Macam
zakat dalam ketentuan hukum Islam itu ada dua, yaitu zakat fitrah dan zakat
mal. Pertama, zakat Fitrah yang dinamakan juga zakat badan.
Orang yang dibebani untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah orang yang mempunyai
lebih dalam makanan pokoknya untuk dirinya dan untuk keluarganya pada hari dan
malam hari raya, dengan pengecualian kebutuhan tempat tinggal, dan alat-alat
primer.
Jumlah
yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah satu sha’
(satu gantang), baik untuk gandum, kurma, anggur kering, maupun jagung,
dan seterusnya yang menjadi kebiasaan makanan pokoknya. Kalau
standar masyarakat, beras dua
setengah kilogram atau uang yang senilai dengan harga beras itu. Waktu mengeluarkan zakat
fitrah yaitu masuknya malam hari raya Idul Fitri. Kewajiban melaksanakannya, mulai
tenggelamnya matahari sampai tergelincirnya matahari. Dan yang lebih utama
dalam melaksanakannya adalah sebelum
pelaksanaan sholat hari raya, menurut Imamiyah. Sedangkan menurut Syafi’i, diwajibkan untuk mengeluarkan zakat
fitrah adalah akhir bulan Ramadhan dan
awal bulan Syawal, artinya pada tenggelamnya matahari dan sebelum sedikit (dalam jangka waktu dekat) pada hari akhir
bulan Ramadhan. Orang yang berhak menerima
zakat fitrah adalah orang-orang yang berhak menerima zakat secara umum, yaitu orang-orang yang dijelaskan dalam
al-Quran surat-Taubah ayat 60.
Kedua,
zakat māl adalah zakat yang dikeluarkan dari
harta-harta yang dimiliki seseorang dengan dibatasi oleh nisab. Namun dalam
menentukan harta atau barang apa saja yang wajib dikenakan zakat, terjadi
perbedaan pendapat yang semuanya karena perbedaan dalam memandang nas-nas yang
ada. [1]
Para
ulama fikih mazhab Syafi’i, sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab mazhab
ini, dengan bersandar pada al-Quran dan hadis telah menerangkan secara
mendetail jenis harta yang wajib dizakati. Secara global terdiri atas lima
jenis, yaitu binatang ternak, emas dan perak, bahan makanan pokok, buah anggur,
serta barang perdagangan. Dan beberapa macam redaksi yang diungkapkan oleh
para ulama dalam menentukan jumlah harta wajib zakat. Ada yang mengatakan lima jenis sebagaimana
tersebut tadi, bahkan yang tadi adalah
yang yang disepakati oleh imam-imam
mazhab Ulama lain mengatakan delapan macam dengan menguraikan dari lima jenis tersebut, demikian juga yang diungkapkan
oleh Saỹid
Sābiq walaupun dengan redaksi yang berbeda
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat,
pasal 11 menetapkan bahwa zakat terdiri dari atas zakat mal dan zakat fitrah.
Harta yang dikenakan zakat adalah: a. Emas, perak, dan uang; b. Perdagangan dan
perusahaan; c. Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; d. Hasil
pertambangan; e. Hasil perternakan; f. Hasil pendapatan dan jasa; g. Rikaz. Bahkan
Sjechul Hadi Permono menambahkan dengan gaji pegawai/karyawan/dosen dan lain
sebagainya, hasil praktek dokter termasuk kategori butir (f) hasil pendapatan dan jasa[2].
Demikianlah macam
zakat yang ditetapkan dalam agama
Islam atau hukum Islam, sehingga jelas harta atau barang yang apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya. Dengan
pengeluaran zakat itu, harta yang dimiliki akan terbebas dari
hak-hak orang yang berhak dan dikeluarkan juga untuk membersihkan harta yang
dimilikinya. Sedang ketentuan alokasi pendayagunaan atau pendistribusian zakat
telah tertuang secara rinci dalam al-Quran surat at-Taubah: 60, yang terkenal
dengan asnaf delapan. Kita dapat menetapkan dasar pemikiran dalam melakukan kebijaksanaan
pendistribusian zakat sebagai berikut[3]:
a. Allah
SWT telah menetapkan 8 asnaf (golongan)
harus diberi semuanya, Allah hanya
menetapkan zakat dibagikan kepada 8 asnaf, tidak boleh keluar dari itu.
b. Allah
SWT tidak menetapkan perbandingan yang tetap antara bagian masing-masing 8
pokok alokasi (asnaf).
c. Allah
SWT tidak menetapkan zakat harus dibagikan dengan segera setelah masa
pengumpulan zakat, tidak ada ketentuan bahwa semua hasil pungutan zakat (baik
sedikit maupun banyak) harus dibagikan semuanya. Pernyataan surat al-An’ām (6)
ayat 141: “…dan tunaikanlah hak (kewajibannya) di hari memetik hasilnya ….”.
Pernyataan ini hanya menegaskan kesegaraan mengeluarkan zakat, yakni dari muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat)
kepada amil, bukan kesegeraan distribusi
dari amil kepada mustahiq al-zakah.59
d. Allah SWT tidak menetapkan bahwa yang
diserahterimakan itu harus berupa in cash
(uang tunai) atau in kind (natura).
e. Dari
yang tersirat dalam surat (59) al-Hayr
ayat 7, “…..supaya jangan hanya beredar di lingkungan orang-orang yang mampu di
antara kamu…”, pembagian zakat harus bersifat edukatif, produktif dan ekonomis,
sehingga pada akhirnya penerima zakat menjadi tidak memerlukan zakat lagi,
bahkan menjadi wajib.
Itulah pokok-pokok pikiran yang dapat
dijadikan pijakan untuk menformulasikan kembali kebijaksanaan pendistribusian
zakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar