Kesantunan sangat kontekstual, artinya
berlaku dalam masyarakat, tempat,atau situasi tertentu, tetapi belum tentu
berlaku bagi masyarakat, tempat, atausituasi lain. Kesantunan selalu memiliki
dua kutub, seperti antara anak danorang tua, antara tuan rumah dan tamu, antara
pria dan wanita, antara murid dan guru, antara mahasiswa dan dosen, dan
sebagainya (Muslich, 2006:1). Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara
berkomunikasi lewattanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi,
kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang
kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang
ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam
berkomunikasi
Fraser dalam Gunarwan (1994)
mendefinisikan kesantunan adalah “property
associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any
obligation”. Dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan
dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur
tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi
kesantunan tersebut yaitu Pertama,
kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu
sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah
yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja
sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di
telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian
pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan
itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah
sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah
si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di
penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Untuk
menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi kita
perlu mempertimbangkan segi sopan-santun berbahasa. Sopan-santun dalam
berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara P
dengan MT. Dalam hal ini, kesopansantunan merupakan (1) hasil pelaksanaan
kaidah, yaitu kaidah sosial, dan (2) hasil pemilihan strategi komunikasi.
Dalam teori kesantunan berbahasa lain
menurut Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka (face). Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan)
dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut
mereka nosi muka itu dapat dibedakan menjadi muka negatif dan muka positif.
Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang
berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan
tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang
berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang
merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan
atau dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang
menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Kesantunan imperatif
berkenaan dengan muka negatif, dimana tuturan ini berfungsi untuk membuat mitra
tutur melakukan sesuatu.
Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan
ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut
sebagai Face Threatening Act (FTA).
Untuk mengurangi ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita perlu menggunakan
sopan santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif
dan muka positif, maka kesantunan pun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk
menjaga muka positif). Sopan santun dalam penggunaan imperatif pada contoh di
bawah ini misalnya, dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menghindari konflik
antara penutur dan petutur, yang sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur
pun dapat terancam oleh tindak ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat
mengancam muka penutur. Untuk melindungi muka dari ancaman itu, penutur dapat
menggunakan tindak ujar tak langsung.
Dalam
berkomunikasi terdapat dua kaidah kompetensi pragmatik yang sangat penting,
yakni “buatlah perkataan Anda jelas” (make
yourself clear), dan “bersopan-santunlah” (be polite). Dalam hubungannya dengan kesopansantunan, R. Lakoff
mengusulkan tiga kaidah sopan-santun (seperti dituturkan oleh Gunarwan, 1993:
8; dan Ibrahim, 1993: 320) sebagai berikut.
a.
Formalitas,
artinya jangan menyela, tetaplah bersabar, dan jangan memaksa.
b.
Kebebasan
pilihan (keluwesan), artinya buatlah sedemikian rupa sehingga MT Anda dapat
menentukan pilihan dari berbagai tindakan.
c.
Kesekawanan
(kesederajatan), artinya bertindaklah seolah-olah antara Anda dengan MT Anda
sama atau sederajat, dan buatlah agar MT Anda merasa enak/senang.
Dengan
demikian, sebuah ujaran akan dinilai santun apabila P tidak terkesan memaksa,
ujaran itu memberikan alternatif pilihan tindakan kepada MT, dan MT merasa
senang. Dalam hal ini, berbagai bentuk strategi komunikasi dapat kita tempuh
agar ujaran kita bernilai sopan-santun tinggi.
a.
Dilarang
merokok!
b.
Dilarang merokok di dalam ruangan ini.
c. Tidak
dibenarkan merokok di dalam ruangan ber-AC.
Di samping tiga kaidah sopan-santun yang
diusulkan Lakoff tersebut Leech (1983: 123; 1993: 194-195) mengemukakan adanya tiga
skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat kesopansantunan suatu
ujaran, yaitu yang disebut “skala pragmatik”. Tiga skala kesantunan menurut
Leech yaitu:
a.
Cost-benefit
scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer.
Cost-benefit scale atau skala kerugian
dan keuntungan menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.
b.
Optionality
scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a
spesific linguistic act. Optionally scale
atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options)
yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
c.
Indirectness
scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to
establish the intended speaker meaning. Indirectness scale
atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak
langsungnya maksud sebuah tuturan.
d.
authority scale atau
skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan
mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial
antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderungmenjadi
semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosialdiantara
keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan
yangdigunakan dalam bertutur itu.
e.
sosial dictance scale atau skala jarak sosial
menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak
peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan
mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan
perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur
sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur
Dalam teori tentang prinsip kesantunan
Leech menggariskan enam prinsip yang harus dilakukan oleh peserta pertuturan
bila hendak berbicara sopan dengan orang lain dan maksim-maksim kesantunan
yaitu (1) kebijaksanaan, (2) kemurahatian, (3) penerimaan, (4) kerendahan hati,
(5) kecocokan, dan (6) kesimpatian. Maksim ini juga menjadi sumber implikatur
percakapan yang memiliki fungsi menunjang pengungkapan humor karena dalam
aktivitas berhumor seringkali menyimpang dengan prinsip-prinsip kesantunan.
Untuk selanjutnya dalam penelitian ini
akan menggunakan prinsip kesantunan Leech dalam enam prinsip. Oleh karenanya untuk
selanjutnya peneliti akan menguraikan dalam uraian di bawah ini:
1. Maksim
Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Setiap peserta pertuturan meminimalkan
kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Contoh pematuhan
(+) : Mari saya bawakan buku Anda.
(−) : Jangan tidak usah (Wijana, 1996:
56)
Dengan perkataan lain, menurut maksim
ini, kesantunan dalam bertutur dapatdilakukan apabila maksim kebijaksanaan
dilaksanakan dengan baik.
2.
Maksim Penerimaan ( Approbation Maxim)
Diutarakan dengan kalimat komisif dan
impositif. Agar setiap penutur sedapatmungkin menghindari mengatakan sesuatu
yang tidak mengenakan orang lain, terutamakepada orang yang diajak bicara
(lawan tutur).
Contoh pematuhan :
(+) : Saya mengundangmu ke rumah untuk
makan malam.
(−) : Terima kasih (Wijana, 1996; 57)
Dengan perkataan lain, menurut maksim
ini, bahwa orang dianggap santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan
penghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta
pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci,atau saling merendahkan pihak
yang lain.
3.
Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
Dengan maksim kemurahan ini, para
peserta pertuturan diharapkan dapatmenghormati orang lain. Penghormatan ini
akan terjadi apabila orang dapat mengurangikeuntungan bagi dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tidak hanya dalam menyuruh dan
menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tetapi didalam mengungkapkan
perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian
(Wijana, 1996: 55-60).
Contoh Pematuhan :
(+) : Permainan Anda sangat bagus.
(−) : Ah, biasa saja. Terima kasih.
(Wijana, 1996: 58)
4.
Maksim Kerendahan Hati ( Modesty Maxim)
Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan
asertif. Bila kemurahan hati berpusat pada orang lain, maksim ini berpusat pada
diri sendiri. Maksim ini menuntutsetiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh Pelanggaran :
(+) : Kau sangat pandai.
(−) : Ya, saya memang pandai.
5.
Maksim
Kesepakatan/Kecocokan ( Agreement Maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan
atau kebahagiaan, penutur wajibmemberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur
mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan
ucapan bela sungkawa sebagai tandakesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati
kepada lawan tuturnya yangmendapatkan kebahagiaan dan kedukaan.
Contoh Pelanggaran
:(+) : Kemarin motorku hilang
.(−) : Oh, kasian deh lu. (Wijana,
1996:60)
6.
Maksim Simpati (Sympath Maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan
atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur
mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau
mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tandakesimpatian, yakni memaksimalkan
rasa simpati kepada lawan tuturnya yangmendapatkan kebahagiaan dan
kedudukan.Contoh
Pelanggaran :
(+) : Kemarin motorku hilang.
(−) : Oh, kasian deh lu (Wijana,
1996:61)