1.6. Resolusi
konflik (conflict resolution) memiliki makna yang berbeda-beda menurut
para ahli yang fokus meneliti tentang konflik. Weitzman & Weitzman mendefinisikan resolusi konflik
sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together).
[1]Lain
halnya dengan Fisher et al (2001:7) yang menjelaskan bahwa resolusi konflik
adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru
yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang berseteru. Sedangkan menurut Mindes
(2006:24), resolusi
konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya
dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan
keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan
rasa keadilan.[2]
Menurut
Maftuh resolusi konflik (conflict
resolution) adalah upaya untuk menyelesaikan, mencegah, atau mengatasi
konflik. Dalam pernyataan lebih lanjut disebutkan bahwa resolusi konflik dapat
digunakan secara bergantian dengan pengelolaan konflik (conflict management) yang tidak mempunyai perbedaan mendasar antara
keduanya”. Untuk menyelesaikan konflik antar kelompok sosial-kultural
memerlukan pengelolaan lingkungan dalam waktu lama, seperti penyelesaian
konflik yang terjadi di perusahaan, masyarakat, dan Negara. [3]
Meskipun
demikian, baik resolusi maupun pengelolaan keragaman etnis keduanya melibatkan
tiga strategi untuk menyelesaikan konflik, yakni: pertama penyelesaian
konflik kekerasan oleh pihak-pihak yang berkonflik (negosiasi); kedua
penyelesaian
konflik kekerasan dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediasi); dan ketiga penyelesaian konflik kekerasan melalui
keputusan atau kebijakan
pihak ketiga (arbitrasi).
Simon
Fisher dkk (2000:7) juga menegaskan bahwa pengelolaan konflik berbeda jauh dari
resolusi konflik dimana yang pertama bertujuan membatasi dan menghindari
kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang
berkonflik. Sedangkan yang kedua berusaha secara terarah untuk menangani
sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru antara
kelompok-kelompok yang berkonflik. Dengan demikian, pengelolaan konflik menurut Fisher berkemungkinan
menyelesaikan konflik kekerasan secara permanen dalam jangka panjang.
Sudut
pandang lain tidak hanya memberikan definisi namun juga pada aktor yang
terlibat dalam resolusi konflik. Pandangan mengenai siapa pelaku resolusi
konflik dalam perkembangan generasi telah mengalami berbagai perubahan. Pada
awalnya pelaku resolusi konflik dilakukan melalui pendekatan state-centric. Dimana peran pemerintah
(serta berbagai lembaga negara) menjadi satu-satunya organ yang dapat berperan
dalam resolusi konflik. Selanjutnya berkembang pula pada civil society dan berkurangnya state
centric. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa resolusi konflik dapat
dikonstruksikan pada pada arsitektur kompleks dan komplementar.
Demikian
pula sudut pandang mengenai tahapan dalam resolusi konflik memberikan perbedaan
dalam bagaimana resolusi konflik berjalan. Menurut Wirawan menunjukkan perlunya
intervensi pihak ketiga. Dimana keputusan intervensi pihak ketiga nantinya
final dan mengikat. Kedua, Mediasi. Mediasi ini adalah cara penyelesaian
konflik melalui pihak ketiga juga yang disebut sebagai mediator. Ketiga, Rekonsialisasi.
Proses penyelesaian konflik dengan transormasi sebelum konflik itu terjadi,
dimana masyarakat pada saat itu hidup dengan damai.[4]
Dalam sudut pandang lain menunjukkan bahwa tahapan resolusi konflik meliputi (1) Yudikasi adalah
model penyelesaian mengacu pada hukum yang berlaku, baik syariat Islam atau
undang-undang negara. (2) Abritrase adalah model penyelesaian konflik melalui
orang kepercayaan. (3) Mediasi adalah resolusi konflik dengan cara mempertemukan
pihak-pihak yang berkonflik dengan perantara orang netral yang disetujui
pihak-pihak yang berkonflik. (4) Negosiasi adalah konflik diselesaikan dengan
musyawarah di mana pihak yang berkonflik sama-sama untung dan (5) rekonsiliasi
menyelesaikan dengan sama-sama kedua atau lebih pihak mengakui kesalahan dan
menganggap semua persoalan yang telah ada dianggap tidak ada dan menyepakati
program bersama untuk masa depan.[5]
Menurut Miall (1999) resolusi konflik harus
menggunakan pihak ketiga sebagai mediasi, yaitu: arbitrasi; merupakan
penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang memiliki sumber kekuasaan.
Mediasi adalah penyelesaian konflik oleh
pihak ketiga yang tidak mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menindas
pihak-pihak yang berkonflik agar konflik selesai. Sedangkan menurut Dahrendorf (1986), mediasi
merupakan bentuk yang paling ringan dari campur tangan pihak luar dalam
menyelesaikan pertentangan. Kedua kelompok yang bertentangan sepakat untuk
berkonsultasi dengan pihak luar yang diminta memberikan nasihat. Akan tetapi,
nasihat tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap kelompok yang
bertentangan. Sekilas, hal ini hanya menjanjikan pengaruh sedikit, tetapi dari
pengalaman di berbagai bidang kehidupan sosial menunjukkan bahwa mediasi merupakan
suatu tipe penyelesaian pertentangan yang berhasil.
Fisher menyatakan bahwa
penyelesaian suatu konflik yang terjadi dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu: (1). Negosiasi, proses untuk memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik
untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan pilihan dan mencapai penyelesaian
melalui interaksi tatap muka; (2) Mediasi, suatu proses interaksi yang dibantu
oleh pihak ketiga sehingga pihak-pihak yang berkonflik menemukan penyelesaian
yang mereka sepakati sendiri; (3) Arbitrasi atau perwalian dalam sengketa,
tindakan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan dan
menjalankan suatu penyelesaian. [6]
Menurut Miall
menyatakan bahwa tugas penyelesaian konflik adalah
membantu pihak-pihak yang merasakan situasi yang mereka alami sebagai sebuah
situasi zero – sum (keuntungan diri sendiri adalah kerugian pihak
lain). Agar melihat konflik sebagai keadaan non-zero-sum (di mana kedua belah
pihak sehingga mengarah ke hasil yang positif). Untuk menciptakan hasil non- zero-
sum, mewajibkan akan adanya pihak yang berfungsi menyelesaikan konflik. [7]
Sedangkan
menurut Johan Galtung memperkenalkan tiga pendekatan perdamaian dalam resolusi
konflik. Pertama, pemeliharaan
perdamaian (peacekeeping), yaitu upaya untuk mengurangi atau menghentikan
kekerasan melalui intervensi yang dilakukan oleh pihak penengah, umumnya
dilakukan oleh militer. Kedua,
penciptaan perdamaian (peacemaking), yaitu upaya untuk menciptakan kesepakatan
politik antarpihak yang bertikai, baik melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi,
maupun konsolidasi. Ketiga,
pembangunan perdamaian (peacebuilding) yaitu upaya rekonstruksi dan pembangunan
sosial ekonomi pasca konflik untuk membangun perubahan sosial secara damai.
Dengan tiga tahapan ini, diharapkan konflik bisa terselesaikan sampai ke akar
masalah, sehingga di masa mendatang konflik tersebut tidak pecah kembali. [8]
Dalam
penelitian ini akan mengguanakan teori yang dikemukakan oleh Elli Y Setiadi
yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi dapat diselesaikan dalam beberapa
proses integrasi social. Integrasi social merupakan penyatuaduan dari kelompok
masyarakat dengan asal berbeda menjadi satu kelompok besar. Hal sama terjadi
dalam konflik Kalbar dimana konflik muncul karena adanya perbedaan dari
kelompok-kelompok kecil. Penyelesaian muncul untuk memberikan kesatupaduan
kelompok-kelompok kecil tersebut dalam satu kelompok masyarakat besar yang
saling berbaur. Dengan demikian kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki
akar kebudayaan namun menjunjung loyalitas terhadap kelompok masyarakat besar. [9]
Adapun
proses resolusi konflik melalui integrasi social tersebut menempuh tahapan
sebagai berikut:
a.
Proses interaksi
Proses interaksi merupakan proses paling awal untuk
membangun suatu kerjasama dengan ditandai adanya kecenderungan positif yang
dapat melahirkan aktivitas bersama. Porses interaksi diladasi dengana danya
saling pengerttian dengan aling menjaga hak dan kewajban antar pihak
b.
Proses identifikasi
Proses interaksi dapat berlanjut menjadi proses
identifikasi jika masing-masing pihak dapat menerima dan memahami keberadaan
pihak lain seuuthnya. Pada dasarnya proses identifikasi adalah proses untuk
memahami sifat dan keberadaan orang lain. Jika berlangsung dengan lancer,
proses ini menghasilkan hubungan kerja yang lancer sehingga menghasilkan
hubungan kerjasama yang lebih erat. Hal itu disebabkan masing-masing pihak
mengetahui karakternya dan saling menjaga hubungan tersebut
c.
Kerjasama
Kerjasama timbul apabila setiap orang menyadari bahwa
mereka semua mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan
mereka mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk
memenuhi kepentingan tersebut melalui kerja sama, kesadaran terhadap kepentingan sama dan adanya
organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.
d.
Akomodasi
Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan
pertentangan tanpa menhancurkan pihak lawan sehingga lawan kehilangan
kepribadiannya. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang
dihadapinya, yaitu:
1)
Mengurangi pertentangan antara orang perseorangan atau
kelompk manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi dalam hal ini
bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesis antara kedua pendapat tersebut agar
menghasilkan pola yang baru.
2)
Mencegah meledaknya suatu pertentangan, untuk
sementara waktu atau secara temporer
3)
Akomodasi kadang-kadang diusahakan untuk memungkinkan
terjadinya kerjasama antara kelompok social yang sebagainya akibat faktor
social, psikologis dan kebudayaan, hidup terpisah seperti yang dijumpai pada
masyarakat yang mengenal sstem berkasta
4)
Mengusahakan peleburan antara kelompok social yang terpisah,
misalkan perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti yang luas
e.
Asimilasi
Proses social dalam taraf kelanjutan yang ditandai dengan
adanya usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang perseorangan atau
kelompok manusia dan meliputi saha-usaha untuk meningkatkan kesatuan tindak,
sikap dan proses-proses mental dengan meperhatikan kepentingan-kepentingan dan
tujuan-tujuan bersama secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan
pengembangan sikap-sikap yang sama.
f.
Integrasi
Proses penyesuaian antara unsur masyarakat yang berbeda sehingga membentuk
keserasian fungsi dalam kehidupan. Apabila dua pihak atau lebih yang akan
terintegrasi mampu mejalankan peran masing-masing, akan terbentuk hubungan
dalam masyarakat yang dinamakan integrasi social. Dalam integrasi social
terdapat kesamaan pola piker, gerak langkah, tujuan serta orientasi serta
keserasian fungsi dalam kehidpan. Hal ini dapat mewujudkan keteraturan sosial
dalam masyarakat.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa resolusi konflik hadir sebagai proses pemufakatan atau perdamaian dalam
menyamakan persepsi dan cara pandang yang dimiliki oleh individu dan kelompok
sebagai sebuah nilai bangsa. . Resolusi konflik juga menyarankan
penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan
konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk
memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak
ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik dalam
memecahkan masalahnya.
Oleh karenanya dalam langkah pemufakatan ini maka menuntut adanya proses mediasi dan refleksi sebagai langkah komunikasi
menyatukan persepsi untuk mencari sebuah solusi yang mendamaikan. Dimana
dalam tahapannya menggunakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar