Kamis, 13 Februari 2020

Tinjauan Tentang Kampanye Pilkada (skripsi dan tesis)

Kampanye lebih merupakan suatu ajang manuver politik untuk menarik sebanyak mungkin pemilih dalam pemilu sehingga bisa meraih kekuasaan. Untuk itu segala cara mungkin dipakai, diantaranya janji-janji yang muluk dan acapkali tidak masuk akal. Kampanye kerap kali sekadar basa-basi politik. Rakyat secara umum bersifat apatis atau yang penting aman. Kampanye yang merupakan bagian dari marketing politik pun dirasa perlu oleh partai-partai politik menjelang pemilu. Setelah pemilu selesai dan kekuasaan diperoleh,  mereka melupakan segala janji yang penting sudah berkuasa, lalu bertindak semau mereka sendiri. Ketidakpercayaan terhadap partai politik semakin kental. Sikap apatis tadi semakin pekat. Orang semakin tak percaya pada politik, sehingga banyak kalangan skeptik yang cukup kritis akhirnya mengambil sikap golput. Menurut masyarakat kelas bawah politik tidak ubahnya pertempuran elite masyarakat dan tidak merubah apapun kondisi yang ada. Pemilu disosialisasikan dengan perebutan dan pembagian kekuasaan ketimbang proses dialogis antara kandidat dan pemilih. Kampanye sebagai suatu proses “jangka pendek”, dimana semakin kuat anggapan tentang tidak relevannya intensitas para kandidat dalam memperkenalkan ide dan gagasan politik yang dimaksudkan untuk sekedar menarik perhatian serta dukungan masyarakat. Masyarakat tidak hanya menilai kandidat dari janji dan harapan yang diberikan selama periode kampanye pendek saja. Cara masyarakat mengevaluasi kandidat juga dipengaruhi oleh kredibilitas dan reputasi politiknya dimasa lalu. 
Setiap keputusan dan perilaku politik akan terekam dalam memori kolektif masyarakat dan inilah yang membentuk persepsi masyarakat mengenai kualitas kandidat. Setiap janji dan harapan yang disampaikan selama periode kampanye akan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan, apakah terdapat kesesuaian atau tidak. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kampanye politik selama ini hanya dilihat sebagai suatu proses interaksi intensif dari partai politik kepada 30 publik dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilu. Dalam defenisi ini, kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik atau perorangan, untuk memaparkan program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikaan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan. Kampanye dalam kaitan ini dilihat sebagai suatu aktivitas pengumpulaan massa, parade, orasi politik, pemasangaan atribut partai (misalnya umbul- umbul, poster, spanduk) dan pengiklanan partai. Periode waktu sudah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Kampanye jangka pendek ini dicirikan dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing kontestan, ketidakpastian hasil dan pengerahan semua bentuk usaha untuk menggiring pemilih ke bilik-bilik pencoblosan serta memberikan suara kepada mereka. Banyak kalangan yang hanya mengartikan kampanye politik sebagai kampanye pemilu. Pemahaman sempit tentang kampanye politik ini membuat semua partai politik dan kontestan individu memfokuskan diri pada kampanye pemilu belaka (dimana rentang waktunya sangat terbatas). Semua usaha, pendanaan, perhatian dan energi dipusatkan untuk mempengaruhi dan memobilisasi pemilih menjelang pemilu. Setelah pemilu usai, aktivitas politik dilupakan. Para kandidat hanya melihat bahwa aktivitas politik adalah aktivitas untuk mencoblos, lalu terjadi pengabaian terhadap keberpihakan serta semangat dalam membantu permasalahan Bangsa dan Negara pasca pemilu. Padahal masyarakat dalam mengevaluasi kualitas kandidat juga melihat apa saja yang  dilakukan dimasa lalu. 
Pengamatan masyarakat tercurah pada semua aktivitas partai dan kandidat individu, bukannya dipusatkan pada kampanye pemilu saja. Melihat kampanye pemilu sebagai kampanye politik sangat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Terdapat ketidaksepakatan tentang pengaruh kampanye pemilu terhadap perilaku poncoblosan (Voting behavior). Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan bahwa kampanye pemilu melalui aktivitas pengiklanan dan debat publik di televisi meningkatkan partisipasi pemilih. Kampanye pemilu diungkapkan hanya berdampak kecil, kalau tidak mau dibilang tidak berdampak, terhadap perilaku pemilih. Gelman dan King dan Bartels (1993) sebagaimana yang dikutip dari Firmansyah (2007:268) menunjukkan bahwa preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh-jauh hari sebelum kampanye pemilu dimulai. Sehingga siapa yang akan memenangkan pemilu dapat dengan mudah ditentukan sebelum pemilu dilaksanakan. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat melihat layak atau tidaknya suatu kandidat tidak hanya terbatas pada kampanye pemilu, melainkan berdasarkan reputasi masa lalu pula.

Tidak ada komentar: