Bisnis
pebankan adalah bisnis jasa, asa merupakan suatu kinerja penampilan, tidak
berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta
pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa
tersebut. Definisi jasa dalam strategi pemasaran harus diamati dengan baik,
karena pengertiannya sangat berbeda dengan produk berupa barang. Kondisi dan
cepat lambatnya pertumbuhan jasa akan sangat tergantung pada penilaian
pelanggan terhadap kinerja (penampilan) yang ditawarkan oleh pihak produsen (J.
Supranto, 1997). Kotler (1994) dalam
Fandy Tjiptono (1996), “jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat
ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat
intangibles (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu”.
Sedangkan
menurut Fandy Tjiptono (1997), “jasa sebagai aktivitas, manfaat atau kepuasan
yang ditawarkan untuk dijual”. Rambat Lupiyoadi (2001:5) juga mendefinisikan
“jasa adalah Semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam
bentuk fisik atau konstruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang sama
dengan waktu yang dihasilkan dan memberikan nilai tambah (seperti misalnya
kenyamanan, hiburan kesenangan atau kesehatan) atau pemecahan akan masalah yang
dihadapi konsumen.”
Berdasarkan
beberapa definisi diatas dapat diartikan bahwa didalam penyediaan jasa Perbankan
selalu ada aspek interaksi antara pihak konsumen dan pemberi jasa, meskipun
pihak-pihak yang terlibat tidak selalu menyadari. Jasa bukan merupakan barang
tetapi suatu proses atau aktivitas yang tidak berwujud.
Penilaian
masyarakat terhadap bank dipengaruhi oleh bagaimana masyarakat tersebut
memaknai produk bank atau pelayanan yang diterima. Menurut Bedi (2010)
memberikan layanan yang berkualitas tinggi adalah suatu keharusan untuk
mencapai kepuasan pelanggan. Bagi pelanggan, kualitas pelayanan dan kepuasan
pelanggan berasal dari layanan yang terorganisir. Secara sederhana kinerja
keuangan sesungguhnya bersumber pada kesetiaan pelanggan. Pelanggan yang setia
dapat menghemat biaya hingga empat sampai lima kali dibandingkan biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan pelangan baru. Kenyataan ini menjadi tantangan
tersendiri bagi dunia perbankan, yaitu bagaimana menciptakan keinginan
pelanggan untuk menggunakan produk dan jasa perusahaan serta menjalin hubungan
yang dekat dengan nasabahnya (Suhardi, 2006).
Masyarakat kini semakin selektif dalam memilih
jasa perbankan untuk menempatkan dana yang dimiliki guna menghindari risiko
kehilangan akibat buruknya kinerja suatu perbankan. Dalam hal ini, unsur
kepercayaan menjadi faktor kunci bagi perusahaan untuk memenangkan persaingan.
Kepercayaan juga sangat diperlukan untuk membangun dan mempertahankan hubungan
jangka panjang (Akbar dan Parves, 2009). Komitmen nasabah yang tinggi terhadap
perusahaan akan menjamin kelangsungan bisnis jangka panjang
Perubahan
lingkunganyang demikian pesat semakin mendukung kompetisi yang sedang terjadi
saat ini. Menurut Dick dan Basu (1994), salah satu tujuan utama aktivitas
pemasaran seringkali dilihat dari pencapaian loyalitas pelanggan melalui
strategi pemasaran (Siregar, 2004). Loyalitas pelanggan merupakan bagian
terpenting pada pengulangan pembelian pada pelanggan (Caruana, 2002). Menurut
Reichheld dan Sasser (1990), loyalitas pelanggan memiliki korelasi yang positif
dengan performa bisnis (Beerli dkk., 2004). Menurut Castro dan Armario (1999),
loyalitas pelang-gan tidak hanya meningkatkan nilai dalam bisnis, tetapi juga
dapat menarik pelanggan baru (Beerli dkk., 2004).
Pada
jangka pendek, memperbaiki loyalitas pelanggan akan membawa profit pada
penjualan. Profit merupakan motif utama konsistensi bisnis, karena dengan
keuntungan maka roda perputaran bisnis dari variasi produk dan jasa yang
ditawarkan maupun perluasan pasar yang dilayani (Soeling, 2007). Dalam jangka panjang,
memperbaiki loyalitas umumnya akan lebih profitabel, yakni pelanggan bersedia
membayar harga lebih tinggi, penyediaan layanan yang lebih murah dan bersedia
merekomendasikan ke pelanggan yang baru (“Managing Customer”, 1995).
Kepuasan
pelanggan merupakan kunci dalam menciptakan loyalitas pelanggan. Banyak manfaat
yang diterima oleh perusahaan dengan tercapainya tingkat kepuasan pelanggan
yang tinggi, yakni selain dapat meningkatkan loyalitas pelanggan tapi juga
dapat mencegah terjadinya perputaran pelanggan, mengurangi sensitivitas
pelanggan terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan pemasaran, mengurangi
biaya operasi yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatkan
efektivitas iklan, dan meningkatkan reputasi bisnis (Fornell, 1992 dalam
Ariyani dan Rosinta, 2010).
Keputusan
perusahaan melakukan tindakan perbaikan pelayanan yang sistematis merupakan
payung yang menentukan dalam menindaklanjuti komplain konsumen dari suatu
kegagalan sehingga pada akhirnya mampu mengikat loyalitasi konsumen (Elu,
2005). Kepuasan pelanggan menjadi parameter penting sehingga bisnis dapat terus
berkelanjutan. Sebuah riset tahun 2004 yang dilakukan oleh J.D. Power,
perusahaan spesialis pengukur kepuasan pelanggan dalam industri otomotif, membuktikan
bahwa perusahaan yang berhasil meningkatkan kepuasan pelanggan dalam jangka
waktu lima tahun (1999-2004) mengalami kenaikan nilai bagi pemegang sahamnya
sebesar +52%.
Sebaliknya,
perusahaan yang mengalami penurunan nilai kepuasan pelanggan, pemegang sahamnya
juga mengalami penurunan nilai sebesar -28%. Riset Claes Fornell juga membuktikan,
di masa krisis 2008, saham perusahaan dengan Indeks Kepuasan Pelanggan Amerika
(American Customer Satisfaction Index/ACSI) yang baik, hanya menurun -33%,
sedangkan perusahaan dengan indeks yang buruk menurun -55%. Jadi, kepuasan
konsumen bukan saja berharga di masa ekonomi baik, tetapi juga di saat ekonomi
buruk (Lestari, 2009).
Semakin
tingginya tingkat persaingan, akan menyebabkan pelanggan menghadapi lebih
banyak alternative produk, harga dan kualitas yang bervariasi, sehingga
pelanggan akan selalu mencari nilai yang dianggap paling tinggi dari beberapa
produk (Kotler, 2005). Kualitas yang rendah akan menimbulkan ketidakpuasan pada
pelanggan, tidak hanya pelanggan yang makan di restoran tersebut tapi juga
berdampak pada orang lain. Karena pelanggan yang kecewa akan bercerita paling
sedikit kepada 15 orang lainnya. Dampaknya, calon pelanggan akan menjatuhkan
pilihannya kepada pesaing (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006). Upaya perbaikan sistem
kualitas pelayanan, akan jauh lebih efektif bagi keberlangsungan bisnis.
Menurut
hasil riset Wharton Business School, upaya perbaikan ini akan menjadikan
konsumen makin loyal kepada perusahaan (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006). Konsep
dari kualitas layanan, kepuasan dan loyalitas saling berhubungan satu dengan
yang lain. Secara teoritis, dalam prosesnya dapat memberikan acuan pada
penelitian ini, dimana kualitas layanan mempengaruhi loyalitas baik secara
langsung maupun mempengaruhi loyalitas secara tidak langsung melalui kepuasan
pelanggan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar