Manajemen laba akhir-akhir ini merupakan sebuah fenomena umum yangterjadi di sejumlah perusahaan. Praktik yang dilakukan untuk mempengaruhiangka laba dapat terjadi secara legal maupun tidak legal. Praktik legal dalammanajemen laba berarti usaha mempengaruhi laba tidak bertentangan denganaturan pelaporan keuangan dalam Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU)khususnya dalamStandar Akuntansinya yaitu dengan cara memanfaatkan peluanguntuk membuat estimasi akuntansi, sedangkan manajemen laba yang dilakukansecara tidak legal dilakukan dengan cara melaporkan transaksi-transaksipendapatan atau biaya secara fiktif dengan menambah(mark up)atau mengurangi(mark down)nilai transaksi, sehingga menghasilkan laba pada nilai/tingkattertentu yang dikehendaki(dalam Boediono, 2005:173).Manajemen laba(earnings management)adalah tindakan-tindakan manajeruntuk menaikkan (menurunkan)laba periode berjalan dari sebuah perusahaanyang dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomiperusahaan jangka panjang(Sulistyanto, 2011:299). Seringkali proses inimencakup mempercantik laporan keuangan, terutama angka yang paling bawah,yaitu laba. Manajemen laba dapat berupakosmetik, jika manajer memanipulasi
akrual yang tidak memiliki konsekuensi arus kas. Manajemen laba juga dapatterlihatnyata, jika manajer memilih tindakan dengan konsekuensi arus kas dengantujuan mengubah laba (Subramanyam, 2010: 131).Untuk mendeteksi ada tidaknya manajemen laba, maka pengukuran atasakrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Total akrual adalahselisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrualdapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) bagian akrual yang memangsewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan, disebutnormalaccrualsataunon discretionary accruals, dan (2) bagian akrual yang merupakanmanipulasi data akuntansi yang disebut denganabnormal accrualsataudiscretionary accruals. (Utami, SNA 2005:102)Berdasarkan pada kajian McNichols (2000)serta Dechow dan Skinner(2000) maka proksi manajemen laba yang digunakan adalah model spesifik akrualyaitu akrual modal kerja. Penggunaan akrual modal kerja lebih tepat sebagaimanayang telah dikaji oleh Peasnelletal. (2000). Akrual diskresioner tidak diestimasiberdasarkan kesalahan residual karena teknik tersebut dianggap relatif rumit, olehkarena itu digunakan proksi rasio akrual modal kerja dengan penjualan. Alasanpemakaian penjualan sebagai deflator akrual modal kerja adalah karenamanajemen laba banyak terjadi pada akun penjualansebagaimana yangdiungkapkan oleh Nelsonet al. (2000). Penggunaan penjualan sebagai deflatorjuga dilakukan oleh Friedlan (1994) yang memodifikasi model DeAngelo (1986)menjadi rasio antara perubahan total akrual dengan penjualan.
Permasalahan manajemen laba merupakan masalah keagenan yangseringkali dipicu oleh adanya pemisahan peran atauperbedaan kepentingan antarapemilik (pemegang saham) dengan pengelola (manajemen) perusahaan.Terlebihlagi, manajemen sebagai pengelolaperusahaan memiliki informasi tentangperusahaan lebih cepat,lebih banyak, dan lebih valid dari pada pemegang saham(asymmetric information)sehingga memunginkan manajemen melakukan praktekakuntansi dengan berorientasi pada angka laba, yang dapat menciptakan kesan(prestasi) tertentu.Scott dalam Purwandari (2011:24) membagi cara pemahamanatas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagaipelakuoportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapikontrak kompensasi, kontrak utang danpolitical costs (Oportunistic EarningManagement). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektifefficient contracting(Efficient Earning Management), dimana manajemen labamemberimanajer suatu fleksibelitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaandalam mengantisipasi kejadian–kejadianyang tak terduga untuk keuntunganpihak–pihak yang terlibat dalamkontrak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar