Otonomi kerja atau job autonomy diartikan sebagai sejauh mana suatu
pekerjaan tertentu dapat memberikan kebebasan yang besar, kemandirian, dan
keleluasaan individu dalam penjadwalan kerja dan menentukan prosedur yang akan
digunakan dalam pelaksanaannya (Johari et al., 2018, p. 109). Hackman dan
Oldham dalam Johari et al., (2018, p. 109) menegaskan bahwa otonomi kerja
mengarah pada keadaan psikologis secara kritis dimana adanya rasa tanggung
jawab pada karyawan untuk hasil pekerjaannya, berdasarkan pengalaman yang
pada akhirnya mengarah pada efisiensi kerja yang lebih baik serta tingkat motivasi
kerja yang lebih tinggi. Menurut Spector dan Saragih dalam Johari et al., (2018, p.
115), otonomi kerja memungkinkan karyawan untuk menentukan urutan dan
kecepatan dalam pengerjaan serta prosedur yang diperlukan untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya.
Dalam tulisannya, Ugargol & Patrick, (2018, p. 45) menyebutkan bahwa
kebebasan yang diberikan dalam pengaturan kerja yang fleksibel juga dapat
meningkatkan performa karyawan, karena ketika karyawan diberikan kebebasan
terkait pengaturan kerja yang fleksibel, maka karyawan memiliki lebih banyak
sumber daya untuk mencapai tujuan dalam bekerja, serta memiliki kontrol yang
lebih besar akan pekerjaannya. Hal tersebut dapat membantu karyawan untuk
memiliki lebih banyak energi yang ditujukan pada pekerjaannya, sehingga dapat
memengaruhi performa kerja. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketika
karyawan dapat memanfaatkan kebebasan dalam mengontrol pekerjaannya,
karyawan dapat mencapai performa kerja.
Menurut Pearson et al., (2009, p. 44), otonomi kerja atau job autonomy
merupakan tingkat kebebasan, independensi, dan kebijaksanaan yang dimiliki
seseorang dalam merencanakan suatu pekerjaan dan menentukan cara apa yang
digunakan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Otonomi merupakan faktor
yang sangat penting karena jika pegawai diberikan kendali atas waktu kerja dan
metode kerja, maka dapat berinovasi merencanakan pekerjaan dengan caranya
sendiri. Sebagai contoh pegawai yang memiliki pilihan untuk memilih prosedur
kerja lebih cenderung memanfaatkan teknologi dan informasi dengan cara baru atau
inovatif supaya dapat menyelesaikan tugas lebih cepat atau akurat. Dengan begitu
pegawai tersebut memiliki kebebasan untuk menjadwalkan pekerjaannya sendiri
dan bisa mengatur waktu untuk bereksperimen dengan perangkat lunak atau
teknologi lain untuk menemukan cara dan solusi yang lebih efisien untuk
pekerjaannya.
Dalam tulisannya, Hutasuhut, Syauffa Pratiwi., (2016, p. 63)
mendefinisikan otonomi kerja sebagai tingkat kebebasan, independensi, dan
kebijaksanaan yang dimiliki seseorang dalam merencanakan suatu pekerjaan dan
menentukan cara apa yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
Pengukuran otonomi kerja berdasarkan indikator yang diukur dengan poin-poin
berskala ordinal (likert). Otonomi pekerjaan adalah kemampuan untuk memutuskan
kapan, dimana, dan bagaimana pekerjaan itu harus dilakukan (Clark dalam Sarri,
2016, p. 5). Lebih lanjut Thompson dan Prottas dalam Sarri, (2016, p. 5)
menemukan bahwa karyawan dengan tingkat otonomi pekerjaan yang lebih tinggi
lebih mungkin untuk puas dengan pekerjaannya sehingga kinerjanya akan baik.
Otonomi kerja (job autonomy) adalah sebagai tingkatan yang dimana
sebagai individu diberikan kebebasan, kemandirian dan diskresi dalam pelaksanaan
tugas seperti penjadwalan kerja dan prosedur yang telah ditentukan (Hackman dan
Oldham) dalam Pratama, (2017, p. 155). Xie dan Johns dalam Pearson et al., (2009,
p. 44) menemukan bahwa ketika otonomi sesuai dengan persyaratan tugas
karyawan maka kinerja pekerjaan lebih tinggi.
Otonomi dalam suatu pekerjaan memberikan kebebasan pada karyawan
untuk mengatur dan menentukan prosedur yang digunakan dalam
menyelesaikan pekerjaan. Yang diharapkan dengan adanya kebebasan yang
diberikan, dapat digunakan dengan tanggung jawab. Dengan adanya
kebebasan ini, kinerja karyawan akan menjadi meningkat terhadap
pekerjaan yang diberikan (Pratama, 2017, p. 155).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar