Kamis, 07 Oktober 2021

Hubungan Kepuasan Kerja dengan Turnover Intention Pada Karyawan (skripsi dan tesis)

 Kepuasan kerja memiliki efek untuk menentukan akan meninggalkan atau tetap tinggal di perusahaan tersebut. Terjadinya turnover disebabkan oleh ketidaksenangan karyawan terhadap pekerjaannya dan akan mencari alternatif kesempatan pekerjaan lain (Spector dalam Tadampali, 2016). Busch dkk (dalam Suhanto, 2009) menjelaskan bahwa seseorang yang relatif puas terhadap pekerjaannya akan tetap tinggal dalam perusahaan lebih lama, dan dapat menurunkan angka keluar masuk karyawan dan mengurangi keabsenan. Samad (dalam Manewe, 2015) menambahkan ketidakpuasan karyawan juga cenderung memunculkan praktek tingkah laku penarikan diri dari pekerjaan seperti turnover dari organisasi dan mempertimbangkan kesempatan memperoleh pekerjaan yang lain (Hellman, dalam Manewe 2015). Ketidakpuasan kerja telah sering diidentifikasikan sebagai suatu alasan yang penting yang menyebabkan individu meninggalkan pekerjaannya (Syafrizal, 2011). Secara empiris dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja memiliki suatu pengaruh langsung pada pembentukan turnover intention. Mobley, dkk (dalam Subarjo, 2014) mengemukakan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan erat terhadap turnover intention dan intensi untuk mencari pekerjaan lain. Nahusona, dkk (dalam Ikhwanto, 2015) menambahkan adanya kepuasan kerja yang tinggi pada diri setiap karyawan maka dalam bekerja akan lebih memacu partisipasinya dalam setiap kegiatan mencapai tujuan organisasi atau perusahaan, tetapi ketika kepuasan kerja yang dirasakan karyawan kurang, dapat memicu keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan di tempat lain. Turnover intention merupakan sinyal awal terjadinya turnover di dalam organisasi. Menurut Mobley (1978), konsekuensi utama dari ketidakpuasan kerja adalah rangsangan berpikir untuk berhenti dari pekerjaan, kemudian menuntun ke intensi untuk mencari apa yang diinginkan (dipengaruhi oleh evaluasi terhadap pekerjaan alternatif, sebelumnya dipertimbangkan umur dan masa jabatan), kemudian memiliki turnover intention, yang akhirnya keputusan dan perilaku turnover. Menurut Pasewark dan Strawser (dalam Setyanto, 2013) kepuasan kerja secara langsung dan negatif berpengaruh terhadap turnover intention karyawan. Kepuasan kerja menyangkut seberapa jauh karyawan merasakan kesesuaian antara seberapa besar penghargaan yang diterima dan pekerjaannya dengan ekspektasinya mengenai seberapa besar yang seharusnya diterima. Hasibuan (2014) menjelaskan kepuasan kerja terbagi menjadi tiga aspek yaitu kedisiplinan, moral kerja dan prestasi kerja. Pada aspek kedisiplinan, Hasibuan (2014) menyebutkan kedisiplinan merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Menurut Lateiner (dalam Permatasari, 2016) karyawan yang memiliki kedisiplinan yang tinggi ditunjukkan dengan sikap tertib, datang dan pulang tepat waktu, berhati-hati saat menggunakan peralatan kantor dan memakai seragam sesuai aturan peruasahaan. Lateneir (dalam Wijayanto, 2007) juga menyebutkan karyawan yang memiliki kedisiplinan yang tinggi akan mematuhi cara-cara kerja yang ditentukan dan menerima tugas yang diberikan kepadanya. Lavenant (dalam Wisantyo & Madiistriyatno, 2015) menambahkan kedisiplinan yang tinggi akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Kemudian Findik (dalam Wisantyo & Madiistriyatno, 2015) menyatakan jika kepuasan karyawan semakin baik, maka pegawai akan bertahan bekerja di perusahaan saat ini dan turnover intention berkurang. Sedangkan Herzberg (dalam Wijayanto, 2007) menyatakan apabila karyawan memiliki kedisiplinan yang rendah maka ditunjukkan dengan keterlambatan kerja, malas berangkat ke tempat kerja, absensi yang tinggi dan pelanggaran disiplin lainnya. Kemudian menurut Mobley (2011) pelanggaran kedisiplinan baik berupa absen atau mangkir dari pekerjaan seringkali dianggap sebagai proses dari munculnya turnover intention. Pada aspek moral kerja, menurut Alwi (dalam Wicaksono, 2012) kata moral berasal dari bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara bebas adalah semangat, berani, bergairah. Pada penelitian ini moral kerja diartikan sebagai semangat kerja. Nitisemito (dalam Handayani, 2017) mengatakan moral kerja adalah melakukan pekerjaan secara lebih giat, sehingga pekerjaannya akan lebih dapat diharapkan selesai dengan cepat dan lebih baik. Alwi (dalam Wicaksono, 2012) menambahkan moral kerja menandakan adanya ketekunan dan kekerasan hati individual atau kelompok dalam melaksanakan pekerjaan dan tugastugasnya. Juga merupakan sikap riang gembira, penuh kepercayaan dan memuaskan. Menurut Moekijat (dalam Wicaksono, 2012), karyawan dikatakan mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila karyawan nampak senang, optimis mengenai kegiatan-kegiatan dan tugas kelompok serta ramah satu sama lainnya. Hasibuan (dalam Handayani, 2017) menambahkan bahwa karyawan yang memiliki semangat kerja yang tinggi ditunjukkan dengan merasa bergairah, bahagia dan optimis. Nitisemito (dalam Perdana, 2014) menyebutkan apabila karyawan bersemangat dan senang dalam melaksanakan pekerjaannya menunjukkan bahwa karyawan merasakan kepuasan kerja. Karyawan yang merasa puas akan mengurangi resiko adanya turnover intention pada pegawai (Wisantyo & Madiistriyatno, 2015). Menurut Nitisemito (dalam Darmawan, 2008) karyawan yang memiliki semangat kerja yang rendah ditunjukkan dengan kemalasan, sering menunda pekerjaan dan sering mengeluh. Menurut Hasibuan (dalam Handayani, 2017) jika karyawan memiliki semangat kerja yang rendah ditunjukkan dengan perilaku yang suka membantah, menyakiti hati, dan terlihat tidak tenang. Moekijat (dalam Wicaksono, 2012) menambahkan karyawan yang memiliki semangat kerja yang rendah maka menunjukkan sikap lekas marah, sering sakit, suka membantah, gelisah serta pesimis. Nitisemito (dalam Wicaksono, 2012) menyebutkan terjadinya penurunan semangat kerja merupakan perwujudan dari menurunnya kepuasan kerja. Nitisemito (dalam Wicaksono, 2012) juga menambahkan ketidakpuasan tersebut membuat karyawan mulai berpikir untuk keluar dan mulai mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih sesuai. Kemudian Mobley (dalam Novliadi, 2007) berpendapat rasa tidak puas tersebut akan menimbulkan turnover intention sebelum akhirnya melakukan turnover. Pada aspek prestasi kerja, Starus dan Saylees (dalam Almasti, 2014) mengatakan prestasi kerja memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja pada diri karyawan. Untuk memenuhi kebutuhan psikologis karyawan memerlukan penghargaan atau prestasi kerja. Menurut Herzberg (dalam Wijayanto, 2007) karyawan berprestasi tinggi ditunjukkan dengan keberhasilannya dalam melaksanakan tugas, menemukan solusi atas masalah dalam tugas dan hasil yang memuaskan. Menurut Dharma (dalam Hartawanti, 2016) karyawan yang memiliki prestasi kerja tinggi ditunjukkan dengan karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan tepat, banyaknya pekerjaan yang dapat diselesaikan karyawan, dan juga hasil kerja yang berkualitas. Nurjaman (dalam Handayani, 2017) mengatakan karyawan akan mendapat kepuasan kerja melalui hasil kerja yang baik dan menerima bonus bahkan kenaikan pangkat yang akan didapatkannya melalui prestasi kerjanya. Robbins (dalam Almasti, 2014) menyebutkan semakin besar prestasi yang didapatkan karyawan maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan. Rasa puas yang ada akan mengurangi risiko adanya turnover intention pada pegawai (Wisantyo & Madiistriyatno, 2015). Selain itu, menurut Seybolt (dalam Mobley, 2011) karyawan berprestasi lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan turnover. Mobley (2011) menambahkan jika karyawan merasakan ketidakpuasan dalam pekerjaannya maka ditunjukkan dengan prestasinya yang menurun dan apabila karyawan tersebut melihat peluang bekerja di tempat lain, karyawan tersebut akan mulai berpikir untuk pindah sebelum akhirnya benar-benar keluar. Mathis dan Jackson (dalam Andini, 2006) mengidentifikasi bahwa turnover intention karyawan berhubungan dengan kepuasan kerja. Semakin tinggi tingkat kepuasan kerja seseorang, maka semakin rendah intensinya untuk meninggalkan pekerjaannya itu. Salah satu penelitian terdahulu yang meneliti tentang kepuasan kerja dan turnover intention yang dilakukan oleh Sukron (2015) dengan judul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Kompensasi, Dan Kepuasan Kerja Terhadap Keinginan Berpindah Karyawan Pt. Garudafood Putra Putri Jaya Pati” yang menyimpulkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Dan penelitian yang dilakukan oleh Khikmawati (2015) dengan judul “Pengaruh Kepuasan Kerja dan Lingkungan Kerja Terhadap Turnover Intention Pramuniaga di Pt Circleka Indonesia Utama Cabang Yogyakarta” yang menyimpulkan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh negatif terhadap turnover intention

Tidak ada komentar: