Kata cyber berasal dari cybernetic atau suatu bidang ilmu hasil perpaduan antara robotik, matematika, elektro dan phisikologi yang pertama kali dikembangkan oleh Norbert Wiener pada tahun 1948.7 Cybernetic terus berkembang dan mampu menciptakan dunia baru yaitu dunia maya (cyberspace) yang dalam pemanfaatannya tidak hanya mendatangkan keuntungan tapi juga menimbulkan beberapa permasalahan, seperti: masalah hukum, ekonomi, kelembagaan dan penyelesaian sengketa. Sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai cyberlaw yang secara sempit dapat diartikan sebagai Undang-Undang Teknologi Informasi, namun secara luas berarti aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat online memasuki dunia maya. Online adalah suatu keadaan dimana sebuah komputer terhubung dengan komputer lain dengan menggunakan perangkat penghubung (modem), sehingga bisa saling berkomunikasi [1]
Sejarah perkembangan cyber notary pertama kali dimunculkan pada tahun 1989, dalam Trade Electronics Data Interchange System Legal Workshop yang diselenggarakan oleh Uni Eropa, frasa “electronic notary” pertama kali diprakarsai oleh delegasi dari Perancis , yang memiliki pengertian: “Various industry associations and related peak bodies could act as an “electronic notary” to provide an independent record of electronic transactions between parties, i.e., when company A electronically transmits trade documents to company B, and vice versa. Pendefinisian frasa “cyber notary” kemudian dikemukakan di Amerika Serikat oleh the Information Security Committee of the American Bar Association pada tahun 1994, yang berbunyi: “The committee envisaged that this proposed new legal professional would be similar to that of a notary public but in the case of the Cyber notary his/her function would involve electronic documents as opposed to physical documents. This would be an office, which would be readily identifiable and recognized. [2]
Konsep cyber notary di Indonesia pertama kali termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut “UUJN 2014”) yang disebutkan mengenai kewenangan-kewenangan dari Notaris sebagaimana tercantum dalam pasal 15 UUJN 2014. Dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN 2014 disebutkan mengenai kewenangan notaris, salah satunya ialah terdapat frasa “…kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”. [3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar