Mengacu pada kamus Besar Bahasa Indonesia, pemberdayaan
secara etimologis berasal dari kata daya yang berarti kemampuan untuk
melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak. Mendapat awalan bermenjadi ‘berdaya’ artinya berkekuatan, berkemampuan, bertenaga,
mempunyai akal untuk mengatasi suatu masalah. Mendapat awalan dan
akhiran pe-an sehingga menjadi pemberdayaan yang dapat diartikan
sebagai usaha, proses menjadikan untuk mampu membuat, dapat
bertindak atau melakukan sesuatu untuk diarahkan menuju kearah yang
lebih baik.
Pemberdayaan merupakan sebuah proses yang dilakukan sebuah
lembaga untuk menciptakan suasana masyrakat yang lebih baik.
Pemberdayaan sendiri dapat diartikan sebagai upaya untuk
memberikan daya (Empowerment) atau penguatan (Strengthening)
kepada masyarakat. Menurut Sukino (2013) Empowerment artinya
merupakan suatu peningkatan kemampuan yang sesungguhnya
potensinya ada. Dimulai dari status kurang berdaya menjadi lebih
berdaya, sehingga lebih bertanggung jawab. Karena empowerment
asalnya dari kata “power” yang artinya “control, authority, diminion”.
Awalan “emp” artinya “on put to” atau “to cover with” jelasnya “more
power” jadi empowering artinya “is passing on authority and
responsibility” yaitu Attention: lebih berdaya dari sebelumnya dalam arti
wewenang dan tanggung jawabnya termasuk kemampuan individual
yang dimilikinya. Dari pengertian tersebut pemberdayaan merupakan
20
sebuah metode yang dilakukan untuk meningkatkan sebuah daya atau
potensi yang dimiliki masyarakat secara individu maupun kelompok.
Winarmi dalam Suryana (2010:18) mengungkapkan bahwa “Inti
dari pemberdayaan adalah meliputi tiga hal yaitu pengembangan
(enabling), memperkuat daya (empowering), dan terciptanya
kemandirian”.Oleh karena itu, umumnya sasaran dari pemberdayaan
biasanya masyarakat yang tergolong masih atau belum berdaya secara
material maupun non material agar dapat mengembangkan segala potensi
yang dimiliki hingga masyarakat menjadi mandiri. Keberdayaan
masyarakat oleh Sumodiningrat diartikan sebagai kemampuan
individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun
keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Secara konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model
Model pengembangan dan industrialisasi yang kurang populer dalam
kebanyakan kasus, konsep ini dikemukakan oleh Mardikanto dan
Poerwako serta didasarkan pada kerangka logis sebagai berikut:
1. Proses pemusatan tenaga dibangun dari pemusatan tenaga faktorfaktor produksi.
2. Pemusatan kekuatan faktor produksi akan menciptakan masyarakat
pekerja dan orang-orang yang merupakan pengusaha di daerah
sekitarnya.
3. Kekuasaan membangun sistem pengetahuan, membangun sistem
sistem politik, hukum dan ideologi operasional untuk memperkuat
pembenaran.
4. Pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan
idiologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok
masyarakat, yaitu masyarakat berbudaya dan masyarakat tuna-daya.
Akhirnya yang terjadi ialah dikotonom, yaitu masyarakat yang
berkuasa dan masyarakat yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi
menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pemberdayaan melalui
21
proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the
powerles).
Dalam proses pemberdayaan, ada tahapan-tahapan yang perlu
dilakukan. Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, pemberdayaan
memiliki tiga fase. Pertama adalah penyadaran, proses tersebut
merupakan keberdayaan yang membuat masyarakat sadar bahwa setiap
manusia memiliki potensi untuk dikerahkan. Kedua adalah
pengkapasitasan, merupakan tahapan-tahapan dimana dapat dicapai
ketika masyarakat sudah pernah mendapatkan pengalaman penggunaan
potensi yang dimiliki. Ketiga adalah pendayaan, tahapan tersebut
merupakan proses pemberian berupa kewenangan (otoritas) atau
kesempatan untuk mengembangkan potensi untuk mencapai manusia
yang mandiri (Endah, 2020).
Pemberdayaan merupakan sebuah konsepan yang mengarah
keproses perkembangan individu maupun kelompok kestatus hidup yang
lebih baik dari sebelumnya. Taylor da Mc Kenzie mengatakan bahwa
tujuan filosofisnya adalah untuk memberikan motivasi atau dorongan
kepada masyarakat dan individu agar menggali potensi yang ada pada
dirinya untuk ditingkatkan kualitasnya, sehingga akhirnya mampu
mandiri.
Sedangkan menurut Soeharto (2010) Tujuan utama pemberdayaan
adalah untuk memperkuat kekuasaan Masyarakat, terutama kelompok
lemah, karena keadaan internal (persepsi mereka sendiri) dan oleh
kondisi eksternal (ditekan oleh struktur sosial yang tidak berlaku adil).
Untuk sepenuhnya memahami tentang Pemberdayaan perlu diketahui
tentang konsep kelompok lemah dan penyebab ketidakberdayaannya.
Secara klasifikasi kelompok lemah atau tidak berdaya dapat
diindikasikan sebagai berikut :
Pertama, masyarakat yang lemah secara struktural. Masyarakat tersebut
seringkali merupakan kelompok minoritas karena rentan secara sosial ekonomi, gender dan etnis, dan diskriminatif dalam berbagai aspek yang
dapat disalahgunakan, dan seringkali berujung pada ketidakadilan.
Kedua, Lemah secara khusus. Merupakan yang sangat rentan adalah
mereka yang sering terpinggirkan, seperti orang tua, anak-anak, remaja,
kaum gay dan lesbian, serta penyandang disabilitas.
Ketiga, Lemah secara personal. Rentan secara pribadi adalah masyarakat
dengan masalah di bidang individu atau keluarga (Hamid., 2018).
Selanjutnya bagian dari tujuan pemberdayaan merujuk pada
keadaan atau hasil yang dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau pengetahuan dan
kemampuan dalam memahami kebutuhan hidupnya. keberhasilan
dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan
mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan
mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan
politk.
Pemberdayaan masyarakat tercermin dari tingkat partisipasi
masyarakat yang diberdayakan untuk mendukung pembangunan yang
dicapai. Pemberdayaan masyarakat meliputi pengelolaan dan
pemanfaatan seluruh sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk
memperkuat masyarakat (Adisasmita, 2006).
Indikator pemberdayaan yang dilakukan untuk pembangunan
terbagi dalam beberapa aspek, yaitu Pertama, pada sisi input atau
masukan, situasi meliputi bakat, perencanaan, sarana, peralatan atau
fasilitas, teknologi dan data yang dibutuhkan untuk pengembangan.
Kedua, aspek proses, .meliputi pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan.
program pembangunan. Ketiga, aspek keluaran, hasil meliputi tujuan
yang ingin dicapai, efektivitas dan efisiensi program pembangunan yang
dilaksanakan sesuai dengan rencana yang disusun untuk mencapai hasil
yang diinginkan (Candra, 2019).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar