Keuangan daerah merupakan
bagian integral dari keuangan negara dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi,
pemerataan hasil-hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi guna
stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah menjadi semakin penting
karena adanya keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi
dan bantuan. Selain itu juga karena semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi
daerah yang pemecahannya membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat di
daerah. Peranan keuangan daerah akan dapat meningkatkan kesiapan daerah untuk
mendorong terwujudnya otonomi daerah yang lebih nyata dan bertanggungjawab.
Mamesah (1995) mengemukakan
bahwa keuangan negara ialah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat
dijadikan kekayaan negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Kekayaan daerah ini sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh
negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak-pihak lain sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku.
Pemerintah daerah sebagai
sebuah institusi publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan memerlukan sumber dana atau modal untuk dapat membiayai
pengeluaran pemerintah tersebut (goverment
expenditure) terhadap barang-barang publik (public goods) dan jasa pelayanan. Tugas ini berkaitan erat dengan
kebijakan anggaran pemerintah yang meliputi penerimaan dan pengeluaran.
Pengaturan keuangan daerah merupakan
di antaranya mencakup penegasan hubungan keuangan pusat dan daerah. Davey
(1989) menegaskan hubungan keuangan pusat dan daerah, pada prinsipnya lebih
menyangkut persoalan tentang pembagian kekuasaan. Terutama hak mengambil
keputusan mengenai anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya.
Tujuannya adalah mencapai
adanya kesesuaian dengan peranan yang dimainkan oleh pemerintah daerah (Devas,
1989). Davey (1989) mengidentifikasikan 2 bentuk utama peranan Pemda yang
masing-masing membutuhkan dukungan format kebijakan keuangan yang berbeda.
Kedua peranan dan format kebijakan keuangan yang sesuai dengan masing-masing
peranan tersebut yakni sebagai berikut:
1) Pertama, pandangan yang menekankan peranan
pemerintah sebagai ungkapan kemauan dan indentitas masyarakat setempat.
Pemerintah daerah merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan
keinginan mereka dan untuk menyelenggarakan urusan setemapt sesuai dengan
keinginan dan prioritas mereka. Adapun peralatan keuangan yang dibutuhkan
mencakup: (1) kekuasaan untuk menghimpun sendiri pajak yang dapat banyak
menghasilkan pemasukan dan menentukan sendiri tarif pajak; (2) bagi hasil pajak
nasional antara pemerintah pusat dan daerah; dan (3) bantuan umum dari
pemerintah pusat tanpa pengendalian oleh pemerintah pusat atas penggunaannya.
2) Kedua, pandangan yang menekankan peranan
pemerintah daerah sebagai lembaga yang menyelenggarakan layanan-layanan
tertentu untuk daerah dan sebagai alat yang tepat untuk menebus biaya
memberikan layanan yang bermanfaat untuk daerah. Sedangkan peralatan keuangan
yang sesuai untuk peran ini adalah peralatan yang tidak menuntut wewenang
tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mengambil keputusan di bidang keuangan.
Peralatan semacam ini mencakup: (1) Wewenang mengenakan pajak atau pungutan
tetapi tanpa hak menetapkan tarif pajak atau pungutan; (2) Bantuan untuk
layanan atau program tertentu; dan (3) Bantuan untuk menyamakan jumlah atau
mengimbangi kekurangan, berdasarkan perkiraan yang dibuat pusat dan bukan
berdasarkan perkiraan kebutuhan setempat” (Devas, 1989).
Penegasan
tersebut, pada intinya menekankan pentingnya keseimbangan antara beban urusan
yang menjadi tanggungjawab pemda dan kewenangan finansialnya. Semakin luas
urusan yang menjadi tanggungjawab pemda, semakin besar pula kewenangan finansial
yang dibutuhkannya. Sebagai konsekwensinya, seperti ditegaskan Hun Cho dan
Meinardus (1996) if decentralizacion of
power is the aim, then logically decentralization public finances must go with
it (Hun Cho dan Meinardus, 1996). Argumen dasar ini selanjutnya mendorong
munculnya prinsip baru dalam politik pembiayaan desentralisasi. Prinsip baru
ini tercemin pada adagium no mandate
wihtout funding atau money follow functions
menggantikan prinsip kuno yang dikemukan Wayong (1956) yaitu functions follow money yang dinilai
tidak realistik dan menyesatkan (Gaffar,dkk, 2002).
Pengaturan keuangan daerah
pada akhirnya harus selaras dengan tujuan dari desentralisasi itu sendiri.
Menurut Suparmoko (1994), tujuan kebijakan desentralisasi adalah:
1) Mewujudkan keadilan antara kemampuan dan
hak daerah.
2) Peningkatan Pendapatan Asli Daeah (PAD)
dan pengurangan subsidi dari pemerintah pusat.
3) Mendorong pembangunan daerah sesuai dengan
aspirasi masing-masing daerah.
Peranan pemerintah daerah
sendiri di antaranya adalah menyusun usulan program, kegiatan dan anggaran
berdasarkan prinsip-prinsip anggaran kinerja dan dituangkan dalam rencana
anggaran satuan kerja dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan keuangan
daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar