Teori legitimasi merupakan teori berbasis sistem yang telah berkembang
selama tiga dekade terakhir ini (Conway dan Patricia, 2008). Hal ini didasarkan
pada konsep bahwa suatu organisasi diasumsikan memiliki pengaruh dan
dipengaruhi oleh masyarakat di mana organisasi tersebut beroperasi (Deegan,
26
2001). Dalam konsep tersebut ditegaskan bahwa organisasi berusaha untuk
beroperasi dalam batas dan norma yang ada dan ingin memastikan bahwa aktivitas
yang dilakukan mendapat legitimasi dari masyarakat (Conway dan Patricia, 2008).
Legitimasi mempengaruhi seseorang dalam memahami dan bertindak
terhadap suatu organisasi. Organisasi yang dianggap sah atau legitimate, lebih
dipandang sebagai organisasi yang dipercaya, layak, bermakna dan memiliki
prediksi. Selain itu, organisasi dianggap lebih legitimate bilamana organisasi
tersebut mudah untuk dimengerti, bukan hanya sekedar diinginkan. Lebih lanjut,
Suchman (1995) mendefinisikan legitimasi sebagai persepsi atau asumsi umum di
mana tindakan sebuah entitas merupakan tindakan yang diinginkan, layak/pantas,
atau sesuai dengan beberapa sistem yang dibangun secara sosial berupa norma,
nilai, kepercayaan dan ketentuan-ketentuan.
a generalised perception or assumption that the actions of an entity are
desirable, proper, or appropriate within some socially constructed system of
norms, values, beliefs and definitions (Suchman, 1995:574).
Gardner and Martinko (1988) mengatakan bahwa suatu perusahaan akan
secara aktif mencari image (melakukan pencitraan) yang positif dan menghindari
image yang negatif. Pencitraan ini dapat dilakukan melalui “impression
management” (Marcus and Goodman 1991) baik yang bersifat symbolic
(melakukan sesuatu yang baik hanya secara simbolis) maupun substantive
(melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak sekedar simbolisme) (Fitriany, 2009).
Hal ini berkaitan dengan usaha perusahaan dalam memperoleh legitimasi dari
masyarakat. Oleh karena itu, teori legitimasi benar-benar memberikan saran bagi
perusahaan untuk membangun kesesuaian nilai sosial yang diterapkan oleh perusahaan dengan norma yang berlaku di masyarakat (Lindblom, 1983 dalam
Chariri dan Nugroho 2009).
Namun demikian, ketika ada perbedaan antara nilai-nilai yang dianut
perusahaan dengan nilai-nilai masyarakat, legitimasi perusahaan akan berada pada
posisi terancam (Lindblom 1994; Dowling dan Pfeffer 1975 dalam Chariri 2006).
Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dengan nilai-nilai sosial masyarakat
tersebut dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melanjutkan kegiatan
usahanya. Hal ini yang sering dinamakan legitimacy gap atau kesenjangan
legitimasi. O‟Donovann (dikutip oleh Conway dan Patricia, 2008) mendefinisikan
legitimacy gap sebagai “perincian dari kontrak sosial yang terjadi ketika tindakan
dan aktivitas organisasi berbeda dari harapan masyarakat dan persepsi bagaimana
organisasi harus menjalankan usahanya.”
“A legitimacy gap is a breakdown of the “social contract” which occurs when
the actions and activities of the organisation differ from society’s expectations
and perceptions of how the organisation should conduct its business.”
(O‟Donovan, 2002).
Legitimasi dapat diperoleh melalui strategi komunikasi dengan
mengirimkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya (Shockley-Zalabak, et.
Al, 2003). Narrative text pada annual report merupakan media yang tepat
digunakan perusahaan dalam hal memperoleh legitimasi. Hal ini diperkuat oleh
Aerts (1994) yang mengatakan bahwa narrative text merupakan salah satu alat
yang dapat digunakan manajemen perusahaan untuk membuat aktivitas dan hasil
dari perusahaan tersebut terlihat legitimate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar