Sejarah hukum tentang tenaga
kesehatan sudah ada sejak tahun 1963 dengan keluarnya Undang-undang Tenaga
Kesehatan N0. 6 Tahun 1963, yang masih mengacu pada Undang-Undang Kesehatan
Tahun 1960. Kemudian pada tahun 1992 keluar Undang-undang Kesehatan No. 23
Tahun 1992 yang menggantikan Undang-undang Pokok Kesehatan tahun 1960, tetapi
Undang-undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan masih berlaku, sambil
menunggu produk hukum baru tentang tenaga kesehatan yang mengacu pada
Undang-undang Kesehatan yang terbaru sampai keluarlah Peraturan Pemerintah atau
PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini
dijelaskan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan atau ketrampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan. [1]
Perkembangan dunia kesehatan dalam
tinjauan sistem hukum kemudian diperbaharui dengan adanya Undang-undang
Kesehatan No. 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa sumber daya kesehatan yang paling
utama adalah tenaga kesehatan itu sendiri. Karena dengan adanya tenaga
kesehatan maka semua sumber daya kesehatan yang lain seperti fasilitas
pelayanan kesehatan, perbekalan kesehatan atau sering disebut sebagai alat
kesehatan dan teknologi dan produk kesehatan dapat dikelola dan dikembangkan
dengan lebih optimal dan sinergis. Hal itu semua mempercepat pencapaian tujuan
pembangunan Kesehatan. Sistem Undang-Undang mengenai Tenaga Kesehatan kemudian
diperkuat dengan adanya Undang-undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan. Secara lebih khusus, dalam Pasal 11 Undang-undang No. 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan dijelaskan adanya berbagai macam tenaga kesehatan,
yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik dari segi latar belakang
pendidikannya maupun jenis pelayanan atau upaya kesehatan yang dilakukan. Salah
satu jenis tenaga kesehatan adalah tenaga medis yang terdiri dari dokter dan
dokter gigi, maupun dokter spesialis dan dokter gigi spesialis. Pada ketentuan
umum Pasal 1 angka 2 Undang-undang 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
disebutkan definisi dokter dan dokter gigi sebagai berikut[2]:
“Dokter dan dokter
gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar
negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Selanjutnya pada undang-undang yang
sama Pasal 1 angka 11 dijelaskan pengertian profesi kedokteran adalah sebagai
berikut:
“Profesi
kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau
kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompeten yang
diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dank ode etik yang bersifat
melayani masyarakat”
Dari pengertian dalam undang-undang
ini, maka esensi profesi ini adalah panggilan hidup untuk mengabdikan diri pada
kemanusiaan yang didasarkan pada pendidikan yang harus dilaksanakan dengan
kesungguhan niat dan tanggungjawab penuh[3].
Adapun ciri profesi ini adalah[4]:
1. Merupakan
suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang terampil dalam
menerapkan pengetahuan secara sistimatis.
2. Mempunyai
kompetensi secara eksklusif terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu.
3. Didasarkan
pada pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu.
4. Mempunyai
tanggungjawab untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, serta
mempertahankan kehormatan.
5. Mempunyai
etik tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaannya.
6. Cenderung
mengabaikan pengendalian dari masyarakat atau individu.
7. Pelaksanaannya
dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu dan organisasi
professional lainnya, terutama dari segi pengakuan terhadap kemandiriannya. Seorang
dokter dan dokter gigi adalah seorang profesional dalam bidang pengobatan atau
kedokteran, karena mereka bekerja berdasarkan keilmuannya yang diperoleh selama
pendidikan kedokteran.
Sebelum seorang dokter atau dokter
gigi menjalankan profesi kedokterannya, mereka diwajibkan lulus dari pendidikan
dokter atau dokter gigi dari lembaga pendidikan yang telah diakreditasi,
setelah menyelesaikan pendidikannya harus mengikuti dan dinyatakan lulus uji
kompetensi dan mendapatkan surat tanda registrasi yang dikeluarkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia, yang berlaku lima tahun dan dapat diregistrasi ulang
setiap lima tahun. Tidak hanya itu, sebelum melakukan praktik kedokteran maka
mereka diwajibkan mendapatkan Surat Ijin Praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan dibatasi hanya pada tiga tempat praktik.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dokter dan dokter gigi dikenakan sanksi
pidana maksimal 3 (tiga) tahun dan denda Rp. 100.000.000,00 dan penyelenggara
tempat praktik yang mempekerjakan dokter/dokter gigi yang tidak memiliki SIP
dikenakan sanksi 3 (tiga) kali lipatnya.[5]
Seorang dokter atau dokter gigi yang
telah berpraktik wajib mengikuti Pendidikan kedokteran berkelanjutan dalam rangka
pengembangan ilmu dan teknologi di dunia kedokteran, yang ujungnya adalah demi
untuk penyelamatan pasien-pasien yang ditangani[6].
Ada tiga karakteristik yang menonjol
dari seorang professional, yaitu[7]:
1. Perlu
adanya persyaratan extensive training untuk berpraktik sebagai professional;
2. Training
tersebut harus mengandung apa yang dinamakan asignificant intellectual
component, tidak sekedar bersifat skill training semata;
3. Perlu
adanya pengabdian yang penuh terhadap pelayanan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar