Belkaoui (2007:201) menyatakan pada dasarnya definisi
operasional dari manajemen laba adalah potensi penggunaan manajemen akrual
dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi. Sedangkan Fischer dan Rosenzweig
(1995) dalam Khafid (2004:42) mendefinisikan manajemen laba sebagai, …action of a manager which serve to increase
(decrease) current reported earnings of the unit which the manager is
responsible without generating a corresponding increase decrease) in a long
term economics profitability of the unit. Definisi tersebut tidak hanya
terbatas pada perilaku tetapi lebih luas mencakup seluruh tindakan yang
dilakukan oleh manajemen untuk mengelola laba. Praktek mengenai manajemen laba
dipandang sebagai bentuk manipulasi akuntansi (Stolowy dan Breton 2003 dalam
Juniarti 2005:150). Sedangkan Wild et al (2001) dalam Poll (2004) dalam
Juniarti (2005:150) mengatakan earning management sebagai a purposeful
intervention by management in the earning determination process, usually to
satisfy objectives.
Menurut Arthur Levitt dalam Hall (2002) dalam Juniarti
(2005:150) menyebutkan bahwa manajemen laba didefinisikan sebagai suatu praktek
pelaporan earnings yang lebih merefleksikan keinginan manajemen daripada
performa keuangan perusahaan. Adapun Merchant (1989) dalam Wirda (2007:15)
mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan yang dapat
memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis yang dalam jangka panjang
dapat merugikan perusahaan. Dengan adanya praktek manajemen laba, reliabilitas
dari laba akan tereduksi. Hal ini disebabkan karena di dalam manajemen laba
terdapat pembiasan pengukuran income (dinaikkan atau diturunkan) sehingga melaporkan
income yang tidak representationally faithfulness seperti yang seharusnya
dilaporkan. Menurut Belkaoui (2007:206) isu-isu dalam manajemen laba antara
lain:
1.
Manajemen laba bertujuan untuk
memenuhi harapan dari analis keuangan atau manajemen (yang diwakili oleh
peramalan laba dari publik).
2.
Manajemen laba bertujuan untuk
mempengaruhi kinerja harga jangka pendek dengan berbagai cara.
3.
Manajemen laba berakhir dan
dapat bertahan karena informasi yang asimetris suatu kondisi yang disebabkan
ileh informasi yang diketahui manajemen namun tidak ingin untuk mereka
ungkapkan.
4.
Manajemen laba terjadi dalam
konteks suatu kumpulan pelaporan yang fleksibel dan seperangkat kontrak
tertentu yang menentukan pembagian aturan diantara pemegang kepentingan.
5.
Strategi perusahaan bagi
manajemen laba mengikuti satu atau lebih dari tiga pendekatan (memilih dari
pilihan-pilihan yang ada dalam GAAP, pilihan aplikasi yang ada dalam opsi
menggunakan akuisisi serta deposisi aktiva dan waktu untuk melaporkannya).
6.
Manajemen laba merupakan suatu
hasil usaha untuk melewati ambang batas.
7.
Manajemen laba dapat berasal
dari pemenuhan perjanjian dari kontrak kompensai implisit.
8.
Manajemen laba tumbuh dari
ancaman dua bentuk aturan yakni aturan industri spesifik dan aturan antitrust.
9.
Laba negatif secara tiba-tiba
umumnya lebih merugikan daripada revisi ramalan negatif.
Menurut Scott (2003) berbagai pola yang sering dilakukan
manajer dalam earning management adalah:
1.
Taking a bath
Terjadinya taking a bath pada periode stress atau reorganisasi
termasuk pengangkatan CEO baru. Bila perusahaan harus melaporkan laba yang
tinggi, manajer dipaksa untuk melaporkan laba yang tinggi, konsekuensinya
manajer akan menghapus aktiva dengan harapan laba yang akan datang dapat
meningkat. Bentuk ini mengakui adanya biaya pada periode yang akan datang
sebagai kerugian pada periode berjalan, ketika kondisi buruk yang tidak
menguntungkan tidak dapat dihindari pada periode tersebut. Untuk itu manajemen
harus menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan biaya yang akan
datang pada saat ini serta melakukan clear the desk, sehingga laba yang
dilaporkan di periode yang akan datang meningkat.
2.
Income minimization
Bentuk ini mirip dengan ”taking a bath”, tetapi lebih
sedikit ekstrim, yakni dilakukan sebagai alasan politis pada periode laba yang
tinggi dengan mempercepat penghapusan aktiva tetap dan aktiva tak berwujud dan
mengakui pengeluaran-pengeluaran sebagai biaya. Pada saat profitabilitas
perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara
politis, kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas barang modal dan
aktiva tak berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan, hasil akuntansi untuk biaya eksplorasi.
3.
Income maximization
Tindakan ini bertujuan untuk melaporkan net income yang
tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Perencanaan bonus yang didasarkan
pada data akuntansi mendorong manajer untuk memanipulasi data akuntansi
tersebut guna menaikkan laba untuk meningkatkan pembayaran bonus tahunan. Jadi
tindakan ini dilakukan pada saat laba menurun. Perusahaan yang melakukan
pelanggaran perjanjian hutang mungkin akan memaksimalkan pendapatan.
4.
Income smoothing
Menurut Koch (1981) dalam Mursalim (2003:162) tindakan income
smoothing (perataan laba) dapat
didefinisikan sebagai suatau sarana yang digunakan manajemen untuk mengurangi
variabilitas urut-urutan, pelaporan laba relatif terhadap beberapa urut-urutan
target yang terlihat karena adanya manipulasi variabel-variabel akuntansi semu
(artificial smoothing) atau transaksi
riil (real smoothing).
Sedangkan definisi dari Poll (2004) dalam Juniarti
(2005:150) smoothing of income is a way
of removing volatility in earnings by leveling off the earnings peaks and
raising the valleys. Definisi lain menganai income smoothing adalah
definisi yang dikemukakan oleh Belkaoui (2007:192) perataan laba merupakan
normalisasi laba yang dilakukan secara sengaja untuk mencapai trend atau
tingkat yang diinginkan.
Adapun Frudenberg dan Tirole (1995) dalam Nurkhabib
(2004:11) mendefinisikan perataan laba sebagai proses manipulasi profil waktu
earning atau pelaporan earning agar aliran laba yang dilaporkan perubahannya
lebih sedikit. Definisi income smoothing lainnya yang dikemukakan Beidelman (1973)
Anis C (2000:231) adalah perataan laba yang dilaporkan dapat didefinisikan
sebagai usaha yang disengaja untuk meratakan atau memfluktuasikan tingkat laba
sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam hal
ini perataan laba menunjukkan suatu usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi
variasi abnormal laba dalam batas-batas yang diizinkan dalam praktek akuntansi
dan prinsip manajemen yang wajar. Beidleman dalam Belkaoui (2007:193)
mempertimbangkan dua alas an menejemen meratakan laporan laba. Pendapat pertama
berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung
deviden dengan tingkat yang lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang
variabel sehingga memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham
perusahaan seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan secara
keseluruhan.
Argumen kedua berkenaan pada perataan kemampuan untuk
melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan
menurunkan korelasi antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan pengembalian
fortofolio pasar. Hal tersebut merupakan hasil dari kebutuhan manajemen untuk
menetralisir ketidakpastian lingkungan dan menurunkan fluktuasi yang luas dalam
kinerja operasi perusahaan terhadap siklus waktu baik maupun waktu buruk yang
berganti-ganti.
Manajemen laba berbeda dengan kecurangan. Perbedaan
tersebut terletak pada tingkat kepatuhan terhadap standar akuntansi. Manajemen
laba merupakan rekayasa pelaporan keuangan dalam batas-batas tertentu yang tidak
melanggar standar pelaporan keuangan. Hal ini dilakukan oleh menejemen dengan
memanfaatkan wewenangnya dalam memilih metode akuntansi yang diizinkan oleh
standar. Manajer memiliki fleksibilitas dalam membuat pilihan metode maupun
kebijakan akuntansi dari berbagai alternative metode dan kebijakan akuntansi
yang ada, yang menurut preferensi manajer paling menguntungkan pada periode
pelaporan.
Manajemen banyak memanfaatkan standar pelaporan keuangan
dengan cara menerapkan standar yang dipercepat pengadobsiannya. Selain itu
standar juga dijadikan sebagai alat untuk melaporkan kondisi perusahaan.
Fleksibilitas yang terdapat dalam standar akuntansi pada akhirnya menyebabkan
tindakan tersebut sah dengan sendirinya. Sedangkan kecurangan dalam pelaporan
keuangan lebih merupakan upaya manajemen untuk menyembunyikan atau memanipulasi
sebagian atau seluruh informasi keuangan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan
standar akuntansi yang berlaku.
Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah
orang yang menolak resiko (Fudenberg dan Tirole 1995 dalam Salno 2000:16) dan manajer
yang menolak resiko terdorong untuk melakukan perataan laba. Demikian juga
dalam hubungannya dengan kreditur, manajer lebih menyukai alternatif yang
menghasilkan perataan laba (Trueman dan Titman 1988 dalam Salno 2000:16). Hasil
penelitian Suh (1990) dalam Khafid (2004:42) juga menunjukkan adanya motivasi
kuat yang mendorong manajer melakukan perataan laba.
Adapun Bidleman dalam Assih (2000:37) percaya bahwa manajemen
melakukan perataan laba untuk menciptakan suatu aliran laba yang stabil dan
mengurangi covariance atas return dengan pasar. Sedangkan Barnea et. al (1976)
dalam Assih (2000:37) menyatakan bahwa manajer melakukan perataan laba untuk
mengurangi fluktuasi dalam laba yang dilaporkan dan meningkatkan kemampuan
investor untuk memprediksi aliran kas dimasa yang akan datang.
Di lain pihak menurut Dye (1988) dalam Khafid (2004:43)
menyatakan pemilik mendukung perataan laba karena adanya motivasi internal dan
motivasi eksternal. Motivasi internal menunjukkan maksud pemilik untuk
meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer agar melakukan
praktek manajemen laba. Motivasi eksternal ditujukan oleh usaha pemilik saat
ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial terhadap nilai
perusahaan. Menurut Belkaoui (2007:194) tiga batasan yang mungkin mempengaruhi
para manajer untuk melakukan perataan laba adalah:
5.
Mekanisme pasar yang kompetitif
sehingga mengurangi jumlah pilihan yang tersedia bagi manajemen.
6.
Skema kompensasi manajemen yang
terhubung langsung dengan kinerja perusahaan.
7.
Ancaman penggantian manajemen.
Dipandang dari sisi manajemen, Hepworth (1953) dalam
Harry dan Murtanto (2004), mengungkapkan bahwa manajer melakukan perataan laba
pada dasarnya ingin mendapat berbagai keuntungan ekonomi dan psikologis, yaitu
:
- Mengurangi total pajak terutang
- Meningkatkan kepercayaan diri
manajer yang bersangkutan karena penghasilan yang stabil mendukung
kebijakan dividen yang stabil pula.
- Meningkatkan hubungan antara
manajer dengan karyawan karena pelaporan penghasilan meningkat tajam
memberi kemungkinan munculnya tuntutan gaji dan upah.
- Siklus peningkatan dan penurunan
penghasilan dapat ditandingkan dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat
diperlunak.
Dilain pihak Dye (1988), pemilik mendukung perataan laba
karena adanya motivasi internal dan eksternal. Motivasi internal menunujukkan
maksud pemilik untuk meminimalisasi
biaya kontrak manajer dengan membujuk manager agar melakukan praktik manajemen
laba. Motivasi eksternal ditunjukkan oleh usaha pemilik saat ini untuk mengubah
persepsi investor potensial terhadap nilai perusahaan.
Adapun tujuan perataan laba menurut Foster (1986) adalah sebagai
berikut:
- Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar, bahwa
perusahaan tersebut memiliki risiko yang rendah.
- Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi
terhadap laba di masa mendatang.
- Meningkatkan kepuasan relasi bisnis.
- Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan
manajemen.
- Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.
Dalam Imam Subekti (2005) Dascher
dan Malcom (1970) menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) tipe perataan laba yaitu:
- Real smooting, yaitu merupakan
suatu transaksi yang sesungguhnya untuk dilakukan atau tidak dilakukan
berdasar pengaruh perataannya pada laba.
- Artificial smooting, yaitu
merupakan perataan laba dengan menerapkan prosedur akuntansi untuk
memindahkan biaya dan/ atau pendapatan dari suatu perioda ke perioda
lainnya.
Beidlemen
(1973), yang dikutip Assih dan Gudono (2000) dalam Imam Subekti (2005)
menyatakan bahwa tujuan manajemen perusahaan melakukan keputusan perataan laba
adalah untuk menciptakan suatu aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance
atas return dengan pasar.
Dalam
beberapa penelitian sebelumnya, fokusnya selalu pada timbulnya tindakan
perataan laba dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Menurut Ronen dan
Sadan (1981) yang dikutid dalam Jatiningrum, perataan penghasilan bersih/laba
dapat dilakukan dalam 3 cara, yaitu :
- manajemen dapat menetapkan waktu terjadinya peristiwa tertentu,
untuk mengurangi perbedaan laba yang dilaporkan, jadi alternatifnya,
manajemen juga dapat menentukan waktu pengakuan beberapa peristiwa.
- manajemen dapat mengalokasikan pendapatan atau dan beban
tertentu pada periode akuntansi yang berbeda
- manajemen dengan kebijaksanaannya mengelompokkan item laba tertentu ke
dalam kategori yang berbeda.
Brayshaw
dan Eldin (1989) dalam Edy dan Arleen (2005), mengungkapkan bahwa manajemen
perusahaan diuntungkan dengan praktek perataan laba. Sedangkan Mulyani dan
Carmel (2003) menyatakan bahwa motivasi perataan laba lebih banyak
menguntungkan pemegang saham dan pengguna eksternal utamanya serta manajer itu
sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar