinggal, dan alat-alat
primer.
Jumlah
yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah satu sha’
(satu gantang), baik untuk gandum, kurma, anggur kering, maupun jagung,
dan seterusnya yang menjadi kebiasaan makanan pokoknya. Kalau
standar masyarakat, beras dua
setengah kilogram atau uang yang senilai dengan harga beras itu. Waktu mengeluarkan zakat
fitrah yaitu masuknya malam hari raya Idul Fitri. Kewajiban melaksanakannya, mulai
tenggelamnya matahari sampai tergelincirnya matahari. Dan yang lebih utama
dalam melaksanakannya adalah sebelum
pelaksanaan sholat hari raya, menurut Imamiyah. Sedangkan menurut Syafi’i, diwajibkan untuk mengeluarkan zakat
fitrah adalah akhir bulan Ramadhan dan
awal bulan Syawal, artinya pada tenggelamnya matahari dan sebelum sedikit (dalam jangka waktu dekat) pada hari akhir
bulan Ramadhan. Orang yang berhak menerima
zakat fitrah adalah orang-orang yang berhak menerima zakat secara umum, yaitu orang-orang yang dijelaskan dalam
al-Quran surat-Taubah ayat 60.
Kedua,
zakat māl adalah zakat yang dikeluarkan dari
harta-harta yang dimiliki seseorang dengan dibatasi oleh nisab. Namun dalam
menentukan harta atau barang apa saja yang wajib dikenakan zakat, terjadi
perbedaan pendapat yang semuanya karena perbedaan dalam memandang nas-nas yang
ada. [1]
Para
ulama fikih mazhab Syafi’i, sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab mazhab
ini, dengan bersandar pada al-Quran dan hadis telah menerangkan secara
mendetail jenis harta yang wajib dizakati. Secara global terdiri atas lima
jenis, yaitu binatang ternak, emas dan perak, bahan makanan pokok, buah anggur,
serta barang perdagangan. Dan beberapa macam redaksi yang diungkapkan oleh
para ulama dalam menentukan jumlah harta wajib zakat. Ada yang mengatakan lima jenis sebagaimana
tersebut tadi, bahkan yang tadi adalah
yang yang disepakati oleh imam-imam
mazhab Ulama lain mengatakan delapan macam dengan menguraikan dari lima jenis tersebut, demikian juga yang diungkapkan
oleh Saỹid
Sābiq walaupun dengan redaksi yang berbeda
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat,
pasal 11 menetapkan bahwa zakat terdiri dari atas zakat mal dan zakat fitrah.
Harta yang dikenakan zakat adalah: a. Emas, perak, dan uang; b. Perdagangan dan
perusahaan; c. Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; d. Hasil
pertambangan; e. Hasil perternakan; f. Hasil pendapatan dan jasa; g. Rikaz. Bahkan
Sjechul Hadi Permono menambahkan dengan gaji pegawai/karyawan/dosen dan lain
sebagainya, hasil praktek dokter termasuk kategori butir (f) hasil pendapatan dan jasa[2].
Demikianlah macam
zakat yang ditetapkan dalam agama
Islam atau hukum Islam, sehingga jelas harta atau barang yang apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya. Dengan
pengeluaran zakat itu, harta yang dimiliki akan terbebas dari
hak-hak orang yang berhak dan dikeluarkan juga untuk membersihkan harta yang
dimilikinya. Sedang ketentuan alokasi pendayagunaan atau pendistribusian zakat
telah tertuang secara rinci dalam al-Quran surat at-Taubah: 60, yang terkenal
dengan asnaf delapan. Kita dapat menetapkan dasar pemikiran dalam melakukan kebijaksanaan
pendistribusian zakat sebagai berikut[3]:
a. Allah
SWT telah menetapkan 8 asnaf (golongan)
harus diberi semuanya, Allah hanya
menetapkan zakat dibagikan kepada 8 asnaf, tidak boleh keluar dari itu.
b. Allah
SWT tidak menetapkan perbandingan yang tetap antara bagian masing-masing 8
pokok alokasi (asnaf).
c. Allah
SWT tidak menetapkan zakat harus dibagikan dengan segera setelah masa
pengumpulan zakat, tidak ada ketentuan bahwa semua hasil pungutan zakat (baik
sedikit maupun banyak) harus dibagikan semuanya. Pernyataan surat al-An’ām (6)
ayat 141: “…dan tunaikanlah hak (kewajibannya) di hari memetik hasilnya ….”.
Pernyataan ini hanya menegaskan kesegaraan mengeluarkan zakat, yakni dari muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat)
kepada amil, bukan kesegeraan distribusi
dari amil kepada mustahiq al-zakah.59
d. Allah SWT tidak menetapkan bahwa yang
diserahterimakan itu harus berupa in cash
(uang tunai) atau in kind (natura).
e. Dari
yang tersirat dalam surat (59) al-Hayr
ayat 7, “…..supaya jangan hanya beredar di lingkungan orang-orang yang mampu di
antara kamu…”, pembagian zakat harus bersifat edukatif, produktif dan ekonomis,
sehingga pada akhirnya penerima zakat menjadi tidak memerlukan zakat lagi,
bahkan menjadi wajib.
Itulah pokok-pokok pikiran yang dapat
dijadikan pijakan untuk menformulasikan kembali kebijaksanaan pendistribusian
zakat
Pengertian Zakat (Hukum, Judul Hukum, Hukum Islam, Judul Hukum Islam, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI)
Ditinjau
dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dan zaka yang
berarti berkah, tumbuh bersih, dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan
berkembang, dan seorang itu zaka, berarti orang itu baik. [1]
Menurut
lisan Al-Arab arti sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah,dan terpuji,
semuanya digunakan di dalam Qur’an dan hadist. Menurut Wahidi dan lain-lain,
kata dasar zaka berarti bertumbuh dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan tanaman
itu zaka, artinya tumbuh, sedangkan tiap sesuatu yang bertambah disebut zaka
artinya bertambah.Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zaka disini
berarti bersih.Dan bila seseorang diberi sifat zaka dalam arti baik, maka
berarti orang itu lebih banyak mempunyai sifat yang baik. Seorang itu zaki,
berarti seorang yangmemiliki lebih banyak sifat-sifat orang baik, dan kalimat
”hakim-zaka-saksi”berarti hakim menyatakan jumlah saksi-saksi diperbanyak.Zakat
dari segi istilah fikih berarti ”sejumlah harta tertentu yangdiwajibkan Allah
diserahkan kepada orang-orang yang berhak” disampingberarti ”mengeluarkan
jumlah tertentu itu sendiri.”43 Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu
disebut zakat karena yang dikeluarkan itu ”menambah banyak”. [2]
Sabtu, 12 September 2015
Kepemimpinan Dalam Islam (Hukum Islam, Judul Hukum Islam, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI)
Kepemimpinan menurut
ajaran Islam merupakan kegiatan menuntun, membimbing, memandu dan menunjukkan
jalan yang diridhoi Allah SWT. Dari arti lain secara empiris bahwa kepemimpinan
merupakan proses yang berisi rangkaian kegiatan yang saling pengaruh
mempengaruhi berkesinambungan dan berarah pada satu tujuan tertentu.
Dalam sejarah kehidupan
manusia sudah banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajari, pengalaman
itu perlu dianalisis untuk mendapatkan butir-butir yang berharga dan dapat
dimanfaatkan dalam usaha mewujudkan kepemimpinan yang efektif dan diridhoi
Allah SWT pada masa sekarang dan masa datang.[1]
Untuk memahami salah
satu konsep dasar kepemimpinan dalam Islam adalah melalui pendekatan normatif.
Pendekatan ini bersumber pada Al-Qur’an
dan Hadits yang terbagi atas empat prinsip pokok yaitu ;
1.
Prinsip tanggung jawab
2.
Prinsip etika tauhid
3.
Prinsip keadilan
4.
Prinsip kesederhanaan
Muslim yang mendapat
amanah sebagai eksekutif akan menunjukkan nilai-nilai moral seperti
keteladanan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membawa kebahagian akhirat,
sehingga mereka akan memimpin berdasarkan prinsip. Memimpin bukan hannya
mempengaruhi agar orang lain mengikuti apa yang dinginkannya. Bagi seorang
muslim memimpin berarti memberikan arah atau visi berdasarkan nilai-nilai
kerohanian. Mereka menampilkan diri sebagai teladan dan memberikan inspirasi
bagi bawahannya untuk melaksanakan tugas sebagai keterpanggilan tugas, sehingga
mereka memimpin berdasarkan visi atau mampu melihat dan mampu menjangkau kemasa
depan.[2]
Sebagai umat Islam
contoh yang paling ideal untuk diikuti adalah Rosululloh SAW, beliau mamiliki
sifat yang membuatnya disukai oleh setiap orang yang berhubungan dengannya dan
yang membuatnya menjadi pujaan para pengikutnya. Allah SWT berfirman :
Adapun sifat ideal
pemimpin dalam perspektif Islam adalah[4]
:
1.
Harus mampu dan
mengendalikan dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.
2.
Memiliki kemampuan pemikiran
yang baik karena seorang pemimpin itu dipilih dari orang-orang dengan kualitas
yang baik,
3.
Memiliki konsep relasi
yang baik karena seorang pemimpin harus mampu menjembatani berbagai perbedaan
yang ada ditengah-tengah masyarakat,
4.
Visinya adalah
al-Qur’an misinya adalah menegakkan kebenaran,
5.
Memiliki sifat tawadu’
dan sifat mawas diri dalam mengemban amanah Allah SWT karena pada prinsipnya
kepemimpinan itu bukan saja harus dipertanggungjawabkan didepan lembaga formal
saja akan tetapi yang lebih penting lagi dihadapan Allah,
6.
Memiliki sifat sidiq
(benar), amanah (terpercaya), tabliq (menyampaiak apa adanya), fathonah
(pandai), serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah memberikan karunia kemampuan
yang berbeda-beda bagi setiap orang serta memerintah dengan rasa syukur dan
ikhlas.
Kepribadian seseorang
pada dasarnya bersifat subjektif, karena berisi tentang konsep diri yang
berpengaruh pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya. Sedangkan
kepemimpinan yang dimaksud dalam kepemimpinan adalah sikap dan prilaku yang
ditampilkan secara berulang-ulang yang dikategorikan sama dari banyak orang
oleh seseorang dianggap sebagai kepribadian yang objektif atau yang sebenarnya
dari orang tersebut. Sikap dan prilaku itu memberikan gambaran mengenai
sifat-sifat khas, watak, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki sebagai isi
kepribadian seseorang.[5]
Dengan memperhatikan
pengertian imamah diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan kepemimpinan (Imamah) adalah tanggung jawab umum yang
diberikan kepada manusia sebagai penerus fungsi kenabian yang bertujuan
mengatur agama maupun dunia demi kemaslahatan umat.
Langganan:
Postingan (Atom)