Pemberdayaan tidak semata-mata menekankan pada hasil (output) namun
juga menekankan pada proses. Oleh karena itu ukuran keberhasilan pemberdayaan
adalah seberapa besar tingkat partisipasi atau keberdayaan yang dilakukan oleh
masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang terlibat dalam proses tesebut, maka
semakin berhasil kegiatan pemberdayaan tersebut. Keberdayaan dalam konteks
masyarakat merupakan kemampuan individu untuk berpartisipasi aktif dalam
masyarakat. Tingkat partisipasi ini meliputi partisipasi secara fisik, mental, dan juga
manfaat yang diperoleh oleh individu yang bersangkutan (Anwas, 2014).
Partisipasi secara umum dapat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang
atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan (Theresia dkk, 2014)..
Partisipasi dapat pula didefinisikan sebagai proses di mana individu, kelompok,
ataupun organisasi secara sukarela memilih untuk terlibat aktif di dalam
keseluruhan proses kegiatan yang berdampak pada kehidupan mereka mulai dari
tahap pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian
(pemantauan, evaluasi, pengawasan), pemanfaatan hasil dari kegiatan yang
dilakukan, serta menjalin kemitraan dengan berbagai pihak terkait (Reed, 2008;
Anwas, 2014; Mardikanto dan Soebiato, 2015).
Theresia dkk (2014) menyebutkan bahwa dalam kegiatan pembangunan,
partisipasi masyarakat merupakan perwujudan kesadaran dan kepedulian serta
tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan
untuk memperbaiki mutu hidup mereka. Dengan kata lain, melalui partisipasi maka
23
masyarakat menyadari sepenuhnya bahwa kegiatan pembangunan bukan hanya
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh aparat pemerintahan sendiri, namun juga
menuntut keterlibatan masyarakat yang akan diperbaiki kualitas hidupnya.
Berdasarkan tingkatan atau tahapan partisipasi, Wilcox (1998) dalam
Theresia dkk (2014) membagi partisipasi dalam lima tingkatan yaitu :
1. Memberikan informasi (Information).
2. Konsultasi (Consultation) yaitu menawarkan pendapat, tetapi tidak terlibat
dalam implementasi ide dan gagasan tersebut.
3. Pengambilan keputusan bersama (Deciding together), dalam arti tidak hanya
sekedar memberikan pendapat namun terlibat secara aktif dalam proses
pengambilan keputusan seperti memberikan dukungan terhadap ide, gagasan,
pilihan, serta mengembangkan peluang yang diperlukan guna pengambilan
keputusan.
4. Bertindak bersama (Acting together), dalam arti tidak sekedar ikut dalam
pengambilan keputusan tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam
pelaksanaan kegiatannya.
5. Memberikan dukungan (Supporting independent community interest) di mana
kelompok lokal menawarkan pendanaan, nasehat, dan dukungan lain untuk
mengembangkan agenda kegiatan.
Pretty (1995) sebagaimana yang dikutip oleh Iqbal (2007) membedakan
partisipasi dalam tujuh tipologi yaitu :
1. Passive participation yaitu masyarakat berpartisipasi berdasarkan informasi
yang mereka terima dari pihak luar tentang apa yang sedang atau telah terjadi.
2. Participation in information giving yaitu masyarakat berpartisipasi dengan
menjawab pertanyaan penelitian dari pihak luar (seperti kuesioner), di mana
akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat dan masyarakat tidak
diberi kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi di dalam prosesnya.
3. Participation by concultation yaitu masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi
dengan pihak luar di mana pihak luar tersebut mengidentifikasi, menganalisis,
sekaligus mencari solusinya. Dalam partisipasi ini masih tidak ada peluang
untuk pembuatan keputusan bersama.
24
4. Participation for material incentive yaitu masyarakat berpartisipasi dengan
menyediakan sumber daya yang dimilikinya atas pertimbangan insentif.
Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran dan andil atau
partisipasi masyarakat akan terhenti seiring dengan berakhirnya pemberian
insentif tersebut.
5. Functional participation yaitu masyarakat berpartisipasi dalam bentuk
kelompok yang berkaitan dengan tujuan proyek. Keterlibatan pihak luar dan
pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan utama yang disepakati.
6. Interactive participation yaitu masyarakat berpartisipasi melakukan analisis
kolektif dalam perumusan kegiatan aksi melalui metode interdisplin yang
mencari keragaman perspektif dalam proses pembelajaran yang terstruktur dan
sistemik. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atau mengawasi atas
pelaksanaan keputusan mereka dan berkepentingan untuk menjaganya sekaligus
memperbaiki struktur dan kegiatan yang dilakukan.
7. Self-mobilization yaitu masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil
inisiatif sendiri secara bebas dengan tidak dipengaruhi oleh pihak luar untuk
mengubah sistem atau nilai yang mereka miliki. Pihak luar hanya diminta
bantuan (teknis dan sumber daya) sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumber daya yang ada.
Sementara itu dari berbagai definisi atau konsep mengenai partisipasi,
Samah dan Aref (2011) mencoba merangkum dan membagi partisipasi menjadi dua
tipologi yaitu partisipasi sebagai alat atau cara dan partisipasi sebagai tujuan akhir.
Sebagai alat, partisipasi dianggap sebagai medium atau instrumen untuk mencapai
tujuan/sasaran yang telah ditentukan sebelumnya yang mungkin tidak sesuai
dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sebenarnya. Dalam situasi ini,
tujuan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya baik oleh
pemerintah ataupun lembaga lainnya lebih penting dibandingkan dengan tindakan
partisipasi itu sendiri. Masyarakat sebagai partisipan tidak diberikan kesempatan
untuk dapat menentukan atau mempengaruhi pengambilan keputusan. Partisipasi
masyarakat hanya dalam bentuk pemberian informasi sebagai input dalam program
yang direncanakan.
25
Bentuk lainnya dari partisipasi sebagai alat yakni memobilisasi masyarakat
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan/program berdasarkan tujuan pembangunan
yang diarahkan oleh pemerintah atau pihak eksternal lainnya (pendekatan topbottom). Dalam fenomena tersebut partisipasi berubah menjadi suatu keadaan yang
pasif dan statis yang kemudian dapat menjadi partisipasi yang diinduksi atau
bahkan dipaksakan, atau partisipasi yang bersifat manipulatif.
Adapun sebagai tujuan, partisipasi berfokus sebagai proses di mana
masyarakat dilibatkan secara langsung di dalam merumuskan, memutuskan dan
mengambil bagian dalam proses pembangunan. Hal ini merupakan bentuk
partisipasi yang aktif dan permanen di mana keterlibatan langsung masyarakat tidak
hanya untuk membantu mempertahankan atau menjaga kelangsungan dari suatu
proyek, namun memperluas keterlibatan individu masyarakat di dalamnya. Ciri dari
partisipasi sebagai proses adalah masyarakat diberi kesempatan untuk dapat
merumuskan program pengembangan atau pembangunan mereka sendiri atau
memiliki pengaruh di dalam proses pengambilan keputusan suatu proyek yang
dilakukan untuk mereka. Dalam hal ini, partisipasi sebagai sebuah proses dapat
membantu masyarakat untuk mengembangkan kapasitas atau kemampuannya,
mengenali dan meningkatkan potensi yang ada pada diri mereka, dan menyediakan
kesempatan bagi mereka untuk dapat memiliki pengaruh dan kendali atas
kehidupan mereka sendiri.
Pada dasarnya keinginan individu atau masyarakat untuk terlibat dalam
suatu kegiatan tertentu didorong oleh persepsi mereka terhadap manfaat yang akan
mereka peroleh. Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat turut
dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap manfaat yang akan diterimanya dari
proyek yang dijalankan (Hedge dan Bull ,2011; Yanto, 2013; Bennett dan Dearden,
2014). Selain itu juga dipengaruhi oleh tingkat pemahaman mereka terhadap makna
yang terkandung dalam kegiatan tersebut seperti apa yang menjadi tujuan serta
proses yang berlangsung dalam setiap tahapan kegiatannya. Oleh karena itu setiap
aktivitas pemberdayaan perlu didasarkan pada adanya manfaat yang akan dirasakan
oleh masyarakat dan kejelasan dalam setiap tahapan kegiatannya (Anwas, 2014).
Selain manfaat langsung yang dirasakan, menurut Winarto (2003) sebagaimana
26
dikutip oleh Pujiastuti (2011) masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi apabila
partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di
tengah masyarakat yang bersangkutan, manfaat yang diperoleh dapat memenuhi
kepentingan masyarakat setempat, dan dalam proses partisipasi terdapat jaminan
kontrol oleh masyarakat.
Beberapa faktor yang turut mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
dalam kegiatan pengelolaan hutan antara lain tingkat pendidikan, umur, jumlah
anggota keluarga, pendapatan, dan persepsi masyarakat terhadap program yang
ditawarkan (Dipokusumo, 2011; Predo, 2003). Kebiasaan-kebiasaan lama yang ada
di dalam masyarakat setempat juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan
seperti pengaruh yang diimiliki oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, atau pemuka
adat. Keberadaan mereka merupakan komponen yang turut berpengaruh di dalam
menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi pada suatu kegiatan. Pemimpin
yang bergaya karismatik dapat meningkatkan partisipasi masyarakat di sekitarnya.
Sebaliknya pemimpin yang bergaya otoriter dan manipulatif tidak banyak diikuti
karena sifatnya yang tidak transparan dan cenderung mengambil keputusan sendiri
sehingga menghambat partisipasi masyarakat (Sinha dan Suar, 2005).
Slamet (2003) menyebutkan bahwa terdapat tiga unsur pokok yang sangat
menentukan tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan yaitu :1) adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat
untuk berpartisipasi; 2) adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi; dan 3)
adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Sejalan dengan pernyataan
tesebut, Suprayitno dkk (2011) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa
motivasi dan tingkat kemampuan memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi
petani sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Motivasi untuk meningkatkan
pendapatan merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap tingkat
partisipasi sedangkan untuk faktor kemampuan terdiri dari 3 aspek yang memiliki
pengaruh terhadap tingkat partisipasi yaitu kemampuan teknis, kemampuan sosial
dan kemampuan manajerial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar