Kepuasan kerja memiliki efek untuk menentukan akan meninggalkan atau
tetap tinggal di perusahaan tersebut. Terjadinya turnover disebabkan oleh ketidaksenangan karyawan terhadap pekerjaannya dan akan mencari alternatif kesempatan
pekerjaan lain (Spector dalam Tadampali, 2016). Busch dkk (dalam Suhanto, 2009)
menjelaskan bahwa seseorang yang relatif puas terhadap pekerjaannya akan tetap
tinggal dalam perusahaan lebih lama, dan dapat menurunkan angka keluar masuk
karyawan dan mengurangi keabsenan. Samad (dalam Manewe, 2015)
menambahkan ketidakpuasan karyawan juga cenderung memunculkan praktek
tingkah laku penarikan diri dari pekerjaan seperti turnover dari organisasi dan
mempertimbangkan kesempatan memperoleh pekerjaan yang lain (Hellman, dalam
Manewe 2015). Ketidakpuasan kerja telah sering diidentifikasikan sebagai suatu
alasan yang penting yang menyebabkan individu meninggalkan pekerjaannya
(Syafrizal, 2011).
Secara empiris dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja memiliki suatu
pengaruh langsung pada pembentukan turnover intention. Mobley, dkk (dalam
Subarjo, 2014) mengemukakan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan erat
terhadap turnover intention dan intensi untuk mencari pekerjaan lain. Nahusona,
dkk (dalam Ikhwanto, 2015) menambahkan adanya kepuasan kerja yang tinggi pada
diri setiap karyawan maka dalam bekerja akan lebih memacu partisipasinya dalam
setiap kegiatan mencapai tujuan organisasi atau perusahaan, tetapi ketika kepuasan
kerja yang dirasakan karyawan kurang, dapat memicu keinginan karyawan untuk
meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan di tempat lain. Turnover
intention merupakan sinyal awal terjadinya turnover di dalam organisasi.
Menurut Mobley (1978), konsekuensi utama dari ketidakpuasan kerja
adalah rangsangan berpikir untuk berhenti dari pekerjaan, kemudian menuntun ke
intensi untuk mencari apa yang diinginkan (dipengaruhi oleh evaluasi terhadap
pekerjaan alternatif, sebelumnya dipertimbangkan umur dan masa jabatan),
kemudian memiliki turnover intention, yang akhirnya keputusan dan perilaku
turnover. Menurut Pasewark dan Strawser (dalam Setyanto, 2013) kepuasan kerja
secara langsung dan negatif berpengaruh terhadap turnover intention karyawan.
Kepuasan kerja menyangkut seberapa jauh karyawan merasakan kesesuaian antara
seberapa besar penghargaan yang diterima dan pekerjaannya dengan ekspektasinya
mengenai seberapa besar yang seharusnya diterima. Hasibuan (2014) menjelaskan
kepuasan kerja terbagi menjadi tiga aspek yaitu kedisiplinan, moral kerja dan
prestasi kerja.
Pada aspek kedisiplinan, Hasibuan (2014) menyebutkan kedisiplinan
merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan dan
norma-norma sosial yang berlaku. Menurut Lateiner (dalam Permatasari, 2016)
karyawan yang memiliki kedisiplinan yang tinggi ditunjukkan dengan sikap tertib,
datang dan pulang tepat waktu, berhati-hati saat menggunakan peralatan kantor dan
memakai seragam sesuai aturan peruasahaan. Lateneir (dalam Wijayanto, 2007)
juga menyebutkan karyawan yang memiliki kedisiplinan yang tinggi akan
mematuhi cara-cara kerja yang ditentukan dan menerima tugas yang diberikan
kepadanya. Lavenant (dalam Wisantyo & Madiistriyatno, 2015) menambahkan
kedisiplinan yang tinggi akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Kemudian
Findik (dalam Wisantyo & Madiistriyatno, 2015) menyatakan jika kepuasan
karyawan semakin baik, maka pegawai akan bertahan bekerja di perusahaan saat
ini dan turnover intention berkurang. Sedangkan Herzberg (dalam Wijayanto,
2007) menyatakan apabila karyawan memiliki kedisiplinan yang rendah maka
ditunjukkan dengan keterlambatan kerja, malas berangkat ke tempat kerja, absensi
yang tinggi dan pelanggaran disiplin lainnya. Kemudian menurut Mobley (2011)
pelanggaran kedisiplinan baik berupa absen atau mangkir dari pekerjaan seringkali
dianggap sebagai proses dari munculnya turnover intention.
Pada aspek moral kerja, menurut Alwi (dalam Wicaksono, 2012) kata moral
berasal dari bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara
bebas adalah semangat, berani, bergairah. Pada penelitian ini moral kerja diartikan
sebagai semangat kerja. Nitisemito (dalam Handayani, 2017) mengatakan moral
kerja adalah melakukan pekerjaan secara lebih giat, sehingga pekerjaannya akan
lebih dapat diharapkan selesai dengan cepat dan lebih baik. Alwi (dalam
Wicaksono, 2012) menambahkan moral kerja menandakan adanya ketekunan dan
kekerasan hati individual atau kelompok dalam melaksanakan pekerjaan dan tugastugasnya. Juga merupakan sikap riang gembira, penuh kepercayaan dan
memuaskan. Menurut Moekijat (dalam Wicaksono, 2012), karyawan dikatakan
mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila karyawan nampak senang, optimis
mengenai kegiatan-kegiatan dan tugas kelompok serta ramah satu sama lainnya.
Hasibuan (dalam Handayani, 2017) menambahkan bahwa karyawan yang memiliki
semangat kerja yang tinggi ditunjukkan dengan merasa bergairah, bahagia dan
optimis. Nitisemito (dalam Perdana, 2014) menyebutkan apabila karyawan
bersemangat dan senang dalam melaksanakan pekerjaannya menunjukkan bahwa
karyawan merasakan kepuasan kerja. Karyawan yang merasa puas akan
mengurangi resiko adanya turnover intention pada pegawai (Wisantyo &
Madiistriyatno, 2015).
Menurut Nitisemito (dalam Darmawan, 2008) karyawan yang memiliki
semangat kerja yang rendah ditunjukkan dengan kemalasan, sering menunda
pekerjaan dan sering mengeluh. Menurut Hasibuan (dalam Handayani, 2017) jika
karyawan memiliki semangat kerja yang rendah ditunjukkan dengan perilaku yang
suka membantah, menyakiti hati, dan terlihat tidak tenang. Moekijat (dalam
Wicaksono, 2012) menambahkan karyawan yang memiliki semangat kerja yang
rendah maka menunjukkan sikap lekas marah, sering sakit, suka membantah,
gelisah serta pesimis. Nitisemito (dalam Wicaksono, 2012) menyebutkan terjadinya
penurunan semangat kerja merupakan perwujudan dari menurunnya kepuasan
kerja. Nitisemito (dalam Wicaksono, 2012) juga menambahkan ketidakpuasan
tersebut membuat karyawan mulai berpikir untuk keluar dan mulai mencari
pekerjaan lain yang dianggap lebih sesuai. Kemudian Mobley (dalam Novliadi,
2007) berpendapat rasa tidak puas tersebut akan menimbulkan turnover intention
sebelum akhirnya melakukan turnover.
Pada aspek prestasi kerja, Starus dan Saylees (dalam Almasti, 2014)
mengatakan prestasi kerja memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja pada diri
karyawan. Untuk memenuhi kebutuhan psikologis karyawan memerlukan
penghargaan atau prestasi kerja. Menurut Herzberg (dalam Wijayanto, 2007)
karyawan berprestasi tinggi ditunjukkan dengan keberhasilannya dalam
melaksanakan tugas, menemukan solusi atas masalah dalam tugas dan hasil yang
memuaskan. Menurut Dharma (dalam Hartawanti, 2016) karyawan yang memiliki
prestasi kerja tinggi ditunjukkan dengan karyawan dapat menyelesaikan tugas
dengan tepat, banyaknya pekerjaan yang dapat diselesaikan karyawan, dan juga
hasil kerja yang berkualitas. Nurjaman (dalam Handayani, 2017) mengatakan
karyawan akan mendapat kepuasan kerja melalui hasil kerja yang baik dan
menerima bonus bahkan kenaikan pangkat yang akan didapatkannya melalui
prestasi kerjanya. Robbins (dalam Almasti, 2014) menyebutkan semakin besar
prestasi yang didapatkan karyawan maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan
kerja karyawan. Rasa puas yang ada akan mengurangi risiko adanya turnover
intention pada pegawai (Wisantyo & Madiistriyatno, 2015). Selain itu, menurut
Seybolt (dalam Mobley, 2011) karyawan berprestasi lebih kecil kemungkinannya
untuk melakukan turnover. Mobley (2011) menambahkan jika karyawan
merasakan ketidakpuasan dalam pekerjaannya maka ditunjukkan dengan
prestasinya yang menurun dan apabila karyawan tersebut melihat peluang bekerja
di tempat lain, karyawan tersebut akan mulai berpikir untuk pindah sebelum
akhirnya benar-benar keluar.
Mathis dan Jackson (dalam Andini, 2006) mengidentifikasi bahwa turnover
intention karyawan berhubungan dengan kepuasan kerja. Semakin tinggi tingkat
kepuasan kerja seseorang, maka semakin rendah intensinya untuk meninggalkan
pekerjaannya itu. Salah satu penelitian terdahulu yang meneliti tentang kepuasan
kerja dan turnover intention yang dilakukan oleh Sukron (2015) dengan judul
“Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Kompensasi, Dan Kepuasan Kerja
Terhadap Keinginan Berpindah Karyawan Pt. Garudafood Putra Putri Jaya Pati”
yang menyimpulkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap turnover
intention. Dan penelitian yang dilakukan oleh Khikmawati (2015) dengan judul
“Pengaruh Kepuasan Kerja dan Lingkungan Kerja Terhadap Turnover Intention
Pramuniaga di Pt Circleka Indonesia Utama Cabang Yogyakarta” yang
menyimpulkan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh negatif terhadap turnover
intention
Tidak ada komentar:
Posting Komentar