Kepuasan identik dengan kesenangan, kebahagiaan, keceriaan, kegembiraan, dan keriangan. Horn dalam Choi et al (2017) menyatakan karyawan yang sejahtera akan mengalami kepuasan serta perasaan bahagia. Menurut KBBI kepuasan mengacu pada perasaaan bahagia, lega, gembira, puas dan senang karena telah terpenuhi hasratnya. Perasaan puas akan menimbulkan perasaan yang nyaman, tentram, damai, senang dan bahagia. Kesejahteraan sendiri merujuk pada kesenangan dan keadaan emosi yang positif yang dihasilkan dari pengalaman seseorang. Employee wellbeing pertama kali dicetuskan oleh Locke dalam Choi et al (2017) mengacu pada kesenangan atau keadaan emosi positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Menurut pandangan Diener dalam Choi (2017) Kesejahteraan dikonsepkan sebagai konsep yang dibangun secara global dan dioperasikan dengan memasukan kepuasan kerja karyawan, kepuasan keluarga dan kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan secara psikologis. Bakker dan Oerlemans dalam Choi et al (2017) menyatakan karyawan akan memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi jika mereka lebih puas dengan pekerjaan mereka dan lebih sering mengalami emosi positif dalam proses kerja. Menurut Hasibuan (2016), dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia, employee wellbeing adalah balas jasa pelengkap (material dan non material) yang diberikan berdasarkan kebijaksanaan. Tujuannya untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi fisik dan mental karyawan, agar produktivitas kerjanya meningkat. Menurut Peng & Chen (2018), employee wellbeing dianggap sebagai evaluasi kognitif dan emosional individu sebagai hasil dari pengalamannya terkait dengan pekerjaan atau spiritual di tempat kerja. Warr dalam Choi et al (2017) menyebutkan employee wellbeing adalah kesadaran psikologis, harga diri dan potensi mereka dalam pekerjaan yang terwujud dalam bentuk perasaan pribadi, motivasi, dan sikap terhadap kehidupan. . Definisi lain employee wellbeing menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah sebagai suatu pemenuhan kebutuhan atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat. Sedangkan Chen dan Jin (2018) menganggap employee wellbeingsebagai evaluasi keseluruhan atas kualitas kerja dari realisasi nilai dan potensinya dalam proses kerja. Perspektif ini berfokus pada persepsi individu tentang signifikansi pekerjaan, tantangan kerja, pengembangan potensi, dan realisasi nilai. Menurut Panggabean (2017:96) employee wellbeing juga dikenal dengan benefit yang mencakup semua jenis penghargaan berupa uang yang tidak dibayarkan secara langsung kepada karyawan. Menurut Gary Dessler yang diterjemahkan oleh Benyamin Molan dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia (2019), dikatakan bahwa benefit adalah semua pembayaran keuangan tidak langsung yang diterima seseorang karyawan untuk melanjutkan pekerjaannya. Cartwright dan Holmes dalam Choi et al (2017) mengambil dua pendekatan untuk memahami employee wellbeing yaitu, positif dan negatif. Pendekatan negatif didedikasikan untuk kelelahan dan stres kerja sedangkan pendekatan positif menafsirkan kesejahteraan sebagai keadaan afektif yang terdiri dari dua dimensi yaitu, kesenangan dan tingkat gairah. Oleh karena itu, kesejahteraan afektif telah dirujuk sebagai kesejahteraan umum. Beberapa penelitian menggunakan kesejahteraan afektif untuk mengukur kesejahteraan secara umum (Horn et al dalam Choi et al, 2017). Mengikuti garis penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kesejahteraan positif dan berfokus pada kesejahteraan afektif sebagai kesejahteraan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar