Rabu, 21 Juni 2023

Teori Keagenan (Agency Theory)


Teori agensi pertama kali dipopulerkan oleh Jensen dan Meckling (1976),
dalam teori ini dinyatakan bahwa hubungan keagenan muncul ketika satu orang
atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu
jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada
agen tersebut. Adanya peralihan dalam lingkungan bisnis mengakibatkan
perusahaan yang dulunya hanya dimiliki satu orang yaitu manajer–pemilik
(owner–manager) sekarang menjadi perusahaan yang kepemilikannya tersebar
dengan pemegang saham yang dimiliki oleh berbagai kalangan. Peralihan ini
mengakibatkan terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan, dimana
kepemilikan berada pada tangan pemegang saham sedangkan pengelolaan berada
pada tangan tim manajemen. Dalam hal ini pemegang saham sebagai principal
mempunyai asumsi bahwa pemegang saham hanya tertarik pada hasil keuangan
yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedangkan para agen
diasumsikan menerima kepuasaan berupa kompensasi keuangan dan syarat–syarat
yang berlaku dalam hubungan tersebut (Wulandari, 2013:15). Hubungan antara
agen dan principal (pemegang saham) harus memiliki kepercayaan yang kuat, dimana agen melaporkan segala informasi perkembangan perusahaan yang
dimiliki oleh principal melalui segala bentuk informasi akuntansi karena hanya
pihak manajemen yang mengetahui dengan pasti keadaan perusahaan.
Eisenhardt, 1989 (dalam Wulandari, 2013:15) menyatakan bahwa teori
agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
menghindari resiko (risk averse). Hal ini mengakibatkan terjadinya penyimpangan
dalam pelaporan kepada principal akibat adanya keinginan untuk memenuhi
tujuan pribadi seperti ingin memaksimalkan utilitasnya, yang memungkinkan
agen tidak selalu berbuat yang terbaik bagi principal, sehingga muncul masalah
keagenan. Oleh karena itu teori keagenan lebih menekankan pada penentuan
kontrol yang efisiensi dalam hubungan pemilik dengan agen. Dengan demikian
dibutuhkan kontrak yang efisien yaitu kontrak yang jelas untuk masing–masing
pihak yang berisi tentang hak dan kewajiban, dengan demikian dapat
meminimumkan konflik keagenan. Masalah keagenan ini dapat terlihat dalam
aktivitas manajemen laba yang muncul pada laporan keuangan akibat adanya
asymmetric information. Asimetri antara manajemen (agen) dengan pemilik
(principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba (earnings management) dalam rangaka menyesatkan pemilik
(pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Pada prinsipnya teori keagenan menjelaskan bagaimana menyelesaikan
konflik kepentingan antara para pihak dan stakeholder dalam kegiatan bisnis yang
berdampak merugikan. Untuk menghindari konflik, kerugian, diperlukan prinsip–
prinsip dasar pengelolaan perusahaan yang baik. Wilson Arafat (2008) dalam
Purwandari (2011:22) menjelaskan bahwa agency theory ini dalam tataran
empirik kurang memadai untuk digunakan sebagai alat menyelenggarakan
perusahaan modern akibat adanya ciri yang menonjol yaitu terpisahnya
kepemilikan dengan pengelolaan serta digunakannya dana pinjaman selain dana
dari perusahaan sehingga dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat memberikan
perlindungan yang efektif kepada para pemegang saham dan pihak kreditur.
Mekanisme ini yang dinamakan good corporate governance sebagai konsep
kelanjutan dari teori keagenan ini yang akan dipaparkan pada subbab lain.

Tidak ada komentar: