Menurut Nuri Suseno dalam
bukunya yang berjudul Representasi
Politik, bahwa perkembangan
representasi politik dapat diamati
sejauh mana keberadaan Negara dalam
pelaksanaan demokrasinya yang sangat
dipengaruhi oleh perubahan fenomena
politik. Viera dan Runciman
mengatakan bahwa semua negara
modern saat ini merupakan negara
perwakilan. Representasi yang secara
sederhana diartikan “menghadirkan
yang tidak ada atau yang tidak hadir”
berubah untuk memahami praktik
politik demokrasi (Nuri Suseno,
2013:16).
Pada awalnya, menurut Hanna
Pitkin representasi sepanjang sejarah
tidak ada hubungan dengan demokrasi,
ahkan tidak identik dengan demokrasi
itu sendiri. Demokrasi dipandang
sebagai pemerintahan rakyat
sedangkan representasi adalah menghadirkan yang tidak hadir.
Tentunya ini sangat
berlawanan.Demikian pula yang
dikatakan Benard Manin dalam The
Principles of Representative
Government (1997), pemerintahan
perwakilan tidak sama dengan
demokrasi (Nuri Suseno, 2013:26).
Menurut perspektif Manin dalam
melihat state dan civil sebagai
representasi politik dari perspektif
demokrasi, lembaga yang dipandang
sentral didalam pemerintahan
perwakilan adalah “election” atau
pemilihan dengan distinction.Sehingga
dari election lahirlah wakil-wakil
politik.
Menurut Hanna Pitkin,
dikatakan layak seseorang wakil dalam
perspektif demokrasi adalah (1)
authorization (otorisasi), (2) substantive
acting for (tindakan mewakili dalam
artian sesungguhnya), dan (3)
accountability (pertanggungjawaban
atau penanggunggugatan). Dari sini,
paradigma yang semula menentang
antara represtasi dengan demokrasi
berbeda dapat menemukan benang
merahnya (Nuri Suseno, 2013:30-31)
Repsentasi politik dari perspektif
demokrasi cenderung dinamis,
sebagaimana yang diungkap oleh Laura
Montanaro. Montanaro melihat
representasi politik dari intuisi
normative demokrasi, bahwa
representasi tidak harus dari election
(representasi electoral) tetapi adanya
self appointed representation yang
berasal dari individu, kelompok
masyarakat non pemerintahan (lokal,
nasional, atau global). Demokrasi yang
inklusif memungkinkan representasi
politik yang tereklsusikan untuk hadir
dan terwakili diarena pengambilan
keputusan.
Representasi politik sering
dipahami sebagai keterwakilan suatu
pihak atas pihak lain. Namun konsep ini
bukan berarti menjadi konsep mutlak
dari representasi.
Seperti yang
tercantum dalam kutipan berikut:
…the very notion of representation
tells us that the represented is not present.
Prevailing conceptual definitions in any
period are shaped by its advocates who are
themselves formed by their political
representation is both contingent and
contested, a complex combination of
elements that is ill-suited to simple
definition or application... (…gagasan
representasi menunjukkan bahwa pihak
yang direpresentasikan tidak hadir.
Definisi-definisi konseptual yang ada
dalam suatu periode dibentuk oleh para
penganjurnya, mereka sendiri dibentuk
oleh konteks dan prioritas politik pada
masanya.
Makna representasi politik,
dengan demikian, [bersifat] sementara
dan dapat diperdebatkan, sebuah
kombinasi yang kompleks dari unsurunsur yang kurang cocok bagi definisi
atau penerapan yang sederhana…).
(Nuri Suseno, 2013:25)
Kutipan diatas menunjukan
bahwa konsep dari representasi politik
tidak mudah dipahami dan
didefinisikan secara universal. Hal ini
dikarenakan ada banyak perdebatan
mengenai makna dari representasi
politik. Representasi politik terlalu
kompleks dan terdiri dari unsur-unsur
yang sukar untuk didefinisikan.
Representasi politik tidak hanya seputar
wakil dan pihak yang diwakilinya,
namun lebih dari itu.
Menurut Hanna Pitkin,
setidaknya ada 4 pandangan berbeda
tentang representasi yakni formal,
substantif, simbolis dan deskriptif.
Pandangan formal dan deskriptif
melihat representasi pada way of acting
atau acting for. Sedangan pandangan
simbolis dan substantive memandang
dari way of being atau standing for.
Gambaran representasi dari Pitkin sendiri dianggap representasi
tradisonal karena fokus yang kuat pada
pemilu baik pada gagasan maupun
praktik serta fokus yang kuat pada
karakter dan penampilan perwakilan
dari wakil disatu sisi dan mengabaikan
yang diwakili disisi lainnya (Nuri
Suseno, 2013:33-34).
Perkembangan representasi dan
election haruslah dikaitkan dengan
state dan civil serta the people menurut
Urbinati. Sehingga diperlukan
pembenahan pada institusi- institusi
representasi politik. Teori representasi
politik ini tidak semata dikaitkan
dengan agen-agen atau institusiinstitusi pemerintahan tetapi
memandang representasi politik
sebagai bentuk proses politik yang
terstruktur dalam hubungan diantara
institusi- institusi dan masyrakat
sehingga dengan demikian tidak
terbatas hanya pada pemusyawarahan
atau pengambilan keputusan didalam
majelis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar