Para
pelaku bisnis perbankan dituntut untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan
kepada nasabah secara cepat, ramah dan mudah. Hal ini penting, agar terjalin
hubungan yang harmonis antara bank dengan nasabah dalam upaya memacu
pertumbuhan ekonomi, sehingga kesejahteraan warga lebih meningkat. Sebuah
pelayanan yang baik merupakan kunci utama bagi bisnis perbankan, untuk menambah
kepercayaan nasabah baik yang menabung maupun yang mengajukan kredit agar dunia
usaha lebih bergairah.
Ada
beberapa tujuan dari perbankan Islam. Diantara para ilmuwan dan para
professional Muslim berbeda pendapat mengenai tujuan tersebut. Menurut,
Handbook of Islamic Banking, perbankan Islam ialah menyediakan fasilitas
keuangan dengan cara mengupayakan instrumen-instrumen keuangan (Finansial
Instrumen) yang sesuai dengan ketentuan dan norma syari’ah. Menurut Handbook of
Islamic Banking, bank Islam berbeda dengan bank konvensional dilihat dari segi partisipasinya
yang aktif dalam proses pengembangan sosial ekonomi negara-negara Islam yang
dikemukakan dalam buku itu, perbankan Islam bukan ditujukan terutama untuk
memaksimalkan keuntungannya sebagaimana halnya sistem perbankan yang
berdasarkan bunga, melainkan untuk memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi
orang-orang Muslim.
Dalam
buku yang berjudul Toward a Just Monetary System, Muhammad Umar Kapra
mengemukakan bahwa suatu dimensi kesejahteraan sosial dapat dikenal pada suatu
pembiayaan bank. Pembiayaan bank Islam harus disediakan untuk meningkatkan
kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Usaha yang sungguh-sungguh yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa
pembiayaan yang dilakukan bank-bank Islam tidak akan meningkatkan konsumsi
meskipun sistem Islam telah memiliki pencegahan untuk menangani masalah ini.
Pembiayaan tersebut harus dapat dinikmati oleh pengusaha sebanyak-banyaknya
yang bergerak dibidang industri pertanian dan perdagangan untuk menunjang kesempatan
kerja dan menunjang produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
Para
Banker Muslim beranggapan bahwa peranan bank Islam semata-mata komersial
berdasarkan pada instrumen-instrumen keuangan yang bebas bunga dan ditunjukkan
untuk menghasilkan keuangan finansial. Dengan kata lain para banker muslim
tidak beranggapan bahwa suatu bank Islam adalah suatu lembaga sosial, dalam
suatu wawancara yang dilakukan oleh Kazarian, Dr. Abdul Halim Ismail, manajer bank
Islam Malaysia Berhaj, mengemukakan, “sebagaimana bisnis muslim yang patuh,
tujuan saya sebagai manajer dari bank tersebut (Bank Malaysia Berhaj) adalah
semata-mata, mengupayakan setinggi mungkin keuntungan tanpa menggunakan
instrumen-instrumen yang berdasarkan bunga. Bank syari’ah mempunyai ciri yang
berbeda dengan bank konvensional. Ciri-ciri ini bersifat universal dan
kualitatif, artinya Bank Syari’ah beroperasi dimana harus memenuhi ciri-ciri
tersebut.
a.
Beban biaya yang telah
disepakati pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal
yang besarnya tidak kaku dan dapat ditawar dalam batas yang wajar.
b.
Penggunaan prosentasi
dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan. Karena
prosentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun utang pada batas waktu
perjanjian telah berakhir.
c.
Didalam kontrak
pembiayaan proyek bank tidak menetapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang
pasti yang ditetapkan dimuka. Bank Syari’ah menerapkan sistem berdasarkan atas
modal untuk jenis kontrak al mudharabah dan al musyarakah dengan sistem bagi hasil
yang tergantung pada besarnya keuntungan. Sedangkan penetapan keuntungan dimuka
ditetapkan pada kontrak jual beli melalui pembiayaan pemilikan barang, sewa
guna usaha, serta kemungkinan rugi dari kontrak tersebut amat sedikit.
d.
Pengarahan dana
masyakat dalam bentuk deposito atau tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai
titipan sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai
pernyataan dana pada proyek yang dibiayai oleh bank sesuai dengan
prinsip-prinsip syari’ah hingga kepada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang
pasti. Bentuk yang lain yaitu giro dianggap sebagai titipan murni karena
sewaktu-waktu dapat ditarik kembali dan dapat dikenai biaya penitipan.
e.
Bank syari’ah tidak
menerapkan jual beli atau sewa-menyewa uang dari mata uang yang sama dan
transaksinya itu dapat menghasilkan keuntungan. Jadi mata uang itu dalam
memberikan pinjaman pada umumnya tidak dalam bentuk tunai melainkan dalam
bentuk pembiayaan pengadaan barang selama pembiayaan, barang tersebut milik
bank.
f.
Adanya dewan syari’ah
yang bertugas mengawasi bank dari sudut syari’ah.
g.
Bank syari’ah selalu
menggunakan istilah-istilah dari Bahasa Arab dimana istilah tersebut tercantum
dalam fiqih Islam.
h.
Adanya produk khusus
yaitu pembiayaan tanpa beban murni yang bersifat sosial, dimana nasabah tidak
berkewajiban untuk mengembalikan pembiayaan.
i.
Fungsi lembaga bank
juga mempunyai fungsi amanah yang artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung
jawab atas keamanan dana yang telah dititipkan dan siap sewaktu-waktu apabila
dana ditarik kembali sesuai dengan perjanjian.
Selain
karakteristik diatas, bank syari’ah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Dalam bank syari’ah
hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan kontrak (akad) antara investor
pemilik dana dengan investor pengelola dana bekerja sama untuk melakukan
kerjasama untuk yang produktif dan sebagai keuntungan dibagi secara adil.
Dengan demikian dapat terhindar hubungan eksploitatif antara bank dengan
nasabah atau sebaliknya antara nasabah dengan bank.
b.
Adanya
larangan-larangan kegiatan usaha tertentu oleh bank syari’ah yang bertujuan
untuk menciptakan kegiatan perekonomian yang produktif {larangan menumpuk harta
benda (sumber daya alam)} yang dikuasai sebagian kecil masyarakat dan tidak
produktif, menciptakan perekonomian yang adil (konsep usaha bagi hasil dan bagi
resiko) serta menjaga lingkungan dan menjunjung tinggi moral (larangan untuk proyek
yang merusak lingkungan dan tidak sesuai degan nilai moral seperti minuman
keras, sarana judi dan lain-lain).
c.
Kegiatan usaha bank
syari’ah lebih variatif dibanding bank konvensional, yaitu bagi hasil sistem
jual beli, sistem sewa beli serta menyediakan jasa lain sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai dan prinsip-prinsip syari’ah.
Menurut
Kotler (2005), salah satu konsep yang merupakan dasar pelaksanaankegiatan
pemasaran suatu organisasi adalah Konsep Pemasaran Sosial Konsep ini
berpendapat bahwa tugas organisasi adalah menentukan kebutuhan, keinginan dan
kepentingan pasar sasaran serta memberikan kepuasan yang diharapkan dengan cara
yang lebih efektif dan efisien daripada para pesaing dengan tetap melestarikan
atau meningkatkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat.
Menurut
data Bank Indonesia, tahun 2012 sudah
ada 11 Bank Umum Ssyariah (BUS), 24 Bank Syariah dalam bentuk Unit Usaha
Syariah (UUS), dan 156 BPRS, dengan
jaringan kantor meningkat dari 1.692 kantor di tahun sebelumnya menjadi 2.574
di tahun 2012, Dengan demikian jumlah jaringan kantor layanan perbankan syariah
meningkat sebesar 25,31%. (Data
diperoleh pada 17 Desember 2012).
Aset
perbankan syariah saat ini sudah mencapai
Rp.179 Triliun (4,4 % dari asset perbankan nasional), Sementara DPK Rp.
137 Triliun. Suatu hal yang luar
biasa adalah, total pembiayaan yang disalurkan perbankan
syariah sebesar Rp 139 Triliun, melebihi
jumlah DPK, Ini berarti FDR perbankan syariah di atas 100 persen. Data ini
menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan syariah untuk menggerakan
perekenomian, sangatlah besar.
Pertumbuhan asset, DPK dan pembiayaan juga relative masih
tinggi, masing-masingnya adalah, aset
tumbuh ± 37%, DPK tumbuh ± 32%, dan Pembiayaan
tumbuh ± 40%). Satu hal yang perlu dicatat, bahwa market share
pembiayaan perbankan syariah dibanding konvensional, sudah melebihi dari lima
persen, tepatnya 5,24 %.
Jumlah
nasabah pengguna perbankan syariah dari tahun ke tahun meningkat signifikan,
dari tahun 2011-2012 tumbuh sebesar 36,4
%. Kini jumlah penggunanya 13,4 juta
rekening (Okt’ 2012, 36,4% – yoy), baik
nasabah DPK maupun nasabah pembiayaan. Apabila pada tahun 2011 jumlah pemilik
rekening sebanyak 9,8 juta, maka di tahun 2012 menjadi 13,4 juta rekening,
berarti dalam setahun bertambah sebesar 3,6 juta nasabah.
Dengan
pertumbuhan yang besar tersebut, maka akan semakin banyak masyarakat yang
terlayani. Makin meluasnya jangkauan perbankan syariah menunjukkan peran perbankan syariah makin besar untuk
pembangunan ekonomi rakyat di negeri ini. Kita punya obsesi, perbankan
syariah seharusnya tampil sebagai garda
terdepan atau lokomotif terwujudnya
financial inclusion. Hal ini disebabkan karena missi dasar dan utama syariah adalah pengentasan kemiskinan
dan pembangunan kesejahteraan seluruh
lapisan masyarakat. Bank syariah harus dinikmati masyarakat luas bahkan di masa
depan sampai ke pedesaan, seperti BRI. Seluruh
bentuk hambatan yang bersifat price maupun nonprice terhadap akses
lembaga keuangan, harus dikurangi dan dihilangkan.
Menurut
survey Bank Dunia (2010), hanya 49
persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal.
Dengan demikian masyarakat yang tidak memiliki tabungan baik di bank maupun di
lembaga keuangan non bank relative masih tinggi, 52 %. Kehadiran bank-bank
syariah yang demikian cepat pertumbuhannya diharapkan akan mendekatkan
masyarakat kepada lembaga keuangan formal, seperti perbankan syariah.
Satu
lagi kiprah bank syariah yang patut diapresiasi adalah peran sosialnya yang
cukup besar di samping menjalankan bisnis perbankan. Peran social itu tercermin
dari beberapa lini. Pertama, penghimpunan dan penyaluran dana zakat,
infaq, sedeqah, waqaf uang, serta dana CSR. Selama tahun 2012
(s.d Okt’2012) jumlah dana social yang telah dikumpulkan dan/atau disalurkan perbankan syariah (8 Bank
UumumSyariah ditambah 4 Bank UUS), total Rp 94, 9 milyar, yang terdiri
dari CSR Rp.42,2 milyar, sedangkan ZISWaf Rp. 52,7 milyar.
Peran
social yang dimainkan perbankan syariah merupakan amanat dari UU No 21/2008
tentang Perbankan Syariah. Menurut UU tersebut, Bank Syariah dan UUS dapat
menjalankan fungsi sosial dalam bentuk
penerimaan dana zakat, infak, sedekah atau dana sosial lain dan
menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu juga bisa menghimpun
dana wakaf (uang) dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai
kehendak pemberi wakaf (wakif)
Kedua
peran socio-ekonomi perbankan syariah yang berdimensi financial inclusion terlihat dalam dua hal, yaitu linkage program
BPRS senilai Rp.207,2 milyar dan kedua
linkage program BMT Rp.439,2 milyar. Total Rp 646,4 milyar. Pelaksanaan
fungsi sosial ini merupakan refleksi peranan perbankan syariah dalam
pemerataan kesejahteraan ekonomi umat.
Andri
Soemitro (2009) ternyata bahwa operasi perbankan Islam dikendalikan oleh tiga
prinsip dasar yaitu (a) dihapuskannya bunga dalam segala bentuk transaksi, (b)
dilakukannya segala bisnis yang sah, berdasarkan hukum serta perdagangan
komersil dan perusahaan industri, serta (c) memberikan pelayanan sosial yang
tercermin dalam penggunaan dana-dana zakat untuk kesejahteraan fakir-miskin.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimulai dengan ide mendirikan bank
Muamalat pada tahun 1992.
Bank
syariah baru mendapatkan perhatian semua pihak setelah dikeluarkan UU Nomor
10/1998 tentang perubahan UU Nomor 7/1992 tentang perbankan dimana dalam UU
tersebut telah diatur tentang perbankan syariah, karena bank syariah telah
membuktikan memiliki berbagai keunggulan dalam mengatasi dampak krisis ekonomi.
Namun diawal pendirian bank syariah di Indonesia banyak hambatan terealisasinya
ide pendirian bank syariah tersebut. Alasan tersebut diantaranya adalah operasi
bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur dan oleh karena
itu tidak sejalan dengan undang-undang pokok perbankan yang berlaku yaitu UU No
14 tahun 1967. Alasan lainnya adalah konsep bank syariah dari segi politis
berkonotasi ideologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep
negara Islam dan karena itu, tidak dikehendaki pemerintah (Muhammad, 2005).
Berdasarkan
hasil penelitian Ahzar dan Trisnawati (2013) yang dilakukan terhadap
Laporan Tahunan Bank Syariah dari berbagai sumber, dapat disimpulkan bahwa :
a. Secara
umum kegiatan CSR yang dilakukan oleh bank syariah di ndonesia mengarah pada
kegiatan sosial. Kegiatan tersebut antara lain seperti memberikan bantuan
sosial kepada anak yatim, penyaluran dana zakat, bantuan kepada korban bencana,
penanaman bibit pohon, bantuan untuk pendidikan, bantuan kesehatan kepada
masyrakat.
b. Pengungkapan
Islamic Social Responsibility (ISR) yang dilakukan oleh masing-masing Bank
Syariah terlihat bahwa bank Mega Syariah sebesar 50.68%. Kemudian BRI Syariah
memperoleh skor dengan mencapai prosentase sebesar 50.68%. Selanjutnya pada
bank Syariah Mandiri 48.80%, bank Muamalat Indonesia 47.95%, dan terakhir pada
bank Bukopin Syariah 45.67%.
c. Hasil
rata-rata skoring pada semua bank syariah pada penelitian ini yaitu sebesar
48.75%. Sedangkan untuk rata-rata tiap indikator yaitu indikator investasi dan keuangan
sebesar 8.58%, indikator produk dan jasa 3.56%, indikator tenaga kerja 10.48%,
indikator sosial 10.3%, indikator lingkungan 3.1%, indikator tata kelola
organisasi 12.54%.
Menurut Erwanda (2013), Salah satu jenis bank yang
memainkan peranan penting dalam pengungkapan tanggung jawab sosial adalah bank
syariah. Menurut Meutia (2010: 3), bank syariah seharusnya memiliki dimensi
spiritual yang lebih banyak. Dimensi spiritual ini tidak hanya menghendaki
bisnis yang non riba, namun juga mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
luas, terutama bagi golongan masyarakat ekonomi lemah. Menurut Yusuf (2010:99),
posisi bank syariah sebagai lembaga keuangan yang sudah eksis di tingkat
nasional maupun internasional harus menjadi lembaga keuangan percontohan dalam menggerakkan
program CSR.
Pelaksanaan
program CSR bank syariah bukan hanya untuk memenuhi amanah undang-undang, akan
tetapi lebih jauh dari itu bahwa tanggung jawab sosial bank syariah dibangun
atas dasar falsafah dan tasawwur (gambaran) Islam yang kuat untuk menjadi salah
satu lembaga keuangan yang dapat mensejahterakan masyarakat. Yusuf (2010:100) menambahkan,
program CSR perbankan syariah harus benar-benar menyentuh kebutuhan asasi
masyarakat untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat.
Bagi umat Islam
kegiatan bisnis termasuk bisnis perbankan tidak akan pernah terlepas dari
ikatan etika syariah. Muhammad (2005:11) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
akuntansi syariah adalah "konsep dimana nilainilai Al-Quran harus dijadikan
prinsip dasar dalam aplikasi akuntansi". Menurut Yusuf (2010:101-102), CSR
dalam Islam bukanlah sesuatu yang baru, tanggung jawab sosial sangat sering
disebutkan dalam Al-Qur'an. Dalam Surah Al-Baqarah 205 dan Al-A’raaf 56
dijelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan membuat kerusakan di muka bumi.
Melalui ayat tersebut, Islam melakukan koreksi terhadap perilaku dunia bisnis
khususnya perbankan syariah dalam beraktivitas sosial. Itulah sebabnya patut
menjadi perhatian tentang beberapa perkara. Pertama, di zaman sekarang ini bank
syariah wajib mendorong umat agar lebih aktif berperan serta dalam pertumbuhan
dan perkembangan ekonomi demi kemajuan umat. Kedua, bank syariah juga harus berperan
agar lebih giat lagi dalam komitmen sosial yang akan memiliki dampak kepada
kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Dalam ayat ini juga dijelaskan secara
nyata bagaimana Islam sangat memperhatikan kelestarian alam. Segala usaha, baik
dalam bentuk bisnis maupun non-bisnis harus menjamin kelestarian alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar