Kampanye lebih merupakan suatu ajang manuver politik untuk menarik
sebanyak mungkin pemilih dalam pemilu sehingga bisa meraih kekuasaan.
Untuk itu segala cara mungkin dipakai, diantaranya janji-janji yang muluk dan
acapkali tidak masuk akal. Kampanye kerap kali sekadar basa-basi politik.
Rakyat secara umum bersifat apatis atau yang penting aman. Kampanye yang
merupakan bagian dari marketing politik pun dirasa perlu oleh partai-partai
politik menjelang pemilu. Setelah pemilu selesai dan kekuasaan diperoleh, mereka melupakan segala janji yang penting sudah berkuasa, lalu bertindak
semau mereka sendiri.
Ketidakpercayaan terhadap partai politik semakin kental. Sikap apatis tadi
semakin pekat. Orang semakin tak percaya pada politik, sehingga banyak
kalangan skeptik yang cukup kritis akhirnya mengambil sikap golput. Menurut
masyarakat kelas bawah politik tidak ubahnya pertempuran elite masyarakat
dan tidak merubah apapun kondisi yang ada. Pemilu disosialisasikan dengan
perebutan dan pembagian kekuasaan ketimbang proses dialogis antara
kandidat dan pemilih.
Kampanye sebagai suatu proses “jangka pendek”, dimana semakin kuat
anggapan tentang tidak relevannya intensitas para kandidat dalam
memperkenalkan ide dan gagasan politik yang dimaksudkan untuk sekedar
menarik perhatian serta dukungan masyarakat. Masyarakat tidak hanya
menilai kandidat dari janji dan harapan yang diberikan selama periode
kampanye pendek saja. Cara masyarakat mengevaluasi kandidat juga
dipengaruhi oleh kredibilitas dan reputasi politiknya dimasa lalu.
Setiap
keputusan dan perilaku politik akan terekam dalam memori kolektif
masyarakat dan inilah yang membentuk persepsi masyarakat mengenai
kualitas kandidat. Setiap janji dan harapan yang disampaikan selama periode
kampanye akan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan, apakah
terdapat kesesuaian atau tidak.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kampanye politik selama ini
hanya dilihat sebagai suatu proses interaksi intensif dari partai politik kepada
30
publik dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilu. Dalam defenisi ini,
kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada
semua kontestan, baik partai politik atau perorangan, untuk memaparkan
program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi
masyarakat agar memberikaan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan.
Kampanye dalam kaitan ini dilihat sebagai suatu aktivitas pengumpulaan
massa, parade, orasi politik, pemasangaan atribut partai (misalnya umbul- umbul, poster, spanduk) dan pengiklanan partai. Periode waktu sudah
ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Kampanye jangka pendek ini dicirikan dengan tingginya biaya yang harus
dikeluarkan oleh masing-masing kontestan, ketidakpastian hasil dan
pengerahan semua bentuk usaha untuk menggiring pemilih ke bilik-bilik
pencoblosan serta memberikan suara kepada mereka. Banyak kalangan yang
hanya mengartikan kampanye politik sebagai kampanye pemilu. Pemahaman
sempit tentang kampanye politik ini membuat semua partai politik dan
kontestan individu memfokuskan diri pada kampanye pemilu belaka (dimana
rentang waktunya sangat terbatas). Semua usaha, pendanaan, perhatian dan
energi dipusatkan untuk mempengaruhi dan memobilisasi pemilih menjelang
pemilu. Setelah pemilu usai, aktivitas politik dilupakan.
Para kandidat hanya melihat bahwa aktivitas politik adalah aktivitas untuk
mencoblos, lalu terjadi pengabaian terhadap keberpihakan serta semangat
dalam membantu permasalahan Bangsa dan Negara pasca pemilu. Padahal
masyarakat dalam mengevaluasi kualitas kandidat juga melihat apa saja yang dilakukan dimasa lalu.
Pengamatan masyarakat tercurah pada semua aktivitas
partai dan kandidat individu, bukannya dipusatkan pada kampanye pemilu
saja. Melihat kampanye pemilu sebagai kampanye politik sangat tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya.
Terdapat ketidaksepakatan tentang pengaruh kampanye pemilu terhadap
perilaku poncoblosan (Voting behavior). Beberapa studi yang dilakukan
menunjukkan bahwa kampanye pemilu melalui aktivitas pengiklanan dan
debat publik di televisi meningkatkan partisipasi pemilih. Kampanye pemilu
diungkapkan hanya berdampak kecil, kalau tidak mau dibilang tidak
berdampak, terhadap perilaku pemilih. Gelman dan King dan Bartels (1993)
sebagaimana yang dikutip dari Firmansyah (2007:268) menunjukkan bahwa
preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh-jauh hari sebelum
kampanye pemilu dimulai. Sehingga siapa yang akan memenangkan pemilu
dapat dengan mudah ditentukan sebelum pemilu dilaksanakan. Hal ini juga
menunjukkan bahwa masyarakat melihat layak atau tidaknya suatu kandidat
tidak hanya terbatas pada kampanye pemilu, melainkan berdasarkan reputasi
masa lalu pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar