Era globalisasi yang semakin berkembang dari waktu ke waktu,
mengakibatkan terjadinya banyak perubahan di berbagai sektor industri hingga
saat ini. Seiring berkembangnya zaman banyak perusahaan atau badan usaha
yang menggunakan sistem kontrak pada karyawan untuk ditempatkan pada
bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Rianti (2013)
mengemukakan bahwa penyebab adanya perjanjian kontrak kerja untuk pekerja
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yaitu perkembangan perekonomian
yang semakin pesat sehingga perusahaan dituntut untuk memberikan pelayanan
yang lebih baik dengan biaya yang lebih sedikit untuk hasil keuntungan yang lebih
besar. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan mengubah struktur manajemen
perusahaan menjadi lebih efektif dan efisien, dengan biaya yang dikeluarkan
perusahaan lebih sedikit, maka diadakan sistem kontrak dengan memperkerjakan
buruh dengan sistem outsourcing maupun dengan sistem karyawan PKWT
(perjanjian kerja waktu tertentu).
Sistem outsourcing dan sistem kontrak PKWT telah banyak diminati oleh
perusahaan namun sistem kontrak kerja ini memiliki kekurangan yang berdampak
pada timbulnya permasalahan pada karyawan. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Sutedi (2011) bahwa sistem kontrak kerja diakui banyak
merugikan karyawan, hal ini disebabkan oleh sistem kerja yang hanya bersifat
kontrak di mana adanya perjanjian waktu dalam bidang yang ditentukan, memiliki
upah yang lebih rendah, adanya batas minimal pada jaminan sosial, dan
rendahnya jaminan untuk mengembangkan karir. Andina (2013) mengemukakan
bahwa karyawan kontrak atau karyawan outsourcing mendapatkan perlakuan
yang berbeda dengan karyawan tetap, dapat dilihat dari rendahnya fringe benefit
yang didapatkan hingga rendahnya kesempatan untuk mengembangkan karir
dalam suatu perusahaan.
Permasalahan yang timbul akibat dari sistem kontrak kerja ini memiliki
dampak yang dapat mengakibatkan munculnya permasalahan pada
kesejahteraan fisik maupun psikologis karyawan (Hendrastomo, 2010).
Pemahaman terhadap kesehatan manusia tidak hanya meliputi kesejahteraan fisik
tetapi juga psikologis dan sosial. Individu yang memiliki kesejahteraan yang lebih
tinggi akan lebih produktif dan memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik
dibandingkan dengan yang kesejahteraannya rendah (Ryff & Synder, 2002).
Kesejahteraan psikologis merupakan kondisi tercapainya kebahagiaan
tanpa adanya gangguan psikologis yang ditandai dengan kemampuan individu
mengoptimalkan fungsi psikologisnya (Ryff & Synder, 2002). Kesejahteraan
psikologis di tempat kerja dibangun untuk menggambarkan pengalaman positif
secara subjektif oleh individu di tempat kerja, dan mampu merealisasikan potensi
diri yang positif dalam pekerjaan (Dagenais & Savoie, 2012). Veit & Ware dalam
Aziz (2015) mengemukakan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai indikator
kesehatan mental mencakup dua aspek, yang pertama yaitu aspek terbebasnya
individu dari tekanan psikologis (psychological distres) yang dicirikan dengan
tingginya tingkat kecemasan, depresi dan kehilangan kontrol. Kedua, memiliki
kesejahteraan psikologis yang dicirikan dengan adanya perasaan positif secara
umum, mampu mengatur emosi dan memiliki kepuasan hidup.
Maslow dalam Notosoedirdjo & Latiput (2005) menyatakan bahwa mental
yang sehat ditandai dengan adanya rasa aman yang memadai. Aktualisasi diri
akan tercapai apabila semua dorongan kebutuhan telah terpenuhi dalam diri
individu seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, serta
kebutuhan akan penghargaan. Rasa tidak aman akibat dari ketidakpastian kerja di
masa yang akan datang yang dialami oleh karyawan akan mempengaruhi
pencapaian tahap aktualisasi diri (Nopiando, 2012).
Permasalahan yang timbul akibat dari tekanan karena tidak adanya
jaminan pekerjaan di masa yang akan datang akan mengakibatkan timbulnya job
insecurity. Job insecurity merupakan suatu kondisi di mana adanya rasa tidak
berdaya untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi
kerja yang terancam (Greenhalgh & Rosenblat, 1984). Job insecurity diartikan
dengan kondisi psikologis karyawan yang merasa khawatir dan terancam akan
kelangsungan pekerjaan di masa yang akan datang (Nopiando, 2012). Pendapat
lainnya mengemukakan job insecurity sebagai suatu perasaan tidakberdaya yang
dirasakan karyawan akibat dari ancaman kehilangan pekerjaan dan aspek-aspek
penting yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri (Sverke & Hellgren, 2002).
Warr (1987) dalam teori model vitaminnya mengemukakan bahwa terdapat
9 komponen dalam situasi kerja yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis. Salah satunya yaitu job insecurity, Warr menjelaskan bahwa sejauh
mana respon individu dalam menghadapi dugaan akibat dari kurangnya kejelasan
tentang masa depan dan kurangnya kejelasan tentang ekspektasi dan perilaku
yang harus diambil dalam situasi tersebut maka dapat mengurangi kesejahteraan
psikologis karyawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar